Di suatu masa sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, ada seorang Raja yang mempunyai seorang ahli sihir (as sahir) sebagai penasehatnya. Raja ini ‘mentahbiskan’ dirinya sebagai Tuhan, sebagaimana terjadi pada Namrudz pada masa Nabi Ibrahim AS, dan Fir’aun pada masa Nabi Musa AS. Ketika sang sahir telah tua, ia meminta Raja untuk mengirimkan kepadanya seorang pemuda pilihan yang cerdas, yang akan dididiknya menjadi seorang ahli sihir, sehingga kelak bisa menjadi penasehat raja sebagai pengganti dirinya. Pemuda terpilih tersebut diperintahkan Raja untuk menemui as sahir setiap harinya.
Beberapa hari berlalu, di
perjalanannya ke rumah as sahir Pemuda ini melihat seorang Rahib sedang
mengajarkana agama Islam (keimanan kepada Allah sesuai dengan syariat Nabi yang
diutus waktu itu) di rumahnya. Ia tertarik dan duduk pada majelis sang Rahib
itu sehingga terlambat menemui as sahir dan mendapat siksaan. Ia mengalami
kebimbangan, ajaran Rahib jelas lebih baik dan lebih tepat baginya, tetapi
tidak mungkin ia begitu saja mengabaikan as sahir dan meninggalkan ajarannya.
Bisa jadi Raja akan menghukumnya bahkan memerintahkan ia dibunuh karena
keimanannya kepada Allah.
Ketika pemuda ini
menyampaikan permasalahannya pada Rahib dan mengeluhkan siksaan yang dialaminya
dari as sahir, Rahib berkata, “Berikan alasan pada sahir bahwa kamu terlambat
karena ditahan oleh ibumu, dan jika ibumu menanyakan terlambatnya pulangmu,
katakan kalau ditahan oleh as sahir…!!”
Begitulah berlalu beberapa
lamanya sehingga pemuda ini makin mahir dalam dua bidang ilmu yang bertentangan
itu. Suatu ketika ia melihat orang-orang terhenti pada suatu jalan karena ada
binatang buas yang menghalangi. Mereka tidak berani melewatinya karena binatang
itu tampak siap menyerang siapapun yang mendekatinya. Pemuda itu berkata dalam
hati,”Hari ini aku akan mengetahui, ajaran sahir ataukah rahib yang lebih
baik!!”
Sambil memungut batu kecil
dan melemparkannya kepada binatang buas itu, ia berdoa, “Ya Allah, jika ajaran Rahib
lebih Engkau sukai daripada ajaran sahir, bunuhlah binatang buas itu agar
orang-orang bisa berjalan lagi ..!!
Dan ternyata binatang buas
itu seketika mati ketika terkena batu tersebut. Sang pemuda menceritakan
pengalamannya itu kepada Rahib, yang kemudian berkata, “Wahai anakku, engkau
kini lebih utama daripada aku. Tetapi ketahuilah, sesungguhnya engkau akan
mendapat cobaan (bala’) karena keutamaanmu ini. Maka apabila bala’ itu datang
padamu, janganlah sekali-kali engkau menunjuk (mengaitkan) aku.”
Allah memang memberikan
karunia yang besar kepada pemuda tersebut, ia bisa mengobati berbagai macam
penyakit, dan atas izin Allah menjadi sembuh. Bahkan penyakit yang menurut
banyak orang tidak bisa disembuhkan seperti buta, belang, lepra dan berbagai
penyakit lainnya. Pada mulanya hal itu tidak terlalu menarik perhatian, karena
Raja dan masyarakat beranggapan pemuda itu memperoleh kehaliannya itu itu dari
sahir. Sampai pada suatu ketika ada
seorang lelaki, kawan sang Raja yang telah lama mengalami kebutaan, mendatangi
pemuda itu dan berkata, “Jika engkau bisa menyembuhkan penyakitku hingga aku
bisa melihat lagi, maka aku akan memberikan apapun yang engkau minta, sebanyak
apapun yang engkau inginkan..!!”
Pemuda itu berkata, “Aku
tidak bisa menyembuhkan, tetapi hanya Allah yang memberikan kesembuhan kepada
siapapun yang dikehendakiNya. Jika engkau percaya kepada Allah, aku akan berdoa
dan semoga Allah memberikan kesembuhan kepadamu…!!”
Lelaki itu segera
menyatakan keimanannya kepada Allah, dan setelah sang Pemuda selesai berdoa,
seketika ia bisa melihat kembali. Karena gembiranya, tanpa memperhitungkan apa
yang akan terjadi, lelaki itu hadir kembali di majelis pertemuan Raja
sebagaimana ia hadir sebelum mengalami kebutaan. Sang Raja sangat takjub dengan
keadaannya dan berkata, “Siapakah yang menyembuhkan matamu?”
Mendengar pertanyaan itu,
barulah lelaki itu sadar bahaya apa yang akan menimpanya jika ia berkata jujur.
Tetapi tampaknya lelaki ini telah merasakan manisnya iman walau baru saja
memasuki agama Islam, dengan tegas ia berkata, “Tuhanku yang menyembuhkanku!!”
Sang Raja berkata, “Apakah
engkau percaya tuhan selain aku?”
Lelaki itu berkata,
“Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah!!”
Raja sangat marah dengan
perkataannya itu. Ia memerintahkan prajuritnya untuk menyiksa lelaki itu untuk
mencari tahu darimana ia memperoleh pengajaran tersebut, dan memaksanya untuk
kembali kepada ajaran jahiliah, yang mempertuhankan dirinya. Bagaimanapun
beratnya siksaan yang ditimpakan, ia tidak bergeming dari keimanan kepada Allah.
Tetapi dalam puncak penderitaannya ia tidak bisa mengelak sumber pengajaran
keimanannya, dan ia menunjuk pemuda itu sebagai ‘gurunya’.
Raja makin marah, pemuda
yang dikadernya untuk menjadi penasehat kerajaan justru menjadi orang yang
menentang ketuhanannya. Ketika pemuda itu didatangkan, Raja berkata, “Wahai
pemuda, sungguh sihirmu telah mencapai puncaknya sehingga bisa menyembuhkan
buta dan berbagai penyakit lainnya….”
Belum sempat Raja
meneruskan ucapannya, sang Pemuda berkata, “Bukan saya yang menyembuhkan,
tetapi Allah, Tuhanku dan Tuhanmu yang menyembuhkan!!”
Bukan main marahnya Raja,
dan segera memerintahkan para prajuritnya untuk menyiksa pemuda tersebut.
Berbagai macam siksaan ditimpakan tetapi pemuda itu tetap kokoh dengan
keimanannya kepada Allah. Harta kekayaan, jabatan dan berbagai kenikmatan dunia
ditawarkan agar ia bersedia kembali pada agama jahiliahnya, tetapi sama sekali
ia tidak bergeming dari keimanannya kepada Allah. Tetapi pada akhirnya ia tidak
bisa menutupi kalau yang mengajarkan keimanan itu adalah sang Rahib.
Sang Rahib ditangkap dan
disiksa habis-habisan, tetapi seperti dua orang yang mengikuti pengajarannya,
sama sekali ia tidak bisa dipengaruhi untuk mengubah keimanannya. Maka
didatangkan sebuah gergaji besar, dan sang rahib dibelah menjadi dua, dari
kepala hingga kakinya. Didatangkan lagi kawan raja, ketika ia tetap teguh
dengan keimanannya kepada Allah, ia dibelah seperti halnya sang Rahib. Waktu
pemuda didatangkan, sang Raja tidak segera memerintahkan pembunuhan dengan
gergaji, tampaknya dia masih berharap pemuda itu menuruti kemauannya dan
menempatkannya sebagai penasehat kerajaan. Ia berkata kepada sekelompok
prajuritnya, “Bawalah pemuda ini ke atas gunung, dan tawarkan untuk kembali
pada agamanya semula. Jika tetap menolak, lemparkanlah ia ke bawah hingga
mati….!!”
Berangkatlah para prajurit
itu memenuhi perintah raja. Ketika sampai di puncak gunung, pemuda itu berdoa,
“Allahummak fiihim bimaa syi’ta (Ya Allah, hindarkanlah aku dari mereka ini
sekehendak Engkau).”
Seketika gunung itu
berguncang, dan para prajurit raja jatuh bergelimpangan hingga tewas.
Sebenarnya bisa saja pemuda itu pergi menghindari raja demi keselamatannya,
tetapi setelah melihat nasib yang dialami rahib dan kawan raja itu ‘jiwa
dakwah’-nya justru muncul. Ia ingin lebih banyak lagi orang yang beriman,
karena itu ia mendatangi lagi sang Raja, yang tentu saja kaget melihatnya dalam
keadaan selamat. Raja berkata, “Mana para prajurit yang membawa kamu?”
Ia berkata, “Allah telah
menghindarkan (menyelamatkan) aku dari rencana mereka!!”
Raja memerintahkan beberapa
prajuritnya untuk membawa pemuda itu ke tengah laut dengan sebuah perahu.
Setelah jauh dari daratan, mereka diperintahkan untuk menawarkan kepada pemuda
itu kembali pada agama jahiliahnya, agama sang Raja. Jika menolak, hendaknya
pemuda itu dilemparkan ke lautan hingga mati tenggelam.
Mereka segera berangkat
sesuai perintah Raja, tetapi ketika sampai di tengah lautan, Sang Pemuda
kembali berdoa, “Allahummak fiihim bimaa syi’ta (Ya Allah, hindarkanlah aku
dari mereka ini sekehendak Engkau).”
Seketika perahu itu
berguncang dengan hebatnya, para prajurit itu terjatuh ke dalam air dan
semuanya tewas tenggelam, tinggal pemuda itu sendirian. Ia membawa perahu itu
kembali ke daratan dan menghadap raja sebagaimana sebelumnya. Sang Raja
berkata, “Mana para prajurit yang membawa kamu?”
Ia berkata, “Allah telah
menghindarkan (menyelamatkan) aku dari rencana mereka!!”
Sebelum Raja sempat membuat
makar (rencana) lain untuk membunuh dirinya, pemuda itu berkata, “Wahai Raja, engkau
tidak akan bisa membunuhku kecuali menurut cara yang aku ajarkan kepadamu.”
“Bagaimana caranya?”
Pemuda itu berkata, “Engkau
kumpulkan semua rakyat di suatu tanah lapang, ikatlah aku pada suatu pohon dan
panahlah aku dengan panah dan busurku. Sambil melepaskan anak panahnya, katakan
: Bismilahir rabbil ghulam (Dengan nama Allah, Tuhannya pemuda ini). Jika itu
engkau lakukan, maka engkau akan bisa membunuhku!!”
Tanpa menyadari apa rencana
dan tujuan sang Pemuda memberikan saran seperti itu, sang Raja segera
memerintahkan untuk melaksanakanmya. Mendengar perintah Raja untuk berkumpul
dalam rangka mengeksekusi mati sang Pemuda, rakyat sangat antusias mendatangi
tanah lapang kerajaan. Selama ini mereka telah mendengar dan melihat kehebatan
pemuda itu sejak berhasil membunuh binatang buas hanya dengan batu kecil,
sampai lolos dari kematian dari para prajurit yang siap membunuhnya. Mereka
ingin tahu, kekuatan apa yang dimiliki oleh pemuda itu.
Pada waktu yang ditentukan,
Raja mengarahkan anak panah pada pemuda yang telah diikat pada sebuah pohon,
sambil melepaskannya ia berkata, “Bismilahir rabbil ghulam!!”
Panah itu mengenai pelipis
sang Pemuda, rakyat melihat penuh tanda-tanya apa yang akan terjadi. Akankah ia
lolos dari kematian seperti sebelumnya? Pemuda itu meletakkan tangannya di
pelipisnya yang terluka, darah mengalir dari sela-sela jemarinya. Tidak ada
kata yang terucap, sama sekali tidak tampak rasa kesakitan dan ketakutan di
wajahnya, justru yang terlihat adalah ketenangan dan kesejukan yang mempesona
rakyat yang mengamati wajahnya yang bersimbah darah. Perlahan ia melemah dan
akhirnya meninggal, syahid dalam dalam mempertahankan dan mendakwahkan
keimanannya kepada Allah.
Setelah Raja dan para
prajuritnya meninggalkan tempat tersebut, beberapa orang dari rakyat kerajaan
itu berkata, “Aamanna birabbil ghulam.”
Sedikit demi sedikit
orang-orang mengikutinya, sehingga akhirnya hampir merata orang-orang di tanah
lapang itu beriman kepada Allah. Hal itu terus berkembang sehingga makin banyak
orang yang beragama Islam, yang sebenarnya sangat ditakutkan Raja akan terjadi
di kerajaannya. Sesuatu yang tanpa disadarinya terjadi karena ‘ambisinya’
sendiri, yakni membunuh sang Pemuda untuk mempertahankan ‘ketuhanannya’. Ia
tidak sadar bahwa tanpa sengaja ia telah menunjukkan jalan keimanan kepada
Allah.
Ketika hal itu dilaporkan
kepada sang Raja, ia memerintahkan untuk membuat parit besar di setiap
persimpangan jalan, di dalamnya dinyalakan api yang membara. Setiap orang yang
lewat ditanya kepercayaannya, jika ia beriman kepada Allah, ia akan
diperintahkan untuk murtad. Jika menolak, ia akan didorong masuk ke dalam parit
api tersebut. Banyak sekali yang disiksa dan tewas dalam parit api itu karena
mempertahankan keimanan kepada Allah. Mereka lebih baik mati syahid sebagaimana
dicontohkan sang Pemuda, daripada harus kembali pada agama jahiliahnya. Bahkan
ada seorang ibu yang menggendong bayinya, ketika hampir menyerah karena anak
kesayangannya akan dilempar ke dalam api, tiba-tiba sang bayi itu berkata,
seperti halnya Nabi Isa AS yang berbicara ketika bayi, “Wahai ibu, bersabarlah,
karena sesungguhnya engkau dalam kebenaran yang sesungguhnya (al haq)..!!”
Peristiwa ini disitir dalam
Al Qur’an Surah Al Buruuj ayat 4-9, “Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang
membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk
di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap
orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu
melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha
Menyaksikan segala sesuatu.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan