Abu Lubabah membisu, tak bergerak sedikit pun. Ia baru saja melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan itu membuatnya merasa telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Saat itu, ia berada dalam benteng musuh, namun ia tak berani kembali menuju pasukan muslimin. Ia memilih pulang lalu merantai tubuhnya sendiri dan mengikatnya pada tiang.
“Demi Allah, kedua kakiku masih saja tetap berada di tempatnya
hingga aku tahu bahwa diriku ternyata telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
Seketika itu rasa sesal menghantuiku, ketakutan menyelimutiku. Aku tidak tahu
lagi bagaimana aku keluar dari murka Allah,” kisah Abu Lubabah.
Dosa pengkhianatan apa yang dilakukan Abu Lubabah? Ternyata ia
terpeleset membocorkan rencana perang Rasulullah kepada Bani Quraizhah. Saat
itu, pasukan muslimin telah mengepung benteng Bani Quraizhah. Kabilah tersebut
sebelumnya telah melakukan pengingkaran janji, pengkhianatan serta penipuan
kepada muslimin.
Abu Lubabah pun diutus untuk melakukan perjanjian dengan Bani
Quraizhah. Namun sang shahabat sangatlah penyayang. Ia merupakan salah satu
pemimpin Yatsrib dan sangat dikenal masyarakat Bani Quraizhah. Begitu memasuki
benteng, Abu Lubabah pun disambut hangat oleh anak-anak dari bani tersebut.
Wanita turut mengerumuninya. Para pria mendatangi dan memeluknya. Abu Lubabah
diterima dengan baik di sarang musuh Islam.
Ketika seseorang bertanya kepadanya, “Apakah menurutmu kami
harus tunduk dan mengikuti keputusan Muhammad?”
Abu Lubabah pun menjawab, “Ya.”
Tak ada kesalahan yang dilakukannya kecuali ketika ia memberikan
isyarat tangannya ke arah leher. Ia memberitahukan hukuman yang disiapkan
pasukan muslimin kepada orang-orang kafir lagi pengkhianat, yakni dengan
memenggal mereka. Padahal saat itu, pasukan muslimin merahasiakannya dan Bani
Quraizhah pun tak mengetahuinya.
Setelah Abu Lubabah mengisyaratkan hal tersebut, ia pun terdiam.
Ia tahu, ia baru saja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Abu
Lubabah merasakan penyesalan yang teramat sangat hingga merasa malu kepada
Rasulullah. Ia pun memilih pulang ke Madinah dan tak kembali ke barisan
pasukan.
Segera setibanya di Madinah, Abu Lubabah meminta rantai besi,
lalu meminta seseorang untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid. Sang
shahabat Anshar itu pun diikat dengan rantai besi dalam kondisi berdiri di atas
kedua kakinya.
“Demi Allah, aku tidak akan melepaskan diriku. Aku tidak akan
membebaskan diriku. Aku tidak akan menjamah makanan. Tidak pula aku akan
menyentuh minuman hingga Allah menerima taubatku.... atau hingga aku mati,”
tutur sang shahabat. Penyesalan begitu ia rasakan.
Singkat cerita, ketika Rasulullah kembali ke Madinah, betapa
terkejutnya beliau menyaksikan Abu Lubabah terikat di tiang masjid dengan
rantai dari besi. Seseorang shahabat lain pun kemudian mengisahkan apa yang
terjadi pada Abu Lubabah. Nabiyullah bersabda,
“Ketahuilah, sesungguhnya kalau saja tadi ia (Abu Lubabah)
mendatangiku, maka aku benar-benar akan memintakan ampun untuknya. Namun
sayang, ia terlanjur melakukannya. Jadi aku tak akan membebaskannya sampai
Allah sendiri yang akan membebaskannya.”
Rasulullah dan para shahabat lain pun merasa melas pada Abu
Lubabah. Namun ayat tak juga turun tentangnya. Putri kecilnya selalu datang
tiap waktu shalat dengan deraian air mata. Ia akan melepaskan rantai besi agar
ayahnya shalat, lalu merantainya kembali saat shalat usai.
Satu hari, dua hari, tiga hari, belum ada firman-Nya yang
menyatakan pembebasan Abu Lubabah. Hingga Abu Lubabah mulai lemas, tak lagi
bertenaga. Pandangan dan pendengarannya kabur. Otot-ototnya melemas. Ia terikat
selama enam hari enam malam.
Hingga kemudian kasih sayang Allah datang. Jalan keluar datang
di waktu sahur pada malam ketujuh. Rasulullah tiba-tiba tertawa mendapat
firman-Nya. Ummu Salamah yang ada di sisi beliau pun lantas bertanya penasaran,
“Wahai Rasulullah, mengapa Anda tertawa? Semoga Allah membuat Anda tertawa di
sepanjang usia Anda.”
Nabiyullah bersabda, “Allah telah menerima taubat Abu Lubabah.”
Ummu Salamah pun begitu girang mendengarnya. “Bolehkah aku
memberitahukan kabar gembira ini kepadanya, wahai Rasulullah?”
“Tentu saja boleh, jika engkau mau,” ujar nabi.
Ummu Salamah pun segera bangkit. Sang Ummul Mukminin berdiri
dari pintu rumahnya lalu berkata, “Wahai Abu Lubabah, bergembiralah... Allah
telah menerima taubatmu.”
Pra shahabat lain pun mendengarnya dan segera mengerumuni Abu
Lubabah. Mereka ingin segera melepaskan rantai besi yang mengikatnya. Namun
ternyata Abu Lubabah menolak. “Tidak, demi Allah, sampai Rasulullah sendiri
yang melepaskan diriku dengan tangan beliau.”
Rasulullah pun lalu keluar dan melekaskan rantai yang
membelenggu tubuh Abu Lubabah di tiang masjid. Betapa bahagia sang shahabat.
Penyesalannya sirna sudah. Taubatnya benar-benar telah diterima Allah dan
Rasul-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan