Rahasia terbesar dalam kehidupan manusia adalah: asal muasal
munculnya kehidupan! Ribuan
tahun sepanjang peradaban manusia itu sendiri pertanyaan ini terus mengalir.
Dan sepanjang sejarah itu pula, jawabannya juga terus menggantung.
Setiap zaman dan setiap generasi memuncul kan
tokoh dan pendapat tentang misteri munculnya kehidupan itu. Namun jawabannya
tidak pernah memuaskan. Munculnya kehidupan tetap menjadi tanda tanya besar
yang mengundang setiap kita untuk datang 'menghampirinya' sekaligus selalu
berusaha mencari jawabnya.
Agaknya, jawaban terhadap pertanyaan seputar
sumber kehidupan itu tidak akan pernah memuaskan, ketika kita tidak mencari
informasi dari sumber yang sebenarnya. Sebab manusia adalah sekadar 'pelaku'
dalam drama kehidupan itu. Maka sudah sewajarnya ia tidak pernah tahu dari mana
datangnya kehidupan yang ia miliki.
Informasi tentang sumber kehidupan, agaknya, hanya
bisa kita dapatkan dari sang Pembuat Kehidupan itu sendiri, yaitu Allah, Sang
Maha Pencipta. Maka, dalam diskusi ini kita akan berusaha melakukan beberapa
rekonstruksi dengan mengambil informasi yang berasal dari FirmanNya di dalam
Al-Qur’an al Karim, dan kemudian kita bahas dengan melibatkan ilmu pengetahuan
yang berkembang di abad-abad mutakhir.
Selain 'sumber kehidupan' yang menjadi misteri
dalam kehidupan kita adalah 'Kehidupan' itu sendiri. Kenapa dan bagaimana
sesosok makhluk yang tadinya mati bisa mendapatkan kehidupannya. Tiba-tiba bisa
bergerak dan berkembang biak.
Kita memahaminya, bahwa makhluk itu telah
memperoleh Ruh kehidupannya. Sehingga dia menjadi hidup. Maka muncullah
berbagai pertanyaan tentang Ruh sebagai tenaga kehidupan itu. 'Dari mana, 'Apa'
dan 'bagaimanakah' Ruh itu, sehingga bisa memberikan energi kehidupan kepada
sesuatu yang tadinya mati.
Ya, Ruh telah menebarkan misteri yang tiada
habisnya bagi si makhluk hidup itu sendiri. Manusia bisa merasakan hadirnya
energi kehidupan di dalam dirinya, tapi tidak pernah bisa memahami tentang
hakikat “Energi Kehidupan” itu.
Rahasia Ruh sebagai energi kehidupan tetap
tersimpan rapi sepanjang perkembangan peradaban manusia. Kita lantas juga
bertanya, benarkah rahasia ini akan tetap tersimpan sampai akhir zaman?
Dan misteri yang ketiga selain asal muasal
kehidupan & Ruh adalah tentang Jiwa. Seringkali kita menyebut
Jiwa sebagai Salah satu komponen penyusun makhluk hidup, termasuk manusia.
Namun, tidak sedikit di antara kita yang tidak memahami : apakah sebenarnya
Jiwa? Apa bedanya dengan Ruh?
Begitu banyak diskusi beredar, yang mencoba membahas tentang Ruh dan
Jiwa. Bukan hanya dewasa ini,
tapi sudah berumur ratusan atau ribuan tahun yang lalu. Namun demikian, saya
melihat, kita perlu melakukan pemahaman ulang serta rekonstruksi sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan yang mutakhir.
Sebab saya merasa, bahwa pembahasan-pembahasan
yang dilakukan oleh para pendahulu kita mengalami beberapa kendala dalam
mempersepsi persoalan tersebut dikarenakan belum berkembangnya ilmu pengetahuan
empirik seperti dewasa ini.
Pemahaman yang baik tentang rahasia kehidupan itu,
bakal membawa kita kepada rahasia yang 'Paling Besar' dalam drama kemanusiaan
ini, yaitu: Eksistensi Sang Pencipta Kehidupan.
Maka, dalam diskusi ini saya ingin mengajak
pembaca untuk menyelami Salah satu dari rahasia tersebut, yang berkaitan dengan
: Jiwa dan Ruh.
Hampir setiap kita menyepakati bahwa diri makhluk
hidup terdiri dari badan, Jiwa dan Ruh. Tapi, tidak sedikit pula yang
berpendapat bahwa diri makhluk hidup hakikatnya hanya terdiri dari Jiwa dan
raga saja. Atau dengan kalimat yang lain, ada yang menyebutnya sebagai terdiri
dari badan dan nyawa. Fisik dan psikis. Lahir dan batin. Begitulah seterusnya,
kebanyakan kita mempersepsi diri makhluk hidup hanya ke dalam dua bagian saja,
sebagaimana di atas.
Tapi, saya 'merasakan' ada sesuatu yang lain,
ketika mencoba melakukan eksplorasi informasi terhadap diri makhluk hidup itu.
Khususnya manusia.
Saya memperoleh gambaran, agaknya bukan cuma
2 ‘unsur’ yang menyusun sosok makhluk hidup, melainkan 3 unsur. Ketiga
unsur itu adalah : Badan, Jiwa dan Ruh.
Dalam berbagai pembahasan selama ini, kebanyakan
kita tidak membedakan antara Jiwa dan Ruh. Atau, kalaupun merasakan perbedaan,
kita tidak begitu 'melihat' perbedaan yang signifikan atau mencolok. Karena
itu, kita lantas cukup memandangnya sebagai 2 bagian saja.
Yang satu, kelihatan sebagai badan berotot,
berdaging, berdarah, bertulang, punya susunan saraf, dan lain sebagainya, dalam
bentuk susunan struktur biologis. Sedangkan satunya lagi adalah sesuatu yang
abstrak, tidak kelihatan, tidak bisa didengar, tidak dapat diraba, dan bahkan
tidak bisa digambarkan. Tapi jelas ada, dan bisa dirasakan.
Pendapat tentang persamaan Jiwa dan Ruh, juga
dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah, seorang tokoh pemikir Islam murid pemikir
terkenal Ibnu Taimiyah. Dalam diskusinya yang berjudul Ar Ruh li Ibnil Qayyim
diterjemahkan dalam judul ROH ia menegaskan hal itu. Bahwa, Ruh tak lain adalah
bentuk lain dari Jiwa, atau sebaliknya.
Dalam skala yang lebih umum, seringkali kita juga
mendengar pendapat bahwa jiwa dan raga pada makhluk hidup bagaikan sebuah mobil
dengan pengendaranya. Raga adalah mobil, sedangkan Jiwa adalah pengendara alias
driver.
Maka, Jiwa dan raga atau 'pengendara dan mobil'
adalah suatu kesatuan sistem yang melaju ‘dijalan raya kehidupan’ untuk menuju
satu tujuan yang sama. Aktor utamanya, adalah pengendara, sedangkan mobil hanya
sekadar sarana belaka.
Mobil
adalah benda mati, sedangkan pengendara adalah makhluk hidup yang punya
kehendak. Demikianlah kita membuat perumpamaan antara Jiwa dan raga. Kita
menganggap badan adalah benda mati, sedangkan Jiwa kitalah yang makhluk hidup.
Sampai disini, saya kira kita mulai merasakan
'keanehan' perumpamaan itu. Sebab yang namanya makhluk hidup itu memang bukan
hanya Jiwa, melainkan keseluruhan sistem antara Jiwa dan raga. Dan justru,
ketika keduanya 'terpisah'. manusia itu disebut sebagai mengalami kematian.
Kita lantas mulai bertanya-tanya, sebenarnya
kehidupan itu muncul dari mana? Apakah susunan badan itu yang menyebabkan
munculnya kehidupan dengan sendirinya? Ataukah karena badan kita dimasuki oleh
Jiwa? Dengan kata lain, berarti Jiwa adalah sosok mandiri yang menjadi sumber
kehidupan Itu?
Lantas apakah Jiwa bisa berdiri sendiri tanpa
badan? Apakah Jiwa diciptakan lebih dulu dari badan ataukah diciptakan seiring
dengan penciptaan badan? Kalau Jiwa diciptakan lebih dahulu, lantas apakah ada
kehidupan Jiwa sebelum kehidupan manusia ini?
Dan setelah kehidupan manusia di muka bumi ini,
kemanakah perginya Jiwa? Apakah akan kembali lagi ke badan kita? Kemudian,
apakah Jiwa itu memiliki kualitas yang sama antara semua makhluk hidup, ataukah
bertingkat-tingkat? Dan segudang lagi pertanyaan yang mengusik pikiran kita,
serta membutuhkan jawaban yang lebih gamblang. Untuk itu, pada diskusi ini kita
akan mencoba membahas rahasia kehidupan yang telah menjadi misteri sepanjang
zaman...
APAKAH JIWA, APAKAH RUH
Informasi tentang Jiwa dan Ruh tersebar di dalam
Al-Qur’an dalam kadar yang berbeda. Perbedaan itu terkait dengan jumlah ayat
yang menerangkannya maupun makna dalam penggunaannya.
Kata 'Jiwa' di dalam Al-Qur’an diwakili dengan
kata ‘nafs’. Meskipun makna 'nafs' ini, secara umum bisa diartikan sebagai
'diri'. Penggunaan kata nafs yang menggambarkan 'jiwa' difirmankan Allah di
dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 31 kali. Sedangkan kata nafs (anfus) yang
bermakna 'diri' difirmankan tidak kurang dari 279 kali.
Sementara itu, kata 'Ruh' atau 'Roh' di dalam
Al-Qur’an diulang-ulang oleh Allah sebanyak 10 kali. Jadi jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan penggunaan kata ‘Jiwa’ dan ‘diri’
Selain itu, penjelasan dan pembahasan tentang Jiwa
ternyata juga sangat banyak dibicarakan di dalam Al-Qur’an. Bahkan kita
dipancing oleh Allah untuk berusaha memahami 'Jiwa' itu dengan menggunakan akal
kita. Hal tersebut bisa kita dapatkan infomasinya pada ayat berikut ini.
QS. Az Zumar (39) : 42
Allah memegang Jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) Jiwa (orang) yang
belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah Jiwa (orang) yang telah Dia
tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan Jiwa yang lain sampai waktu yang
ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.
Ayat di atas memberikan pemahaman kepada kita
tentang makna Jiwa. Bahwa Jiwa adalah 'sesuatu' yang bisa ada dan tidak ada,
atau bisa keluar dan masuk pada seorang manusia ketika dia masih hidup.
Dijelaskan oleh Allah bahwa seseorang yang sedang
terjaga tidak tidur dan tidak mati ia memiliki Jiwa di dalam
dirinya. Pada saat orang itu tertidur atau mati, Allah memegang Jiwa manusia
tersebut. Dan kemudian Dia menahan Jiwa ketika orang itu mati alias tidak
dikembalikan. Sedangkan pada orang yang tertidur, Allah melepaskan Jiwa itu,
sehingga orang yang tidur itu terbangun atau tersadar kembali.
Kita memperoleh gambaran awal yang sangat menarik
tentang Jiwa. Bahwa Jiwa adalah sesuatu yang terdapat pada orang yang terjaga
alias ‘tersadar’. Pada orang-orang yang tidak 'sadar' maka Jiwa itu 'terlepas'
darinya (ditahan Allah).
Kondisi tidak sadar itu bisa diperluas bukan hanya
saat tidur dan mati, melainkan juga kondisi-kondisi yang mirip dengan tidur dan
mati. Misalnya, pada orang yang pingsan dan mati suri (koma), dimana seorang
manusia tidak bisa beraktifitas secara normal dan sadar. Jadi, Jiwa berkait
erat dengan 'kesadaran' seseorang.
Di ayat lain, Allah memberikan gambaran tentang
Jiwa itu, sebagai 'sesuatu' yang kualitasnya bisa naik dan turun. Rendah
kualitasnya pada saat masih bayi, dan kemudian menjadi semakin sempurna pada
saat ia sudah dewasa. Hal ini diterangkan oleh Allah pada beberapa firmanNya.
QS. Al A'raaf (7) : 172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap Jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Ayat di atas memberikan informasi, bahwa sejak
pertamakali manusia dilahirkan oleh ibunya, Allah sudah mengaktifkan Jiwanya.
Digambarkan ia telah memiliki 'naluri' ketuhanan. Sehingga, pada dasarnya dia
telah memberikan kesaksian awal bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya.
Bahkan, pemahamannya bisa lebih awal dari saat
kelahiran. Karena, kalimat 'dikeluarkan dari tulang sulbi' itu menunjukkan saat
pertama kali terjadi konsepsi, yaitu pembuahan sel telur oleh sperma.
Ketika sel telur dan sperma dilepaskan dari
sumbernya dari indung telur dan testisnya, dan kemudian dipertemukan dan
ditempatkan di dalam rahim. Saat itulah Jiwa manusia sudah mulai terbentuk.
Dengan kualitas yang palirg rendah. Sangat dasar. Tapi fitrahnya telah
bertauhid kepada Allah sang Pencipta.
Di sisi lain, ayat itu memang memberikan informasi
dan penegasan bahwa secara fitrah, manusia telah mengakui adanya Allah sebagai
Tuhannya. Jadi, kalau seseorang mau mendengarkan kata hatinya, sebenarnya ia
akan selalu merasakan dan menyadari bahwa ada Tuhan yang menciptakan dan
memelihara alam semesta beserta seluruh isinya.
Dengan kata lain, orang yang menyebut dirinya
atheis (tidak bertuhan), sebenarnya telah mengingkari fitrah Jiwanya dan
melawan kata hatinya sendiri. Setiap kita, pada dasarnya, mengakui adanya suatu
kekuatan.yang Maha Dahsyat di luar kemampuan diri kita. Dialah Allah Azza
wajala.
Cuma, ada yang menyebutnya sebagai ‘Faktor X’ atau
kekuatan 'Supranatural' atau ‘Kebetulan’, atau apa pun mereka mengistilahkan.
Tapi intinya, setiap kita bisa merasakan dan meyakini bahwa kemampuan manusia
sangatlah terbatas. Dan, lantas ada 'Sesuatu Yang Lebih Hebat' di luar kita
yang selalu ikut campur dalam urusan kita. Sekali lagi, itulah Tuhannya
manusia.
Di ayat yang lain Allah memberikan gambaran bahwa
ketika masih bayi Jiwa kita sangatlah lemah, dan tidak tahu apa-apa. Jiwa yang
lemah itu akan terus-menerus mengalami penyempurnaan sampai dewasa kelak, lewat
berbagai pengalaman hidupnya. Lewat interaksi panca indera dan hatinya.
QS. A Nahl (16) : 78
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.
Jadi, Jiwa adalah 'sesuatu' di dalam diri kita
yang mengalami ‘pertumbuhan’ dan 'perkembangan kualitas' seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan kedewasaan seorang manusia. Semakin dewasa dia
maka semakin tinggi juga kualitas Jiwanya.
QS. Yusuf : 22
Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan
i1mu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik.
Begitulah, ketika tumbuh dewasa, Jiwa memiliki kemampuan semakin
tinggi dalam menangkap ilmu dan hikmah.Terutama, mereka yang memproses
pengalaman Jiwanya ke arah yang baik dan positif.
Jadi, Jiwa adalah 'sesuatu' di dalam diri kita yang memiliki
kemampuan untuk menangkap ilmu dan hikmah. Dia bisa memahami makna yang
tersimpan di dalam suatu informasi. Bahkan dia juga bisa melakukan analisa dan
mengambil keputusan dalam menyerap ilmu dan hikmah tersebut.
Tentang proses penyempurnaan Jiwa itu, Allah menjelaskan dalam
firmanNya. Bahwa manusia, pada mulanya berasal dari sesuatu yang tidak bisa
disebut. Kemudian, sesuatu yang tidak bisa disebut itu diproses secara
bertingkat-tingkat di dalam diri manusia - Bapak dan Ibunya, sehingga menjadi
manusia. Dan kemudian di luar
rahim sampai menjadi dewasa.
QS. Al Insaan (76) : 1
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika
itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
QS. Asy Syam (91) : 7 - 10
Dan Jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada Jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan Jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Dengan tegas Allah menjelaskan bahwa Jiwa
mengalami penyempurnaan. Ia dihadirkan pertama kalinya dalam kondisi yang
lemah, jauh dari sempurna. Setelah melewati proses kehidupan, pengalaman,
pembelajaran, maka Jiwa aka menjadi sempurna pada usia dewasanya.
Dalam proses penyempurnaan itu Jiwa bisa mengarah
kepada kebaikan, atau sebaliknya pada keburukan. Dalam istilah ayat tersebut di
atas : manusia bisa membersihkan Jiwanya, atau mengotorinya.
Jika membersihkan Jiwa, maka beruntunglah kita.
Karena Jiwa yang bersih akan memberikan manfaat kepada manusia itu saat hidup
di dunia maupun di akhirat nanti. Sedangkan orang yang mengotorinya bakal
merugi, karena Jiwa yang kotor itu akan memunculkan masalah dan penderitaan
sepanjang kehidupannya di dunia sampai akhirat.
Ketika
masih anak-anak, seorang manusia memiliki Jiwa yang bersih. Semakin dewasa,
kualitas Jiwanya bisa berubah sesuai dengan proses dan pengalaman hidupnya.
Ibarat kertas masih putih belum ada tulisan dan goresan apa pun. Orang tua dan
lingkungan hidupnyalah yang bakal menulisi lembaran-lembaran Jiwanya.
Kebersihan jiwa seorang anak digambarkan oleh Allah lewat cerita nabi Musa dan
nabi Khidr.
QS. Al Kahfi : 74
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang
anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh Jiwa
yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah
melakukan suatu yang mungkar".
Dialog antara nabi Musa dan Nabi Khidhr di atas memberikan gambaran bahwa
seorang anak memiliki Jiwa yang bersih. Kata Rasulullah Muhammad saw, orang
tuanyalah yang menyebabkan seorang anak menjadi Islam, Yahudi, Nasrani atau
Majusi.
Yang menarik, kecenderungan jiwa untuk melakukan
yang baik atau buruk itu sudah dimasukkan Allah sejak awal sebagai sebuah
pilihan. Setiap jiwa diberi kebebasan untuk memilih kebaikan ataukah keburukan.
Dengan jelas Allah mengatakan hal itu di ayat
tersebut : "maka Allah mengilhamkan kepada Jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya". Terserah kepada kita untuk memilih kebaikan ataukah
keburukan. Membersihkan atau mengotorinya. Jadi, Jiwa adalah 'sesuatu' di dalam
diri kita yang memiliki kemampuan untuk memilih.
Lebih jauh, Al-Qur’an menginformasikan bahwa Jiwa
adalah 'sesuatu' di dalam diri kita yang bisa mengalami 'rasa' senang, sedih,
marah, gembira, puas, menyesal, bahagia, dan tentram.
QS. Al Fajr (89)
: 27
"Hai Jiwa
yang tenang"
QS. Al Qiyaamah
(75) : 2
dan aku
bersumpah dengan Jiwa yang amat menyesali.
QS. At Taubah
(9) : 103
Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman
Jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
QS. At taubah
(9) : 118
dan terhadap
tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi
telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan Jiwa merekapun
telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa
tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar
mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah lah Yang Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang.
QS. An Nisaa (4) : 63
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati
mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran,
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada Jiwa mereka.
Jadi, dalam perkembangan lebih lanjut, Jiwa
memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menjadi mandiri dan bisa melakukan
aktivitas-aktivitas yang berisiko. Karena itu, Jiwa lantas harus bertanggung
jawab terhadap pilihan-pilihan yang dia lakukan.
QS. Al Infithaar (82) : 5
maka tiap-tiap Jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan
yang dilalaikannya
QS. Al Mu'min (40) : 17
Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang
diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat
cepat hisabnya.
QS. Al Qalam (68) : 40
Tanyakanlah kepada mereka: "Siapakah di antara mereka yang bertanggung
jawab terhadap keputusan yang diambil itu?"
QS. Al
Mudatstsir (74) : 38
Tiap-tiap Jiwa bertanggung
jawab atas apa yang telah diperbuatnya,
Maka dari berbagai informasi di atas, kita lantas bisa mengambil
kesimpulan terhadap apa yang dinamakan Jiwa, sebagai berikut.
1. Bahwa ada
suatu masa di mana manusia belum terbentuk dan belum bisa disebut
baik badan, Jiwa, maupun Ruhnya.
2. Bahwa Jiwa mulai
'diaktifkan' oleh Allah di dalam diri seorang manusia pada saat terjadi
konsepsi antara sel telur dan sel sperma di dalam rahim seorang ibu. Sejak saat
itulah Jiwa 'hidup' bersama dengan tubuh manusia, yang juga hidup.
3. Bahwa Jiwa
adalah sesuatu yang mengalami pertumbuhan dan 'perkembangan kualitas' seiring
dengan berkembangnya fisik manusia, mulai dari janin sampai dewasa.
4. Bahwa Jiwa
'dibesarkan' oleh bertambahnya ‘pengalaman dan ilmu pengetahuan’ yang
diserapnya. Jiwa terlahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan menjadi
‘dewasa’ ketika mampu menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dan memahami hikmah yang
terkandung di dalamnya.
5. Bahwa Jiwa
bisa bersama-sama ada dengan fisik namun sekali waktu juga bisa terpisah dari
fisiknya. Dan, keduanya masih tetap hidup sendiri-sendiri. Kondisi seperti itu
digambarkan olehNya terjadi pada orang-orang yang kehilangan kesadarannya,
seperti orang-orang yang tertidur, pingsan, koma, atau mati. Bahkan, pada orang
mati, Allah mengatakan bahwa Jiwanya masih hidup di sisiNya (QS. 3:169)
6. Sebagaimana
kondisi badan seseorang, Jiwa adalah sesuatu yang bisa kena pengaruh dari luar
berupa 'tekanan' positif maupun negatif, berupa rasa senang, sedih, kecewa,
puas, bahagia, sengsara, dan lain sebagainya. 'Stress' tersebut muncul dalam
bentuk ‘makna’. Jadi, Jiwa bisa mengalami interaksi dengan sesuatu dari luar
dirinya dalam bentuk 'makna' alias 'informasi'.
7. Bahwa Jiwa
bisa berinteraksi dengan dunia luar lewat fasilitas yang dimiliki badan, yaitu
berupa panca indera dan indera ke enam alias hati. Salah satu fungsi yang
paling dasar adalah ‘memahami’
8. Bahwa
kualitas Jiwa juga bergantung kepada kualitas fisik, terutama otak. Jika
kualitas fisik dan otak mengalami gangguan, maka Jiwa juga bakal mengalami
gangguan. Kerusakan pada Otak menimbulkan kerusakan pada Jiwa, karena fungsi
otak ternyata direpresentasikan oleh sel-sel yang terdapat di otak.
9. Bahwa Jiwa
adalah sosok yang bertanggungjawab terhadap segala perbuatan yang dilakukan
oleh seorang manusia. Jiwa memiliki kebebasan untuk memilih kebaikan atau
keburukan dalam hidupnya Segala akibat dari perbuatannya akan kembali
kepadanya. Namun, tanggungjawab itu akan dipikul oleh Jiwa, bukan saat Jiwa
terpisah dari badannya, melainkan ketika Jiwa telah dikembalikan ke badannya
pada hari kebangkitan kelak.
Dengan adanya beberapa point di atas, maka kita bisa membuat
kesimpulan umum untuk merumuskan tentang Jiwa.
Bahwa Jiwa adalah 'sosok' non fisik yang berfungsi dan bersemayam di
dalam tubuh seorang manusia. Ia bertanggung jawab terhadap seluruh perbuatan
kemanusiaannya. Eksistensi jiwa terbentuk, ketika ia bergabung dengan fisiknya.
Dan kemudian 'tidak berfungsi' ketika terpisah dari badannya.
Jiwa dan Fisik adalah dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata
uang, yang tidak bisa berfungsi sendiri-endiri. Keduanya baru berfungsi ketika
ada bersama-sama. Untuk lebih jelasnya, marilah kita teruskan diskusi kita
lebih jauh ke bagian-bagian berikutnya.
PERBEDAAN JIWA DAN RUH
Sebelum kita melangkah lebih jauh membahas Jiwa, ada baiknya terlebih
dahulu kita mengetahui perbedaan Jiwa dengan Ruh. Sebab, banyak di antara kita
yang merancukan keduanya.
Sebagaimana saya sampaikan di depan, bahwa infomasi tentang Ruh di
dalam Al-Qur’an jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jiwa. Dalam jumlah yang
sedikit itu pun, kata Ruh digunakan untuk menggambarkan beberapa hal yang
berbeda.
Di antaranya adalah untuk menggambarkan ‘sesuatu’ yang menyebabkan
munculnya kehidupan pada benda-benda yang tadinya mati, sekaligus 'menularkan'
sifat-sifat ketuhanan kepadanya. Selain itu, kata Ruh juga digunakan untuk menggambarkan malaikat, dalam
bentukan kata Ruh al Qudus dan Ruh al Amin. Ayat berikut ini menggambarkan
fungsi kehidupan.
QS. As Sjadah (32) : 9
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya Ruh Nya
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
(tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur
Setidak-tidaknya ada tiga hal yang menyebabkan Ruh
dan Jiwa berbeda. Yang pertama, karena substansinya. Yang kedua, karena
fungsinya. Dan yang ketiga, karena sifatnya.
Perbedaan yang pertama, pada substansinya. Jiwa
dan Ruh berbeda dari segi kualitas ‘dzat’nya. Jiwa digambarkan sebagai dzat
yang bisa berubah-ubah kualitas: naik dan turun, jelek dan baik,. kotor dan
bersih, dan seterusnya. Sedangkan Ruh digambarkan sebagai dzat yang selalu baik
dan suci, berkualitas tinggi. Bahkan digambarkan sebagai 'turunan' dari Dzat
Ketuhanan.
QS. Al Hijr (15) : 29
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
ke dalamnya RuhKu, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Tingginya kualitas Ruh itu tergambar dari 2 hal,
sebagaimana disebutkan ayat di atas. Yang pertama, ditunjukkan oleh tunduknya
malaikat kepada manusia. Dan yang kedua, ditunjukkan oleh penggunakan 'kata
ganti' KU, yang menggambarkan bahwa Allah mengakui betapa dekatNya dzat yang
bernama Ruh itu dengan Allah.
Kita tahu, malaikat tunduk kepada Adam setelah
Allah 'meniupkan' RuhNya kepada Adam. Setelah Allah menyempurnakan kejadian
Adam sebagai seorang manusia. Jadi, kita bisa mengambil kesimpulan umum, bahwa
kualitas Ruh itulah yang menyebabkan meningkatnya kualitas seorang manusia,
sehingga menjadikan para malaikat menghormatinya.
Yang kedua, ketinggian dzat yang disebut Ruh itu
terlihat dari bagaimana Allah mengatakannya sebagai Ruh Ku. Tidak pernah Allah,
dalam firmanNya, menggunakan kata ganti kepunyaan 'KU' untuk Jiwa. Misalnya,
mengatakan 'JiwaKU'. Tetapi Dia menggunakan kata ganti kepunyaan itu, untuk
menggambarkan Ruh.
Penggunaan kata Ruh Ku ini tentu jangan
ditafsirkan sebagai Ruh Allah yang masuk ke dalam diri manusia. Melainkan Ruh
milik (ciptaan) Allah. Meskipun, di ayat lain, Allah juga mengatakan sebagian
dari RuhKu, yang menggiring kita pada pemahaman bahwa Allah ‘mengimbaskan’
sebagian dari sifat-sifatNya kepada manusia lewat Ruh itu.
Dengan Ruh itulah manusia menjadi memiliki
kehendak. Dengan Ruh itu pula manusia bisa berilmu pengetahuan. Dengan Ruh itu
pula ia menjadi bijaksana, memiliki perasaan cinta dan kasih sayang, serta
berbagai bagai sifat ketuhanan, dalam skala manusia. Ya, Ruh adalah dzat yang
menjadi media penyampai Sifat-sifat Ketuhanan di dalam kehidupan manusia.
QS Tahrim (66) : 12
dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke
dalam rahimnya sebagian dari Ruh Kami; dan dia membenarkan
kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab Nya; dan adalah dia termasuk
orang-orang yang ta'at.
QS. As Sajdah (32) : 9
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya Ruh Nya
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur.
Dalam kaitannya dengan fisik, Allah menjelaskan
bahwa Ruh tersebutlah yang menjadikan fungsi-fungsi kehidupan seperti
penglihatan, pendengaran dan hati seorang manusia bisa dipahami oleh jiwa. Jika
tidak karena Ruh, maka fungsi penglihatan, pendengaran dan 'hati' tidak
menghasilkan kefahaman sebagaimana seorang manusia. Melainkan, bagaikan seekor
binatang saja. Hal ini dikemukakan oleh Allah dalam firmanNya.
QS. Al A'raaf (7) : 179
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.
Jadi kita bisa merasakan betapa istimewanya Ruh.
Ruh lah yang menjadikan kita sebagai manusia seutuhnya, yang 'menularkan'
Sifat-sifat Allah yang Serba Sempurna dalam skala kehidupan manusia. Karena
demikian tingginya kualitas Ruh itu, maka di ayat lain, Allah menegaskan bahwa
Ruh adalah urusan Allah.
QS. Al Israa'
(17) : 85
"Dan mereka
bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit
Perbedaan yang kedua, antara Jiwa dan Ruh adalah
pada fungsinya. Jiwa digambarkan sebagai ‘sosok’ yang bertanggung jawab atas
segala perbuatan kemanusiaannya. Bukan Ruh yang bertanggung jawab atas segala
perbuatan manusia, melainkan Jiwa.
Ruh adalah dzat yang selalu baik dan berkualitas
tinggi. Sebaliknya Hawa Nafsu adalah dzat yang berkualitas rendah dan selalu
mengajak kepada keburukan. Sedangkan Jiwa adalah dzat yang bisa memilih
kebaikan atau keburukan tersebut. Maka, Jiwa harus bertanggung jawab terhadap
pilihannya itu.
Setiap Jiwa akan menerima konsekuensi atau balasan
dari perbuatan jeleknya atau perbuatan baiknya. la terkena dosa dan pahala.
Sedangkan Ruh, selalu ‘mengajak’ kepada kebaikan. Ini juga ada kaitannya dengan
istilah Ruh yang digunakan untuk menyebut malaikat. Malaikat adalah agent kebaikan.
Lawan dari Iblis dan setan sebagai agent kejahatan.
QS. Al Mursalat (77) : 1
Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan,
QS. Fathiir (35) : 5
Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali
janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan
yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.
Dan yang ketiga, Perbedaan itu ada pada sifatnya.
Jiwa bisa merasakan kesedihan, kekecewaan, kegembiraan, kebahagiaan,
ketentraman, ketemngan, dan kedamaian. Sedangkan Ruh bersifat stabil dalam
'kebaikan' tanpa mengenal perbandingan. Ruh adalah kutub positif dari sifat
kemanusiaan. Sebagai lawan dari sifat setan yang negatif.
Dalam kalimat yang berbeda, Ruh juga digambarkan
bagaikan malaikat yang mengajak pada cahaya yang terang benderang, melepaskan
diri dari dunia kegelapan hawa nafsu. Seiring dengan substansi malaikat yang
terbuat dari cahaya.
Sedangkan
Jiwa adalah sosok yang 'bergerak' dan kualitasnya berubah terus di antara 'kutub
cahaya' sang Ruh dengan 'kutub kegelapan' badan manusia yang terbuat dari
tanah. Antara 'kutub malaikat' dan 'kutub setan'.
Jadi kalau digambarkan secara ringkas, Allah
menciptakan badan manusia dari material tanah dan kemudian 'meniupkan' sebagian
Ruh Nya kepada badan itu. Maka, hiduplah' bahan organik tanah' menjadi badan
manusia, disebabkan oleh adanya Ruh. Dan akibat dari bersatunya Badan dan Ruh,
sejak saat itu pula mulai aktiflah Jiwa manusianya.
Jadi, Jiwa adalah akibat. Bukan penyebab. Penyebab
utama adalah masuknya Ruh ke dalam badan, kemudian muncullah Jiwa sebagai
interaksi antara Ruh dengan Badan.
Di dalam badan yang sudah ada Ruhnya itulah Jiwa
berkembang mencapai bentuknya yang tertinggi. Ada 2 kutub yang saling
tarik-menarik di dalam diri kita, yaitu : Ruh dan Badan.
Ruh mewakili sifat-sifat malaikat yang penuh
dengan ketaatan, keikhlasan, akal sehat, kesucian, cinta kasih dan
kesempurnaan. Sedangkan badan mewakili sifat-sifat iblis dan setan yang
menggambarkan kehidupan materialistik, pemenuhan kebutuhan badaniah,
keserakahan, kesombongan, pertentangan, kemarahan, dan segala tipu daya
kehidupan.
Dalam kalimat berbeda, Ruh menggambarkan Akhirat
sebagai kehidupan yang sesungguhnya, sedangkan Badan menggambarkan Dunia
sebagai kehidupan sementara yang penuh kepura-puraan dan semu. Ruh adalah
adalah Akal Sehat, sedangkan Badan adalah Hawa Nafsu!
Tiada ulasan:
Catat Ulasan