Abu Nu’aim al-Asfahani dalam Hilyatul Auliya’ pernah menyebutkan bahwa tamai sekali penduduk masyriq (timur) yang hidup sebagai sufi.
Orang-orang masyriq itu lalu disebutnya dengan
julukan “Syumuusu ahli al-Masyriq“, Mentari-Mentari Penduduk Timur.
Salah satu dari sekian banyak “Syumuusu ahli
al-Masyriq” ini adalah Syekh Al-Mu’anisi.
Al-Mu’anisi juga dikenal dengan Abu Abdillah
al-Qalanisi.
Dalam kitab Hilyatul Auliya, Syekh Abu Nua’im tidak
menjelaskan secara detil biografi al-Mu’anisi, namun jika merujuk pada istilah
“Syumuusu ahli al-Masyriq” maka sudah pasti al-Mu’anisi ini merupakan penduduk
wilayah Arab Masyriq, yang meliputi; Arab Saudi, Irak, Kuwait, Libanon, Mesir,
Oman, Palestina, Somalia, Sudan, Syria, UEA, Yaman, dan Yordania.
Namun kali ini akan menceritakan ulang kisah
al-Mu’anisi yang bernazar tidak akan makan daging gajah. Kisah ini termaktub
dalam Hilyatul Auliya jilid 10.
Begini kisahnya:
Al kisah, al-Mu’anisi ini masyhur dengan sifat jujur
dan selalu menepati janji. Suatu ketika al-Mu’anisi pernah menempuh perjalanan
yang mengharuskan ia menyeberangi lautan dengan menggunakan kapal.
Tentunya al-Mu’anisi tak sendirian, dalam kapal itu
juga ada beberapa orang yang hendak menyeberang.
Tanpa disangka sebelumnya, tiba-tiba badai kencang
menerpa kapal yang al-Mu’anisi tumpangi.
Terkejutlah beberapa penumpang di dalam kapal panik
tak karuan.
Beberapa dari mereka merafalkan doa dan melontarkan
nazar seraya berharap keselamatan kepada Allah.
Al-Mu’anisi yang masyhur dengan ketepatannya dalam
menepati janji lantas didesak untuk bernazar. Janji saja ditepati apalagi
nazar.
“Wahai al-Mu’anisi! Kami semua telah bernazar kepada
Allah seraya meminta keselamatan, maka bernazarlah engkau agar diberikan
keselamatan,” desak beberapa orang kepada al-Mu’anisi.
“Aku tak memiliki apapun untuk nazarku,” ujar
al-Mu’anisi yang memang hidupnya serba kekurangan.
Namun beberapa dari penumpang kapal itu terus saja
mendesak al-Mu’anisi untuk bernazar.
“Ya sudah ya sudah, aku bernazar jika Allah
membebaskan dan menyelamatkanku dari badai ini, maka aku bernazar tak akan
memakan daging gajah,” al-Mu’anisi berikrar.
“Nazar macam apa yang kau ucapkan? Apakah ada orang
yang memakan daging gajah?” tanya beberapa orang keheranan.
“Demikianlah yang ada dalam batinku dan Allah
menuntunku untuk mengucapkannya,” al-Mu’anisi memberi pemahaman.
Badai yang begitu besar memecah belah perahu,
al-Mu’anisi dan beberapa penumpang kocar-kacir. Mereka terdampar.
Namun kesemuanya berhasil selamat dan terdampar di
tepi pantai. Al-Mu’anisi dan beberapa penumpang terdampar berhari-hari tanpa
merasakan makanan sedikit pun.
Ketika mereka semua duduk-duduk dengan rasa lapar
yang sudah tak tertahan, tiba-tiba datang seekor anak gajah. Mereka pun lalu
memburu dan menyembelih anak gajah itu. Mereka pun lantas menyantapnya dan lalu
menawarkannya kepada al-Mu’anisi.
Al-Mu’anisi lalu berkata, “Aku telah bernazar dan
berjanji kepada Allah untuk tidak memakan daging gajah.”
“Sudahlah Al-Mu’anisi, kita semua dalam keadaan
terdesak, dan kau boleh membatalkan nazarmu itu karena keterdesakan ini,” ujar
beberapa orang memberikan penjelasan.
Namun al-Mu’anisi yakin kalau selamatnya ia dari
terpaan badai lantaran nazar yang ia lakukan, dan ia pun harus memegang teguh
nazar itu di hadapan Allah.
Al-Mu’anisi pun mengabaikan ajakan orang-orang, dan
tetap menjalankan nazarnya. Sementara orang-orang tetap saja melahap daging
gajah itu hingga mereka kenyang dan akhirnya tertidur.
Ketika semua orang tertidur pulas, sementara
al-Mu’anisi masih terjaga dan merasakan lapar yang begitu sangat, tetiba datang
induk gajah yang mencari anaknya melalui jejak kaki si anak.
Si induk gajah mengendus-endus setiap jejak anaknya,
sepertinya si induk gajah mengenal betul bau tubuh dari anaknya. Induk gajah
akhirnya menemukan belulang anaknya.
Tak berhenti sampai di situ, indra penciuman sang induk
gajah lalu mengantarkannya pada gerombolan orang-orang yang tertidur pulas.
Induk gajah itu lalu mengendus satu persatu orang-orang itu. Setiap kali ia
mencium aroma anaknya pada setiap orang itu, induk gajah itupun lantas
menginjaknya lalu membunuhnya.
Hingga akhirnya terbunuhlah semua orang yang memakan
anak gajah tadi, kecuali al-Mu’anisi yang memang tak memakan anak gajah itu dan
sang induk tak mencium aroma anaknya pada tubuh al-Mu’anisi.
Kini tersisa al-Mu’anisi dan induk gajah.
Si induk gajah lalu mendekat kepada Al-Mu’anisi, lalu
memutar-mutar ekornya dan berisyarat dengan belalainya, seakan-akan ia menyuruh
Al-Mu’anisi untuk menaiki punggungnya.
Namun al-Mu’anisi diam saja. Si induk gajah lagi-lagi
melakukan isyarat itu, kini al-Mu’anisi mengerti bahwa si induk gajah
menginginkan ia agar menaiki punggungnya. Naiklah al-Mu’anisi di atas punggung
induk gajah itu.
Malam pun tiba, induk gajah lalu membawa al-Mu’anisi
ke suatu tempat di mana terdapat banyak tumbuh-tumbuhan dan kerumunan orang.
Kemudian si induk gajah menekuk kakinya, sebagai isyarat untuk turun.
Al-Mu’anisi pun turun di tempat itu. induk gajah itu lalu pergi dengan langkah
yang begitu cepat.
Saat memasuki pagi, al-Mu’anisi melihat sekitarnya
banyak sekali tetumbuhan. Orang-orang yang merasa asing dengan al-Mu’anisi lalu
membawa al-Mu’anisi untuk dihadapkan kepada raja. Dengan bantuan penerjemah
raja, al-Mu’anisi menceritakan ihwal kejadian yang menimpanya.
Orang-orang terheran dengan cerita al-Mu’anisi,
karena jarak pantai menuju dengan tempat mereka harusnya ditempuh dalam waktu
delapan hari, namun si induk gajah membawa al-Mu’anisi dalam waktu hanya
semalam saja.
Akhirnya, untuk sementara waktu al-Mu’anisi tinggal
bersama orang-orang itu, dan selang beberapa hari kemudian al-Mu’anisi diantar
pulang kembali ke tempat asalnya.
Wallahu A’lam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan