Imam Ahmad Syihabuddin Bin Salamah Al-Qulyuby
Suatu
hari, bertepatan dengan Asyura ada seorang fakir yang memiliki tanggungan anak
pergi ke rumah tuan Qadi (hakim).
Sebetulnya
dia enggan meminta karena dia juga seorang Alawiyyin, akan tetapi melihat
anaknya yang sudah berhari-hari tidak makan ia pun pergi menuju kota.
Untuk
menuju ke kota, ia harus berjalan cukup jauh melewati padang pasir. Akhirnya,
tibalah ia di rumah tuan Qadi.
Ia pun
menceritakan keadaannya. “Inii rajulun fakirun dzu ‘iyalin (saya ini lelaki
fakir yang punya banyak tanggungan keluarga). Hari ini bertepatan 10 Muharam,
saya mau minta kepada anda tidak banyak: 10 potong roti, 10 potong daging, dan wang
2 dirham,” kata si fakir. “Iya, nanti siang anda ke sini lagi,” jawab Qadi.
Lalu
pulanglah ia ke desa, sementara itu anaknya melihat kedatangan sang ayah merasa
gembira. Berharap membawa sesuatu untuk dimakan.
Akan
tetapi kali ini ia pulang dengan tangan hampa. “Sabar ya nak, nanti siang ayah
kembali lagi ke sana,” jawab sang ayah.
Siangnya,
si fakir kembali menemui Qadi dan mendapat jawaban sama. “Maaf, nanti sore
kembali lagi ya” jawab Qadhi.
Jawaban tersebut
terulang lagi, ketika pada sore harinya si fakir menemui Qadii. Bahkan, ia
justru mendapat makian dari Qadi karena meminta-minta.
Merasa
sedih dan tidak berdaya lagi, ia pun berdoa kepada Allah. “Ya Allah! Mata mana
yang tega melihat kondisi anak saya? Telinga mana yang mampu mendengar ratap
tangisan anak saya? Mulut mana yang mampu menjawab pertanyaan anak saya!” pinta
fakir.
Maka ia
pun pulang dengan langkah longlai. Namun, di tengah jalan ia bertemu dengan
seorang Nasrani bernama Saiduk. “Ada apa, kenapa menangis?” tanya Saiduk.
“Jangan
tanya kondisi saya,” jawab fakir. “Saya tanya, billahi, mengapa kamu menangis?”
tanya Saiduk kembali.
Akhirnya,
ia menceritakan kisahnya kepada Saiduk dan membuatnya iba, kemudian ia
bertanya. “Saat ini kalau dalam Islam, hari apa?” tanya Saiduk.
“10
Muharram. Ini hari yang penuh berkah,” jawab fakir.
“Kalau
begitu saya ingin memberi kepada anda, lebih dari yang anda minta,” jawab
Saiduk.
Tidak
hanya itu, bahkan Saiduk berjanji untuk selalu memberi bantuan kepada si fakir.
Hal ini membuat fakir bahagia. Ia pun pulang dengan disambut gembira
anak-anaknya, sebab kali ini ia pulang dengan membawa sejumlah makanan dan wang.
“Ya Allah,
orang yang membuat kami senang, maka buatlah dia gembira, secepatnya,” ungkap
anak-anaknya.
Sementara
itu, pada malam harinya tuan Qadi bermimpi. Ia mendengar suara tanpa rupa
(hatif). “Angkat kepalamu!” Dilihatnya dua rumah istana yang terbuat dari emas
dan perak.
“Ini untuk
siapa?” tanya Qadi. “Sesungguhnya untuk kamu, seandainya kamu melayani
kebutuhannya orang fakir tadi, tapi karena kamu tidak melayani, maka ini
diberikan kepada Saiduk,” jawab hatif.
Esok hari,
tua Qadi bergegas menuju ke rumah Saiduk untuk menanyakan perihal mimpi
semalam.
“Wahai
Saiduk, amal kebajikan apa yang telah kamu lakukan semalam?” tanya Qadi.
Saiduk pun
menceritakan kembali, tentang seorang fakir yang bertemu dengannya semalam..
“Baiklah Saiduk, apa yang kau berikan kepada orang fakir tersebut, saya ganti
100.000 dirham,” kata Qadi.
Namun, di
luar dugaan tawaran tersebut ditolak Saiduk.
“Tuan Qadi,
jangankan sejumlah yang anda tawarkan. Seandainya diberi dunia ini penuh dengan
emas, tidak akan saya berikan. Sekarang saksikan dan pegang tangan saya,
Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah,” tukas
Saiduk yang akhirnya ditakdirkan Allah menjadi orang yang beruntung, sesuai
dengan namanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan