KITAB ASAL : At-Ta‘arrufu Li Madzhabi Ahl-it-Tasawwuf)
Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi
Haqīqat dari dzikir ialah hendaklah kamu melupakan apa-apa selain yang diingat (Allah) di dalam kamu berdzikir (mengingat), sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah:
“….Dan
ingatlah akan Tuhan-mu di kala kamu lupa….” (al-Kahfi 18: 24).
Yakni,
apabila kamu melupakan sesuatu selain Allah maka sungguh kamu telah mengingat
Allah.
Nabi
s.a.w. bersabda: “Orang-orang yang menyendiri (pertapa) adalah yang paling
dahulu (memasuki surga).” Kemudian seorang sahabat bertanya kepada Nabi: “Wahai
Rasūlullāh, siapakah pertapa itu?” Rasūlullāh menjawāb: “Pertapa ialah
orang-orang yang selalu mengingat Allah (dzikir).” (Hadīts riwāyat at-Tirmidzī
dan al-Hākim dari Abū Hurairah).
Seorang
pemimpin Shūfī berkata: “Dzikir itu menghilangkan lupa akan Allah, dan engkau
adalah orang yang ingat akan Allah walaupun engkau dalam keadaan berdiam diri.”
Al-Junaid
bersya‘ir:
“Aku
selalu mengingat-Mu, tidaklah sekali-kali aku melupakan-Mu walaupun hanya sekejap
mata,
Aku
memudahkan dalam mengingat-Mu (dzikir) dengan mengingat (dzikir) yang diucapkan
(lisan).”
Saya
telah mendengar Abul-Qāsim al-Baghdādī berkata:
“Aku telah bertanya kepada salah seorang
pemimpin Shūfī: “Bagaimana pendapatmu terhadapa orang-orang yang merasa jemu
mengingat Allah (dzikir) bahkan mereka lari menuju papan perenungan (bersemedi)
yang tidak dapat mendatangkan kepuasan bāthin?”
Maka
ia pun menjawāb dengan kata-katanya: Mereka menganggap ringan terhadap
hasil/pengaruh mengingat Allah (dzikir) dan menganggap bahwa dzikir itu hanya
perbuatan yang sia-sia belaka; padahal sebenarnya dzikir itu merupakan
perbuatan yang paling utama yang berada dibalik tafakkur dan dapat
menghilangkan keresahan dan kejenuhan dari kegiatan sehari-hari.”
Mereka
menganggap ringan perbuatan mengingat Allah (dzikir) karena mereka menyangka
bahwa dzikir itu hanya merupakan kelezatan dari perasaan jiwa saja, sedangkan
orang-orang yang menggunakan pemikirannya telah melarikan diri dari perasaan
kejiwaan dan kelezatannya. Bagaimanapun juga mengingat Allah (dzikir) itu akan
menimbulkan perasaan adanya kebesaran Allah, kekuasaan-Nya, kehebatan-Nya, dan
kebaikan-Nya, kemudian dengan mengingat Allah (dzikir) akan menambah memikirkan
(tafakkur) ciptaaan Allah dan menimbulkan rasa hormat kepada-Nya. Sebagaimana
sabda Rasūlullāh s.a.w. berdasarkan firman dari Allah:
Dari
Abū Hurairah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Barangsiapa
menyibukkan diri untuk mengingat (dzikir) kepada-Ku dengan melalui permintaan
(du‘ā) maka Aku (Allah) akan memberikan kepadanya kelebihan (keutamaan)
sebagaimana yang telah Aku berikan kepada orang-orang yang telah meminta
(membutuhkannya).” (Hadīts riwāyat at-Tirmidzī dan al-Hākim)
Dari
hadits di atas, bahwa seseorang yang menyibukkan diri dengan mengingat Allah
(dzikir) secara lisan itu dapat menyaksikan kebesaran-Ku (Allah), karena dzikir
lisan itu merupakan permohonan (masalah).
Segolongan
Shūfī lain berpendapat bahwa persaksian /penyaksian terhadap Allah (musyāhadah)
itu dapat juga membawa seseorang kepada kebingungan bagi dirinyasendiri dan
memutuskan dirinya dari mengingat Allah (dzikir), sebagaimana dinyatakan dalam
hadīts Nabi s.a.w.:
“Aku
tidak dapat menghitung sanjungan (pujian) kepada-Mu.”
Dan
sya‘ir dari an-Nūrī:
Aku
ingin selalu mengingat diri-Nya, karena cintaku pada-Nya,
Wahai
Dia yang Mempesona yang selalu kuingat dalam hati.
Aku
heran pada-Nya yang kadangkala hilang dari kalbuku,
Karena
hilangnya ingatku, baik di kala dekat maupun jauh.
Al-Junaid
berkata: “Barangsiapa yang menyebutkan Allah tanpa bersaksi dan menyakiti-Nya,
maka kata-katanya itu bohong.” Kebenaran pernyataan ini berdasarkan firman
Allah:
“….Mereka
(orang-orang munāfiq) berkata: Kami bersaksi sesungguhnya engkau benar-benar
Rasūl (utusan) Allah.” (al-Munāfiqūn 63:1).
“…Dan
Allah menyaksikan (mengetahui) bahwa sesungguhnya orang-orang munāfiq itu
benar-benar orang pembohong.” (al-Munāfiqūn 63: 1).
Allah
mendustakan mereka walaupun kata-kata mereka benar, karena mereka bukan
termasuk orang-orang yang benar-benar bersaksi dan yaqīn.
Sebagian
Shūfī lain berkata: “Hati itu untuk bersaksi, dan mulut untuk menyatakan
persaksiannya, sehingga barangsiapa berkata tanpa persaksian maka persaksiannya
itu adalah bohong belaka.”
Pemimpin-pemimpin
Shūfī bersya‘ir:
Engkau
pelindungku, wahai Tuhan, tanpa aku mengingat-Mu,
Hatiku
merasa takut Engkau akan menghilang dari ingatanku.
Karena
ingat kepada-Mu adalah sarana yang menyingkap tabir rahasia-Mu dari
pandanganku,
Apabila
Dia membutakan mata-hatiku, maka Dia akan hilang dari buah pikirku.
Dari
sya‘ir di atas dapat diartikan bahwa mengingat Allah (dzikir) adalah merupakan
sifat dari orang yang ingat (dzikir), oleh karenanya apabila aku tidak ada
(absen) di kala aku mengingat (dzikir) maka berarti aku tidak ada. Dan
sesungguhnya seorang hamba terhalang dari penyaksian terhadap Tuhannya dan
menyifat diri-Nya.
Sarī
as-Saqathī berkata: “Aku telah menemani seorang kulit hitam (negro) di padang
pasir, di kala ia sedang mengingat Allah (dzikir) maka aku pun berkata: “Oh,
sungguh ini sangat aneh; di kala engkau sedang mengingat Allah (dzikir) maka
pakaianmu berganti dan sifatmu pun berubah.” Maka dia pun berkata: “Wahai
saudaraku, seandainya engkau bersungguh-sungguh dalam mengingat Allah (dzikir)
maka pakaianmu pun akan berganti dan sifatmu pun akan berubah”, kemudian ia
bersya‘ir:
Kami
mengingat-Nya (dzikir) dan tidaklah sekali-kali kami
Melupakan-Nya
maka kami pun selalu menyebut-Nya.
Tetapi
angin dingin sepoi-sepoi datang mengalahkan dzikirku,
Sehingga
Dia lari dari ingatanku.
Maka
lenyaplah Dia dari sisiku bersama kekekalan yang ada padanya,
Karena
Dia Yang Maha Haq sebagaimana dikabarkan dan dinyatakan-Nya.”
Dan
kami sya‘irkan juga sya‘ir Ibnu ‘Athā’:
Aku
tahu dzikir itu bermacam-macam, ia dipenuhi rasa cinta,
Rindu-dendam
yang dapat menggugah ingatan.
Dzikir
itu melemahkan nafsu, karena nafsu dicampuri dengannya,
Dzikir
itu mempengaruhi jiwa, yang pada akhirnya menghilangkan duka cita.
Dan
dzikir itu dapat menyebarkan nafsu, karena sesungguhnya dzikir,
Dapat
menggulung nafsu, baik diketahui maupun tidak diketahui.
Dan
dzikir itu mempunyai tanda-tanda, pengaruh, yaitu memisahkan hawa nafsu dan
melenyapkannya,
Ia
dapat meningakatkan inteligensia melalui imaginasi dan perenungan.
Dengan
dzikir dapat mengetahui Dia melalui kerlingan mata dan keyakinan dalam hati.
Dapat
menyaksikan Dia, maka terputuslah/lenyaplah tabir atas diri-Nya.
Dzikir
itu bermacam-macam, yaitu:
Pertama:
dzikir dengan hati (dzikr-ul-qalb), di mana yang diingat (madzkūr) tidak
dilupakan selagi seseorang berdzikir,
Kedua:
dzikir dengan mengingat sifat-sifat yagn diingat (dzikru aushāf-il-madzkūr),
Ketiga:
dzikir dengan menyaksikan yang diingat (syuhūd-ul-madzkūr) dengan dzikir ini
seseorang dapat berlaku dari berdzikir, karena dengan sifat-sifat yang diingat
dapat menyebabkan diri seseorang tidak dapat menyifati yang diingat dengan
sifat-sifat yang ada pada orang itu, begitupun akan berlalu/menolak dzikir
(secara lisan).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan