Dalam Kalam Hikmah ke 7 Imam
Ibnu Atai’illah Askandary menyatakan
"Janganlah kamu meragukan
janji (Allah), karena tidak terjadinya apa yang telah Allah janjikan tersebut
pada waktunya. Karena keraguanmu tersebut bisa menutupi mata-hatimu (bashirah)
serta memadamkan nur cahaya batinmu (sirr-mu)."
Ibnu Aththaillah mengawalinya
dengan
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul
Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari
berdirinya saksi-saksi (hari kiamat)” QS. Ghofir :
51,
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang
yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)” QS. Al-Qashas :
5,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” An-Nahl : 97
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama)
Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” Muhammad : 7.
Muara dari semua ayat ini satu: Janji-janji Allah.
Memang banyak sekali ayat Qur'an yang berisi
janji-janji Allah untuk memberi kesejahteraan dan kelapangan bagi hamba yang
saleh. Namun terkadang janji itu tak kunjung datang meski orang yang dijanjikan
merasa telah berhak mendapatkan. Kendati pun demikian jangan mmbuat seseorang
larut dalam keraguan atas janji-janji itu. Karena hal ini dapat meredupkan
cahaya hati.
Kadang kita dihadapkan pada sebuah paradoks; orang
saleh hidup sengsara, yang tak saleh justru sejahtera. Ada
apa? Mengapa dalam hal ini kita dilarang ragu akan janji Tuhan,
sedangkan yang terjadi di depan mata selalu sebuah kesenjangan? Iya.
Kita tidak boleh ragu sedikitpun. Al-Buthi akan menjelaskan pada kita rahasia
yang terkandung dalam janji yang tak segera tunai.
Mengapa terjadi keraguan atas janji Allah? Karena
manusia terlalu tinggi meletakkan haknya di atas kewajiban-kewajibannya.
Seseorang yang jauh dari dekapan hadrotillah serta sibuk dengan urusan dunia,
cenderung menganggap remeh hak-hak Ilahiyah yang wajib baginya. Serta
menganggap kesenangan dan harapan-harapannya sebagai anugerah yang dijanjikan
Tuhan kepadanya.
Sebaliknya seseorang yang mengenal Allah,
sifat-sifatNya serta menjauhi kesibukan dunia, ia melihat hak-hak ilahiyah di
atas kapentingan pribadi. Sehingga pada saatnya ia melaksanakan kewajiban
seperti shalat, zakat, puasa dan haji sama sekali ia tidak merasa berhak atas
janji apapun. Karena dalam amalnya ia selalu merasa jauh dari sempurna, banyak
cacat dan mungkin saja syarat-rukunnya tidak terpenuhi. Maka terbentuklah
logika 'Allah sudi menerima (qabul) amal saya saja sudah untung, meski tidak
saya dijanjikan apa-apa.'
Maha Suci Allah yang menjadikan Baginda Rasulullah
sebagai suri tauladan yang baik di setiap amal perbuatannya. Rasulullah adalah
manusia dengan kadar Ma'rifat, cinta dan ta'dzim yang paripurna kepada Allah
SWT. Merasa tidak sempurna dalam beramal ini membuat Baginda Nabi larut dalam
istighfar, seolah2 beliau hamba paling pendosa. Maka Nabi berkata, "Aku
beristighfar dalam sehari 100 kali". Riwayat lain, "Setiap hari aku
istighfar lebih 70 kali."
Inilah yang kemudian diadopsi dalam adagium sufi yang
masyhur " Kebaikan yang dilakukan oleh orang yang
masih tingkat abrar, adalah kesalahan bagi orang yang mencapai tingkat
muqarrabin.
Maka disimpulkan bahwa Allah tidak akan ingkari
janji-janji, selama hamba melakukan amal dengan baik dan ikhlas.Sedangkan yang
mampu mencapai fase ikhlas dalam amal ini adalah mereka yang ma'rifat kepada
Allah dan hatinya dipenuhi cinta dan takdzim. Tidak bagi mereka yang baru
membangun pondasi keislaman yang rapuh, sudah meletakkan hak pribadi lebih
tinggi dari kewajibannya selaku hamba.
Kisah unik berkenaan dengan hikmah ini.
Perihal orang awam yang meminta diperlihatkan karamah
orang-orang Saleh. Orang awam berkata pada orang saleh, "Perlihatkan pada
kami sedikit dari karamah yang kau miliki untuk menambah iman dan keyakinanku
pada Allah!. " Orang Saleh tersebut mnjawab, "Apa kamu tidak melihat
keajaiban luar biasa terjadi setiap hari dalam kehidupanku?“. Si awam
menjawab," Tidak". "Aku berjalan di muka bumi dengan
selamat tidak tergelincir, tidak terjerembab ke dalamnya ini adalah sebuah
karamah besar bagiku. Padahal aku berhak terjatuh, terluka dan mendapat
kehancuran tersebab amal yang tak kunjung sempurna serta senantiasa lalai
perintahNya. Justru Allah menjagaku, melindungiku tidak membiarkan aku binasa,
padahal umat terdahulu hancur sebab kesalahan kecil yang diperbuatnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan