Allah
Taala berfirman dalam Al-Quran tentang kisah Maryam ibu Nabi Isa yang telah
melahirkan bayi tanpa adanya suami:
Kemudian baliklah dia (Maryam) kepada kaumnya dengan mendukung anaknya (Isa), mereka (kaumnya) pun menempelaknya dengan berkata: “Wahai Maryam! Sesungguhnya engkau telah melakukan suatu perkara yang besar salahnya! Wahai saudara perempuan Harun, bapamu bukanlah seorang yang buruk akhlaknya, dan ibumu pula bukanlah seorang perempuan jahat!”
Maka Maryam segera menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata (dengan hairannya): “Bagaimana kami boleh berkata-kata dengan seorang yang masih kanak-kanak dalam buaian?”
Dia (Isa) menjawab: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia telah memberikan kepadaku Kitab (Injil), dan Dia telah menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan daku seorang yang berkat di mana sahaja aku berada, dan diperintahkan aku mengerjakan solat dan memberi zakat selagi aku hidup. Serta (diperintahkan aku) taat dan berbuat baik kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong takbur atau derhaka.” (Surah Maryam pada ayat 27 hingga 32)
Selanjutnya dengan air dan buah-buahan pemberian dari Tuhan itu, Maryam memperoleh kembali kesehatan dan kekuatan jasmani dan rohaninya. Ia bahkan merasakan badannya sama seperti ketika masih perawan. Dengan kondisi badan yang kembali fit, ia juga merasakan batinnya siap. Sehingga ia memutuskan kembali pulang ke desanya. Itu berarti ia juga siap menerima cibiran masyarakat karena selama itu ia memang telah dikucilkan.
Benar juga, ketika Maryam sudah sampai kembali kerumahnya orang-orang berduyun-duyung mendatanginya, seolah-olah mendapat tontonan gratis. Tontonan itu berupa Maryam dan bayinya, Almasih, nama yang diberikan Tuhan. Diantara mereka ada yang kasihan, ada yang marah, dan ada yang heran.
‘Wahai Maryam, kamu ini sungguh telah melakukan perbuatan yang keji, punya anak tanpa suami, padahal keluargamu terhormat dan saleh. Darimana kamu mendapat sifat buruk ini? Kata mereka dengan nada berang (QS 16: 27-28). Mereka lupa bahwa Adam dihadirkan ke dunia justru sudah jadi orang, karena kelahirannya adalah di surga, dan tanpa proses adanya figur bapak-ibu, melainkan dari segumpal tanah yang ditiup dengan roh.
Tentu saja Maryam tidak bisa menjawab dengan itu, karena IQ mereka rendah sehingga tidak gampang bisa menerima penjelasannya. Makanya ia lebih banyak diam sambil menunjuk kepada bayinya. Maksudnya agar mereka menanyakan langsung kepada Isa tentang hal-hal yang ingin di ketahui sehubungan dengan kelahirannya kedunia. Tak urung hal itu dianggap sebagai ejekan. “itu sungguh-sungguh gila,” kata mereka. “Bagaimana mungkin bayi bisa bicara?” (QS 16: 29).
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Begitu mendengar hujatan yang bertubi-tubi di arahkan kepada ibunya, bayi Isa yang ada dalam gendongan ibunya itu bergerak pelan menampakkan dirinya kepada orang-orang itu. Mereka terkejut karena bayi itu sangat elok dan memancarkan cahaya yang memikat.
“Aku memang hamba Allah,” kata bayi Isa.
“Ia memberiku Alkitab, dan menjadikan diriku sebagai seorang Nabi.” (QS 16: 30).
“Ia menjadikan diriku diberkati dimanapun aku berada. Ia memerintahkan aku salat dan berzakat selama aku hidup.” (QS 16: 31)
“Ia jadikan aku berbakti kepada bundaku dan tiada ia jadikan aku sombong atau durhaka.” (QS 16: 32).
“Selamatlah aku pada saat aku dilahirkan, pada hari aku akan mati, dan pada hari aku dibangkitkan menjadi hidup (kembali).” (QS 16: 33).
Bukan main terkejutnya para kaum kerabat dan semua yang menyaksikan bayi itu. Bayi itu telah menjelaskan sendiri jati dirinya dengan gamblang. Ia bukan bayi sembarangan. Dengan demikian ibunya pasti wanita pilihan tuhan.
Kabar tentang bayi Maryam yang dapat bicara segera menyebar kemana-mana dengan cepatnya.
Prasangka buruk kepada Maryam kemdian berubah menjadi hormat. Ada yang langsung percaya bahwa bayi Nabi itulah yang mereka tunggu, meski ada yang tetap menolak kenabian Isa karena menganggap anak haram, dan sebagainya
Kemudian baliklah dia (Maryam) kepada kaumnya dengan mendukung anaknya (Isa), mereka (kaumnya) pun menempelaknya dengan berkata: “Wahai Maryam! Sesungguhnya engkau telah melakukan suatu perkara yang besar salahnya! Wahai saudara perempuan Harun, bapamu bukanlah seorang yang buruk akhlaknya, dan ibumu pula bukanlah seorang perempuan jahat!”
Maka Maryam segera menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata (dengan hairannya): “Bagaimana kami boleh berkata-kata dengan seorang yang masih kanak-kanak dalam buaian?”
Dia (Isa) menjawab: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia telah memberikan kepadaku Kitab (Injil), dan Dia telah menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan daku seorang yang berkat di mana sahaja aku berada, dan diperintahkan aku mengerjakan solat dan memberi zakat selagi aku hidup. Serta (diperintahkan aku) taat dan berbuat baik kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong takbur atau derhaka.” (Surah Maryam pada ayat 27 hingga 32)
Selanjutnya dengan air dan buah-buahan pemberian dari Tuhan itu, Maryam memperoleh kembali kesehatan dan kekuatan jasmani dan rohaninya. Ia bahkan merasakan badannya sama seperti ketika masih perawan. Dengan kondisi badan yang kembali fit, ia juga merasakan batinnya siap. Sehingga ia memutuskan kembali pulang ke desanya. Itu berarti ia juga siap menerima cibiran masyarakat karena selama itu ia memang telah dikucilkan.
Benar juga, ketika Maryam sudah sampai kembali kerumahnya orang-orang berduyun-duyung mendatanginya, seolah-olah mendapat tontonan gratis. Tontonan itu berupa Maryam dan bayinya, Almasih, nama yang diberikan Tuhan. Diantara mereka ada yang kasihan, ada yang marah, dan ada yang heran.
‘Wahai Maryam, kamu ini sungguh telah melakukan perbuatan yang keji, punya anak tanpa suami, padahal keluargamu terhormat dan saleh. Darimana kamu mendapat sifat buruk ini? Kata mereka dengan nada berang (QS 16: 27-28). Mereka lupa bahwa Adam dihadirkan ke dunia justru sudah jadi orang, karena kelahirannya adalah di surga, dan tanpa proses adanya figur bapak-ibu, melainkan dari segumpal tanah yang ditiup dengan roh.
Tentu saja Maryam tidak bisa menjawab dengan itu, karena IQ mereka rendah sehingga tidak gampang bisa menerima penjelasannya. Makanya ia lebih banyak diam sambil menunjuk kepada bayinya. Maksudnya agar mereka menanyakan langsung kepada Isa tentang hal-hal yang ingin di ketahui sehubungan dengan kelahirannya kedunia. Tak urung hal itu dianggap sebagai ejekan. “itu sungguh-sungguh gila,” kata mereka. “Bagaimana mungkin bayi bisa bicara?” (QS 16: 29).
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Begitu mendengar hujatan yang bertubi-tubi di arahkan kepada ibunya, bayi Isa yang ada dalam gendongan ibunya itu bergerak pelan menampakkan dirinya kepada orang-orang itu. Mereka terkejut karena bayi itu sangat elok dan memancarkan cahaya yang memikat.
“Aku memang hamba Allah,” kata bayi Isa.
“Ia memberiku Alkitab, dan menjadikan diriku sebagai seorang Nabi.” (QS 16: 30).
“Ia menjadikan diriku diberkati dimanapun aku berada. Ia memerintahkan aku salat dan berzakat selama aku hidup.” (QS 16: 31)
“Ia jadikan aku berbakti kepada bundaku dan tiada ia jadikan aku sombong atau durhaka.” (QS 16: 32).
“Selamatlah aku pada saat aku dilahirkan, pada hari aku akan mati, dan pada hari aku dibangkitkan menjadi hidup (kembali).” (QS 16: 33).
Bukan main terkejutnya para kaum kerabat dan semua yang menyaksikan bayi itu. Bayi itu telah menjelaskan sendiri jati dirinya dengan gamblang. Ia bukan bayi sembarangan. Dengan demikian ibunya pasti wanita pilihan tuhan.
Kabar tentang bayi Maryam yang dapat bicara segera menyebar kemana-mana dengan cepatnya.
Prasangka buruk kepada Maryam kemdian berubah menjadi hormat. Ada yang langsung percaya bahwa bayi Nabi itulah yang mereka tunggu, meski ada yang tetap menolak kenabian Isa karena menganggap anak haram, dan sebagainya
Tiada ulasan:
Catat Ulasan