Kehidupan
spiritual Yusuf bin al-Husain ar-Razi dimulai sebagai berikut:
Ia melakukan
perjalanan bersama sahabat-sahabatnya di negara Arab. Ketika sampai ke suatu
daerah kekuasaan suatu suku, seorang puteri kepala suku itu melihatnya, lantas
tergila-gila kepada Yusuf yang memang berwajah tampan. Setelah menanti
saat-saat yang tepat, akhirnya di gadis dapat menghadang Yusuf. Dengan tubuh
gemetar Yusuf meninggalkan si gadis dan berangkat menuju perkampungan yang
lebih jauh letaknya.
Suatu malam,
ketika Yusuf tertidur dengan menyandarkan kepala ke lututnya, ia bermimpi
sedang berada di suatu tempat yang belum dikenalnya. Seseorang sedang duduk di
atas sebuah tahta dengan segala kebesaran sebagaimana layaknya seorang raja, di
sekelilingnya berdiri pengawal-pengawal berjubah hijau. Karena rasa ingin tahu
siapa mereka, Yusuf menghampiri mereka. Semua memberi jalan kepada Yusuf dan
bersikap hormat kepadanya.
"Siapakah
kalian?" tanya Yusuf.
"Kami
adalah malaikat-malaikat, dan yang duduk di atas tahta itu adalah Yusuf as. Ia
datang berkunjung kepada Yusuf bin al-Husain".
Marilah kita
dengarkan lanjutan kisah ini menurut penuturan Yusuf bin al-Husain sendiri.
Aku tak
dapat menahan air mataku dan berseru: "Siapakah aku ini sehingga Nabi
Allah sendiri telah datang untuk mengunjungiku?"
Yusuf as,
turun dari tahtanya dan merangkulku. Kemudian ia mendudukkan aku ke atas tahta
itu. Aku bertanya kepadanya,
"Wahai
Nabi Allah, siapakah aku sehingga engkau sedemikian baiknya terhadapku?"
Yusuf as,
menjawab: "Ketika gadis jelita itu menghadangmu tetapi engkau menyerahkan
diri kepada Allah dan minta perlindungan-Nya, Allah menunjukkan dirimu kepadaku
dan para malaikat ini. Dan Allah berkata padaku "Lihatlah wahai Yusuf!
Engkau adalah Yusuf yang berahi terhadap Zulaiha dan menolaknya. Tetapi dia ini
adalah Yusuf yang tak berahi terhadap puteri seorang raja
Arab dan
melarikan dirinya. Allah sendiri mengutusku beserta malaikat-malaikat ini -
untuk mengunjungimu. Ia sampaikan kabar gembira padamu bahwa engkau adalah
salah seorang di antara manusia-manusia kesayangan-Nya".
Kemudian
Yusuf as menambahkan: "Di dalam setiap zaman ada seorang penunjuk jalan.
Penunjuk jalan pada zaman ini adalah Dzun Nun al-Mishri, Dia telah mengetahui
yang terbesar di antara nama-nama Allah. Pergilah kepadanya.
Ketika Yusuf bin al-Husain terjaga (pengisah meneruskan kisah-nya). hatinya sangat terharu. Hasratnya menggelora. Ia sangat ingin mengetahui yang terbesar di antara nama-nama Allah. Berangkatlah ia ke negeri Mesir. Sesampainya di masjid Dzun Nun iapun mengucapkan salam dan duduk. Dzun Nun membalas salamnya. Setahun lamanya Yusuf duduk di sudut masjid itu. Ia tak berani bertanya kepada Dzun Nun. Setelah setahun barulah Dzun Nun bertanya kepadanya.
Ketika Yusuf bin al-Husain terjaga (pengisah meneruskan kisah-nya). hatinya sangat terharu. Hasratnya menggelora. Ia sangat ingin mengetahui yang terbesar di antara nama-nama Allah. Berangkatlah ia ke negeri Mesir. Sesampainya di masjid Dzun Nun iapun mengucapkan salam dan duduk. Dzun Nun membalas salamnya. Setahun lamanya Yusuf duduk di sudut masjid itu. Ia tak berani bertanya kepada Dzun Nun. Setelah setahun barulah Dzun Nun bertanya kepadanya.
"Anak
muda, dari manakah engkau?"
"Dari
Rayy", jawab Yusuf.
Setahun pula
Dzun Nun tidak menegur-negurnya dan Yusuf tetap duduk di pojoknya. Pada akhir
tahun yang kedua itu Dzun Nun bertanya kepadanya.
"Anak
muda, apakah tujuanmu kemari?" "Untuk menemuimu" jawab Yusuf.
Setelah itu
setahun pula lamanya Dzun Nun tidak berkata-kata kepadanya.
"Anak
muda apakah yang engkau kehendaki?"
"Aku
datang supaya engkau mengatakan kepadaku Nama Yang Terbesar", jawab Yusuf.
Setahun pula
Dzun Nun membisu. Kemudian diberikannya kepada Yusuf sebuah tabung kayu yang
tertutup dan berkata:
"Pergilah
ke seberang sungai Nil. Di suatu tempat ada seorang tua. Berikanlah tabung ini
kepadanya dan ingatlah apa-apa yang dikatakannya kepadamu".
Yusuf
menerima tabung kayu itu dan pergilah ia menyeberangi sungai Nil. Di tengah
perjalanan hatinya tergoda.
"Apakah
yang bergerak-gerak di dalam tabung ini?", ia bertanya di dalam hati.
Tabung itu dibukanya dan seekor tikus meloncat keluar, kemudian melarikan diri,
Yusuf merasa bingung.
"Kemanakah
aku harus pergi sekarang? Haruskah aku ke orang tua itu atau kembali kepada
Dzun Nun?"
Akhirnya ia
memutuskan untuk menjumpai si orang tua itu. Menyaksikan kedatangan Yusuf yang
menenteng tabung kayu yang telah kosong itu, si orang tua tersenyum dan
menegurnya:
"Engkau
menanyakan nama Allah yang terbesar kepada Dzun Nun?"
"Ya",
jawab Yusuf.
"Dzun
Nun mengetahui sikapmu yang tidak sabar dan oleh karena itu dititipkannya
seekor tikus kepadamu. Maha Besar Allah, seekor tikus saja tidak dapat engkau
jaga, apalagi Nama Yang Terbesar itu'
Yusuf malu
sekali, iapun kembali ke masjid Dzun Nun. Dzun Nun menyambutnya:
"Kemarin,
tujuh kali aku memohon izin Allah untuk menyampaikan nama-Nya yang terbesar
itu, tetapi Allah tidak memperkenankannya. Hal ini berarti, belum tiba saatnya.
Kemudian Allah menunjukiku: 'Cobalah ia dengan seekor tikus' Dan setelah engkau
kucoba ternyata beginilah jadinya. Kembalilah ke negeri asalmu dan tunggulah
hingga saat yang tepat".
"Sebelum
aku meninggalkan tempat ini, berilah aku sebuah petuah" Yusuf bermohon
kepada Dzun Nun.
"Akan
kuberi padamu tiga petuah", jawab Dzun Nun. 'Yang satu besar, yang satu
sedang, dan yang terakhir kecil. Petuah yang besar adalah. Lupakanlah segala
sesuatu yang telah engkau baca dan hapuskanlah segala sesuatu yang telah engkau
tulis, agar selubung penutup matamu terbuka".
"Petuah
ini tak dapat kulaksanakan" sela Yusuf.
"Petuah
yang sedang adalah: Lupakanlah aku dan jangan bicara-kan diriku dengan siapa
pun juga. Jika seseorang berkata, muridku mengatakan begini' atau 'guruku
mengatakan begitu', sesungguhnya semua itu memuji dirinya sendiri".
"Petuah
inipun tak dapat kulaksanakan", sela Yusuf.
"Yang
terakhir yang kecil adalah: Serulah manusia kepada Tuhan mereka".
"Petuah
ini insya Allah dapat kulaksanakan", sahut Yusuf.
"Tetapi
dengan satu syarat, bahwa dalam menyeru manusia itu engkau bukan menyeru mereka
karena mereka".
"Aku
penuhi syarat tersebut".
Maka berangkatlah
Yusuf ke Rayy. Ia adalah dari keluarga terhormat dan karena itu warga kota
datang menyambut kedatangan-nya. Ketika memulai khotbahnya, Yusuf mengemukakan
realitas-realitas mistik. Mendengar ajaran-ajaran ini, penduduknya yang hanya
mengenai doktrin eksoteris mulalui pengajaran formal, marah dan menentang
Yusuf. Nama Yusuf jatuh sehingga akhirnya tak seorang pun yang mau datang
mendengar ceramahnya.
Seperti biasanya, suatu hari iapun tampil untuk berceramah. Tetapi ketika itu tak seorang pun yang hadir mendengarkannya, iapun bermaksud pulang. Saat itu, seorang perempuan tua berseru:
Seperti biasanya, suatu hari iapun tampil untuk berceramah. Tetapi ketika itu tak seorang pun yang hadir mendengarkannya, iapun bermaksud pulang. Saat itu, seorang perempuan tua berseru:
"Bukankah
engkau telah berjanji kepada Dzun Nun bahwa engkau akan menyeru manusia bukan
karena mereka tetapi karena Allah semata?"
Yusuf
tersentak mendengar kata-kata ini. Iapun memulai khotbahnya. Demikian
dilakukannya secara terus menerus selama lima puluh tahun, baik ada yang
mendengar atau tidak.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan