Abdullah bin
Jahsy al Asadi adalah sepupu sekaligus saudara ipar Rasulullah SAW. Ibunya,
Umaimah binti Abdul Muthalib bin Hasyim adalah bibi beliau, dan adiknya, Zainab
binti Jahsy RA adalah salah seorang dari Ummahatul Mukminin. Ia termasuk
sahabat yang memeluk Islam pada masa awal, yakni sebelum Nabi SAW mengajar di
rumah al Arqam bin Abil Arqam (Darul Arqam).
Abdullah bin Jahsy pernah hijrah ke Habasyah untuk menghindari siksaan
orang-orang kafir Quraisy, tetapi tidak lama kemudian ia kembali ke Makkah,
karena tidak sanggup berpisah lama dengan Nabi SAW. Ketika perintah hijrah ke
Madinah datang, Ibnu Jahsy beserta seluruh anggota keluarganya segera
menyambutnya. Ia meninggalkan rumah dan segala perlengkapannya begitu saja.
Abu Jahal dan Utbah bin Rabiah menyatroni rumahnya dan membuka paksa
pintunya, kemudian menjarah isinya layaknya perampok. Mendengar kabar tentang
ulah Abu Jahal tersebut, Ibnu Jahsy mengadukan hal tersebut kepada Nabi SAW,
dan beliau bersabda, "Apakah engkau tidak ridha, wahai Abdullah, padahal
Allah akan memberikanmu rumah di surga?"
"Aku ridha, ya Rasulullah!" Jawab Abdullah, hatinya menjadi
tenang dan air mata haru mengalir mendapat penjelasan Nabi SAW tersebut.
Pada bulan
Rajab tahun 2 hijriah, Abdullah bin Jahsy memimpin 12 orang sahabat (pada
riwayat lain, 8 sahabat) yang diperintahkan Nabi SAW menuju suatu arah, dan
diberi suatu surat tertutup, yang baru boleh dibuka setelah dua hari
perjalanan. Setelah dua hari, ia membuka surat tersebut, dan isinya adalah
perintah Nabi SAW kepada dirinya dan pasukannya untuk menuju ke Nakhlah, tempat
antara Makkah dan Thaif, untuk menyelidiki pergerakan dan kafilah dagang orang
Quraisy dan melaporkannya kepada Nabi SAW.
Sampai di Nakhlah, mereka melihat kafilah dagang kaum kafir Quraisy
sebagaimana disebutkan Nabi SAW. Ibnu Jahsy bermusyawarah dengan pasukannya
tindakan apa yang harus dilakukan. Saat itu adalah akhir Bulan Rajab, bulan
haram yang dilarang berperang di dalamnya. Kalau menunggu malam harinya, dimana
sudah masuk Bulan Sya'ban dan diperbolehkan berperang, kafilah itu akan masuk
tanah suci (tanah haram), dan haram pula berperang di tempat itu. Setelah
melalui berbagai pertimbangan, ia memutuskan untuk menyerang kafilah tersebut.
Satu orang Quraisy tewas dan dua orang tertawan, sisanya melarikan diri. Dengan
membawa tawanan dan ghanimah, Abdullah bin Jahsy dan pasukannya pulang ke
Madinah.
Sampai di Madinah, ternyata Rasulullah SAW tidak sependapat dengan
keputusannya tersebut. Beliau bersabda, “Aku tidak memerintahkan kalian untuk berperang di Bulan Suci (Bulan
Haram)…!!”
Beliau menolak untuk menerima tawanan dan ghanimah yang telah dibawanya.
Abdullah bin Jahsy dan pasukannya merasa sangat malu pada Nabi SAW, dunia jadi
terasa sempit dan menyesakkan dada mereka. Hal inipun dimanfaatkan oleh oleh
orang-orang Quraisy untuk melontarkan tuduhan dan fitnah kepada Nabi SAW, bahwa
beliau menghalalkan bulan haram, membunuh dan menawan orang dan merampas harta
bendanya, sehingga keadaan jadi kemelut yang rumit.
Tetapi kemudian Allah SWT menurunkan wahyu, Surah al Baqarah 217, yang
isinya membenarkan tindakan Abdullah bin Jahsy, yakni mengecualikannya karena
sebelumnya kaum kafir Quraisy telah melakukan tindakan yang jauh lebih besar
dosanya, yakni mengusir penduduknya (yang muslim) dari Tanah Haram Makkah. Nabi
SAW menjadi gembira dan ridha dengan tindakan Ibnu Jahsy, dan menerima tawanan
dan ghanimah yang dibawanya, dan membagikannya kepada yang berhak. Itu adalah
tawanan dan ghanimah pertama dalam Islam.
Peristiwa tersebut merupakan babak baru yang menunjukkan bagaimana kekuatan
orang-orang Islam. Sebaliknya, orang-orang kafir Quraisy mulai dirasuki
ketakutan, orang-orang yang dahulu disiksa dan dimusuhinya, bahkan diusir dari
tanah kelahirannya, sekarang menjadi batu perintang yang menghalangi jalur
perdagangannya ke Syam. Apalagi di bulan Sya'ban itu juga, turun surah al
Baqarah ayat 190-193 yang mewajibkan orang-orang Islam untuk berperang melawan
orang-orang yang memerangi dan menghalangi mereka dari jalan kebenaran.
Dalam perang Uhud, Abdullah bin Jahsy menemui sahabatnya, Sa'ad bin Abi
Waqqash dan mengajaknya berdoa bergantian dan saling mengaminkan, karena doa
seperti itu akan mudah dikabulkan oleh Allah SWT. Sa'ad setuju dengan usulan
sahabatnya tersebut. Merekapun menuju suatu tempat agak menjauh dari yang lain
dan mulai berdoa.
Sa'ad memperoleh giliran pertama, ia berdoa, "Ya Allah, saat aku
berada di tengah pertempuran esok hari, dengan limpahan Kasih SayangMu, ya
Allah, hadapkanlah aku dengan musuh yang kuat dan garang, biarkanlah ia
menyerangku sekuat tenaganya, dan aku akan menghadangnya sekuat tenagaku,
Setelah itu, ya Allah, ijinkahlah aku memperoleh kemenangan dan membunuhnya
karenaMU, dan biarkanlah aku memperoleh ghanimah atas limpahan karuniaMU, ya
Allah!"
"Amin…!" Abdullah bin Jahsy, menutup doa Sa'ad.
Kemudian ganti ia berdoa, "Ya Allah ya Tuhanku, dalam pertempuran esok
hari, hadapkanlah aku dengan musuh yang paling kuat, biarkanlah dia menyerangku
dengan kemarahan membara, dan berilah aku keberanian untuk menghadangnya dengan
segala kekuatan yang ada padaku. Kemudian, ya Allah, biarkanlah musuhku itu
membunuhku, dan biarkanlah musuhku itu memotong hidung dan telingaku. Sehingga
pada hari kiamat kelak, saat aku berdiri di hadapanMu untuk diadili, Engkau
akan bertanya, 'Wahai Abdullah, mengapa hidung dan telingamu terpotong?' Maka
aku akan menjawab, 'Hidung dan telinga saya telah terpotong karena berjuang di
jalanMu dan jalan RasulMu..' Maka Engkau akan berkata, 'Benar, semuanya terpotong
karena berjuang di jalanKu',…. ya Allah, kabulkanlah doaku ini!!"
"Amin…!" Kata Sa'ad, mengaminkan doa yang dipanjatkan Abdullah
bin Jahsy, yang tampak aneh dan mengherankan. Tetapi, itulah wujud
kecintaannya kepada Allah dan
kerinduannya akan alam akhirat yang kekal abadi.
Esok harinya, pertempuran berlangsung sengit, dan doa keduanya dikabulkan
oleh Allah. Sa'ad memperoleh kemenangan dan ghanimah yang banyak, sedang
Abdullah menemui syahidnya dengan hidung dan telinga terpotong, sehingga untuk
menempelkannya diikat dengan benang, tubuhnyapun luka tercincang tak karuan,
seperti keadaan jasad pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib RA.
Melihat keadaannya tersebut, Sa'ad berkata, "Doa
Ibnu Jahsy lebih mulia daripada doaku!"
Tiada ulasan:
Catat Ulasan