SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Benar
dalam mengenal dan memelihara jiwa, banyak disinggung dalam beberapa firman
Allah s.w.t. antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ للهِ وَ لَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَ الْأَقْرَبِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan dan menjadi
saksi karena Allah semata, walaupun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan
kaum kerabatmu.”
(an-Nisā’:
135)
وَ مَا أُبَرِّئُ نَفْسِيْ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْ
“Dan aku tidak dapat membebaskan
diriku. Sesungguhnya nafsu selalu menyuruh untuk berbuat kejahatan, kecuali
yang dirahmati Tuhanku.”
(Yūsuf: 53).
وَ أَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَ نَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوى، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوى
“Adapun orang yang merasa takut akan
kebesaran Tuhannya, dan mengendalikan dirinya dari ajakan hawa nafsu, maka
sesungguhnya Surga adalah tempat tinggalnya.” (an-Nāzi‘āt: 40-41)
Selain
itu, ada juga beberapa sabda Nabi Muḥammad s.a.w. yang mendukung hal ini. di
antaranya adalah:
أَعْدَى عَدُوٍّ لَكَ نَفْسُكَ الَّتِيْ بَيْنَ جَنْبَيْكَ ثُمَّ أَهْلُكَ ثُمَّ وَلَدُكَ ثُمَّ الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ
“Musuh yang paling nyata
bagimu adalah nafsu yang berada di antara kedua tulang rusukmu, kemudian
keluargamu, anak-anakmu, dan terakhir kaum kerabatmu yang terdekat, kemudian
yang lebih dekat lagi.”
(71)
Selain
itu, diriwayatkan pula dari Rasūlullāh s.a.w., beliau
bersabda: “Jiwa
yang tunduk pada hawa nafsu dan patuh pada hasrat jahatnya, niscaya akan
mencelakaimu di hari kemudian.” Mendengar itu, para sahabat bertanya: “Apakah dia itu, wahai rasūl?” Rasūl
menjawab: “Hawa nafsumu yang berada di antara kedua
tulang rusukmu.”
Benar dalam Ber‘ibādah Kepada Allah
s.w.t.
Salah satu
ciri sifat orang yang benar dalam ber‘ibādah kepada Allah s.w.t. adalah yang jiwanya
mantap untuk menaati Allah s.w.t. serta mencari keridhāan-Nya, sehingga ia
mensyukuri segala ni‘mat yang diberikan Allah s.w.t. serta membaktikan seluruh
jiwa kepada-Nya.
Diceritakan,
dahulu Abū Hurairah r.a.
pernah dilihat oleh banyak orang sedang mencari sesuatu untuk dijadikan alas
tempat duduk. Kala itu, orang-orang bertanya kepadanya: “Apa
yang sedang anda lakukan?” Ia menjawab: “Mencari-cari
sesuatu untuk kujadikan alas tubuhku, karena jika aku tidak berbuat baik kepada
tubuhku sendiri, niscaya ia tidak akan menuruti perintahku.” Dengan demikian,
jika jiwa masih tidak mau mematuhi apa-apa yang diridai Allah s.w.t., dengan terus-menerus
berdalih menghindarinya, maka seyogianya kamu menahan nafsunya dan melawan
kehendaknya. Sesudah itu, arahkanlah ia agar tunduk di jalan Allah s.w.t., dan
terus-menerus berdoa kepada-Nya dengan harapan semoga Dia meluruskannya.
Selain
itu, janganlah kamu mencela jiwamu pada suatu saat, dan pada saat lain
memujinya. Tetapi, biasakanlah mengingat aib jiwa dan mencelanya karena
melakukan banyak perbuatan yang tidak diridhāi Allah s.w.t., sebagaimana yang
diisyaratkan oleh sebagian ‘ulamā’
ketika menyatakan: “Aku tahu mana yang baik buat diriku, dan mana yang tidak
baik buatnya.” Dengan demikian, cukuplah dosa bagi seorang hamba, jika ia
mengetahui aib pada dirinya, namun tidak berusaha membetulkannya dan tidak
menganjurkan dirinya untuk bertaubat. Sementara itu, sebagian ‘ulamā’
yang lain berkata: “Jika kamu benar-benar ingin mencela dirimu (atas
kesalahannya), maka ketika ada orang lain mencelamu atas kesalahan yang kamu
perbuat, janganlah kamu marah kepadanya.”
Jika nafsu
menyuruhmu melakukan suatu perbuatan tercela, atau menyibukkan hatimu untuk
melakukan suatu perbuatan yang diharamkan Allah, seyogianya kamu segera
meluruskannya. Selain itu, kamu pun harus mengontrolnya layaknya seorang tuan
kepada hambanya. Dan juga, kamu harus menahannya dari perilaku hedonisme serta
mendorongnya mengikuti jejak-jejak orang saleh sebelumnya (as-Salaf-ush-Shāliḥ).
Karena
segala hal yang diperintahkan oleh nafsu biasanya tidak terlepas dari perkara
haram. Oleh karena itu, jika kamu mematuhinya, niscaya akan mendapatkan murka
Allah s.w.t. Atau jika pun pada perkara yang halal, kamu tidak akan terlepas
dari pertanggungjawabannya di Akhirat, di kala orang-orang yang menjauhi
perkara yang haram karena takut kepada Allah s.w.t. dan mengagungkan-Nya
berjalan menuju Surga. Dan juga di kala orang-orang yang tidak mengambil
perkara yang halal sekali pun, langsung masuk ke dalam Surga.
Oleh
karena itu, seyogianya kamu berusaha menempatkan diri dari dua kondisi tersebut
guna memperoleh hasil positifnya di Akhirat. Karena, barang siapa menganggap
Akhirat sebagai negerinya, niscaya ia akan menjunjungnya dan selalu ingin segera
kembali kepadanya. Dan sebaliknya, jika ada orang yang hatinya terpaut dengan
urusan duniawi, niscaya ia akan menjadikannya sebagai negeri, lalu berusaha
mematuhi dan menaatinya. Dan untuk orang seperti mereka ini, hendaklah kamu
menjauhi mereka seraya memberi nasihat akan akibat buruk yang akan mereka temui
kelak dan mengingatkannya akan bencana dunia.
Dengan
demikian, kamu harus selalu menepati tradisi orang-orang terdahulu dengan cara
menjaga diri sendiri dan menganjurkannya kepada keluarga dan kawan-kawanmu.
Sebab, orang-orang terdahulu telah berusaha dan bekerja sekuat tenaga dalam
menjaga diri. Karena itu, mereka diberi anugerah kesehatan yang cukup dan
energi yang memadai oleh Allah s.w.t., sebab mereka telah memelihara hak dan
kewajiban-Nya serta takut melanggar larangan-Nya. Di samping itu, mereka pun
dengan sukarela menolak segala yang diperbolehkan Allah s.w.t. dan menjauhi
perkara yang diharamkan demi mematuhi perintah-Nya, serta meninggalkan yang
halal untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Mereka senantiasa terjaga di malam
hari, membiasakan diri lapar dan haus di siang hari ( – puasa) dan merasa cukup
dengan apa adanya dan dengan yang sedikit.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan