SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Adapun kewajiban
yang harus kamu tunaikan adalah beriman kepada Allah s.w.t., mengetahui,
mengakui dan bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Dia, Yang Esa dan tiada
sekutu bagi-Nya. Dialah Yang Pertama (al-Awwal),
Yang Penghabisan (al-Ākhir), Yang Tampak (azh-Zhāhir), Yang Tersembunyi
(al-Bāthin), Sang Pencipta (al-Khāliq), Yang
Menghidupkan (al-Mushawwir),
Yang Pemberi rezeki (ar-Razzāq), Yang Menghidupkan
(al-Muḥyī),
Yang Mematikan (al-Mumīt), dan yang
kepada-Nya kembali segala sesuatu. Selain itu, kamu pun harus meyakini bahwa
Nabi Muḥammad s.a.w. adalah hamba Allah dan utusan-Nya yang
membawa risalah kebenaran dari Allah yang Maha Benar (al-Ḥaqq), dan begitu juga
para nabi. Dengan kebenaran pula, mereka menyampaikan misi kenabian dan
berusaha semaksimal mungkin menasihati umat manusia. Di samping itu, kamu pun
harus meyakini bahwa Surga adalah benar, kebangkitan (ba‘ts) juga benar, dan
segala perkara bergantung kepada kehendak Allah s.w.t. Dialah yang mengampuni
dan menyiksa siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Oleh
karena itu, semua hal yang telah disebutkan harus menjadi keyakinanmu dan mesti
diikatkan dengan lisan tanpa ada keraguan lagi, sehingga hatimu bisa menerima
dengan tenang serta mantap segala hal yang kamu percayai dengan bāthin
dan yang kamu akui dengan ucapan. Selain itu, kamu pun tidak boleh menentang
segala ajaran yang diturunkan oleh Allah s.w.t. melalui Nabi Muḥammad
s.a.w. (11), baik dengan cara meragukan
apa-apa yang dibawa oleh beliau, mau pun menyimpang dari tradisi Nabi dan para
sahabatnya yang telah memperoleh petunjuk dari beliau. Sebab para sahabat
adalah cermin beliau, dan juga sekaligus tauladan bagi orang-orang yang datang
sesudahnya. Mereka adalah orang-orang yang menerima petunjuk Allah s.w.t.
Kemudian, kamu pun harus patuh kepada para tābi‘īn dan ulama, dan menggabungkan diri dengan kelompok
terbesar dari umat Islam, serta berlaku ikhlas hanya demi Allah s.w.t., guna
memperoleh kadar keislaman, keimanan, dan ketauhidan yang sempurna, sebagaimana
yang disinyalir oleh firman Allah s.w.t. berikut ini:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَ لَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa yang berharap bisa
bertemu Tuhannya, maka hendaklah beramal saleh dan tidak menjadikan siapa pun
sebagai sekutu dalam menyembah Tuhanmu.” (al-Kahf: 110)
Menurut
sebagian ahli tafsir (al-mufassirūn), maksud ayat di
atas menunjukkan adanya keharusan bagi seorang hamba untuk memfokuskan
perhatiannya hanya pada Allah s.w.t. dalam segala perbuatan dan tingkah
lakunya, baik lahir maupun bāthin. Dia tidak
boleh mengharapkan apa pun, kecuali karena dan kepada Allah s.w.t. Dia harus
mengendalikan diri dan hatinya dengan ‘ilmu, memelihara
kehendaknya dengan baik, menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah, tidak
menginginkan penghargaan dari orang lain, dan tidak merasa bangga dengan
perbuatannya jika diketahui oleh orang lain. Dan jika salah satu keinginan
negatif tersebut tiba-tiba terlintas dalam hatinya, maka ia segera
menghentikannya dengan penuh perasaan menyesal.
Selain
itu, ia pun tidak pernah merasa tenang dan gembira apabila mendapat pujian dari
orang lain, bahkan ia akan segera memuji Allah s.w.t. yang telah menutup pintu
kejahatan dengan memberi dirinya taufīq dan berkenan
memperlihatkan kebaikannya kepada orang lain. Di samping itu, ia pun harus
selalu merasa khawatir atas perbuatan salahnya atau kelakuan buruknya yang
ditutupi Allah s.w.t. dari pandangan orang lain, meski pun semua itu tidak akan
terlepas dari pengetahuan-Nya. Dengan demikian, pada saat itu, ia akan
senantiasa introspeksi diri, karena khawatir kalau batinnya ternyata jauh lebih
buruk daripada lahirnya. Sebab ia menyadari betul adanya sebuah hadits yang
menyatakan: “Jika
hati manusia lebih buruk dari lahirnya, maka itulah kezhaliman. Namun, jika
hati dan lahirnya seimbang, maka itulah keadilan. Akan tetapi, jika hatinya
lebih baik daripada lahirnya, maka itu adalah kondisi manusia yang paling utama.”
Lebih dari
itu, seorang hamba harus berusaha semaksimal mungkin merahasiakan segala
perbuatan baiknya, (22) sehingga tidak ada seorang pun
yang mengetahuinya, kecuali Allah s.w.t. Sebab yang demikian itu akan lebih
memperoleh keridaan Allah s.w.t., dan lebih utama memperoleh pahala yang
berlipat ganda. Di samping juga, karena perbuatan yang dirahasiakan akan lebih
dekat kepada keselamatan, lebih gampang menghindari tipuan musuh, dan lebih
jauh dari tertimpa segala bencana. Oleh karena itu, Sufyān
ats-Tsaurī r.a. berkata: “Aku tidak
perduli dengan semua perbuatanku yang terlihat oleh orang lain?”
Keharusan ini dikuatkan pula oleh sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
إِنَّ عَمَلَ السِّرِّ يَفْضُلُ عَلَى عَمَلِ الْعَلَانِيَةِ سَبْعِيْنَ ضَعِيْفًا
“Sesungguhnya perbuatan
yang rahasia lebih utama daripada perbuatan yang terlihat sebanyak tujuh puluh
kali lipat.” (33)
Hadits
lain menyatakan: “Tatkala seorang hamba melakukan suatu ‘amal baik secara rahasia,
maka Setan akan menjauhinya selama dua puluh tahun. Setelah itu, ia akan datang
lagi merayu si hamba agar memperlihatkan perbuatan tersebut dan
menyebut-nyebutkannya di hadapan orang lain. Jika tergoda, maka ia akan
dipindahkan dari daftar orang-orang yang ber‘amal secara rahasia dan dimasukkan
ke dalam orang-orang yang ber‘amal secara terang-terangan, sehingga pahala dan
keutamaan ‘amalnya akan berkurang. Dan jika si hamba terus-menerus menyebutkan
‘amal perbuatannya, hingga diketahui oleh orang banyak dan disebut-sebut oleh
mereka, dan dirinya merasa puas serta senang terhadap pujian tersebut, maka
amalannya menjadi riyā’ dan tidak akan diterima oleh
Allah s.w.t., sebab perbuatan tersebut bertentangan dengan sikap ikhlas.”
Oleh
karena itu, ikhlas dalam ber‘amal adalah pokok utama yang harus diketahui
setiap orang dan tidak boleh diabaikan. Sebab seorang hamba akan semakin
bertambah rasa ikhlasnya dalam ber‘amal, apabila ia telah mengetahui tiga hal
pokok yang telah disebutkan sebelumnya.
Tanya:
“Adakah yang selainnya?”
Jawab:
“Lebih dari itu, seorang hamba seyogianya tidak mengharapkan apa pun, kecuali
dari Allah s.w.t. Tidak takut, kecuali kepada-Nya. Tidak berhias diri, kecuali
karena-Nya. Tidak memperdulikan celaan orang lain ketika melakukan perbuatan
yang diridai Allah s.w.t., atau ketika menjalankan perintah dan anjuran yang
diberikan oleh kekasih-Nya, yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. Dan
kalau semua cabang ikhlas disebutkan, tentu akan banyak sekali, tetapi yang
telah dipaparkan di atas telah mencukupi untuk menjadi pegangan para murīd
yang menuju ke jalan Allah.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan