SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Jika ada
seorang hamba yang lemah, tiba-tiba memiliki harta yang halal, seyogianya ia
menjaganya dan tidak memboroskannya dengan dibagikan kepada orang-orang yang
berada dalam tanggungannya. Tapi, ia harus membelanjakannya secara sederhana,
sebab jika ia berlaku boros, niscaya ia tidak akan bisa bersabar lagi dan
selalu merasa pesimis akan masa depannya. Dan kala itu, ia akan tergelincir
pada suatu kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya. Oleh karena itu,
keputusannya untuk menahan harta tersebut harus dihindari, karena hal itu
menunjukkan bahwa ia telah kehilangan kepercayaan kepada Allah s.w.t. serta
tidak merasa yakin akan keputusan-Nya. Karenanya, ia harus terus-menerus
menghindari keinginan hawa nafsunya, sampai keteguhan hatinya kembali menguat
dan kukuh akan keputusan Allah s.w.t.
“Tapi
bagaimana mungkin para nabi boleh memiliki harta kekayaan yang melimpah?” tanya
saya penasaran: “Umpamanya Nabi Dāūd, Nabi Sulaimān, Nabi Ibrāhīm. Nabi Ayyūb, dan lain
sebagainya. Begitu pula Nabi Yūsuf
a.s. yang menjadi bendaharawan negeri, dan Nabi Muḥammad s.a.w. serta
sebagian hamba Allah s.w.t. yang shāliḥ sesudahnya?”
“Masalah
yang kamu kemukakan merupakan masalah yang pelik dan berat untuk dijawab,” kata
beliau: “Namun demikian, ketahuilah! para nabi, para ‘ulamā’,
dan hamba-hambaNya yang shāliḥ adalah orang-orang
kepercayaan Allah s.w.t. di atas muka bumi ini yang bertugas mengurus
rahasia-Nya. Mereka merupakan orang-orang yang patuh terhadap perintah Allah
s.w.t. dan menjauhi segala larangan-Nya. Mereka juga senantiasa berada dalam
pengawasan Allah s.w.t. serta sekaligus menjadi tempat peletakan amanat-Nya.
Mereka adalah orang-orang yang mewakili Tuhan dalam membimbing semua makhlūq dan
hamba-hambaNya. Mereka benar-benar mengenal segala perintah Allah s.w.t. dan
larangan-Nya. Mereka memahami alasan Allah s.w.t. menciptakannya, apa yang
diharapkan dari mereka dan untuk apa mereka diseru? Mereka telah menjawab semua
kesulitan ini seraya sepakat untuk mencintai-Nya dan tunduk di bawah perintah
dan kemauan-Nya.
Selain
itu, mereka pun bersedia menjadi hamba-hamba Allah yang berfikiran sehat,
tunduk dan patuh kepada-Nya dan memelihara segala wasiat-Nya. Mereka mendengar
segala perintah-Nya dengan hati yang terbuka dan perasaan yang suci. Mereka
tidak pernah lupa mengingat Allah dan memohon kepada-Nya. Dan telinga mereka
pun senantiasa mendengar firman-firmanNya.
آمِنُوْا بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ أَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ
“Berimanlah kalian semua kepada Allah
dan rasūl-Nya, dan infaqkanlah sebagian dari harta yang
Allah kuasakan kepadamu.” (al-Ḥadīd 57: 7)
ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلاَئِفَ فِي الأَرْضِ مِنْ بَعْدِهِم لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ
“Kemudian Kami jadikan kalian semua
sebagai khalīfah-khalīfah di muka bumi
ini sesudah mereka supaya Kami bisa menyaksikan apa-apa yang kalian perbuat.” (Yūnus 10: 14)
للهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي الأَرْضِ
“Milik Allah segala yang ada di
langit dan di bumi.” (al-Baqarah 2: 284)
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَ الأَمْرُ
“Ingatlah, adalah
hak Allah untuk mencipta dan memerintah.” (al-A‘rāf 7: 54)
Mereka
semua mempunyai keyakinan yang penuh bahwa diri mereka adalah kepunyaan Allah
s.w.t. Begitu pula dengan segala yang dikaruniakan dan dikuasakan Allah pada
mereka, adalah kepunyaan-Nya. Namun pada saat sekarang, mereka berada dalam
masa ujian dan cobaan dengan berbagai bencana dunia.
Keluhan ‘Umar Ibn al-Khaththāb
Diriwayatkan
bahwasanya ‘Umar Ibn al-Khaththāb
r.a. ketika mendengar firman Allah s.w.t.: “Bukankah telah datang kepada manusia suatu masa, yang
tidak ada suatu apa pun yang bisa dikatakan.” (ad-Dahr: 1)
beliau langsung berkata: “Alangkah baiknya, jika firman
Allah s.w.t. tadi berhenti di situ, dan tidak berlanjut pada yang berikutnya: “Sesungguhnya Kami menciptakan
manusia dari setetes air mani yang bercampur. Dan Kami akan mengujinya.” (ad-Dahr: 2).
Karena
itu, manakala beliau mendengar firman Allah s.w.t tersebut, seluruh tubuhnya
akan gemetar, seolah-olah tidak bertenaga. Lebih lanjut beliau mengatakan: “Alangkah baiknya jika aku tidak diciptakan oleh Allah!”
Beliau berkata demikian, karena sangat mengenal akan kewajiban dan hak Allah
s.w.t. atas dirinya. Beliau sangat mengenal kadar perintah dan larangan Allah
s.w.t., padahal kebanyakan hamba-Nya yang lain tidak mampu menunaikan hak-hak
tersebut sebagaimana yang ditunaikan oleh beliau sendiri.
Orang-orang
seperti ‘Umar Ibn al-Khaththāb
r.a. senantiasa menjunjung tinggi hak Allah s.w.t. Di samping itu, mereka kerap
kali merasa khawatir, sekiranya mereka lalai akan hak-hak tersebut, sedang ḥujjah dan bukti
Allah atas diri mereka sangatlah jelas dan terang. Mereka takut akan semua
ancaman Allah s.w.t. yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang tidak
melakukan hak-Nya.
Selain
itu, diriwayatkan pula bahwasanya al-Ḥasan r.a. berkata: “Sesungguhnya pengeluaran Nabi Ādam
a.s. dari Surga ke dunia oleh Allah s.w.t. adalah balasan atas kesalahannya.
Dengan demikian, pada hakikatnya dunia merupakan penjara bagi beliau, karena
dijauhkan dari sisi-Nya dan diletakkan di tempat yang penuh dengan cobaan dan
ujian.”
Tegasnya, barang siapa yang memiliki harta benda, sedangkan ia termasuk orang yang
benar dalam beramal shāliḥ kepada Allah
s.w.t., dan mempercayai dengan sepenuh hati bahwa harta tersebut adalah milik
Allah yang dikuasakan kepadanya, serta dengan demikian harta tersebut bukanlah
miliknya yang mutlak, melainkan ujian dari Allah s.w.t., hingga ia meletakkan
harta tersebut pada tempatnya yang tepat. Sebab, nikmat itu pada hakikatnya
adalah musibah dan bencana, terkecuali bagi hamba-hamba yang menyukurinya
dengan menggunakan nikmat tersebut dalam jalan ketaatan yang diridai oleh Allah
s.w.t.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan