Karya Muhammad Bin Abdul Jabbar Al-Niffari (AL NIFFARI)
ILMU adalah
merupakan satu upaya untuk mencapai sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian
dalam ulah lingkungannya, dan penempuhannya diperlukan adanya gerak dan
perjalanan disertai tata tertib dan peraturan-peraturannya yang tertentu yang
ada padanya; Yaitu ilmu pengetahuan yang membahas tentang ketentuan-ketentuan.
- Bilmaqadir = tentang kadar banyaknya.
- Alkammiyat = dan tentang
hubungan-hubungannya
- Al ‘ilaqat = Akan tetapi ilmu itu
agak lemah terutama untuk mencapai teka-teki yang memerlukan pemecahan, “Apakah
ini dan apakah itu (Almahiyat), dan pula untuk mencapai hakikat-hakikat yang
ada taraf kesudahannya. Dan ilmu itu dalam persoalan ini kedudukannya tidak
lebih dari alat yang kurang mempunyai kesempurnaan yang malahan kadang-kadang
menyesatkan.
Al Imam An Nafri
berkata :
“Ilmu itu
sendiri merupakan tirai penutup atas apa yang sudah menjadikan pengetahuannya;
yang seyogyanya tidak demikian halnya.
Seorang yang
banyak berilmu (“Ulama) terdinding oleh kesadarannya sendiri, sama halnya
dengan si dungu terdinding oleh kelengahannya. Sungguh pun begitu ilmu itu
mencerai-beraikan akal si alim,
disebabkan karena ilmu itu terpetak-petak dalam beberapa bidang dan arah tujuan
pemikiran”.
Ilmu itu sendiri
memiliki jalan-jalan dan saluran-saluran, lalu sampai kepada cabang-cabang.
Tiap-tiap cabang mempunyai jalan keluar sendiri-sendiri, sampai di sini tidak
dapat dielakkan lagi akan terjadinya perselisihan, dan dari perselisihan
menjurus ke arah kesesatan.
Akal, setelah
mengetahui kesemuanya itu, lalu mengadakan penyaringan di antara pelbagai macam
kemungkinan-kemungkinan, maka terperosoklah ia ke dalam aneka ragam
kesimpang-siuran.”.
Dan Allah dalam
seruan-Nya menyampaikan :
“Seorang yang
berilmu masih dalam ikatan serba dua “Menyaksikan dan disaksikan”, begitu pula
halnya seorang pengenal (Arifin) ... yang tidak... dan yang lain halnya...
adalah seorang Waqif di Hadirat Ku (orang yang berdiri tegak di tempat
penghentian pencapaian), ia adalah tunggal... karena dia telah sirna (fana)
meniadakan ke serba-duaan lagi, menyadari dan kembali pada pribadinya sendiri
dalam kesederhanaan dan kesatuannya (ringan lunglai terlepas dari daya tarik
apappun dan senyawa-menyatu)”.
“Maka seharusnya
puncak dari ilmu, akal dan pikiran itu mengembalikan pada kedudukan asalnya
dari segi bagian-bagian dan kenyataan-kenyataan kepada Yang “SATU” ialah Allah
Maha Penciptanya. Dari sini bertolak ke arah pengenalan (Makrifah) baru dapat
disebut orang arif. Tetapi pandang pengenalan seorang sufi jauh dari kesemuanya
ini, lebih tinggi menjulang dan tidak menilai ilmu, karena pengenalannya kepada
Allah semata-mata, makrifat yang tunggal, mengenal ke Esaan-Nya, dalam
sifat-sifat-Nya, Asma-Nya, Af-al-Nya, Taqdis-Nya dan ke Maha Sucian-Nya”.
Selanjutnya
Allah berseru :
Hai hamba yang
berilmu! “Bilamana ilmumu dapat melepaskan engkau dari ilmu mu, maka engkau
akan tiba pada perjalanan pengenalan (Makrifat), tetapi kalau engkau menyatu
dengan ilmu mu, maka ilmu itu akan menjadi penghijab bagimu; Dudukkan ilmu itu
pada tempat yang seyogyanya menjadi penghantar ke arah makrifat dan bukan
engkau yang menyatu dengan ilmu mu”.
“Setelah engkau
tiba di ambang pintu makrifat, dan memasukinya, maka engkau akan terheran-heran
dan menginsafi kebodohanmu di hadapan Zat Illahiat dan inti mula pertamanya.
(Kunhiha) serta
apa sebenarnya DIA (Manhiat) terungkaplah di sini lunglainya pencapaian, itulah
pencapaian dan kedunguan adalah puncak makrifat, maka terhujamlah dalam
sanubarimu akan arti sebenarnya dari “ Tiada satupun yang menyamai-Nya”.
Seorang sufi
mewejang : “Kebodohan, kedunguan adalah tirai penutup yang asli dan tak mungkin
tersingkap tentang Zat Ilahiat, kecuali pada Hari Kebangkitan (Kiamat) kala
seorang hamba dikehendaki-Nya untuk memandang dengan pandangan mata.
Adapun sebelum
itu maka tiadalah mungkin melihat Allah dengan terang-terangan, dan apa yang
dialami seorang abid ialah menyaksikan Allah pada sesuatu yang di dalamnya
terdapat bekas dari tangan pembuatnya, ayat-ayat-Nya, hikmah-Nya, tadbir-Nya
(yang diuraikan-Nya). Dan itu merupakan penglihatan akal serta matahati atau
melihat Nur-Nya.
Adapun Zat, akan
tetap tinggal terselubung oleh selimut gaib yang mutlak.
Dan di kala
seorang abid mencapai puncak makrifat, maka ia menyadari akan kebodohannya di
hadapan Zat itu; Dan menyadari pula akan kelemahan semua usaha-usaha dan
cara-cara yang selama ini diandalkan; ia akan memulai perjalanannya kepada
Allah dengan menempuh penyaksian. Maka akan keluarlah ia dari alam nyata selain
Allah. Keluar dari ilmunya, amalnya, makrifatnya, sifatnya, namanya dan juga
keluar huruf dan ibarat, dan apa saja yang diibaratkan oleh huruf dan oleh
ucapan ibarat.
Dengan
pelepasan, penanggalan segalanya itu tadi adalah pintu untuk mencapai
“Penglihatan” serta jalan masuk menuju “Hadirat-Nya” dan penghentian jalan
terakhir dari “penyaksian” maka ia masuk didorong oleh kekuatan cahaya yang
menetap (tidak membiarkan dan tidak meninggalkan).
Yang demikian
adalah, apa yang diuraikan dalam gambaran seorang sufi “Penglihatan hati
(Ru’yah Qolbiah) terhadap Zat yang tertutup terselubung dan terhijab dengan Nur
demi Nur-Nya; dan itu merupakan permulaan disertai kenyataan yang dikawani oleh
poros tempat persembunyian segala sesuatu dan (dikawani) pula oleh keadaan dari
kelenyapan yang sepenuh-penuhnya... tiada sesuatu... selain Nur itu.
Ketahuilah bahwa
Nur itu bukanlah Zat, tetapi hanyalah suatu ayat (tanda bukti) dari sekian
banyaknya tanda-tanda bukti, dan juga sebagai hijab dari sekian banyaknya
hijab-hijab dan juga isim dari berbagai Asma-Nya (nama-nama-Nya) dan Asma
adalah hijab atas yang bernama dan yang dinamai.
Dan ini bukanlah
penyaksian pandangan mata. Dalam hal ini penyaksian pandangan mata tidak
mungkin sama sekali selagi di dunia ini, dan tidaklah bagi insan yang memiliki
bentuk jasad insani. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan dari apa yang
terjadi, dan apa yang dialami Nabi Musa As. Yang tidak memiliki daya kemampuan
memandang, hingga jatuh pingsan; dan bukit yang dijadikan contoh tidak pula
memiliki kemampuan tersebut hingga hancur lumat berbutir-butir,
Di dalam Al
Qur’an surat Al A’raf 7:143 :
“Dan tatkala
Musa datang di tempat yang telah ditentukan, dan Tuhannya berkata-kata
dengannya, lalu berkatalah Musa :”Wahai Tuhanku! Perlihatkanlah diri-Mu padaku
supaya aku dapat memandang-Mu”. Ia pun berfirman : “Tidak sekali-kali engkau
dapat melihatk-Ku, tetapi pandanglah ke bukit itu; jika ia dapat tetap di
tempatnya, maka engkau akan melihat pada-Ku”, Maka tatkala Allah
“memperlihatkan diri” kepada bukit tadi, bukit itupun hancur luluh menjadi
lumat dan jatuhlah Musa dalam keadaan tak sadar diri. Maka tatkala sadar,
berkatalah Musa “Maha Suci Engkau! Aku taubat kepada-Mu, dan aku adalah orang
pertama yang beriman kepada Mu”.
Perhatikan! Musa
tidak jatuh pingsan karena melihat Zat Ilahy, tetapi ia baru melihat tajallinya
Zat atas sesuatu yang lain, yakni bukit itu, baru tajalli-Ny saja, dapatkah
engkau membayangkan betapa mungkin terjadi jika sekiranya Musa melihat Zat-Nya.
Dalam ilmu
penegtahuan insani terdapat segi tantangan, karenanya setiap sesuatu tujuan
pemikiran diiringi oleh pemikiran akal yang menguraikan kebalikannya. Demikian
juga kejahilan insani, yang di dalam kejahilannya terdapat tantangan (dari
kebalikannya). Tidak demikian halnya dengan ilmu pengetahuan Rabbani (Ilahy)
yang Ladunni (Ilmu yang didapat langsung dari Alloh), maka ilmu yang demikian,
begitu juga kebodohan yang berupa “pengetahuan ketidaktahuan”, maka ia adalah
suatu kejahilan yang asli, yang tiada tantangan kebalikannya, karena kejahilan
terhadap Zat Ilahiat adalah merupakan sampainya kepada hakikat yang terakhir,
yang berkesudahan (nihaiyah), justru Allah itu Yang Maha Suci (Majhul
al-Hawiyah) yang tak dapat diketahui karena tiada siapapun yang menyerupai-Nya
(Dan itulah sifat Zatiyah).
Allah berseru
kepada hamba-Nya :
“Keluarlah
engkau dari ilmumu yang kebalikannya adalah kejahilan, keluarlah engkau dari
makrifat yang kebalikannya adalah pengingkaran... niscaya engkau akan jinak
terhadap apa yang engkau ketahui, Ilmu itu berseteru dengan kejahilan, dan
kejahilan itu adalah huruf... kejahilan itu menjadi seteru ilmu dalam
kejahilannya terdapat huruf”.
Keluarlah engkau
dari huruf, niscaya engkau mengetahui ilmu yang tiada seterunya, yaitu Ilmu
Rabbani (jika engkau sudah sampai ke taraf ilmu ini), maka engkau akan
menjahili suatu kejahilan yang tiada lagi berseteru dengan kejahilan yang
berupa pengetahuan. (Al Jahlul Irfani)”.
“Jika engkau
telah mengetahui suatu ilmu yang tiada seteru, dan jika engkau menjahili
kejahilan yang tiada bersetru pula, maka engkau bukan lagi tergolong dari
penduduk bumi dan langit”.
“Jika engkau
sudah bukan lagi menjadi penduduk bumi, maka Aku tidak akan membebani engkau
pekerjaan ahli bumi; Juga kalau engkau tidak lagi menjadi peduduk langit, maka
Akupun tidak lagi membebani engkau menjadi pekerja ahli langit”.
Pekerjaan-pekerjaan
ahi bumi adalah keserakahan dan kerakusan, kelengahan dan menghambakan diri
pada hawa nafsu dan kepada semua yang nampak di permukaan bumi ini, yang saling
kejar mengejar memperebutkan aneka perhiasan. Sedangkan pekerjaan ahli langit
adalah Zikir dan ta’dziem (membesarkan Nama Tuhan) dan itulah penghambaan ahli
langit terhadap Tuhan, dan itulah yang menjadikan mereka jinak dengan
ketenangan kepada Allah.
Dan penghambaan itu merupakan hijab yang terdekat, yang mana Aku dari balik-Nya berhijab pula dengan sifat keperkasaan; dan kelengahan itu pun suatu hijab yang jauh, yang mana Aku dari baliknya berhijab dengan semua dan apa-apa yang telah Ku ciptakan dari segala sesuatu saling pengaruh-mempengaruhi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan