Menurut Kalam Hikmah ke 38 Al-Arifbillah
Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As
kandary:
“Hasrat atau
angan-angan kuatmu janganlah sampai melewati kepada selain Allah, karena Allah
yang mulia tidak akan terlewati oleh angan-angan.”
Kalam hikmah ini, sebetulnya adalah sebegai pengokoh
dari kalam hikmah sebelumnya (Hikmah 37). Telah kita pahami pada kajian
kalam hikmah sebelumnya, bahwa Dzat yang wajib adanya hanyalah satu, Allah SWT,
tidak ada tandingan bagiNya.
Dialah Dzat yang ada dan berdiri sendiri, tanpa ada
yang menyertai. Dan Dialah Dzat yang ada sejak zaman azali, tidak ada permulaan
bagiNya. Ketika anda melihat di sekitar terlihat aneka barang, pada hakikatnya
itu tidak wujud, karena semua alam diciptakan oleh Allah sesaat saja. Maka kita
mengerti bahwa segenap makhluk yang ada tidak memilki daya dan upaya, semua
gerak-geriknya ada dalam kontrol kekuasaan Allah yang Maha Esa.
Jika akal anda sudah tercetak dengan model konsep
keyakinan di atas, serta telah menjadi pemahaman yang terpatri dalam lubuk
hati. berarti makna tauhid yang terkandung dalam kalimat لاإله إلا الله betul-betul tertancap kuat dalam otak dan hati anda.’ Dan menyadari bahwa
dalam kekuasaan Allah, tidak ada kekuasaan tandingan, dalam kemuliaan Allah
tidak ada kemuliaan yang menandingi, dalam kerajaan Allah tidak ada kerajaan
yang menandingi dan dalam ketuhanan Allah tidak ada Tuhan yang menandingi.
Karena sudah diyakini bahwa setiap sesuatu yang wujud,
muncul dari kehendak Allah, bersamaan dengan maunah-Nya dan akan kembali ke
hadirat-Nya. Dan telah anda pahami, sesungguhnya Dzat yang wujud dan memiliki
segala yang ada hanyalah satu, Allah Dzat yang Maha Esa. Sebab itu, jangan
sampai angan-angan anda melewati pada selain Dzat yang maha bijaksana, Allah
Azza wa Jalla.
Jika engkau menginginkan rizeqimu berlimpah, maka
bersegeralah datang pada Dzat yang maha mengusai Langit dan Bumi serta isinya.!
Jika engkau beranagan-angan fisikmu ingin sehat, maka
bersegeralah datang kepada Dzat yang telah dijadikan pengaduan oleh Nabi
Ibrahim..!
Sebagaimna perkataanya yang ada dalam firman Allah: “Jika aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku”(QS. Al-Syuara, 80)
Jika engkau mendambakan ketenangan, keberuntungan dan
kesentosaan, maka segeralah menghadap pada Dzat yang berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.”. (Qs. Al-Nahl, 97)
Dan jika engkau memiliki kehawatiran dan takut dari
gangguan orang dzalim atau musuh, maka mengadulah pada Dzat yang telah
berfirman;
Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir,
sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". (QS. Thaha, 46).
Maka jangan sekali-kali anda mengadukan segala
keinginan dan kebutuhanmu kepada selain Allah. Karena hal demikian termasuk
tidak mengesakan Allah. Jadi, akidah itu harus terbangun dari dua unsur, lahir
dan batin (Hati dan prilaku) tidak boleh sebagian. Hati yakin pada keesaan
Allah, tapi prilaku dzahir tak mencerminkan apa yang diyakini, ini salah.
Prilaku dzahir mencerminkan keyakinan pada Allah, tapi akidah di dalam hatinya
rusak, juga salah. Jadi akidah yang benar harus terbangun darii dua unsur tadi
itu. Tak boleh ada yang dikurangi sedikitpun.
Sebagaimana didikan Rasulullah terhadap shahabat
Abdullah bin Abbas yang terurai dalam hadis berikut; Nabi saw bersabda:
“Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat:
Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati
Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah,
dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah,
seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu
tidak akan kamu peroleh, selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan
andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal
itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk
dirimu.Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR Imam
Tirmidzi)
Begitulah bimbingan Rasulullah terhadap ummatnya dalam
masalah akidah, sangat konprehensif. Jika sudah jelas, angan-angan dan semua
tujuan harus ditujukan kepada Allah, maka interaksi selanjutnya yang dilakukan
termasuk sebuah tindakan taat. Seperti berusaha untuk mendapatkn rizeki,
berobat untuk memperoleh kesehatan belajar untuk memiliki ilmu pengetahuan dst.
Sebab-musabab seperti ini termasuk kelakuan taat
(menjalankan perintah Allah), dan bagian yang tak terpisahkan dari lingkup
garis akidah. Mestinya kita juga ngerti, bahwa antara sebab-sebab material
seperti contoh di atas dan sebab-sebab untuk mendaptkan rahmat Allah itu sama.
Semisal menjadikan hamba-hamba Allah yang dekat
dengan-Nya seperti para Nabi, Shahabat dan Shalihin sebagai perantara untuk
meraih rahmat Allah SWT. Karena, sebagaimana Allah menjadikan hujan sebagai
sebab munculnya tumbuh-tumbuhan, makanan sebagai sebab ras kenyang, obat-obat
sebagai sebab sembuhnya penyakit, juga menjadikan pangkat Rasulullah yang
tinggi di sisiNya, sebagai sebab mendapatkan rahmat dan syafaat.
Bukankah Allah berfirman sesungguhnya Rasullah diutus
sebagai rahmat untuk semesta alam.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya’,107)
Sangat jelas, seorang muslim boleh menjadikan obat
sebagai lantara sembuhnya penyakit, minum air agar segar dan berusaha agar
dapat rizqi. Juga boleh menjadikan Rasulullah sebagai wasilah atau pelantara
untk mendatangkan rahmat Allah serta meraih kesuksesan. Langkah semacam ini,
termasuk interaksi yang sesuai tatanan ketentuan Allah yang memang dianjurkan
untuk dilaksanakan.
Maka sangat heran, jika ada seseorang yang mendapati
pasien penderita penyakit yang mengadu kepada dokter, “Dok tolong sembuhkan
penyakit saya”. Dia tidak menggubris dan tidak memprotes perkataan itu sama
sekali, padahal permohonan semacam itu dapat merusak pada akidah.
Namun, jika ia mendapati seorang yang mengahadap
kepada Allah seraya berkata; “Ya Allah aku bertawasul kepadamu dengan berkah
pangkat Nabimu, Muhammad saw, agar Engkau menyembuhkan penyakit yang kami
derita”.
Dia bertindak mengkafirkan dan memusyrikkan terhadap
orang yang berdoa seperti ini, bahkan kadang ia menyuruhnya bersyahadat. Jadi,
apa bedanya antara kausalitas semu yang Allah tempatkan dalam obat sebagai
penyembuh dan pangkat Nabi yang dibuat tawasul untuk berbagai kebutuhan?
Lebih heran lagi, adalah kelompok yang membedakan
antara hidupnya Nabi dan wafatnya. Mereka meyakini, bahwa tawasul kepada Nabi
SAW disyariatkan hanya pada waktu hidup beliau, tidak setelah wafatnya.
Kelompok seperti ini mengartikan bahwa tawssul kepada Nabi akan berhasil hanya
melalui kekuatan fisik beliau saja. Setelah beliau wafat, hilang sudah kekuatan
itu. Sehingga jika masih bertawasul kepadanya, maka tak ada faidah. Tentu,
keyakinan semacam ini keliru, karena menganggap Nabi memiliki kekuatan
intrinsik yang dapat merealisasikan keinginan sesorang.
Bahkan dia terlibat dalam kesyirikan yang
menghawatirkan, karena kekuatan secara hakiki hanyalah satu, kekuatan Allah SWT
yang maha Raja. Menjadi maklum, tawassul yang disyariatkan, adalah bertawasul
dengan pangkat Nabi yang tinggikan oleh Allah untuk memperoleh ampunan dan
syafaatNya. Tanpa menganggap bahwa Nabi yang memberikan segalanya, namun tetap
berkeyakinan semua muncul dari Allah SWT yang terwujud karena berkahnya.
Semoga iman kita tambah kuat dan tidak goyang walau
ada badai yang menerjang, serta mendapat keselamatan di hadapan Tuhan. Amin
Tiada ulasan:
Catat Ulasan