‘Aisyah
binti Abu ‘Utsman al-Hiri wafat di tahun 346 H.
Ia telah
mewariskan pengetahuan kerohanian yang luar biasa, hingga sampai di generasi
kita sekarang ini.
‘Aisyah
merupakan anak perempuan dari Imam Abu ‘Utsman Sa’id bin Isma’il al-Hiri
an-Naisaburi (w. 298 H), seorang ulama dan wali besar dari Naisabur.
Imam
al-Dzahabi menggambarkan kedudukannya dengan kalimat:
“Abu
Utsman al-Hiri adalah seorang syekh (ulama), imam, ahli hadits, pemberi nasihat,
dan keteladanan.
(Ia)
adalah syaikhul Abu ‘Utsman, Sa’id bin Isma’il bin Sa’id bin Manshur
an-Naisaburi al-Shufi”
Imam
al-Hakim mengatakan, para ulama tidak ada yang meragukan kemustajaban doa Abu
‘Utsman al-Hiri.
Kezuhudan,
kepakaran dan penghambaannya kepada Allah diakui oleh hampir semua ulama di
zamannya.
Dari
sekian banyak anak-anaknya, menurut Imam Abdurrahman al-Sulami, Aisyah adalah
yang paling zuhud, wara’, dan paling tinggi keadaan kerohaniannya.
Seperti
ayahnya, doanya terkenal mustajab.
Imam
Abdurrahman al-Sulami menulis:
“Aisyah
merupakan anak Abu ‘Utsman yang paling zuhud dan paling wara’”, Ia mendapatkan
pendidikan langsung dari ayahnya, mempelajari berbagai ilmu agama dari mulai
Al-Qur’an, hadits dan lain sebagainya.
Didikan
ayahnya berpengaruh besar pada kehidupannya, sehingga ia melalui jalan yang
sama dengan ayahnya.
Ketekunannya
dalam belajar; keistiqamahannya dalam membersihkan hati, menjadikannya seorang
ulama dan wali perempuan yang mumpuni.
Imam
Abdurrahman al-Sulami mengatakan bahwa, ‘Aisyah merupakan anak Abu ‘Utsman
al-Hiri yang paling menonjol. Tingkat kerohaniannya jauh melebihi
saudara-saudaranya, baik yang laki-laki maupun perempuan (wa ahsanihim hâlan).
*****
Sebagai
seorang ibu, ia pun tidak lupa mendidik anak-anaknya.
Salah
satu anaknya yang paling terkenal adalah Ummu Ahmad.
Betapa
kuatnya pengaruh dan kharismanya, para ulama lebih sering menisbatkan nasab Ummu
Ahmad kepada ibunya.
Imam
Abdurrahman al-Sulami menyebutnya, Ummu Ahmad binti ‘Aisyah.
Kelak,
Ummu Ahmad menjadi wali perempuan yang masyhur juga.
Dalam
catatan Imam Abdurrahman al-Sulami, Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri selalu
menasihati anaknya, Ummu Ahmad.
******
Beberapanya
adalah “Aku mendengar anak perempuannya, Ummu Ahmad binti ‘Aisyah, berkata: Ibuku
berkata kepadaku:
“Wahai puteriku, jangan kau
(gantungkan) kesenanganmu terhadap (sesuatu) yang fana, dan jangan pula kau
mencemaskan (sesuatu yang bisa) hilang. (Gantungkanlah) kesenanganmu kepada
Allah, dan cemaslah dari (kemungkinan) kau gagal mendapatkan ampunan Allah.”
“Aku
mendengarnya berkata: Ibuku berkata kepadaku: “Tetapilah adab, baik secara
dhahir maupun batin. Sebab, apa saja kejelekan adab (yang dilakukan) seseorang
secara dhahir, (ia tidak akan dihukum) kecuali dihukum secara dzahir.
Dan apa
saja kejelekan adab (yang dilakukan) seseorang secara batin, (ia tidak akan
dihukum) kecuali dihukum secara batin”.
Artinya,
menjaga adab secara dzahir dan batin tidak bisa dipisahkan. Jangan sampai
perilaku jahat dzahir manusia (berlaku kasar, menghardik, dsb.,) membuat
batinnya turut terperangkap. Begitu pun sebaliknya, jangan sampai perilaku buruk
batin manusia (ujub, takabbur, hasud, dsb.,) membuat dzahirnya ikut
terperangkap juga.
Maka,
dalam ayat Al-Qur’an dikatakan (QS. Al-Falaq: 4), “wa min syarri hâsidin idzâ
hasad” ([aku berlindung kepada Tuhan] dari kejahatan pendengki ketika ia
dengki).
Dengki
adalah penyakit hati, dan siapapun orangnya memiliki potensi dengki, yang
membedakan adalah, ‘apakah dengki itu diaktifkan dalam gerak fizik (dzahir)
atau sekedar perasaan hati yang mana kita berusaha keras untuk memulihkannya.’
Jika kita
membiarkannya mewujud dalam perilaku fizik, itu artinya dzhahir kita telah
terperangkap oleh kejelekan batin kita.
Menjaga
adab, baik secara dzahir maupun batin, sangat penting untuk dilakukan.
Apalagi
Allah telah mennanam perangkat positif dan negatif di jiwa kita.
Semua
manusia berpotensi menjadi baik karena Allah menempatkan kasih sayang,
ketulusan, rasa malu, kesadaran dan watak positif lainnya.
Begitupun
sebaliknya, semua manusa berpotensi menjadi jahat karena beragamnya watak
negatif di hati manusia.
Karena
itu, ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri menasihati anaknya untuk selalu menjaga
adabnya, baik adab dhahir maupun batin.
‘Aisyah
juga menasihatkan agar manusia bisa memahami kemaha-adaan Allah dan merasakan
kehadiran-Nya.
Misalnya
ia mengkritik orang yang merasa sepi dengan kesendirian (kesepian).
Baginya,
Allah Maha Selalu Ada, maka tidak ada kesepian dalam hidupnya, karena Allah
selalu bersamanya.
Ia
mengatakan: “Barangsiapa yang merasa kesepian dalam kesendiriannya, itu
(disebabkan oleh) kurangnya kemesraannya dengan Tuhannya.”
Di waktu
lain, ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri mengeluarkan ungkapan yang indah
tentang menghargai sesama.
Karena
penghargaan terhadap sesama merupakan bentuk kebenaran dari pengagungan
terhadap sang Pencipta.
Ia
mengatakan
“Barangsiapa
yang memandang rendah seorang hamba, (itu pasti) karena kurangnya pengetahuan
tentang Sang Tuan (Allah). Sebab, barangsiapa yang mencintai Sang Pencipta,
maka ia akan mengagungkan ciptaan-Nya.”
Nasihat
ini perlu kita renungkan secara mendalam. Selama ini, tanpa disadari, kita
sering memandang rendah orang lain, bahkan sering menyamakan mereka dengan
binatang, dan melekatkan predikat tersebut kepada mereka.
Padahal,
kita tidak punya hak sama sekali untuk melakukan itu kepada sesama makhluk
Allah.
Sebab,
seperti yang dikatakan ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri,
“barangsiapa
yang mencintai Sang Pencipta, maka ia akan mengagungkan memuliakan
ciptaan-Nya.”
Itu
artinya, jika kita memandang rendah seseorang, itu sama saja kita sedang
memandang rendah Penciptanya, na’udzu billahi min dzalik.
‘Aisyah
binti Abu ‘Utsman al-Hiri wafat di tahun 346 H.
Ia
telah mewariskan pengetahuan kerohanian yang luar biasa, hingga sampai di
generasi kita sekarang ini. Pertanyaannya, inginkah kita mencoba mengamalkannya
Tiada ulasan:
Catat Ulasan