Diriwayatkan oleh Ibnu
Mahdi berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Malik tentang suatu
masalah.”
Imam Malik menjawab: “lâ
uhsinuhâ aku tidak mengerti masalah itu dengan baik.”
Kemudian laki-laki itu
berkata: “(Tolonglah) aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya
kepadamu tentang masalah ini.”
Imam Malik berkata
kepadanya: “Ketika kau kembali ke tempat tinggalmu, kabarkan pada masyarakat di
sana bahwa aku berkata kepadamu: lâ uhsinuhâ aku tidak mengerti masalah
tersebut dengan baik.”
****
Sekarang ini kita
berada di zaman otoriti (kepakaran) tidak lagi dianggap penting, dan teks
terjemah Al-Qur’an atau hadits dianggap setara dengan teks aslinya.
Kita sering melihat
potongan gambar terjemahan ayat Al-Qur’an atau hadits digunakan untuk
menghakimi sesuatu dengan mengatakan, “Penjelasan/pendapat kiai ini salah
karena tidak sesuai ayat Al-Qur’an. Bukankah dalam Al-Qur’an sudah jelas
dikatakan....”
sembari melampirkan
potongan gambar terjemahan ayat.
Padahal ada proses
panjang dan rumit dalam menghukumi sesuatu, apalagi menghakimi sebuah pendapat
yang lahir melalui proses ilmiah yang panjang. Salah satu contohnya adalah ayat
Al-Qur’an surat al-Baqarah [2]: 228:
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu selama) tiga kali quru’.....” (Q.S.
al-Baqarah [2]: 228)
Kata “qurû’”
dalam ayat tersebut mengandung makna ganda yang saling bertentangan, bisa
bermakna “sedang mengalami haid” dan bisa juga bermakna “suci dari haid.”
Imam Jalâluddîn
al-Mahalli dalam Syarh al-Waraqât mengatakan, “fa innahu
yahtamilul athhâr wal haidl sesungguhnya lafad qurû’ mengandung
makna suci dan makna haid.”
Perbedaan pemaknaan
ini dapat melahirkan hukum yang berbeda.
Imam al-Syafi’i dan
Imam Malik mengartikan “qurû’” sebagai “suci dari haid”, sedangkan Imam
Ahmad dan Imam Abu Hanifah mengartikannya “mengalami haid”.
Perbedaan pendapat ini
berpengaruh pada cara hitung masa iddah wanita. Bagi yang mengamalkan makna
“suci dari haid” masa iddahnya menjadi lebih pendek dari yang mengamalkan makna
“mengalami haid”. Karena habisnya masa iddah dihitung dari masa sucinya, bukan
dari berakhirnya haid.
Melihat contoh di
atas, ayat Al-Qur’an ternyata memiliki banyak jenis yang harus didekati dengan
pendekatan yang berbeda-beda.
Jenis ayat di atas
disebut mujmal dalam terminologi ushul fikih.
Mujmal sendiri berarti,
“kullu lafd lâ yu’lam al-murâd minhu setiap lafad yang tidak diketahui maksud
pastinya.”
Untuk lebih jelas
silahkan pelajari ushul fiqih, ulumul Qur’an, dan ilmu-ilmu lainnya.
******
Dengan demikian, kita
perlu meneladani Imam Malik.
Ia menolak menjawab
pertanyaan yang berada di luar pemahamannya dengan mengatakan, “lâ uhsinuhâ”
yang berarti “aku tidak mengerti dengan baik masalah tersebut.”
Ia tetap bertegas
menolak menjawab meski laki-laki itu berusaha meyakinkannya dengan kalimat,
“aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang
masalah ini.”
Bahkan, ia menyuruh
laki-laki itu untuk menyampaikan pada masyarakat di tempatnya bahwa ia tidak
benar-benar tahu.
Dalam kisah ini, Imam
Malik tidak malu mengatakan dirinya tidak tahu. Ia tidak takut orang-orang
menganggapnya bodoh. Ia tidak takut dianggap keterlaluan dengan membiarkan
laki-laki itu pulang dengan tangan hampa meski telah melakukan perjalanan jauh.
Imam Malik ingin menegaskan
bahwa pengamalan agama harus dibangun dengan pengetahuan dan rasa takut kepada
Allah.
Imam Malik mengatakan:
“Ilmu itu bukanlah
banyaknya riwayat, melainkan cahaya yang diletakkan Allah dalam hati.” (Imam
Jalâluddîn Abû al-Farj bin al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, hlm 361)
Jika ditarik dalam
konteks sekarang, perkataan Imam Malik dapat difahami dengan rangkaian kalimat,
“pengetahuan itu bukan seberapa banyak kau hafal dalil agama, dan
bukan pula seberapa cepat kau menjawab pertanyaan agama, melainkan cahaya yang
diletakkan Allah di hatimu.”
Cahaya itu bersifat
menerangi.
Kata sebagian bijak
bestari, manusia bisa melihat bukan sekedar karena dia punya mata, tapi juga
karena adanya cahaya. Dengan cahaya kita bisa melihat dengan utuh, tidak
sepotong-potong. Jika cahaya telah memasuki hatinya, cahaya itulah yang
kemudian membuatnya melihat dengan jelas dirinya sendiri. Dia bisa bercermin
untuk menakar seberapa dalam pengetahuannya sebelum mengukur seberapa kuat
imannya. Dia menjadi tahu seberapa besar pengetahuan yang dimilikinya, sehingga
ketika ada pertanyaan, dia memahami betul jika dia memiliki jawabannya atau
tidak.
Selain itu, cahaya
adalah simbol pencerahan dan perubahan. Lambang dari pengetahuan. Karena itu,
Imam Malik berpandangan pengetahuan bukan seberapa banyak hafalan riwayat dan
penyebarannya, tapi cahaya yang menerangi hati manusia. Kenapa cahaya dijadikan
sebagai simbol? Karena cahaya tidak pernah memilih siapa atau apa yang diteranginya.
Cahaya menghangatkan
semuanya seperti matahari. Hafez (w. 1390 M), seorang penyair Persia berpuisi:
“Even after all this time, the sun never says to the earth, 'You owe me.'
Look what happens with a love like that. It lights the whole sky bahkan
setelah sekian lama, matahari tak pernah sekalipun berujar pada bumi, ‘Kau
berhutang padaku.’
Lihatlah, apa yang
terjadi dengan cinta semacam ini. Itu menerangi seluruh langit.” (Hafez, The
Gift: Poems by Hafez, The Great Sufi Master,)
Artinya, orang yang
berilmu harus menjadi pelita bagi semuanya tanpa pandang bulu.
Pelita yang mencahayai
jalan yang harus ditempuh manusia. Dalam kisah di atas, Imam Malik sedang
menerapkannya. Ia tidak mau menjerumuskan orang lain dengan jawabannya. Bagi
orang-orang berilmu, sedikit tahu masih kurang untuk membuat mereka
berpendapat, apalagi jika mereka merasa benar-benar tidak tahu.
Karenanya, Imam Malik
butuh waktu untuk melakukan riset, telaah, dan pandangan dari berbagai sisi
sebelum memberikan jawabannya. Ia pun tanpa ragu menjawab, “aku tidak tahu.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan