Catatan Popular

Selasa, 8 April 2025

HIKAM IBN ATHAILLAH : (2) lBADAH DAN USAHA HARUS SEIMBANG

Kitab Hikam Ibn Athaillah dan Penjelasannya (Karya Ibn Athaillah)


"Keinginanmu untuk tumpu (ibadah) kepada Allah Swt padahal Dia telah menetapkan agar berusaha merupakan bagian dari syahwat tersembunyi. Keinginanmu berusaha padahal Dia menetapkan untuk tumpuan konsentrasi beribadah merupakan bentuk penurunan semangat yang tinggi.”


Keinginan Anda untuk mengonsentrasikan diri beribadah kepada Allah Swt. dan melepaskan diri dari segala usaha, pekerjaan, clan tindakan yang sebenarnya tidak terlarang secara syara', bahkan tidak pula makruh, merupakan bagian dari syahwat yang tersembunyi. 


Allah Swt. Yang Maha Bijaksana telah mengatur segala urusan hamba-Nya, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang nyata maupun yang tersembunyi. 


Tidak ada seorang manusia pun di dunia, kecuali ia berada di bawah pengaturanNya; walaupun ia kafir. Walaupun Anda mengonsentrasikan diri untuk beribadah kepada Allah Swt., akan tetapi Anda tetap harus berusaha dan bekerja demi menghidupi diri sendiri dan keluarga. 


Allah Swt. sudah menentukan bahwa rezeki itu tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi harus dicari dan diusahakan. 


Jika pekerjaan Anda hanya di masjid maka tidak ada rezeki yang menghampirinya.


Hal ini sesuai dengan perkataan Umar bin Khathab Ra., "Sesungguhnya, langit tidak menurunkan hujan emas dan perak." 


Keinginan seorang hamba yang menyelisihi ketentuan Allah Swt. dalam syariat-Nya adalah bentuk syahwat tersembunyi. Sebagai seorang hamba, tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali menjalankan sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Kita tidak memiliki kemampuan apa pun. Semua kekuatan dan kekuasaan berada di tangan-Nya. 


Janganlah sampai kesombongan merasuk ke dalam diri, sehingga merasa paling hebat dan tidak membutuhkan siapa pun, bahkan terhadap Sang Pencipta. Ini adalah sebuah tindakan jenayah dalam akidah yang harus dibuang jauh-jauh. 


Dalam setiap ketentuan-Nya, pasti ada hikmah dan faedah yang sebagian besarnya tidak mampu diketahui oleh akal manusia. 


Sebaliknya, keinginan kita untuk berusaha dan melarutkan diri di dalamnya, sehingga lalai beribadah menyembah Allah Swt., merupakan bentuk keterpurukan dari semangat yang tinggi. 


Di zaman sekarang, dikenal dengan istilah workaholic. Bekerja terus-menerus tanpa mengenal lelah dan istirahat, bahkan jikalau tidak bekerja maka ia akan sakit. Tindakan seperti ini juga tidak diizinkan oleh syariat. 


Bagaimana mungkin Anda melarutkan diri dalam pekerjaan, padahal Sang Pencipta telah mengatur Anda untuk melarutkan diri dalam ibadah kepada-Nya (apabila tiba waktunya)? 


Hal ini agar Anda bisa bersama-Nya, menyaksikan-Nya, dan merasakan kenikmatan di hadapan-Nya. 


Ketika Anda lalai dalam menyembah Allah Swt., dan sibuk dengan usaha-usaha yang bersifat keduniaan, maka Anda telah terperosok ke dalam jurang kehinaan. 


Anda telah kehilangan semangat yang seharusnya dimiliki seorang muslim, yaitu semangat beribadah kepada-Nya dan mengharapkan keridhaan-Nya. Orang yang memiliki semangat tinggi selalu mengharapkan sesuatu yang diharapkan oleh Penciptanya.


Jikalau Allah Swt. menginginkannya untuk beribadah maka ia akan beribadah. 


Jikalau Dia menginginkannya untuk bekerja dan berusaha maka ia akan mengerjakannya. 


Kita adalah hamba, dan seorang hamba harus rela terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Tuannya. 


Jikalau Tuan menetapkan untuk beribadah, maka seorang hamba harus mengerjakannya. Jikalau Tuan menetapkan untuk berusaha maka ia juga harus mengerjakannya sepenuh hati


###########    


Keinginan seorang hamba yang menyelisihi ketentuan Allah Swt. dalam syariat-Nya adalah bentuk syahwat tersembunyi


HIKAM IBN ATHAILLAH : (1) JANGAN MEMBANGGAKAN AMALAN

Kitab Hikam Ibn Athaillah dan Penjelasannya (Karya Ibn Athaillah)


"Di antara tanda bergantung pada pekerjaan yang shalih adalah kurangnya keinginan untuk melakukan kemaksiatan." 


Terkadang, ketika seorang muslim melakukan berbagai amal shalih, ia menyangka bahwa itu cukup untuk menyelamatkannya dari api neraka, dan memasukkannya ke dalam surga Allah Swt. Ia bergantung pada amalan-amalannya itu. 


Ketika ia melakukan suatu kemaksiatan maka ia hanya cuek bebek. Dalam fikirannya, semua itu akan tergantikan oleh amalan-amalan shalih yang selama ini dilakukannya. la menggantungkan harapannya pada amalan-amalan itu, dan mengurangi rasa berharap kepada Allah Swt.


Sebenarnya, ini adalah sebuah kesalahan besar. 


Seorang muslim tidak akan pernah memasuki surga-Nya dengan amalan-amalan shalih saja, akan tetapi dengan rah mat-Nya. 


Selain itu, tindakan seperti ini juga merupakan sebuah bentuk kesyirikan, karena menggantungkan harapan pada selain-Nya. Padahal, dalam setiap shalat, kita melantukan, "Kepada-Mu kami menyembah, dan kepada-Mu pula kami meminta tolong." 


Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang ahli ibadah ditanya ketika berada di dekat Mizan, 

"Apakah engkau ingin masuk surga dengan amalanmu atau rahmat-Ku?" 

Karena laki-laki ini merasa yakin dengan amalan-amalan yang selama ini dilakukannya, maka ia menjawab, "Dengan amalan-amalanku." 


Tatkala ditimbang, ternyata amalan-amalannya itu tidak mampu memasukkannya ke surga, sehingga ia dilemparkan ke Neraka. 


Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa seorang pembunuh 99 jiwa dimasukkan oleh Allah Swt. ke surga-Nya, padahal ia belum melakukan amal shalih sedikit pun. 


Begitu juga halnya dengan seorang pelacur yang berhak memasuki surga-Nya, itu hanya karena menolong seekor anjing yang kehausan. 


Semua itu semata-mata karena rahmat Allah Swt. Seorang mukmin sejati yang mengenal Tuhannya selalu bergantung pada Tuhannya, bukan amalan-amalannya.


#####

[Seorang muslim tidak akan pernah memasuki surga-N ya dengan amalan-amalan shalih saja, akan tetapi dengan rahmat¬Nya]


Sabtu, 5 April 2025

Pertanyaan Kelima Belas PASAL (14) : Tempat Ruh setelah kematian di tubuh-tubuh lain.

PASAL Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa tempat ruh-ruh setelah kematian terjadi adalah di dalam tubuh-tubuh lain yang berbeda dari tubuh-tubuh mereka di dunia. 


Pendapat seperti ini mengandung kebenaran, tapi juga mengandung kebatilan.

 

Bagian yang benar dari pendapat ini adalah bagian yang dikabarkan oleh Rasulullah ash-Shadiq al-Mashdiiq saw. mengenai ruh-ruh para syuhada; bahwasanya ruh-ruh mereka berada di dalam tembolok burung hijau yang hinggap di lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Lentera-lentera itu bagaikan sarang bagi burung-burung tersebut. Rasulullah saw. secara gamblang menyatakan dalam sabda beliau, “Allah menempatkan ruh-ruh mereka di dalam rongga tubuh burung hijau.”

 

Adapun sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “Nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung) di pepohonan surga”, mengandung kemungkinan pengertian bahwa burung tersebut menjadi kendaraan bagi ruh sebagaimana layaknya badan baginya. Hal itu terjadi bagi sebagian dari kaum mukminin dan para syuhada. Akan tetapi, mungkin pula pengertian dari sabda Rasulullah itu, yaitu bahwa ruh menjelma dalam wujud burung. Pendapat ini dipilih oleh Abu Muhammad bin Hazm dan Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr.

 

Pernyataan Abu ‘Umar dan bantahan terhadap pendapatnya telah kami sampaikan di bagian yang lalu.

 

Adapun pendapat Ibnu Hazm; dia menyatakan bahwa pengertian dari sabda Rasulullah saw., “Nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung)” adalah sebagaimana pengertian lahiriahnya, bukan seperti dugaan orang-orang dungu. Rasulullah saw. mengabarkan bahwa nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung) dan itu berarti bahwa ruh orang mukmin dapat terbang di dalam surga, bukan bahwa ruh itu menjelma dalam wujud burung.

 

Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa apabila muncul pernyataan bahwa “nasamah” adalah kata berbentuk feminin (mu‘annats), kami akan menyatakan bahwa sebuah cerita yang sahih telah disampaikan tentang seorang Arab yang fasih berkata, “Suratku telah sampai padamu!” (atatka kitabi) dan dia menggunakan verba feminin (fi’il muannats) “atat” untuk menyebut “kitab” yang merupakan kata maskulin (ism mudzakkar).

 

Orang yang menjadi lawan bicara si Arab fasih itu pun balik bertanya, “Apakah engkau menjadikan feminin kata “kitab?”

 

Orang Arab fasih itu balik bertanya, “Bukankah surat itu isinya lembaran (shahifah)?”

 

Demikianlah pula halnya dengan kata “nasamah” (berbentuk feminin) yang berarti “rah” (berbentuk maskulin), sehingga kata nasamah itu pun diubah menjadi maskulin disebabkan hal itu.

 

Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa adanya tambahan di dalam dalil tersebut di atas yang menyebutkan bahwa ruh-ruh itu “berada di dalam tembolok burung hijau”, sebenarnya itu merupakan penjelasan tentang sifat lentera-lentera yang menjadi tempat hinggap burung-burung tersebut. Kedua hadis-hadis itu sebenarnya adalah satu Hadis-hadis tunggal.

 

Tentu saja, apa yang dinyatakan olehnya (Ibnu Hazm) merupakan pendapat yang sangat rusak baik dari segi lafalnya maupun pengertiannya karena sebenarnya hadis, “Nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung) di pepohonan surga” bukanlah Hadis-hadis “Ruh-ruh para syuhada berada di dalam tembolok burung hijau.”

 

Adapun apa yang dijelaskannya itu tampaknya berkaitan dengan hadis-hadis pertama. Adapun hadis-hadis yang kedua, sama sekali tidak ada kemungkinan pengertian seperti itu karena Rasulullah saw. mengabarkan bahwa sub-ruh mereka berada di dalam tembolok burung; atau dinyatakan pula dengan kalimat, “…berada dalam rongga tubuh burung hijau”; atau dinyatakan pula dengan kalimat, “…burung putih”. Kemudian Rasulullah saw. mengabarkan bahwa burung tersebut berhilir mudik di dalam surga, Makan dari buah-buahannya, minum dari sungai-sungainya, lalu mereka hinggap di lentera-lentera yang bergantungan di bawah Arsy, sehingga lentera-lentera itu bagaikan sarang bagi burung-burung itu.

 

Jadi, pernyataannya (Ibnu Hazm) bahwa tembolok burung-burung itu merupakan sifat lentera-lentera yang dihinggapinya adalah sebuah kesalahan yang parah! Karena sebenarnya lentera-lentera itu merupakan tempat hinggap burung-burung tersebut.

 

Sampai di sini, ada tiga perkara yang dijelaskan secara gamblang oleh hadis-hadis di atas, yaitu: 1. Arwah, 2. Burung yang ruh-ruh tersebut ada di dalam rongga tubuhnya, dan 3. Lentera-lentera yang menjadi tempat hinggap burung-burung tersebut.

 

Lentera-lentera yang disebutkan dalam hadis-hadis itu tetap berada di bawah Arsy dan tidak dapat berhilir mudik. Burung-burung itu dapat berhilir mudik ke sana ke mari. Sementara itu, ruh-ruh itu berada di dalam rongga tubuh burung-burung itu.

 

Apabila dikatakan bahwa ada kemungkinan pengertian bahwa jiwa (nafs)-lah yang menjelma menjadi wujud burung, bukan bahwa ia berada di dalam tubuh burung, berdasarkan firman Allah swt.,

 

“Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS. al-Infithar [82]: 8)

 

Dan hal itu ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw. dalam lafal yang lain, “Ruh-ruh mereka seperti burung hijau”. Seperti itulah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah, Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami, dari A’masy, dari “Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dari ‘Abdullah. Abu “Umar menyatakan, “Pendapat yang tepat menurutku-wallahu a’lam-adalah bahwa pernyataan orang yang berpendapat bahwa “seperti burung” (ka-thair) artinya adalah “berbentuk burung” (shuwar thair) disebabkan kecocokannya dengan hadis-hadis yang telah disebutkan, yaitu hadis-hadis dari Ka‘b bin Malik yang menuturkan tentang nyawa (nasamah) orang mukmin.

 

Jika ada yang menyatakan seperti itu, jawabannya yaitu hadis-hadis, tersebut memang telah diriwayatkan dengan menggunakan dua kalimat tersebut. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam, kitab ash-Sahih, dari hadis-hadis riwayat A’masy, dari Masruq berbunyi “Ruh-ruh mereka berada di dalam rongga tubuh burung hijau”. Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu “Abbas dan Ka’b bin Malik Hadis-hadis mereka berdua tidak berikhtilaf bahwa ruh-ruh itu berada di dalam rongga tubuh burung hijau (fi ajwaf thair khudhr).

 

Adapun hadis-hadis Ibnu ‘Abbas ra. berbunyi: ‘Utsman bin Aby Syaibah menyatakan, ‘Abdullah bin Idris menuturkan kepada kanji, dari Muhammad bin Ishaq, dari Isma‘il bin Umayyah, dari Abu Zubair, dari Said bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Ketika saudara-saudara kalian gugur (maksudnya dalam Perang Uhud) Allah swt. menempatkan ruh-ruh mereka di rongga tubuh burung hijau yang minum dari sungai-sungai surga dan makan dari buah-buahannya. Mereka hinggap di lentera-lentera emas yang bergan. tungan di naungan Arsy. Ketika mereka mendapati semerbak minuman dan makanan serta keindahan tempat tidur mereka, mereka pun ber. kata, “Siapakah yang dapat menyampaikan kepada saudara-saudara kami bahwa kami semua hidup di dalam surga dengan dilimpahi rezeki, agar mereka tidak lari dari peperangan dan tidak menghindari Jihad?” Allah swt. lalu berfirman, “Aku akan menyampaikan ucapan kalian itu kepada mereka.” Allah lalu menurunkan ayat,

 

“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)

 

Adapun Hadis-hadis Ka‘b bin Malik yang termaktub dalam keempat kitab Sunan dan kitab Musnad karya Imam Ahmad dengan lafal dari riwayat Tirmidzi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya ruh-ruh para syuhada berada dalam burung hijau yang makan (atau bergelantung) di buah-buahan surga atau pepohonan surga.” Tirmidzi menyatakan bahwa status hadis-hadis ini hasan sahih.

 

Tidak ada mudarat apa pun dalam hal ini. Ia tidak melanggar kaidah syariat apa pun dan tidak bertentangan dengan nas mana pun dari Kitabullah ataupun sunah Rasulullah saw. Alih-alih hal ini merupakan bentuk kesempurnaan pemuliaan Allah swt. bagi para syuhada dengan mengganti tubuh-tubuh mereka yang telah dirusak oleh musuh-musuh Allah, dengan tubuh-tubuh baru yang lebih baik dari tubuh lama mereka yang tubuh-tubuh baru itu menjadi “kendaraan” bagi ruh-ruh mereka demi tercapainya kenikmatan mereka dengan tubuh-tubuh baru jtu. Kelak ketika Hari Kiamat tiba, Allah akan mengembalikan ruh-ruh mereka ke badan-badan yang dulu menjadi tempat ruh-ruh mereka ketika masih hidup di dunia.

 

Apabila ada yang mengatakan bahwa pendapat seperti ini menunjukkan paham reinkarnasi dan menitisnya arwah ke dalam tubuh yang bukan tubuh mereka, maka jawaban atas pernyataan itu, yaitu sebagai berikut:

 

Pengertian ini telah ditunjukkan oleh sunah yang jelas sebagai sebuah kebenaran yang wajib diyakini. Pengertian ini tidak dapat dianggap batil hanya karena disebut sebagai paham reinkarnasi. Hal ini sama dengan sifat-sifat Allah swt. yang telah ditunjukkan oleh dalil aqli dan dalil naqli, serta nama-nama-Nya yang disebut al-asma’ al-husna, semuanya semata-mata merupakan kebenaran yang tidak dapat dianggap batil hanya karena dituduh oleh kalangan sesat yang menyebut hal itu sebagai tarkib dan tajsim.

 

Kalangan sesat itu menyebut bahwa Arsy Allah tabaraka wa ta‘ala “bertempat” dan “berarah”, dengan tujuan agar dengan itu mereka dapat mencapai penafian terhadap ketinggian-Nya atas segenap makhluk-Nya dengan persemayaman-Nya di atas arsy-Nya.

 

Hal ini sama dengan tindakan kaum Syi’ah Rafidhah yang menyebutkan kesyi‘ahan semua sahabat Rasulullah saw. dengan kecintaan dan doa bagi mereka semua. Atau seperti tindakan aliran Qadariyah Majusiyah yang menyebut takdir sebagai pemaksaan. Padahal hakikat segala sesuatu bukan pada penyebutannya, melainkan pada hakikatnya.

 

Yang ingin saya sampaikan dengan penjelasan di atas yaitu untuk Menunjukkan bahwa penyebutan terhadap apa yang ditunjukkan oleh sunah yang jelas bahwa ruh-ruh para syuhada berada di dalam rongga burung hijau itu dengan istilah “‘reinkarnasi” tidak dapat menggugurka, pengertian ini karena reinkarnasi yang batil adalah seperti apa yang di nyatakan oleh musuh-musuh para rasul dari kalangan kafir dan lainnya yang semuanya mengingkari adanya akhirat; yaitu dengan menyatakan bahwa ruh-ruh manusia setelah terpisah dari badannya akan berpindah ke jasad berbagai jenis binatang, serangga dan unggas yang sesuai dan bentuknya menggambarkan ruh yang bersangkutan.

 

Apabila ruh-ruh manusia telah berpisah dari jasad-jasad mereka mereka akan berpindah ke tubuh-tubuh binatang itu untuk merasakan nikmat atau menerima siksa. Setelah itu, ruh-ruh tersebut akan berpisah lagi dari tubuh-tubuh binatang itu untuk berpindah lagi ke tubuh-tubuh lain yang sesuai dengan perbuatan dan akhlak ruh-ruh yang bersangkutan. Dan demikian seterusnya. Itulah “tempat kembali” bagi semua ruh menurut mereka, sebagai bentuk pemberian nikmat atau siksa bag; ruh-ruh tersebut. Tidak ada “tempat kembali” bagi ruh-ruh itu selain hanya dengan bentuk seperti itu. Inilah “reinkarnasi” yang batil dan bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh semua rasul dan nabi dari yang paling pertama sampai yang paling terakhir. Keyakinan seperti ini adalah bentuk kekufuran kepada Allah dan Hari Akhir.

 

Kelompok ini menyatakan bahwa tempat tinggal ruh-ruh setelah terpisah dari badan-badan mereka, berada di dalam tubuh binatang yang sesuai dengan ruh yang bersangkutan. Ini merupakan pendapat yang paling batil dan busuk.

 

Di bawah mereka adalah pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh manusia akan musnah begitu saja dengan terjadinya kematian sehingga tidak ada ruh apa pun yang akan mengenyam nikmat atau merasakan azab. Alih-alih, kenikmatan dan siksa akan dirasakan oleh seluruh atau sebagian anggota tubuh; baik bagian tubuh itu adalah Tulang Ekor maupun bagian yang lain. Allah menciptakan sakit dan nikmat di dalamnya. Atau kenikmatan dan siksa akan dirasakan dengan dikembalikannya kehidupan kepadanya seperti yang dinyatakan oleh sebagian pengikut pendapat ini; atau dengan tanpa dikembalikannya kehidupan kepadanya, menurut pendapat sebagian yang lain dari mereka. Jadi, menurut mereka tidak ada azab apa pun di dAlam Barzakb kecuali hanya terhadap jasad.

 

Sementara itu yang menjadi tandingan mereka, yaitu orang yang menyatakan bahwa ruh tidak dikembalikan ke dalam jasad dengan cara apa pun juga dan tidak memiliki hubungan lagi dengannya. Azab dan nikmat hanya akan dirasakan oleh ruh.

 

Sunah yang jelas dan mutawatir telah menolak pendapat kelompok yang pertama dan kelompok yang kedua. sunah menjelaskan bahwa siksa akan ditimpakan kepada ruh dan juga jasad dalam kondisi keduanya persatu dan sendiri-sendiri.

 

Apabila ada yang bertanya, “Anda telah menjelaskan tentang berbagai pendapat orang-orang tentang tempat menetap dan tempat diambilnya arwah manusia. Jadi, yang manakah pendapat yang paling tepat di antara semua pendapat itu agar kami dapat mengikutinya?”’

 

Jawaban atas pertanyaan itu adalah sebagai berikut:

 

Ruh-ruh memiliki perbedaan tempat tinggal di Barzakh dengan perbedaan yang sangat beragam.

 

Di antara mereka ada arwah yang berada di illiyyin yang tertinggi (a’la ‘illiyyin) pada al-Mala al-A’la. Mereka adalah ruh-ruh para nabi shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim,. Dan mereka juga berbeda-beda tempatnya seperti yang dilihat oleh Rasulullah saw. pada malam Isra’

 

Di antara mereka ada ruh-ruh yang berada di dalam tembolok burung hijau yang hilir mudik di dalam surga ke mana pun sekehendak mereka. Ini adalah ruh-ruh sebagian dari para syuhada, bukan mereka secara keseluruhan. Mereka adalah para syuhada yang ruhnya tertahan untuk dapat memasuki surga disebabkan adanya utang atau perkara tertentu yang masih harus ditanggungnya. Demikian yang dijelaskan dalam al-Musnad karya Imam Ahmad, dalam sebuah riwayat dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Jahsy; bahwasanya suatu ketika seseorang mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang kudapat seandainya aku terbunuh di jalan Allah?” Rasulullah saw. menjawab, “Surga!” Akan tetapi, ketika orang itu beranjak pergi, Rasulullah saw. berujar, “Kecuali apabila ada utang. Jibril baru saja menyampaikan kepadaku.’’

 

Di antara mereka ada yang tertahan di depan gerbang surga. Demikian yang dinyatakan dalam sebuah hadis lain, “Kulihat sahabat kalian tertahan di depan gerbang surga.”

 

Di antara mereka ada yang tertahan di kuburnya. Seperti yang disebutkan dalam Hadis-hadis tentang pencuri mantel yang mati syahid. Kala itu orang-orang berkata, “‘Berbahagialah Karena dia mendapatkan surga!” Akan tetapi, Rasulullah saw. menukas “Tidak! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya, mantel yang dia curi itu akan menyulut api di dalam kuburnya!”

 

Di antara mereka ada yang tempat tinggalnya berada di gerbang surga. Seperti yang disebutkan dalam hadis-hadis dari Ibnu Abbas ra “Para syahid berada di tepi sungai di gerbang surga pada kubah, hijau. Rezeki mereka keluar menuju mereka dari surga di setiap pagi dan petang.” (HR. Ahmad). Kondisi ini berbeda dengan yang dialami oleh Ja’far bin Abu Thalib ra. yang Allah swt. telah men, beri ganti bagi kedua tangannya dengan dua sayap yang dapat ia gunakan untuk terbang di dalam surga sekehendaknya.

 

Di antara mereka ada yang tertahan di bumi karena ruh mereka tidak dapat naik ke al-Mala al-A’la. Itu adalah ruh-ruh rendah yang bersifat ardi (al-anfus al-ardhiyyah) karena jiwa-jiwa yang bersifat ardi tidak akan dapat berkumpul dengan jiwa-jiwa sama. wi (al-anfus as-samawiyyah). Sebagaimana ruh-ruh bersifat bumi tidak dapat berhimpun dengan ruh-ruh yang bersifat langit ketika mereka masih hidup di dunia. Jiwa yang ketika di dunia tidak pernah mengenal Rabb-nya, tidak – pernah memiliki cinta kepada-Nya, tidak pernah berzikir mengingat-Nya dan tidak pernah bermesraan dalam takarub pada-Nya adalah jiwa yang bersifat ardi dan rendah (ardhiyyah sufliyyah), sehingga tidak ada tempat baginya setelah ia terpisah dari jasadnya, kecuali hanya dij bumi yang rendah itu.

 

Sementara itu jiwa yang bersifat luhur (an-nafs al-ulwiyyah) yang ketika di dunia senantiasa tekun dalam mahabah kepada Allah, zikir mengingat-Nya dan bermesraan dalam takarub pada-Nya, setelah ia terpisah dari jasadnya pasti akan bergabung dengan ruh-ruh luhur (al-arwah al-ulwiyyah) yang cocok dengannya karena setiap orang akan bersama orang yang dicintainya di Barzakh dan di Hari Kiamat. Allah swt. memasangkan jiwa-jiwa manusia antara satu sama lain di Barzakh dan di Hari Kiamat. Seperti yang telah disebutkan dalam hadis, “Dan Dia menempatkan ruhnya (ruh orang mukmin) bersama jiwa-jiwa baik.” Maksudnya, bersama ruh-ruh baik yang serupa dengan ruh mukmin tersebut. Jadi, setelah terpisah dari jasadnya ruh akan bergabung dengan ruh-ruh lain yang serupa dengannya, yaitu para saudara dan orang-orang yang memiliki perbuatan yang serupa dengannya. Dia akan berada bersama mereka di sana.

 

Di antara mereka ada ruh-ruh yang berada di dalam tanur; yaitu para perempuan pezina dan para lelaki pezina dan ada pula ruh-ruh yang berenang dalam sungai darah sembari dilempari batu.

 

Jadi jelaslah bahwa ruh-ruh manusia—baik yang bahagia maupun yang sengsara—tidak memiliki satu tempat tinggal yang sama. Alih-alih, ada ruh yang tinggal di ‘Illiyyun yang tertinggi tetapi ada pula ruh ardi rendah yang sama sekali tidak dapat naik meninggalkan bumi. Apabila anda mencermati pelbagai sunah dan atsar dalam masalah ini, lalu Anda perhatian semuanya sungguh-sungguh, maka Anda akan mengetahui kebenaran pendapat saya ini.

 

Jangan pernah Anda menduga bahwa antara berbagai atsar yang sahih dalam masalah ini terdapat pertentangan. Semua atsar itu benar adanya dan saling membenarkan satu sama lain. Hanya saja memang ada perbedaan pada pemahaman mengenai semua itu dan pengetahuan tentang jiwa serta berbagai hukum yang melekat padanya karena jiwa memiliki kondisi yang berbeda dengan kondisi badan. Ruh dapat berada di dalam surga yang berada di langit tetapi terhubung dengan serambi kuburnya yang badannya berada di situ. Ruh adalah sesuatu yang paling cepat gerak, perpindahan, gerak naik, dan gerak turunnya.

 

Ruh terbagi menjadi ruh yang bebas dan ruh yang tertahan, serta ruh yang luhur dan ruh yang rendah. Setelah ruh terpisah dari badan, ia bisa merasa sehat dan sakit, serta dapat merasakan kelezatan, dan kenikmatan. Ruh dapat merasakan sakit yang lebih besar daripada yang dirasakannya ketika ia masih terhubung dengan badan. Di situ terjadi penahanan, rasa nyeri, siksa, sakit, dan nestapa. Di situ pula terjadi kelezatan, kenyamanan, kenikmatan, dan kebebasan.

 

Tentu saja kondisi ruh di dalam badan seperti itu mirip dengan kondisi badan ketika berada di dalam perut ibunya dan kondisi ruh setelah terpisah dari badan mirip dengan kondisi badan setelah keluar dari perut ibunya ke dunia.

 

Jiwa memiliki tempat tinggal, yang tiap-tiap tempat tinggal lebih besar daripada yang sebelumnya. Keempat tempat tinggal itu adalah sebagai berikut:

 

Tempat tinggal pertama: Perut ibu yang begitu terbatas, sempit dan menyesakkan dengan tiga lapis kegelapan.

 

Tempat tinggal kedua: Dunia yang di situ jiwa bertumbuh dan mengayominya. Di situlah jiwa meraih kebaikan, keburukan, dan jalan menuju kebahagiaan ataupun kesengsaraan.

 

Tempat tinggal ketiga: Barzakh yang lebih luas dan lebih besar daripada dunia. Bahkan perbandingannya dengan dunia ini adalah Seperti perbandingan antara dunia ini dengan perut itu.

 

Tempat tinggal keempat: Negeri Penentuan; yaitu surga atau neraka yang tidak ada tempat lagi Setelah itu.

 

Allah swt. terus memindahkan jiwa manusia pada semua tempat tinggal itu setahap demi setahap, sampai akhirnya Dia menghantarkan jiwa manusia ke tempat tinggal yang tidak dapat ditinggali oleh yang selainnya dan tidak layak bagi yang selainnya. Itulah tempat yang diciptakan sebagai tempat bagi jiwa serta disiapkan bagi amal perbuatan yang menghantarkan jiwa itu ke tempat tersebut.

 

Pada setiap tempat tinggal itu, jiwa manusia memiliki hukum dan kondisi tertentu yang saling berbeda di antara semua tempat tinggal itu. Mahasuci Allah yang telah menciptakan dan membentuknya, mematikan dan menghidupkannya, membuatnya bahagia serta membuatnya sengsara, yang telah menciptakan perbedaan padanya sesuai derajat-derajat kebahagiaan dan kesengsaraannya, sebagaimana Dia juga menciptakan perbedaan antar berbagai jiwa pada tingkatan-tingkatan ketinggiannya, amal perbuatannya, kekuatannya, dan akhlaknya.

 

Siapa pun yang mengenalnya seperti yang semestinya, pasti ia akan dapat menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan, selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Dzat yang memiliki segenap kekuasaan. Bagi-Nya segala pujian. Di tangan-Nya segala kebaikan. Kepada-Nya segala urusan akan kembali. Dialah pemilik segala kekuatan, pemilik segala kuasa, segala kemuliaan, segala hikmah, dan semua kesempurnaan mutlak secara keseluruhan.

 

Dengan mengenal jiwanya sendiri, manusia pasti akan membenarkan semua nabi dan rasul yang Allah utus, serta meyakini bahwa ajaran yang mereka bawa adalah kebenaran yang disaksikan pula oleh akal serta dikukuhkan oleh fitrah. Sementara apa pun yang bertentangan dengannya pasti batil. 


Wabillahit taufiq.

 


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (13) : Ruh di ketiadaan Mutlak (al-’adam al-mahdh).

PASAL Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa tempat ruh-ruh adalah di ketiadaan mutlak (al-’adam al-mahdh).


Ini merupakan pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh merupakan salah satu tampilan (‘aradh) di antara berbagai tampilan tubuh, yaitu daya hidup (hayah). 


Ini adalah pendapat al-Baqillani dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya.

 

Demikian pula dinyatakan oleh Abu Hudzail al-’Allaf bahwa jiwa (nafs) merupakan sebuah tampilan (‘aradh) di antara berbagai tampilan yang ada. Akan tetapi, dia tidak menyebutkan bahwa “jiwa” adalah “hidup” (hayah), seperti yang dilakukan oleh Baqillani. Lalu dia menyatakan bahwa jiwa (nafs) adalah salah satu tampilan (‘aradh) seperti semua tampilan jisim lainnya. Menurut mereka, apabila jisim atau tubuh mengalami kematian, ruhnya “meniada” sebagaimana seluruh tampilan jisim yang keberadaannya menjadi syarat kehidupan juga menjadi tiada.

 

Di antara ada yang menyatakan bahwa tampilan (‘aradh) tidak mungkin berada pada dua waktu sekaligus seperti yang dinyatakan oleh mayoritas kalangan Asy’ariyah. Di antara pernyataan mereka adalah bahwa ruh manusia “saat ini’? bukanlah ruh manusia tersebut “sebelumnya” karena kalau memang demikian maka tidaklah mungkin terpisah kejadian yang adanya baginya satu ruh lalu ruh itu berubah, lalu ada satu ruh lagi yang kemudian berubah lagi. Demikian seterusnya untuk selamanya sehingga bagi satu individu akan terjadi pergantian seribu ruh atau lebih dalam satu saat di dalam rentang masa atau kurang dari itu.

 

Apabila individu yang bersangkutan mati, tidak akan ada ruh yang naik ke langit lalu kembali ke kuburnya dan direngkuh oleh para malaikat yang mereka bukakan bagi ruh tersebut gerbang-gerbang langit, sebagaimana pula tidak ada ruh yang diberi nikmat dan tidak pula diberi siksaan karena yang diberi nikmat dan ditimpa siksa adalah badan. Apabila Allah swt. berkehendak untuk memberi kenikmatan atau menimpakan siksa terhadap individu tertentu, Dia akan mengembalikan kehidupan kepada individu tersebut pada waktu yang Dia kehendaki Sebagai saat pemberian nikmat atau penimpaan siksa. Jika tidak seperti itu, tidak ada ruh sama sekali di situ (jasad individu yang bersangkutan) yang berada bersama jiwa individu tersebut.

 

Sebagian dari kalangan yang berpendapat seperti ini menyatakan bahwa kehidupan dikembalikan ke Tulang Ekor (‘ajb adz-dzanab) dan itulah yang akan ditimpa siksa atau diberi nikmat. Tentu saja pendapat seperti ini ditolak oleh al-Quran, sunah, ijmak para sahabat, dalil akal, dan dalil fitrah.

 

Ini merupakan pendapat orang yang tidak mengenal ruhnya, apa. lagi ruh orang lain. Allah swt. telah berbicara dengan jiwa (mafs) untuk “kembali”, “masuk” dan ‘keluar”. Nas-nas yang sahih telah secara gamblang menyatakan bahwa ruh dapat naik dan turun, direngkuh, dan dipegang, dilepaskan dan dibukakan baginya gerbang-gerbang langit dan ia juga dapat bersujud serta berbicara. Ruh dapat keluar mengalir seperti mengalirkan aliran air, serta dapat dikafani dan diberi wewangian menggunakan kafan dari surga atau dari neraka. Dinyatakan pula bahwa Malaikat Maut dapat mencabut ruh itu menggunakan tangannya, kemudian para malaikat lain mengambilnya dari tangan Malaikat Maut. Dari ruh itu juga dapat tercium aroma harum yang lebih semerbak daripada kesturi atau bau yang lebih busuk daripada bangkai. Ruh dapat dibawa dari satu langit ke langit, kemudian dikembalikan ke bumi bersama para malaikat. Apabila ruh itu keluar, pandangan orang yang bersangkutan akan melihatnya, sehingga dia dapat melihat ruh itu keluar. Al-Quran menunjukkan bahwa ruh dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga geraknya mencapai tenggorokan.

 

Semua dalil yang kami sampaikan yang menunjukkan tentang pertemuan dan perkenalan antar ruh, serta bahwasanya ruh-ruh laksana pasukan yang dikerahkan dan berbagai dalil lainnya, telah membatalkan pendapat tersebut di atas. Rasulullah saw. telah: menyaksikan ruh-ruh manusia di malam Isra’ berada di sebelah kanan dan sebelah kiri Nabi Adam as.. Rasulullah saw. juga mengabarkan bahwa nyawa orang mukmin burung yang makan di pepohonan surga, serta bahwa ruh-ruh para syuhada berada di dalam tembolok burung hijau. Allah swt. mengabarkan bahwa ruh-ruh para pengikut Fir’aun selalu ditunjukkan neraka kepada mereka di setiap pagi dan petang.

 

Ketika bantahan itu disampaikan kepada al-Baqillani, ternyata dia bersikeras untuk menjawab. Dia berkata bahwa tampaknya pendapat itu muncul dari salah satu di antara dua sisi: pertama, ruh merupakan tampilan (‘aradh) kehidupan yang diletakkan pada bagian terkecil dari bagian-bagian tubuh. Atau kedua, akan diciptakan bagi kehidupan dengan kenikmatan dan siksaan itu sebuah jasad yang baru.

 

Tentu saja pendapat ini benar-benar rusak jika ditilik dari berbagai sisi.

 

Adakah pendapat yang lebih rusak dibandingkan pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh manusia merupakan sebuah tampilan di antara berbagai tampilan yang ada sehingga ia terus berubah dari waktu ke waktu sebanyak ribuan kali? Yang apabila tampilan itu berpisah dari individu yang bersangkutan, maka tidak ada ruh lagi pada individu itu yang dapat menikmati kenikmatan ataupun merasakan siksaan. la tidak dapat naik dan tidak dapat turun. Ia tidak dapat ditahan dan tidak dapat dilepaskan.

 

Ini merupakan sebuah pendapat yang bertentangan dengan akal sehat, nas-nas Kitabullah, sunah, dan fitrah. Ini adalah pendapat orang yang tidak mengenal dirinya sendiri.

 

Di bagian mendatang akan disampaikan beberapa bukti yang menunjukkan kebatilan pendapat ini yang akan disampaikan dalam jawaban atas masalah ini, insyaallah. Pendapat ini merupakan sebuah pendapat yang tidak pernah disampaikan oleh siapa pun dari kalangan salaf umat ini dari kalangan sahabat, tabiin, dan para imam kaum muslimin.

 


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (12) : Pendapat Ibnu Hazm. ruh-ruh manusia di tempat mereka masing-masing sebelum jasad-jasad mereka diciptakan.

PASAL Adapun mengenai pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa tempat ruh-ruh manusia adalah di tempat mereka masing-masing sebelum jasad-jasad mereka diciptakan. 


Dia mendasarkan pendapatnya ini di atas mazhab yang dipilihnya; yaitu bahwa ruh-ruh manusia diciptakan sebelum penciptaan jasad-jasad.

 

Berkenaan dengan masalah ini, orang-orang memiliki dua pendapat. Sebagian besar mereka menyatakan bahwa ruh-ruh diciptakan setelah jasad-jasad.

 

Mereka yang menyatakan bahwa ruh-ruh diciptakan sebelum jasad, mereka tidak memiliki dalil apa pun dari Kitabullah, sunah ataupun ijmak; selain hanya hasil pemahaman mereka atas nas-nas yang tidak dapat menjadi dalil yang menunjukkan pendapat itu atau pemahaman atas hadis-hadis yang tidak sahih.

 

Contohnya adalah hujah yang digunakan oleh Abu Muhammad bin Hazm ketika menggunakan dalil ayat, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):

 

“Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kam, (bani Adam) merupakan orang-orang yang lengah terhadap ini,” (Qs al-A’raf [7]: 172)

 

Dan firman Allah swt., “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kalian kepada Adam”; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud,” (QS. al-A’raf [7]: 11)

 

Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa adalah benar bahwa Allah swt. telah menciptakan semua ruh (arwah) secara sekaligus. Itulah “nafs” sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah saw., “Sesungguhnya ruh-ruh itu adalah seperti pasukan yang dikerahkan. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.”

 

Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa Allah swt. lalu mengambil janji dan kesaksian dari mereka semua, ketika mereka sudah dalam kondisi “tercipta” (makhligah), “berbentuk” (mushawwarah), dan “berakal” (‘aqilah) sebelum Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam as. dan sebelum Allah memasukkan ruh-ruh itu ke dalam jasad-jasad mereka masing-masing. Pada saat itu, “jasad” semua manusia masih berwujud tanah (turab).

 

Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa alasan munculnya pendapat itu yaitu karena Allah swt. menggunakan lafal “kemudian” (tsumma) yang menunjukkan adanya urutan dan tahapan. Setelah itu Allah swt. akan mengukuhkan ruh-ruh tersebut di mana pun sekehendak-Nya; yaitu Barzakh yang ruh akan kembali ke situ ketika kematian datang.

 

Dalam penjelasan ini kami akan memaparkan dalil yang dapat dijadikan sebagai sandaran di saat menjawab pertanyaan orang yang menanyakan ihwal arwah, apakah ruh-ruh diciptakan bersama badan ataukah sebelumnya? Apabila yang dimaksud di sini adalah tempat menetap ruh-ruh manusia setelah kematian terjadi.

 

Pernyataannya (Ibnu Hazm) bahwa ruh-ruh tinggal di Barzakh yang di situlah tempat ruh-ruh itu sebelum jasad-jasad diciptakan dilandaskan pada keyakinan yang diyakininya ini.

 

Pernyataannya (Ibnu Hazm) bahwa ruh-ruh kalangan bahagia berada di sebelah kanan Adam as. dan ruh-ruh kalangan sengsara berada di sebelah kiri Adam as. memang benar adanya sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah saw.

 

Pernyataannya (Ibnu Hazm) bahwa itu terjadi di tempat terputusnya segala unsur, tidak berlandaskan dalil apa pun juga baik yang bersumber dari Kitabullah maupun sunah. Bahkan pendapat seperti itu mirip dengan pendapat orang-orang non-muslim. Hadis-hadis sahib telah menunjukkan bahwa ruh-ruh manusia berada di atas segala unsur karena mereka ada di surga di sisi Allah ta’ala. Dalil-dalil dari al-Quran juga menunjukkan hal yang sama.

 

Abu Muhammad (Ibnu Hazm) telah bersepakat bahwa ruh-ruh para syuhada berada di dalam surga. Sementara itu telah diketahui bahwa kaum Shiddiqin lebih utama daripada para syuhada. Jadi, bagaimana mungkin ruh Abu Bakar Shiddigq, “Abdullah bin Mas‘ud, Abu Darda’, Hudzaifah bin Yamna dan para sahabat Rasulullah lainnya yang seperti mereka, dapat berada di tempat terputusnya segala unsur, padahal tempat itu berada di bawah Cakrawala Terendah (al-falak al-adna) dan juga di bawah langit dunia, sementara ruh-ruh para syuhada dari zaman kita saat ini dan lainnya berada di atas segala unsur itu dan juga di atas seluruh langit?

 

Adapun mengenai pernyataannya bahwa Muhammad bin Nashr al-Marwazi telah menyatakan sebuah riwayat dari Ishaq bin Rahawaih bahwa dia telah menuturkan pendapat kami ini. Dia menyatakan bahwa dalil ini menjadi landasan bagi semua ulama dan merupakan pendapat seluruh umat Islam.

 

Saya menyatakan bahwa Muhammad bin Nashr al-Marwazi telah menyebutkan beberapa atsar dalam Kitab ar-Radd ‘ala Ibn Qutaibah dalam penjelasan mengenai tafsir firman Allah, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” (QS. al-A’raf [7]: 172)

 

Yaitu atsar yang dituturkan oleh kalangan salaf yang menjelaskan tentang dikeluarkannya keturunan Adam as. dari sulbi Adam as.

 

Kemudian dilanjutkan dengan diambilnya perjanjian dari mereka dan dikembalikannya mereka ke dalam sulbi Adam as.

 

Terdapat pula penjelasan tentang keluarnya semua keturunan Adam as. itu seperti benih dan bahwa Allah swt. membagi mereka Pada Saat itu menjadi golongan bahagia dan golongan sengsara. Allah swt. juga menuliskan ajal, rezeki, dan amal perbuatan mereka berikut segala kebaikan dan keburukan yang menimpa mereka.

 

Setelah itu, dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa Ishaq berkata bahwa para ulama telah bersepakat bahwa ruh-ruh diciptakan sebelum penciptaan jasad karena Allah lalu meminta mereka bicara, mempersaksikan mereka atas diri mereka dengan ucapan-Nya “Bukankah Aku Tuhan kalian?” (alastu birabbikum?). Lalu ruh-ruh itu berkata,

 

“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini” (QS. al-A’raf [7]: 172)

 

Atau mereka berkata, “Sesungguhnya nenek moyang kami yang terdahulu telah berbuat syirik.”

 

Ini adalah nas pernyataannya. Dan seperti yang dapat anda lihat, pernyataan-pernyataannya itu tidak dapat menunjukkan bahwa tempat tinggal ruh-ruh manusia seperti yang disebutkan oleh Abu Muhammad, yaitu di tempat terputusnya segala unsur karena sesuatu apa pun. Bahkan pernyataannya itu tidak dapat menjadi dalil yang menunjukkan bahwa ruh-ruh manusia tercipta sebelum jasad-jasad mereka diciptakan. Alih-alih pernyataannya itu justru menunjukkan bahwa Allah swt. pada saat itu mengeluarkan mereka, lalu mengajak mereka bicara. Setelah itu Allah swt. mengembalikannya ke dalam sulbi Adam as.

 

Berkenaan dengan pendapat ini, walaupun ada beberapa golongan dari kalangan salaf dan khalaf yang berpendapat seperti itu, namun pendapat yang benar adalah pendapat yang lain sebagaimana yang akan Anda ketahui, insyaallah. Akan tetapi karena tujuan menjawab pertanyaan ini adalah untuk membicarakan tentang arwah, apakah ruh-ruh sudah diciptakan sebelum jasad ataukah belum sehingga apabila semua ini diserahkan kepada Abu Muhammad, di dalamnya tetap tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tempat menetap ruh-ruh manusia adalah di tempat terputusnya segala unsur dan tidak pula bahwa itu adalah tempat awal bagi ruh-ruh tersebut.


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (11) : Ruh mukmin di sebelah kanan Nabi Adam dan ruh orang kafir di sebelah kiri Nabi Adam as.

PASAL Adapun mengenai pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berada di sebelah kanan Nabi Adam as sementara ruh-ruh orang-orang kafir berada di sebelah kiri Nabi Adam as. 


Sungguh demi Allah pendapat ini merupakan sebuah pendapat yang didukung oleh hadis-hadis sahih. Hadis-hadis yang dimaksud yaitu hadis-hadis yang menjelaskan tentang peristiwa Isra’. Dalam hadis-hadj, itu disebutkan bahwa Rasulullah saw. melihat mereka dalam keadaan seperti itu (maksudnya, ruh kaum mukmin di kanan Adam as. dan ruh kaum kafir di kiri Adam as.—Penj.). Akan tetapi, sebenarnya hal itu tidak dapat menjadi dalil yang menunjukkan bahwa ruh-ruh itu berada seimbang di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Alih-alih, ruh-ruh yang ada di sebelah kanan Adam as. itu berada dalam ketinggian dan kelapangan, sedangkan ruh-ruh yang ada di sebelah kiri Adam as. berada dalam kerendahan dan keterpenjaraan.

 

Abu Muhammad bin Hazm menyatakan bahwa itulah “Barzakh” yang dilihat oleh Rasulullah saw. pada malam ketika beliau mengalamj perjalanan Isra’ di langit dunia. Dia menyatakan bahwa itu terjadi pada tempat terputusnya segala unsur. Dia menyatakan bahwa Hadis-hadis itu menjadi dalil yang menunjukkan bahwa ruh-ruh manusia ada dj tempat itu di bawah langit di mana segala unsur terputus. Adapun yang dimaksud “unsur” di sini adalah air, tanah, api dan udara.

 

Dia (Ibnu Hazm) selalu menyalahkan siapa pun yang menyampaikan suatu pendapat yang tidak dilandasi oleh dalil. Jadi apakah kiranya dalil yang dimilikinya dari Kitabullah dan sunah yang menjadi dasar pendapatnya ini?

 

Di bagian mendatang akan dibahas lebih lanjut tentang pendapatnya (Ibnu Hazm) pada bagian yang nanti insyaallah kita akan sampai ke situ.

 

Apabila ada yang menyatakan bahwa jika ruh-ruh orang-orang berbahagia berada di sebelah kanan Nabi Adam as., sementara Adam as. berada di langit dunia, padahal telah dapat dipastikan bahwa ruh-ruh para syuhada berada di bawah naungan Arsy dan Arsy Allah pasti berada di atas langit ketujuh; jadi bagaimanakah kiranya ruh-ruh itu bisa berada di sebelah kanan Adam as.? Dan bagaimana pula Rasulullah saw. dapat melihat ruh-ruh tersebut berada di langit dunia? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dapat disampaikan melalui beberapa sisi sebagai berikut:

 

Pertama: Tidaklah keberadaan ruh-ruh mukimin di sebelah kanan Adam as. dapat menghalangi posisi mereka di ketinggian, sebagaimana Keberadaan ruh-ruh kau sengsara di sebelah kiri Adam as. juga tidak dapat menghalangi tempat mereka di kerendahan.

 

Kedua: Kondisi itu juga tidak dapat menghalangi ruh-ruh tersebut untuk dapat dilihat oleh Rasulullah saw. di langit dunia, walaupun tempat tinggal mereka yang sebenarnya adalah di atas tempat itu.

 

Ketiga: Rasulullah saw. tidak pernah mengabarkan bahwa beliau melihat semua ruh kalangan bahagia (kaum mukmin) di tempat itu (bersama Adam as.). Alih-alih beliau hanya bersabda, “Ternyata di sebelah kanannya banyak orang-orang dan di sebelah kirinya banyak orang-orang.” Dan telah diketahui secara pasti bahwa ruh Ibrahim as. dan Musa as. berada di atas tempat itu (bersama Adan as.), yaitu di langit keenam dan langit ketujuh. Begitu pula halnya ar-Rafiq al-A’la ruh-ruh mereka juga berada di atas tempat itu karena ruh-ruh kalangan bahagia memang berbeda antara yang satu di atas yang lain sesuai dengan tempat mereka masing-masing. Sebagaimana halnya ruh-ruh kalangan sengsara berbeda-beda antara yang satu di bawah yang lain sesuai dengan tempat mereka masing-masing. Wallahu a’lam.


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (10) : Ruh mukmin di Alam Barzakh di bumi.

PASAL Adapun mengenai pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berada di Alam Barzakh di bumi tetapi dapat bepergian ke mana pun sekehendaknya.


Pendapat seperti ini telah diriwayatkan dari Salman al-Farisi.

 

Pengertian “Barzakh” itu sendiri adalah “batas pemisah antara dua buah sesuatu”. Jadi, sepertinya yang dimaksud oleh Salman yaitu ruh-ruh orang-orang mukmin berada di bumi tetapi di antara dunia dan akhirat. Di situ ruh-ruh mereka bebas bergerak dan dapat bepergian ke mana pun sekehendak mereka.

 

Ini merupakan sebuah pendapat yang kuat, sebab ruh orang mati memang telah terpisah dari dunia, tetapi belum masuk ke akhirat, melainkan berada di “kawasan perbatasan” (Barzakh) antara keduanya. Ruh orang-orang mukmin berada di Barzakh yang luas yang di situ terdapat kenyamanan, wewangian, dan kenikmatan. Sedangkan ruh orang-orang kafir berada di Barzakh yang sempit yang di situ terdapat kegundahan dan siksa.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan di hadapan mereka ada dinding (Barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan,” (QS. al-Mu‘minun [23]: 100)

 

Kata “Barzakh” dalam ayat ini maksudnya adalah sesuatu yang ada di antara dunia dan akhirat. Adapun makna asli dari kata Barzakh adalah “batas pemisah antara dua buah sesuatu” (al-hdjiz baina syaiain).


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (9) : Ruh mukmin berkumpul di sumur Zamzam.

PASAL Adapun mengenai pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berkumpul di sumur Zamzam. 


Sebenarnya tidak ada dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat seperti itu, baik dalil yang berasal dari al-Quran maupun sunah yang mengharuskan kita menerimanya. Bahkan pendapat seperti itu tidak didasarkan pada pendapat sahabat Rasulullah saw. yang dapat dipercaya. Pendapat seperti itu tidaklah benar karena sumur Zamzam tidak akan muat untuk menampung seluruh ruh orang-orang mukmin. Dan lagi, pendapat seperti ini bertentangan dengan pendapat Tsabit dari sunah yang secara gamblang telah menyatakan bahwa nyawa orang mukmin adalah burung yang makan dan bergelantung di pepohonan surga.

 

Simpulannya, pendapat seperti ini (yaitu pendapat yang menyatakan bahwa ruh orang-orang mukmin dikumpulkan di sumur Zamzam penj.) adalah pendapat yang paling batil dan paling rusak karena pendapat ini lebih rusak daripada pendapat orang yang menyatakan bahwa suh orang mukmin berada di Jabiyah karena Jabiyah adalah sebuah daerah yang luas dan lapang, tidak seperti sumur yang sempit.

 


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (8) : Ruh mukmin di Illiyyun dan Ruh Kafir di Sijjin.

PASAL Adapun mengenai pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berada di “Illiyyun di langit ketujuh, sementara ruh orang-orang kafir berada di Sijjin pada bumi lapisan ketujuh.


Pendapat seperti itu telah disampaikan oleh sebagian kaum salaf dan khalaf. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah sabda Rasulullah saw. menjelang wafatnya beliau, “Wahai Allah ar-Rafiq al-A’la”.

 

Sebelumnya telah disebutkan hadis-hadis dari Abu Hurairah yg bahwa berbunyi, “Sesungguhnya orang mati apabila nyawanya keluap nyawa itu akan dibawa naik menuju langit hingga mencapai langi, yang di situ ada Allah ‘azza wa jalla.”

 

Juga telah disebutkan sebelumnya pernyataan Abu Musa ra. bahwa ruh orang-orang mukmin menaiki hingga mencapai Arsy. Dan juga pernyataan Hudzaifah ra. bahwa ruh orang-orang mukmin ditempatkan qj sisi ar-Rahman swt. Dan juga pernyataan “Abdullah bin “Umar bahwa ruh-ruh orang mukmin berada di sisi Allah swt.

 

Sebelumnya juga telah disebutkan sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya ruh-ruh pada syuhada bertempat ke lentera-lentera di bawah Arsy.” Telah disebutkan pula sebelumnya hadis-hadis dari Barra’ bin ‘Azib, “Ruh-ruh itu naik dari satu langit ke langit, lalu dar; setiap langit itu datang kepadanya muqarrabin sampai berakhir dj langit ketujuh.” Ada pula lafal yang berbunyi, “… menuju langit yang qj situ ada Allah ‘azza wa jalla.”

 

Akan tetapi, semua dali] ini tidak menunjukkan bahwa ruh-ruh tersebut terus-menerus dan selalu berada di tempat yang disebutkan dalam berbagai dalil itu. Alih-alih, ruh-ruh itu dibawa naik menuju ke sana untuk ditunjukkan kepada Allah ‘azza wa jalla, lalu Dia menetapkan putusan-Nya terhadap ruh-ruh itu dengan mencatatkan catatan bagi ruh-ruh tersebut: Apakah akan termasuk penghuni “illiyyan ataukah termasuk penghuni Sijjin. Setelah itu, ruh-ruh itu akan dikembalikan ke kuburan mereka masing-masing untuk ditanyai oleh malaikat. Setelah itu ruh-ruh tersebut akan kembali ke tempat mereka yang di situ mereka ditempatkan.

 

Ruh-ruh orang-orang mukmin berada di illiyyun sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing. Sedangkan ruh orang-orang kafir berada di dalam Sijjin juga sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing.


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (7) : Ruh berkumpul di bumi.

PASAL Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa ruh-ruh berkumpul di bumi.


Sebagaimana yang difirmankan Allah swt, dalam ayat,

 

“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini diwarisi hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 105);

 

Apabila orang itu menyampaikan semua itu sebagai bentuk penafsiran terhadap ayat ini, maka sebenarnya pernyataan seperti itu sama sekali bukanlah penafsiran yang benar terhadap ayat tersebut.

 

Orang-orang berbeda pendapat mengenai “bumi” yang disebutkan dalam ayat tersebut di atas. Sa‘id bin Jubair, dari Ibnu “Abbas ra. menyatakan bahwa yang dimaksud “bumi” (ardh) dalam ayat itu adalah “tanah surga’ (ardh al-jannah). Ini adalah pendapat sebagian besar mufasir.

 

Telah diriwayatkan sebuah pendapat lain dari Ibnu Abbas ra. yang menyatakan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah dunia yang telah Allah taklukkan bagi umat Muhammad saw.

 

Pendapat inilah yang sahih, sebagaimana ayat pendamping ayat tersebut di atas terdapat dalam Surah an-Nur,

 

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa…” (QS. an-Nur [24]: 55)

 

Dalam sebuah hadis sahih dari Rasulullah saw. diriwayatkan beliau bersabda, “Telah ditampakkan kepadaku seluruh bumi timur dan baratnya. Kekuasaan umatku akan mencapai semua yang telah ditampakkan kepadaku dari bumi itu.”

 

Segolongan mufasir menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Hadis-hadis tersebut, yaitu tanah di Baitul Maqdis. Kawasan itu merupakan bagian dari tanah bumi yang Allah akan wariskan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh, sementara ayat tersebut di atas tidak secara khusus mengenai kawasan itu.


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (6) : Ruh kaum mukmin di Jabiyah dan Kaum Kafir di Barahut.

PASAL Adapun mengenai pendapat yang menyatakan bahwa ruh-ruh kaum mukminin berada di Jabiyah, sementara sedangkan ruh-ruh orang kafir berada di Barahut, yaitu di Hadramaut di Barahut


Abu Muhammad bin Hazm menyatakan bahwa ini merupakan pendapat kaum Syi’ab Rafidhah. Padahal kenyataannya tidaklah seperti yang dia katakan itu, sebab sebenarnya ini adalah pendapat segolongan orang dari kalangan Ahlu sunah.

 

Abu “Abdullah bin Mandah berkata, ‘“Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat Rasulullah saw. dan tabiin bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berada di Jabiyah.” Lalu dia berkata, “Aku adalah Muhammad bin Muhammad bin Yunus, Ahmad bin “Isham menuturkan kepada kami, Abu Dawud Sulaiman bin Dawud menuturkan kepada kami, Hammam menuturkan kepada kami, Qatadah menuturkan kepadaku, seseorang menuturkan kepadaku, dari Said bin Musayyab, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa dia berkata, “Sesungguhnya ruh-ruh kaum mukminin berkumpul di Jabiyah. Sesungguhnya ruh orang-orang kafir berkumpul di sebuah rawa (sabakhah) di Hadramaut yang bernama Barahut.”

 

Kemudian diriwayatkan dari jalur Hammad bin Salamah, dari ‘Abdul Jalil bin Athiyah, dari Syahr bin Hausyab, bahwa Ka’b pernah melihat ‘Abdullah bin ‘Amr, sementara orang-orang ramai berkerumun bertanya kepadanya. Seseorang berkata kepadanya, “Tanyakanlah kepadanya tentang ruh-ruh orang-orang mukmin dan ruh-ruh orang-orang kafir.” Dia pun bertanya kepadanya, lalu dia menjawab, “Ruh-ruh orang-orang mukmin berada di Jabiyah, sedangkan ruh-ruh orang-orang kafir berada di Barahut.”’

 

Ibnu Mandah menyatakan bahwa riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dari ‘Abdul Jalil.

 

Lalu diriwayatkan pula sebuah hadis dari Sufyan, dari Furat al-Qazzaz, dari Abuth Thufail, dari ‘Ali, dia berkata, “Sebaik-baik sumur di bumi adalah Zamzam. Seburuk-buruk sumur di bumi adalah Barahut. Sebuah sumur di Hadramaut. Sebaik-baik lembah di bumi, yaitu Lembah Mekkah dan lembah yang Adam turun di situ di Hindustan, darinyalah kebaikan kalian. Seburuk-buruk lembah di bumi, yaitu al-Ahqaf yang terletak di Hadramaut yang ke situ semua ruh orang-orang kafir dibawa.

 

Ibnu Mandah menyatakan bahwa Hammad bin Salamah telah meriwayatkan, dari ‘Ali bin Zaid, dari Yusuf bin Mahran, dari Ibnu “Abbas ra., dari ‘Ali ra., dia berkata, “Tempat yang paling dimurkai di bumi, yaitu sebuah lembah di Hadramaut yang bernama Barahut. Di Situlah tempat ruh orang-orang kafir. Di situ ada sebuah sumur yang airnya hitam di siang hari seperti nanah, kepadanyalah segala binatang pengganggu mencari tempat.”

 

Kemudian diriwayatkan pula dari jalur Isma‘il bin Ishaq al-Qadhi, “Ali bin “Abdullah menuturkan kepada kami, Sufyan menuturkan kepada kami, Aban bin Taghlub menuturkan kepada kami, dia berkata “Seseorang berkata, “Aku pernah menginap di situ—maksudnya di lembah Barahut—seakan-akan di situ dikumpulkan semua suara many, sia. Mereka semua berucap, “Hai Dimah! Hai Dimah!”

 

Aban berkata, “Seseorang dari kalangan Ahlu Kitab menuturkan kepada kami bahwa yang dimaksud “dumah” adalah nama malaikat yang berada di atas kepala-kepala orang-orang kafir. Kami pernah bertanya kepada orang-orang Hadramaut, mereka lalu menjawab bahwa tidak ada seorang pun yang sanggup bermalam di tempat itu.”

 

Demikianlah beberapa dalil yang saya ketahui tentang masalah ini. Apabila yang dimaksud oleh “Abdullah bin “Amr dari penyebutan “Jabiyah”, yaitu sebagai bentuk perumpamaan, yakni bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin dikumpulkan di sebuah tempat yang luas seperti di Jabiyah yang luas dan udaranya yang nyaman; maka pengertian seperti itu agak tepat. Akan tetapi, apabila yang dia maksud adalah memang kawasan Jabiyah itu dan bukan tempat mana pun yang lainnya di muka bumi, hal itu tidak dapat diketahui kecuali hanya berdasarkan penjelasan tauqifi. Tampaknya dia (‘Abdullah bin ‘Amr) mengetahui tentang hal ini dari kalangan Ahli Kitab.

 


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (5) : Ruh-ruh kaum mukminin berada di sisi Allah.

PASAL Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa ruh-ruh kaum mukminin berada di sisi Allah, tidak lebih dari itu maka sebenarnya orang itu menyimpulkan pendapatnya itu dari lafal al-Quran yang di dalamnya Allah swt. menyatakan,

 

“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)

 

Orang-orang yang berpendapat seperti ini menguatkan dengan beberapa hujah. Di antaranya yaitu sebuah riwayat dari Muhammad bin Ishaq ash-Shaghani, Yahya bin Abu Bukair menuturkan kepada kami, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abu Dzi‘b menuturkan kepada kami, dari Muhammad bin ‘Amr bin Atha’, dari Sa‘id bin Yasar, dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Sesungguhnya orang mati apabila nyawanya keluar, nyawa itu akan dibawa naik menuju langit hingga mencapai langit yang di situ ada Allah ‘azza Wa Jalla. Apabila kita adalah lelaki jahat, nyawanya dibawa naik ke langit. lalu sungguh tidak dibukakan baginya gerbang-gerbang langit. Lalu ia dikirim dari langit sehingga berpindah menuju kuburan.”

 

Sanad hadis-hadis ini tidak perlu Anda tanyakan mengenai kesahihannya. Hadis-hadis ini terdapat di dalam al-Musnad karya Imam Ahmad dan lainnya.

 

Abu Duwud ath-Thayalisi berkata: Hammad bin Salamah menuturkan kepada kami, dari ‘Ashim bin Bahdalah, dari Abu Wa’il, dari Abu Musa al-Asy-ari, dia berkata, “Ruh orang mukmin keluar dengan harum melebihi aroma kesturi. Para malaikat yang mewafatkannya lalu membawanya pergi, kemudian para malaikat di bawah langit bertemu dengannya. Mereka berkata, “Ini adalah Fulan anak Fulan. Dia melakukan anu dan anu…”’ Lalu disebutkan kebaikan-kebaikan amal perbuatan ruh tersebut. Mereka (para malaikat) berkata, “Selamat datang kalian dan dia!” Lalu mereka (para malaikat langit) itu menerima ruh tersebut dari mereka (para malaikat pembawa ruh) dan membawanya naik dari sebuah gerbang yang dari gerbang itu amal perbuatan ruh tersebut naik. Lalu ia bercahaya di langit dan ia memiliki terang seperti terang matahari sampai ia berakhir di Arsy.

 

Sedangkan orang kafir, apabila nyawanya dicabut, kemudian ruhnya dibawa pergi. Mereka (para malaikat langit) bertanya, ‘“Apakah ini?’ Mereka (para malaikat pembawa ruh) menjawab, “Ini adalah Fulan anak Fulan. Dia melakukan anu dan anu…” Lalu disebutkan keburukan-keburukan amal perbuatan ruh tersebut. Mereka (para malaikat) berkata, “Tidak ada selamat datang! Tidak ada selamat datang! Kembalikanlah dia oleh kalian ke bumi terbawah ke tanah!”’

 

Al-Makki bin Ibrahim berkata: Diriwayatkan dari Dawud bin Yazid al-Audi, dia berkata, “Saya melihatnya diriwayatkan dari ‘Amir asy-Sya’bi, dari Hudzaifah bin Yaman, bahwa dia berkata, ‘Ruh-ruh ditempatkan di sisi Allah yang Maha Pengasih ‘azza wa jalla menunggu waktu kembalinya sampai ditiupkan padanya.’”

 

Sufyan bin ‘Uyainah menuturkan, dari Manshur bin Safiyah, dari ibunya, bahwa Ibnu ‘Umar memasuki masjid setelah terbunuhnya Ibnu Zubair yang disalib. Dia lalu mendatangi Asma’ untuk berbela sungkawa kepadanya. Dia (Ibnu ‘Umar) berkata kepada Asma’, “Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan bersabar. Sesungguhnya jasad-jasad ini bukanlah apa-apa. Sesungguhnya ruh-ruh berada di sisi Allah.”

 

Asma’ pun menyahut, “Apakah yang menghalangiku dari sabar, padahal kepala Yahya bin Zakariya dihadiahkan kepada seorang pelacur Bani Israel!”

 

Jarir menuturkan, dari A’masy, dari Syimr bin ‘Athiyyah, dari Hilal bin Yasaf, dia berkata: Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Ka‘b, Rabi’ bin Khutsaim dan Khalid bin ‘Ar’arah bersama orang-orang. Lalu datanglah Ibnu ‘Abbas ra. kemudian dia berkata, “Ini anak lelaki dari paman nabi kalian!” Dia berkata, “Maka dilapangkanlah untuknya dan dia pun duduk.

 

Dia (Ibnu ‘Abbas ra.) lalu berkata, ‘‘Wahai Ka’b semua yang ada di dalam al-Quran aku sudah tahu, kecuali empat perkara. Beri tahulah aku tentang semua itu: Apakah Sijjin itu? Apakah ‘Illiyyun itu? Apakah Sidratul Muntaha itu? Dan apakah maksud firman Allah tentang Nabi Idris as., “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi?”’

 

Dia (Ka’b) menjawab, “Yang dimaksud ‘illiyyun yaitu langit ketujuh yang di sana ruh-ruh kaum mukminin berada. Yang dimaksud Sijjin yaitu lapisan bumi ketujuh yang paling bawah. Sementara ruh-ruh orang-orang kafir berada di bawah pipi iblis. Yang dimaksud oleh firman Allah swt. tentang Idris as.,

 

“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi,” (QS. Maryam [19]: 19)

 

Sesungguhnya Allah swt. memberi wahyu kepada Idris as. bahwa Dia akan menaikkan beliau setiap hari seperti amal perbuatan keturunan Adam. Lalu berkatalah seorang temannya dari kalangan malaikat agar Malaikat Maut berbicara dengannya serta menundanya agar amalnya bertambah. Malaikat itu lalu membawanya di antara kedua sayapnya lalu dia naik bersamanya. Sampai ketika dia berada di langit keempat, ruhnya pun dicabut. Yang dimaksud Sidratul Muntaha adalah sebatang Sidrah (pohon bidara) yang ada di kepala para pembawa Arsy. Itulah ujung ilmu semua makhluk. Tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu melebihi itu. Itulah sebabnya ia disebut “Sidratul Muntaha” (Pohon Bidara yang Penghabisan).”

 

Ibnu Mandah berkata, “Wahb bin Jarir meriwayatkannya dari ayahnya. Hadis-hadis itu juga diriwayatkan oleh Ya’qub al-Qummi dari Syimr. Hadis-hadis itu juga diriwayatkan oleh Khalid bin “Abdullah dari ‘Awwam bin Hausyab, dari Qasim bin Auf. dari Rabi’ bin Khutsaim dia berkata, “Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Ka’b….dst.” Dia lalu menuturkan hadis-hadis tersebut.

 

Ya’la bin “Ubaid menuturkan, dari ‘Ajlah, dari Dhahhak, dia berkata, “Apabila ruh seorang hamba mukmin dicabut, kemudian ruh itu dibawa naik ke langit dunia. Kemudian para Muqarrabian berangkat bersamanya menuju langit kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, lalu ketujuh sampai berakhir di Sidratul Muntaha.”

 

Aku bertanya kepada Dhahhak, “Mengapa ia dinamai Sidratul Muntaha?”

 

Dhahhak menjawab, “Sesungguhnya padanyalah penghujung segala sesuatu yang menjadi perintah Allah ‘azza wa jalla, tidak ada yang melampauinya. Dia berkata, “Tuhanku si Fulan menyembah-Mu!” Padahal Dia lebih tahu tentang itu daripada mereka. Allah lalu mengi. rimkan kepadanya sebuah catatan yang disegel dengan keamanan-Nya dari azab. Itu adalah firman-Nya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya ki. tab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam “Illiyyin. Tahukah kamu apakah ‘Illiyyin itu? (Yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).” (QS. al-Muthaffifin [83]: 18-21)

 

Pendapat ini sama sekali tidak menafikan pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang beriman berada di surga karena surga berada di dekat Sidratul Muntaha, sebagaimana surga juga berada di sisi Allah. Sepertinya orang yang berpendapat seperti ini melihat bahwa pernyataan ini lebih tepat dan mengena. Allah swt. telah mengabarkan bahwa ruh-ruh para syuhada berada di sisi-Nya, sebagaimana Rasulullah saw. mengabarkan bahwa ruh-ruh para syuhada berhilir mudik di dalam surga sekehendak mereka.

 


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (4) : Kondisi ruh berbeda-beda

PASAL Di antara yang harus diketahui, bahwa semua yang telah kami jelaskan berkenaan dengan kondisi ruh memang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi ruh-ruh yang bersangkutan. 

kitabv

Baik dari sisi kuat dan lemahnya, maupun dari sisi besar dan kecilnya. Ruh yang agung dan besar memiliki sebagian dari apa yang telah disebutkan itu yang tidak dimiliki oleh ruh-ruh yang selainnya. Anda dapat melihat ketetapan ruh-ruh di dunia begitu berbeda dengan perbedaan yang sangat jauh sesuai dengan keragaman kondisi ruh-ruh tersebut dari segi kekuatannya, kelambanannya, kecepatannya, dan pertolongan baginya.

 

Ruh yang bebas dari kungkungan badan dengan segala keterkaitan dan penghalangnya tentu memiliki gerak, kekuatan, daya tembus, tekad dan kecepatan naik menuju Allah swt. Serta keterkaitan dengan Allah swt. yang tidak dimiliki oleh ruh hina yang terpenjara dalam berbagai kaitan badan dan halangan-halangannya.

 

Apabila semua itu dapat terjadi ketika ruh masih tertahan di dalam badannya, apatah lagi kiranya apabila ruh sudah terpisah dari badan, ketika seluruh kekuatannya berhimpun padanya, sementara pada asal keadaannya ruh adalah sesosok ruh luhur yang suci dan besar serta memiliki tekad yang luhur. Semua itu ada pada ruh setelah ia terpisah dari badan dengan keadaan yang berbeda dan dengan perbuatan yang juga berbeda.

 

Telah ada begitu banyak mimpi yang dialami oleh anak Adam yang menunjukkan perbuatan para arwah setelah kematian yang tidak dapat digambarkan itu dapat terjadi jika ruh-ruh tersebut masih terkait dengan badan. Contohnya, seperti ketika satu, dua, atau beberapa ruh dapat mengalahkan satu pasukan yang terdiri dari banyak prajurit. Betapa seringnya mimpi menunjukkan ruh Rasulullah saw. bersama ruh Abu Bakar ra. dan ruh ‘Umar ra. mengalahkan pasukan kafir yang zalim.

 

Pasukan mereka kalah dan hancur padahal jumlah mereka sangat besar dengan persenjataan lengkap sementara kaum mukminin begitu lemah dan sedikit.

 

Di antara keajaiban yang terjadi yaitu ketika ruh-ruh orang mukmin yang saling mencintai dan saling mengenal dapat saling bertemu walaupun di antara mereka terbentang jarak yang sangat jauh. Mereka dapat saling mengenal dan saling berkenalan sehingga mereka dapat saling mengenal antara yang satu dengan yang lain seakan-akan mereka semua adalah tempat setempat duduk atau satu keluarga. Ketika orang yang bersangkutan melihat orang yang dikenal ruhnya itu, maka mereka pun saling cocok karena ruhnya sudah mengenal ruh orang itu sebelum dia benar-benar melihat orang itu.

 

‘Abdullah bin ‘Amr menyatakan bahwa sesungguhnya ruh-ruh dua orang mukmin dapat saling bertemu pada jarak perjalanan satu hari walaupun mereka tidak pernah sekalipun saling melihat. Bahkan sebagian dari mereka dapat menghadap Rasulullah saw.

 

‘Ikrimah dan Mujahid menyatakan bahwa apabila seseorang tidur, dia memiliki jalan agar ruhnya dapat berlari di jalan itu, walaupun entitas aslinya tetap di dalam jasadnya, lalu ruh itu dapat mencapai tempat mana pun sekehendaknya. Selama ruh itu masih bepergian, maka pada saat itulah orang yang bersangkutan tidur. Jika ruh itu kembali ke badannya, pada saat itulah orang tersebut terbangun. Ia persis seperti sinar matahari yang menerpa permukaan bumi, sementara asal aslinya tersambung dengan jisim matahari di langit.

 

Abu ‘Abdullah bin Mandah menuturkan sebuah penjelasan dari seorang ulama yang berkata bahwa sesungguhnya ruh dapat terulur dari hidung manusia, sementara tempatnya berkendara dan asal aslinya yaitu di dalam badannya. Apabila seluruh ruh keluar, pasti orang yang bersangkutan akan mati, sebagaimana lentera jika dipisahkan antara dirinya dengan sumbunya, pasti ia akan padam. Tidakkah Anda melihat bahwa “tempat berkendara” api, terdapat pada sumbu lentera sehingga cahaya dan pancaran sinarnya dapat memenuhi seisi rumah? Maka seperti itu pula halnya ruh dapat terulur dari hidung manusia di saat tidurnya hingga sampai mencapai langit dan berkelana menjelajahi pelbagai negeri. Bahkan ruh itu dapat bersua dengan ruh-ruh orang-orang yang sudah mati.

 

Apabila malaikat yang bertugas mengurus ruh-ruh manusia lain menunjukkan ruh mereka kepadanya maka dia tidak suka untuk melihat ruh-ruh itu karena orang itu dalam jaganya adalah orang yang cerdas pintar, dan jujur sehingga dalam jaganya dia enggan melihat sesuatu hal yang batil. Ketika ruhnya dikembalikan ke badannya, kejujuran itu pun meresap ke dalam hatinya sesuai dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepada makhluk-Nya. Apabila kejujuran itu sedikit, orang yang bersangkutan akan menyukai kebatilan dan suka melihat kebatilan.

 

Apabila seseorang tidur, lalu Allah memperlihatkan kepadanya sesuatu perkara kebaikan atau keburukan, ruh orang yang bersangkutan kembali kepadanya. Di mana pun dia melihat suatu perbuatan setan atau kebatilan, ruhnya akan berhenti padanya seperti orang itu juga akan menghentikan badannya di saat terjaga. Hal itu pun kemudian merasuk ke dalam hatinya, sehingga dia tidak dapat memikirkan apa yang dilihatnya karena dia telah mencampurkan antara yang hak dengan yang batil, sehingga tidak ada yang dapat menyampaikannya kepadanya karena dia telah mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil.

 

Ini merupakan salah satu kata-kata yang paling baik. Ia menjadi dalil yang menunjukkan makrifat pengetahuan orang yang menuturkannya dan menunjukkan ketajaman penglihatan mata batinnya terhadap ruh-ruh manusia dengan segala keadaannya. Antara dapat melihat seseorang yang menyimak ilmu dan hikmah tetapi ternyata semua itu tidak menjadi sesuatu yang paling bermanfaat baginya. Lalu dia melewati kebatilan dan senda-gurau dalam bentuk nyanyian, perkara syubhat, perbuatan dosa atau yang lainnya, ternyata dia begitu tekun mendengarkannya. Bahkan dia bukakan hatinya untuk segala keburukan itu, sehingga semua kejelekan itu pun menyusup ke dalam dirinya dan dia pun dirasuki oleh apa yang didengarnya itu. Sementara di dirinya telah ada ilmu dan hikmat, sehingga kemudian dia pun mencampuradukkan antara yang benar dengan yang salah.

 

Demikianlah pula keadaan ruh-ruh manusia di saat tidur. Adapun setelah terpisah, ruh tersebut disiksa disebabkan segala bentuk keyakinan dan syubhat yang batil tersebut yang akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan kondisi keterkaitannya dengan badan. Setelah itu siksa terhadap ruh itu akan ditimpakan kepadanya disebabkan berbagai keinginan dan syahwat yang ada di antara semua itu dan ruh. Setelah itu terhadap ruh itu juga akan ditimpakan lagi siksa lain, yang Allah ciptakan untuk ruh dan untuk badannya, disebabkan oleh berbagai perbuatan yang dilakukan bersama-sama oleh ruh dan badan. Inilah yang dimaksud dengan “penghidupan yang sempit” (ma’isyah dhank) di barzakh, dengan segala “bekal” (maksudnya, bekal keburukan—Penj,) yang dijejalkan oleh ruh kepadanya.

 

Sementara itu, ruh yang suci luhur lagi mencintai kebenaran, yang tidak menyukai kebatilan serta tidak pernah suka terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, kelak akan mengecap kenikmatan disebabkan berbagai keyakinan yang sahih, ilmu dan pengetahuan yang ia dapatkan dari Misykat Kenabian. Sebagaimana ia juga merasakan semua itu, disebabkan oleh berbagai keinginan dan tekadnya yang suci. Bagi ruh suci seperti itu, Allah swt. akan menciptakan baginya dari segala amal perbuatannya sebentuk nikmat yang akan dinikmati oleh ruh yang bersangkutan itu di Alam Barzakh sehingga ruh itu berada di salah satu taman di antara taman-taman surga. Begitu juga Barzakh untuk orang kafir, akan menjadi salah satu liang di antara liang-liang neraka.


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (3) : Ruh berada di serambi kuburan mereka.

PASAL Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa ruh-ruh berada di serambi kuburan mereka. 


Maka apabila yang dimaksud oleh orang itu hal tersebut merupakan sesuatu kondisi yang harus terjadi pada semua ruh. Ruh-ruh tersebut untuk selamanya berada di situ, pendapat seperti itu merupakan pendapat yang keliru dan tertolak oleh semua nas Kitabullah dan sunah dari begitu banyak segi yang sebagiannya telah kami sebutkan. Di bagian mendatang kami akan sampaikan sebagian lagi di antaranya yang belum kami sebutkan, insyaallah.

 

Apabila yang dimaksud oleh orang itu, yaitu bahwa ruh-ruh berada di serambi kuburan mereka untuk sementara atau bahwa ruh-ruh itu dapat mendatangi kuburan mereka sementara mereka bertempat tinggal di tempat mereka, itu adalah benar. Akan tetapi, tidaklah dapat dikatakan bahwa tempat tinggal ruh-ruh itu adalah di serambi kuburan mereka.

 

Pendapat yang terakhir ini telah menjadi pendapat segolongan orang. Di antara mereka adalah Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr. Dia menyatakan di dalam kitabnya dalam penjelasan tentang hadis-hadis dari Ibnu ‘Umar ra., “Sesungguhnya apabila seorang dari kalian meninggal, maka akan ditunjukkan kepadanya tempat duduknya di setiap pagi dan petang.”

 

Dalil ini dijadikan sebagai dalil oleh orang yang berpendapat bahwa ruh-ruh berada di atas serambi kuburan. Ini adalah dalil yang paling sahih yang dipilih dalam masalah ini dari jalur atsar. Tidakkah Anda melihat bahwa hadis-hadis yang menjadi dalil yang menunjukkan masalah itu statusnya tsabit dan mutawatir. Begitu pula halnya hadis-hadis yang menyebutkan tentang salam terhadap kuburan.

 

Saya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis-hadis mutawatir adalah seperti hadis-hadis Ibnu ‘Umar ra. tersebut di atas, sebelum hadis-hadis dari al-Barra’ bin ‘Azib yang sudah kami sebutkan di bagian terdahulu. Di dalamnya dikatakan, “Ini adalah tempat duduknya sampai Allah membangkitkanmu di Hari Kiamat.”

 

Dan seperti hadis-hadis Anas ra., “Sesungguhnya apabila Seorang hamba diletakkan di dalam kuburnya lalu para sahabatnya berpaling meninggalkannya, sungguh dia mendengar gesekan sandal-sandal mereka.”

 

Di dalamnya disebutkan, “Sesungguhnya di melihat tempat duduknya dari surga dan neraka.” Dan “Sesungguhnya dilapangkan bag; orang mukmin dalam kuburnya sejauh tujuh puluh hasta, sementarg disempitkan atas orang kafir”. Juga seperti hadis-hadis dari Jabir ra “Sesungguhnya umat ini diuji dalam kuburan mereka. Apabila orang mukmin memasuki kuburannya lalu para sahabatnya berpaling mening. galkannya, dia didatangi oleh malaikat…” (Hadis). Dan juga bahwa dia melihat tempat duduknya dari surga, lalu dia berkata, “Biarkanlah aku menyampaikan berita gembira kepada keluargaku.” Lalu dikatakanlah kepadanya, “Diamlah. Ini adalah tempat dudukmu untuk selamanya.”

 

Dan juga seperti hadis-hadis yang menjelaskan tentang salam kepada para penghuni kubur, ucapan kepada mereka dan pengetahuan mereka mengenai ziarah yang dilakukan orang-orang yang masih hidup kepada mereka. Penjelasan ini sudah disampaikan semuanya di bagian terdahulu.

 

Pendapat ini dibantah oleh sunah yang sahih dan atsar yang tidak terbantahkan dan sudah dijelaskan sebelumnya. Dan juga semua dalil yang disebutkan, semua itu akan dialami oleh ruh-ruh yang berada di dalam surga berdasarkan nas dan berada di ar-Rafiq al-A’la.

 

Kami telah menjelaskan bahwa dalil yang menyatakan tentang ditunjukkan tempat duduk orang mati di surga atau di neraka tidak menunjukkan bahwa ruh berada di dalam kubur dan di atas serambinya selamanya dari segala segi. Alih-alih, itu merupakan bentuk hubungan dengan kuburan dan serambinya. Itu adalah bagian darinya yang ditunjukkan tempat duduk si orang mati kepadanya.

 

Sesungguhnya ruh memiliki kondisi lain, ruh berada di ar-Rafiq al-A’la di ‘Illiyyun yang tertinggi. Selain itu, ruh juga memiliki hubungan dengan badan, sehingga apabila ada seseorang yang mengucapkan salam kepada seorang mayat, maka Allah akan mengembalikan ruhnya kepadanya, sehingga si mayat itu dapat menjawab salam kepada pengucap salam itu, sementara ruhnya berada di al-Mala’ al-A’la.

 

Sesungguhnya sebagian besar masyarakat keliru dalam masalah ini karena mereka meyakini bahwa ruh termasuk jenis jisim yang apabila ja sibuk di satu tempat, maka ia tidak akan dapat berada di tempat jain. Ini adalah sebuah kekeliruan yang fatal karena ruh berada di atas langit di ‘Iliyyun yang tertinggi. la akan dikembalikan ke dalam kubur untuk menjawab salam. Ia mengetahui orang yang mengucapkan salam sementara ia berada di tempatnya di sana (di atas langit di “illiyyun yang tertinggi—Penj.).

 

Ruh Rasulullah saw. selalu berada di ar-Rafiq al-A’la. Allah swt. mengembalikan ruh beliau ke dalam kubur untuk menjawab salam siapa pun yang mengucapkan salam kepada beliau dan ruh beliau saw. dapat mendengar ucapan orang itu.

 

Rasulullah saw. pernah melihat Musa as. melaksanakan shalat di dalam kuburnya dan beliau juga melihat Musa as. di langit keenam atau langit ketujuh. Jadi, mungkin saja yang terjadi adalah ruh Musa as. bergerak sangat cepat, sehingga mampu berpindah tempat sekejapan mata; atau mungkin ruh Musa as. terhubung dengan kuburan berikut serambinya seperti sinar matahari yang sinarnya mencapai bumi sementara jisim matahari itu sendiri tetap berada di langit.

 

Telah dinyatakan tsabit bahwa ruh orang yang sedang tidur dapat naik hingga menembus tujuh lapisan langit lalu bersujud kepada Allah di depan Arsy. Kemudian ruh itu dapat kembali ke jasadnya dalam waktu yang sangat singkat. Begitu pula ruh orang mati dapat naik dibawa oleh para malaikat hingga menembus tujuh langit, lalu malaikat menempatkan ruh tersebut di hadapan Allah dan ia pun bersujud kepada-Nya dan Allah menetapkan ketetapan-Nya. Malaikat menunjukkan kepada ruh tersebut segala yang telah Allah sediakan baginya di dalam surga, lalu ruh tersebut turun lagi ke bumi untuk menyaksikan jasadnya yang dimandikan, diusung, lalu dikuburkan.

 

Pada bagian terdahulu telah disampaikan dalam hadis-hadis dari al-Barra’ bin Azib bahwa ruh naik hingga ditempatkan di depan Allah. Kemudian Allah swt. berfirman, “Tulislah oleh kalian catatan hamba-Ku di ‘Illiyyun kemudian kembalikanlah dia ke bumi.” Maka dikembalikanlah ruh itu ke dalam kubur dan itu terjadi pada sekitar waktu dibereskannya dan dikafaninya jasad ruh tersebut.

 

Hal ini telah dijelaskan dalam hadis-hadis dari Ibnu ‘Abbas ra. yang di dalamnya dikatakan, “Mereka (para malaikat) kemudian membawanya (ruh) turun pada sekitar waktu selesai jasadnya dimandikan dan dikafani. Kemudian mereka memasukkan ruh tersebut ke dalam jasadnya dan kain-kain kafannya.”

 

Abu ‘Abdullah bin Mandah telah menyatakan dari hadis-hadis “Isa bin ‘Abdurrahman, Ibnu Syihab menuturkan kepada kami, Amir bin Sa’d menuturkan kepada kami, dari Ismail bin Thalhah bin ‘Ubaidullah, dari ayahnya, dia berkata: Suatu ketika aku hendak mendatangi hartaku di Ghabah, tetapi aku kemalaman sehingga aku pun singgah di kuburan ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram. Di situ aku mendengar suara bacaan dari dalam kubur yang tidak pernah kudengar bacaan seindah itu. Aku lalu mendatangi Rasulullah saw. dan kusampaikan kejadian itu kepada beliau saw. Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Itu adalah ‘Abdullah. Tidakkah engkau tahu bahwa Allah swt. menggenggam ruh-ruh mereka lalu menempatkan mereka pada lentera-lentera yang terbuat dari zabarjad dan yaqut, lalu Dia menggantungnya di tengah surga. Apabila malam tiba, ruh-ruh mereka dikembalikan kepada mereka dan itu tetap seperti itu sampai ketika fajar terbit, ruh-ruh mereka dikembalikan ke tempat mereka yang sebelumnya mereka ada di sana.”

 

Dalam hadis-hadis tersebut di atas terdapat penjelasan tentang begitu cepatnya perpindahan yang dapat dilakukan oleh ruh-ruh orang yang sudah mati dari Arsy ke bumi, lalu perpindahan mereka lagi dari bumi ke tempatnya semula.

 

Atas dasar inilah, Malik dan para imam lainnya berpendapat bahwa ruh orang yang sudah mati dibebaskan, sehingga dapat bepergian ke mana pun sekehendaknya. Sementara orang-orang hidup yang melihat ruh orang-orang yang sudah mati serta datangnya ruh-ruh orang mati kepada orang-orang yang masih hidup dari tempat yang sangat jauh adalah sesuatu perkara yang sudah diketahui oleh seluruh masyarakat dan mereka tidak ragu tentang hal itu. Wallahu a’lam.

 

Adapun berkenaan dengan salam yang diucapkan kepada para penghuni kubur dan pembicaraan mereka, hal itu tidak dapat menjadi bukti yang menunjukkan bahwa ruh mereka tidak berada di dalam surga karena dikatakan bahwa mereka berada di serambi kuburan mereka masing-masing. Bahkan sang Pemimpin semua anak Adam (Sayyid Walad Adam yaitu Rasulullah saw—Penj.) yang ruhnya berada di “illiyyun yang tertinggi bersama ar-Rafiq al-A’la ketika ada orang yang mengucapkan salam kepada beliau di depan kuburan beliau, ternyata beliau menjawab salam yang diucapkan kepada beliau tersebut.

 

Abu “Umar rahimahullah telah menyatakan bahwa ruh-ruh para syuhada berada di dalam surga ketika ada orang yang mengucapkan salam kepada mereka di kuburan mereka, sebagaimana salam yang diucapkan kepada orang-orang selain mereka, seperti yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah saw. agar kita mengucapkan salam kepada mereka; dan juga sebagaimana yang dilakukan para sahabat yang mengucapkan salam kepada para syuhada Perang Uhud, padahal telah dipastikan bahwa ruh-ruh mereka berada di dalam surga hilir mudik sekehendak mereka, seperti yang telah dijelaskan di bagian lalu.

 

Tentu saja pemikiran Anda tidak sempit untuk dapat mengetahui bahwa ruh berada di al-Mala’ al-A’la berhilir mudik di dalam surga sekehendaknya, sementara ia juga dapat mendengar ucapan salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya di kuburnya, lalu turun hingga ia dapat menjawab salam kepada orang tersebut. Semua itu dapat terjadi karena kondisi ruh berbeda dengan kondisi badan.

 

Jibril as. yang pernah dilihat oleh Rasulullah saw. dengan memiliki enam ratus sayap yang di antaranya ada dua sayap yang dengan keduanya Jibril dapat menutup seluruh tempat dari timur sampai barat, ternyata pernah berada sangat dekat dengan Rasulullah saw. sampai menyentuhkan lututnya dengan lutut Rasulullah saw. sementara kedua tangannya berada di atas kedua paha beliau.

 

Saya tentu tidak mengira bahwa pikiran Anda tidak akan cukup memahami bahwa pada saat itu Jibril berada di al-Mala’ al-A’la di atas langit-yang menjadi tempat tinggalnya sementara di saat yang sama dia berada begitu dekat dengan Rasulullah saw. dengan kedekatan yang seperti tadi dijelaskan. Tentu saja kepercayaan terhadap hal semacam itu membutuhkan hati yang memang diciptakan untuk itu dan memang layak untuk mengetahui hal seperti itu.

 

Adapun bagi orang yang pikirannya tidak cukup luas untuk menerima semua itu, maka pikiran orang itu pasti akan jauh lebih sempit untuk dapat mengimani turunnya Ilahi ke langit dunia setiap malam padahal Dia berada di atas langit pada Arsy-Nya tanpa ada sesuatu apa pun lagi di atas-Nya. Alih-alih Dialah yang Mahatinggi atas segala sesuatu dan ketinggian-Nya menjadi kepastian bagi Dzat-Nya.

 

Demikian pula halnya dengan turun-Nya Allah pada hari Arafah pada mereka yang melaksanakan wuquf. Demikian pula halnya dengan kedatangan Allah pada-Hari Kiamat untuk menghisab makhluk-makhluk-Nya serta terangnya bumi karena cahaya-Nya. Demikian pula halnya dengan kedatangan-Nya ke bumi ketika Dia menghamparkan. nya, menyempurnakannya, memanjangkannya, menghamparkannya, dan menyiapkannya untuk apa yang dimaksudkan darinya. Demikian pula halnya kedatangan-Nya ke bumi sebelum Hari Kiamat ketika Diag merengkuh segala yang ada di atasnya sehingga tidak ada lagi satupun yang tersisa di bumi; sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw., “Maka Rabb-mu berkeliling di bumi dan telah kosong seluruh negeri.” Sementara saat itu, Dia berada di langit di atas Arsy-Nya.


Pertanyaan Kelima Belas PASAL (2) : Ruh hanya makan buah-buahan Surga dan merasakan semerbak surga.

Berkenaan dengan pernyataan Mujahid bahwa ruh tidak berada di dalam surga, melainkan hanya makan dari buah-buahan surga serta dapat merasakan semerbak surga; 


pendapat ini dibantah oleh sebuah riwayat dari Imam Ahmad di dalam al-Musnad dari hadis-hadis Ibnu Ishaq, dari -Ashim bin ‘Umar, dari Mahmud bin Labid, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

 

“Para syahid berada di tepi sungai di gerbang surga pada kubah hijau. Rezeki mereka keluar menuju mereka dari surga di setiap pagi dan petang.”

 

Sabda ini tidak menafikan keberadaan mereka di dalam surga karena yang disebutkan itu adalah sebuah sungai dari surga dan rezeki mereka mendatangi mereka dari surga sehingga mereka berada di dalam surga; walaupun mereka belum menempati tempat-tempat duduk mereka di surga itu.

 

Mujahid menafikan masuknya ruh-ruh itu secara sempurna dari segala segi, sementara apa yang disampaikan tidak mampu meliputi seluruhnya karena selalu menonjolkan sesuatu hal tanpa sesuatu hal yang lain. Namun, tentu saja penyampaian yang paling sempurna dan paling tepat menyampaikan apa yang ingin disampaikan adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Setelah itu, barulah apa yang disampaikan oleh para sahabat. Setiap kali Anda naik, Anda akan dapat melihat kesembuhan, petunjuk, dan cahaya; setiap kali Anda menurun, Anda akan melihat kebingungan, berbagai tuduhan, dan ucapan tanpa ilmu.

 

Abu ‘Abdullah bin Mandah berkata, Musa bin ‘Ubaidah meriwayatkan, dari ‘Abdullah bin Yazid, dari Umm Kabsyah binti Ma‘rur, dia berkata: Suatu ketika Rasulullah saw. masuk menemui kami, maka kami pun bertanya kepada beliau tentang ruh-ruh ini. Beliau pun menyampaikan sebuah penjelasan yang membuat menangis seluruh Ahlu Bait. Beliau bersabda, “Sesungguhnya ruh-ruh kaum mukminin berada dalam tembolok burung hijau yang dipelihara dalam surga, makan dari buah-buahannya, minum dari airnya dan hinggap ke lentera-lentera emas di bawah Arsy seraya berucap, ‘Wahai Allah gabungkanlah bersama kami saudara-saudara kami dan berilah kami apa yang telah Engkau janjikan.’ Sementara ruh-ruh kaum kafir berada dalam tembolok burung hitam yang makan dari neraka, minum dari neraka dan hinggap ke bebatuan di neraka seraya berucap, ‘Wahai Allah jangan Engkau gabungkan bersama kami saudara-saudara kami dan jangan, lah Engkau beri kami apa yang telah Engkau janjikan.’”

 

Thabrani menyatakan, “Abu Zur’ah ad-Dimasyqi menuturkan ke, pada kami, “Abdullah bin Shalih menuturkan kepada kami, Mu’awiyah bin Shalih menuturkan kepadaku, dari Dhamrah bin Habib, dia berkata; Rasulullah saw. pernah ditanya tentang ruh-ruh orang-orang mukmin, Beliau menjawab, ‘Berada di dalam burung hijau yang hilir mudik di surga sekehendak mereka.’ Mereka bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ruh-ruh orang-orang kafir?’ Beliau menjawab, ‘Ditahan di dalam Sijjin.”

 

Abu Syaikh meriwayatkan hadis-hadis seperti itu dari Hisyam bin Yunus, dari ‘Abdullah bin Shalih; dan hadis-hadis itu juga diriwayatkan oleh Abul Mughirah, dari Abu Bakar bin Abu Maryam, dari Dhamrah bin Habib.

 

Abu “Abdullah bin Mandah menuturkan sebuah hadis dari Ghunjar, dari Tsauri, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abdullah bin Amr, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Ruh-ruh orang-orang mukmin berada dalam burung seperti Zardazir, makan dari buah-buahan surga.”

 

Hadis-hadis ini juga diriwayatkan dengan status maukuf oleh perawi lain.

 

Yazid ar-Raqasyi menuturkan dari Anas dan Abdullah asy-Syami menuturkan dari Tamim ad-Dari; dari Nabi saw., “Apabila Malaikat Maut naik ke langit bersama ruh orang mukmin, maka Jibril menyambutnya bersama tujuh puluh ribu malaikat yang masing-masing malaikat menyampaikan kabar gembira dari langit selain kabar gembira sahabatnya. Ketika dia sampai di Arsy, dia pun tunduk bersujud. Allah swt. lalu berkata kepada Malaikat Maut, “Pergilah engkau bersama ruh hamba-Ku, lalu letakkanlah ia di pohon bidara yang tidak berduri (sidr makhdhud), naungan yang terbentang luas (zhill mamdud) dan air yang tercurah (ma maskub).”

 

Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Bakr bin Khunais, dari Dhirar bin ‘Amr, dari Yazid dan Abu ‘Abdullah.


Pertanyaan Kelima Belas: PASAL (1) Ruh manusia berada di surga.

PASAL : Berkenaan dengan mereka yang berpendapat bahwa ruh-ruh manusia berada di surga.


Mereka berhujah dengan firman Allah swt.,

 

“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 88-89)

 

Mereka menyatakan bahwa kalimat dalam ayat tersebut di atas Allah swt. sampaikan setelah Dia menyampaikan tentang keluarnya ruh dari dalam badan dengan terjadinya kematian. Mereka membagi ruh-ruh manusia menjadi tiga golongan:

 

1) Muqarrabun, mereka menyatakan bahwa golongan ruh ini berada di dalam surga.

 

2) Ashhab al-Yamin, mereka menyatakan bahwa golongan ruh ini berada dalam kedamaian dan keselamatan, termasuk keselamatan dari siksa.

 

3) Mukadzdzibah Dhallah, mereka menyatakan bahwa golongan ruh ini menetap di dalam neraka Hamim dan terperosok ke dalam neraka Jahim.

 

Mereka menyatakan bahwa semua itu terjadi setelah ruh-ruh tersebut terpisah sama sekali dari badan-badan mereka. Allah swt. telah menyampaikan tentang keadaan ruh-ruh manusia di Hari Kiamat pada awal surah ini. Dia juga menjelaskan tentang kondisi ruh-ruh tersebut setelah kematian terjadi dan juga setelah kebangkitan (al-ba‘ts).

 

Mereka berhujah dengan firman Allah swt., “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)

 

Ada beberapa orang sahabat dan tabiin yang menyatakan bahwa, sesungguhnya kalimat-kalimat dalam ayat tersebut di atas dikatakan kepada ruh-ruh ketika mereka keluar dari dunia, sebagai bentuk kabar gembira dari malaikat untuk mereka. Akan tetapi, hal ini tidak dapat menafikan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kalimat dalam ayat tersebut di atas disampaikan kepada ruh-ruh ketika mereka berada di akhirat karena kata-kata itu juga dikatakan kepada ruh-ruh di saat kematian dan ketika terjadinya kebangkitan.

 

Inilah kabar gembira yang Allah swt. firmankan,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih; dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian.” (QS. Fushshilat [41]: 30)

 

Kalimat dalam ayat ini disampaikan ketika kematian terjadi, ketika ruh masuk ke dalam kubur, ketika kebangkitan terjadi dan menjadi kabar gembira pertama tentang akhirat ketika kematian.

 

Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis-hadis dari Barra’ bin “Azib bahwa sesosok malaikat berkata kepada ruh-ruh di saat mereka dicabut dari badan, “Bergembiralah engkau dengan kenyamanan dan wewangian!” Ini adalah dari wewangian surga.

 

Mereka yang berpendapat seperti ini berhujah dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’, dari Ibnu Syihab, dari ‘Abdurrahman bin Ka’b bin Malik, bahwa dia mengabarinya bahwa ayahnya Ka’b bin Malik pernah menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya nyawa orang mukmin adalah burung yang bergelantung di pepohonan surga sampai Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari ketika Dia membangkitkannya.”

 

Abu ‘Umar menyatakan bahwa di dalam riwayat dari Malik ter. sebut di atas terkandung penjelasan tentang az-Zuhri yang menyimak hadis-hadis tersebut dari ‘Abdurrahman bin Ka’b bin Malik. Begitu pula periwayatan oleh Yunus dari az-Zuhri. Dia berkata, “Aku mendengar dari ~Abdurrahman bin Ka’b bin Malik menuturkan hadis-hadis dari ayahnya.” Begitu pula periwayatan oleh Auza’i dari az-Zuhri, “Abdurrahman bin Ka’b menuturkan kepadaku”’.

 

Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli menyampaikan cacat hadis-hadis ini dengan menyatakan bahwa Syu’aib bin Abu Hamzah, Muhammad anak saudara az-Zuhri dan Shalih bin Kisan mereka meriwayatkan hadis-hadis ini dari az-Zuhri dan ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ka‘b bin Malik, dari kakeknya yang bernama Ka’b sehingga status hadis-hadis ini adalah terputus (munqathi’).

 

Shalih bin Kisan menyatakan, dari Ibnu Syihab, dari Abdurrahman, bahwa telah sampai penjelasan kepadanya bahwa Ka‘b bin Malik menuturkan Hadis-hadis ini. Adz-Dzuhli menyatakan bahwa hadis-hadis ini kami hafal dan isinya serupa dengan hadis-hadis dari Shalih, Syu’aib dan anak dari saudara az-Zuhri.

 

Akan tetapi, semua penghafal hadis-hadis bertentangan dengannya mengenai hadis-hadis ini dan mereka menetapkan riwayat dari Malik dan al-Auza’i.

 

Abu ‘Umar menyatakan bahwa Malik bersepakat dengan Yunus bin Yazid dan al-Auza’i serta Harits bin Fudhail atas periwayatan hadis-hadis ini dari az-Zuhri, dari ‘Abdurrahman bin Malik, dari ayahnya. Ini dinyatakan sahih oleh Tirmidzi dan lainnya.

 

Abu ‘Umar menyatakan bahwa menurutnya tidak ada yang dapat diterima dari apa yang dinyatakan oleh Muhammad bin Yahya tentang semua itu, sebagaimana tidak ada dalil padanya. Kesepakatan antara Malik dan Yunus bin Yazid serta al-Auza’i dan Muhammad bin Ishaq lebih layak untuk benar, sehingga mengikuti pernyataan dan periwayatan mereka lebih menenangkan jiwa. Apabila mereka termasuk orang-orang yang terjamin hafalan dan ketelitiannya sehingga tidak perlu di-qyas dengan mereka siapa pun yang menyelisihi mereka berkenaan dengan hadis-hadis ini.

 

Sampai di sini batas kutipan dari pernyataan Abu Umar.

 

Muhammad adz-Dzahli menyatakan bahwa dia mendengar ‘Ali bin Madini berkata bahwa Ka‘b memiliki lima orang anak, yaitu: ‘Abdullah, ‘Ubaidullah, Ma‘bad, “Abdurrahman dan Muhammad.

 

Adz-Dzahli lalu menyatakan bahwa az-Zuhri menyimak Hadis-hadis dari ‘Abdullah bin Ka‘b yang menjadi penuntun ayahnya setelah ayahnya mengalami kebutaan. Selain itu dia (az-Zuhri) juga menyimak hadis-hadis dari ‘Abdurrahman bin Kab dan juga menyimak hadis-hadis dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ka‘b. Dia (az-Zuhri) meriwayatkan hadis-hadis dari Basyir bin ‘Abdurrahman bin Ka’b tetapi dia (adz-Dzahli) tidak memandang bahwa dia (az-Zuhri) menyimak hadis-hadis darinya (Basyir).

 

Sampai di sini batas kutipan dari pernyataan adz-Dzahli.

 

Apabila hadis-hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman dari ayahnya yang bernama Ka’b, sebagaimana yang dinyatakan oleh Malik dan perawi lain yang bersamanya, maka itulah yang tampak. Apabila hadis-hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin Ka‘b dari kakeknya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syu’aib dan perawi lain yang bersamanya, maka ujung dari hadis-hadis itu adalah status mursal dari jalur periwayatan tersebut tetapi statusnya maushal dari jalur yang lain. Sementara para perawi yang menjadikan hadis-hadis itu berstatus maushul tidak tanpa para perawi yang menjadikan hadis-hadis itu berstatus mursal baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Itulah sebabnya, hadis-hadis ini sebenarnya termasuk kategori hadis-hadis sahih. Kedua penyusun kitab Sahih (maksudnya, Imam Bukhari dan Imam Muslim—Penj.) tidak mentakhrij hadis-hadis ini disebabkan cacat yang telah diterangkan di atas. Wallahu a’lam.

 

Abu ‘Umar menyatakan bahwa sabda Rasulullah saw. “nyawa orang mukmin”, kata nasamah (nyawa) di sini maksudnya adalah “ruh” (rah). Dalil yang menunjukkan hal itu adalah sabda Rasulullah saw.

 

dalam hadis-hadis itu sendiri, “Sampai Allah swt. mengembalikannya, ke dalam jasadnya pada hari ketika Dia membangkitkannya.”

 

Ada yang menyatakan bahwa arti kata “nasamah” adalah: ruh, jiwa, dan badan. Adapun arti asli lafal “nasamah” adalah “manusia”,

 

Adapun mengenai alasan mengapa kata “nasamah” digunakan untuk menyebut “ruh” adalah karena—wallahu a’lam—hidup “manusia” hanya terjadi dengan adanya “ruh”. Apabila ruh itu terpisah dari seorang manusia, manusia itu menjadi “tidak ada” atau menjadi “seperti tidak ada”.

 

Dalil yang menunjukkan bahwa kata “nasamah” berarti “manusia” adalah sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang memerdekakan nasamah mu‘minah (manusia beriman)…” dan juga ucapan “Ali bin Abi Thalib ra., “Demi Dzat yang membelah biji dan menyembuhkan manusia (nasamah).”

 

Seorang penyair menuturkan:

 

Takwamu terbesar dalam hisab adalah Jika semua manusia menghalau debu

 

Maksudnya, “Apabila orang-orang dibangkitkan dari kubur mereka masing-masing pada Hari Kiamat.”

 

Khalal bin Ahmad berkata bahwa kata “nasamah” berarti “manusia”. Akan tetapi, dia juga berkata bahwa kata “nasamah” berarti “ruh” karena kata “nasim” berarti “embusan angin”.

 

Sabda Rasulullah saw. “bergelantung (ta’allaqa) di pepohonan surga” diriwayatkan menggunakan huruf lam yang berharakat fathah, sebagaimana yang menjadi mayoritas. Meskipun terkadang diriwayatkan dengan huruf lam yang berharakat dhammah; dengan pengertian yang sama yaitu “makan”. Itu sebabnya Rasulullah saw. bersabda, “Ia makan dari buah-buahan surga serta dapat hilir mudik terbang di antara pepohonan surga.”

 

Kata ‘aliqah, ‘alaq dan ‘aliq berarti “makanan”. Orang Arab biasa berkata “Hari ini dia belum merasakan ‘aliq”; dan di situ kata ‘aliq berarti “makanan”.

 

Contoh lainnya adalah ucapan “Aisyah ra., “Perempuan-perempuan kala itu enteng karena tak berdaging. Mereka hanya makan sedikit makanan (‘ulqah).”

 

Asal kata ini adalah dari ta’alluq, yaitu makanan yang “bergelayut” (ya’laq) di hati dan jiwa.

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian hadis-hadis ini. Ada di antara mereka yang berpendapat bahwa ruh-ruh orang mukmin berada di sisi Allah swt. di surga; baik mereka syuhada maupun bukan syuhada. Asalkan mereka tidak terhalang masuk surga oleh suatu dosa besar atau utang. Allah swt. melimpahkan kepada mereka pengampunan dan rahmat-Nya bagi mereka.

 

Mereka berhujah bahwa hadis-hadis ini tidak mengkhususkan orang syahid dari orang-orang yang bukan syahid.

 

Mereka juga berhujah dengan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa rub orang-orang bajik berada di ‘ilIiyyun. Sementara ruh orang-orang durjana berada di Sijjin. Dan diriwayatkan pula yang seperti itu oleh “Abdullah bin ‘Amr.

 

Abu ‘Umar menyatakan bahwa pendapat ini bertentangan dengan sunah yang tidak terbantahkan kesahihannya, yaitu sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya jika seorang dari kalian meninggal, maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya di setiap pagi dan petang. Apabila dia termasuk penghuni surga, maka dari penghuni surga. Apabila dia termasuk penghuni neraka, maka dari penghuni neraka. Lalu dikatakan kepadanya, “Ini tempat dudukmu sampai Allah membangkitkanmu di Hari Kiamat!”

 

Sementara itu segolongan lainnya menyatakan bahwa pengertian dari hadis-hadis tersebut di atas hanya berlaku pada orang-orang syahid bukan yang selain mereka. Karena al-Quran dan sunah telah menunjukkan hal itu.

 

Dalil dari al-Quran yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah swt.,

 

“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mere. ka bersedih hati.” (QS. Ali Imran [3]: 169-170)

 

Adapun dalil dari atsar adalah berupa hadis-hadis marfuk yang berasal dari Abu Sa‘id al-Khudri dari jalur Baqiy bin Makhlad: Para syuhada hilir mudik, kemudian tempat tinggal mereka adalah lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Allah swt. lalu berkata kepada mereka, “Apakah kalian mengetahui karamah yang lebih afdal daripada karamah yang telah Aku berikan kepada kalian?”

 

Mereka menjawab, “Tidak. Hanya saja kami semua suka jika Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke dalam tubuh-tubuh kami agar kami dapat berperang lagi sehingga dapat terbunuh lagi di jalan-Mu.” Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Hannad, dari Ismail bin Mukhtad, dari ‘Athiyyah, darinya (maksudnya, dari Hannad).

 

Kemudian disampaikan pula hadis-hadis dari Ibnu “Abbas ra, yang berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Ketika saudara-saudara kalian tewas—maksudnya dalam Perang Uhud—Allah menjadikan ruh-ruh mereka berada di dalam rongga burung hijau yang terbang di sungai-sungai surga, makan dari buah-buahnya dan hinggap ke lentera-lentera yang terbuat dari emas bergelayut di naungan Arsy. Ketika mereka mendapati kebagusan makanan, minuman dan tempat tidur mereka, mereka pun berkata, ‘Siapakah yang akan menyampaikan kepada saudara-saudara kami bahwa kami hidup di dalam surga dan kami diberi rezeki, agar mereka tidak mundur dari perang dan agar mereka tidak menjauhi jihad?’ Allah swt. pun menjawab, ‘Aku yang akan menyampaikan kepada mereka semua itu dari kalian.’” Allah swt. lalu menurunkan ayat,

 

“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)

 

Selain itu ada pula hadis-hadis dalam Musnad Ahmad dan Sunan Abu Dawud.

 

Kemudian dituturkan pula hadis-hadis dari A’masy, dari Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dia berkata, Kami bertanya kepada “Abdullah bin Mas‘ud tentang ayat ini, “Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran (3]: 169)

 

Dia (Ibnu Mas’ud) menjawab, “Kami telah bertanya tentang itu.” Dia lalu berkata, “Ruh-ruh mereka berada di dalam burung hijau hilir mudik di surga ke mana pun sekehendak mereka. Lalu mereka hinggap ke lentera-lentera itu. Lalu Tuhanmu melihat mereka dengan satu tatapan. Kemudian berkata, “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Apakah lagi yang kami inginkan, sementara kami dapat hilir mudik di surga sekehendak kami!” Akan tetapi, Allah tetap melakukan itu (maksudnya, bertanya kepada mereka—Penj.) sampai tiga kali. Ketika mereka melihat bahwa mereka tidak akan dibiarkan untuk tidak ditanyai, mereka pun berkata, “Wahai Rabb, kami ingin ruh-ruh kami dikembalikan ke dalam tubuh-tubuh kami agar kami dapat terbunuh lagi di jalan-Mu.” Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak memiliki hajat apa-apa, maka mereka pun dibiarkan.” (HR. Muslim).

 

Di dalam Sahih al-Bukhari diriwayatkan dari Anas bahwa Umm Rubayyi’ binti Barra yang merupakan ibu dari Haritsah bin Suraqah mendatangi Nabi saw. lalu berkata, “Wahai Nabiyullah, maukah engkau menuturkan kepadaku tentang Haritsah?—Haritsah gugur dalam Perang Badar akibat terkena panah tak dikenal (sahm gharb)—apabila dia berada di surga, maka aku bersabar. Apabila tidak seperti itu, aku akan menahan untuk tidak menangisinya.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Wahai Umm Haritsah, sesungguhnya itu adalah taman-taman surga.” Sesungguhnya anakmu berada di Firdaus yang tinggi.”

 

Selain itu juga disampaikan dari jalur Baqiy bin Makhlad, Yahya bin ‘Abdul Hamid menuturkan kepada kami, Ibnu ‘Uyainah menuturkan kepada kami, dari Ubaidullah bin Abu Yazid, dia mendengar Ibny ‘Abbas berkata, “Ruh-ruh para syuhada berada di rongga burung hijau yang makan buah-buahan surga.”

 

Kemudian dituturkan dari Ma’mar, dari Qatadah, dia berkata, “Telah sampai kepada kami penjelasan bahwa ruh-ruh syuhada dalam bentuk burung putih yang makan (ta’kul) dari buah-buahan surga.”

 

Dan dari jalur Abu ‘Ashim an-Nabil, dari Tsaur bin Yazid, dar; Khalid bin Ma‘dan, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, “Ruh-ruh para syuhada berada di dalam burung seperti Zarazir” mereka saling mengenal dan diberi rezeki dari buah-buahan surga.”

 

Abu ~Umar berkata bahwa semua atsar ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa mereka adalah para syuhada bukan yang lainnya, Dalam sebagian riwayat dinyatakan “dalam bentuk burung” (shurah thair). Dalam sebagian riwayat yang lain dinyatakan “dalam rongga tubuh burung” (fi ajwaf thair). Dan dalam sebagian riwayat yang lain lagi dinyatakan “seperti burung hijau” (kathair khudhr).

 

Abu ‘Umar berkata bahwa menurut hemat saya wallahu a’lam adanya pernyataan orang yang menyatakan kalimat “seperti burung ‘ (kathair) atau “bentuk burung” (sharah thair) disebabkan adanya kecocokan antara riwayat itu dengan hadis-hadis yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu hadis-hadis Ka’b bin Malik. Dan juga pernyataannya di dalam hadis-hadis itu “manusia mukmin adalah burung” (nasamah al-mu’min tha’ir) dan dia tidak menyebut kalimat “dalam rongga tubuh burung” (fi jauf tha’ir).

 

Abu ‘Umar berkata bahwa “Isa bin Yunus meriwayatkan hadis-hadis Ibnu Masud ra., yang bersumber dari A’masy, dari ‘Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dari ‘Abdullah (Ibnu Masud), “seperti burung hijau” (kathair khudhr).

 

Saya (Ibnu Qayyim) menyatakan bahwa riwayat yang disebutkan dalam kitab Sahih Muslim menyebut kalimat “dalam rongga tubuh burung hijau” (fi ajwaf tha’ir khudhr).

 

Abu ‘Umar berkata: Berdasarkan takwil ini, sepertinya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia mukmin dari kalangan syuhada adalah burung yang makan dari (atau bergelantung di) pepohonan surga.”

 

Menurut pendapat saya (Ibnu Qayyim), tidak ada pertentangan antara ucapan Rasulullah saw. “Manusia mukmin adalah burung yang makan di pepohonan surga” dengan ucapan beliau. “Sesungguhnya jika seorang dari kalian meninggal, akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya di setiap pagi dan petang. Apabila dia termasuk penghuni surga, dari penghuni surga. Apabila dia termasuk penghuni neraka, dari penghuni neraka.”

 

Ucapan tersebut di atas disampaikan kepada orang mati yang mati di atas kasur dan orang yang mati syahid; sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Manusia mukmin adalah burung yang makan di pepohonan surga.” juga ditujukan kepada orang yang mati syahid dan orang mati lainnya.

 

Seiring dengan ditampakkannya kepada orang mati yang bersangkutan tempat duduknya di setiap pagi dan petang, ruhnya dapat minum dari sungai-sungai surga serta dapat makan dari buah-buahan di dalamnya. Adapun “tempat duduk” (maq’ad) yang secara khusus diperuntukkan baginya dan “rumah” (bait) yang dipersiapkan untuknya, semua itu baru akan dimasuki oleh orang mati yang bersangkutan itu nanti di Hari Kiamat.

 

Dalil yang menunjukkan hal itu adalah karena tempat-tempat tinggal oleh para syuhada termasuk segala rumah dan istana-istana yang mereka miliki yang telah Allah siapkan untuk mereka, dapat dipastikan sama sekali bukanlah “lentera-lentera” yang menjadi tempat hinggap ruh-ruh mereka ketika mereka sedang berada di Barzakh.

 

Mereka dapat melihat tempat tinggal dan tempat duduk mereka di dalam surga, sementara tempat tinggal mereka (di Alam Barzakh) adalah di dalam lentera-lentera yang bergantungan di Arsy. Masuknya mereka secara sempurna ke tempat-tempat tinggal mereka itu baru akan terjadi ketika Hari Kiamat tiba. Adapun masuknya ruh-ruh ke dalam surga di Alam Barzakh adalah suatu perkara yang berbeda dari itu.

 

Sementara itu, berkebalikan dari semua itu (para penghuni surga); berkenaan dengan orang-orang sengsara (maksudnya, para calon penghuni neraka—Penj.) kepada ruh-ruh mereka akan ditampakkan neraka di setiap pagi dan petang. Ketika nanti Hari Kiamat tiba, barulah mereka akan memasuki tempat-tempat tinggal dan tempat-tempat duduk mereka yang selalu ditampakkan kepada mereka di Alam Barzakh.

 

Jadi, kenikmatan yang dirasakan oleh ruh-ruh dengan segala isi surga di Barzakh adalah sesuatu hal, sementara kenikmatan yang dirasakan oleh ruh-ruh bersama tubuh mereka masing-masing dengan segala isi surga ketika Hari Kiamat terjadi adalah sesuatu hal lain yang berbeda Makanan ruh yang berasal dari surga di Alam Barzakh berbeda dengan makanan ruh bersama tubuh dari surga ketika Hari Kebangkitan terjadi

 

Itulah sebabnya Rasulullah saw. bersabda, “ia makan sedikit, (ta’luq) di pepohonan surga.” Maksudnya, “makan sedikit saja” (ta’kul al-’ulqah). Adapun makan, minum, dan pakaian serta kenikmatan yang sempurna baru akan terjadi ketika ruh-ruh manusia kembali ke dalam jasad-jasad mereka masing-masing di saat Hari Kiamat tiba. Jadi, tampak jelas bahwa pernyataan di atas sama sekali tidak bertentangan dengan sunah sedikit pun. Alih-alih ia justru sejalan dan selaras dengan sunah,

 

Adapun pernyataan mereka yang berpendapat bahwa hadis-hadis Ka’b hanya berlaku bagi para syuhada bukan golongan manusia yang lain, maka sebenarnya mengenai pengkhususan seperti itu, tidak ada lafal yang menunjukkan hal tersebut. Yang terjadi sebenarnya adalah tindakan membawa lafal yang bersifat umum pada sebagian kecil dari objek yang disebutkan karena sesungguhnya jumlah orang-orang syahid jika dibandingkan dengan seluruh kaum mukminin amatlah sedikit. Sementara Rasulullah saw. mengaitkan balasan ini dengan keimanan yang menjadi keharusan dan beliau tidak mengaitkannya dengan kesyahidan.

 

Tidakkah Anda melihat bahwa hukum yang bersifat khusus bagi para syuhada selalu dikaitkan dengan kesyahidan. Contohnya adalah sabda Rasulullah saw. dalam hadis-hadis dari Miqdam bin Ma’dikarib, “Orang syahid memiliki enam perkara di sisi Allah: Diampuni baginya pada curahan darahnya yang pertama, melihat tempat duduknya di surga, diberi pakaian dengan pakaian keimanan, dikawinkan dengan bidadari Hur ‘In, diselamatkan dari siksa kubur, aman dari Kengerian Besar, diletakkan Mahkota Kemegahan di kepalanya yang sepotong yaqut di mahkota itu lebih baik daripada dunia seisinya, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari dan dia dapat memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.”

 

Ketika diketahui bahwa semua yang disebutkan itu dikhususkan bagi orang syahid, Rasulullah saw. menyebut “Sesungguhnya orang syahid memiliki…” dan beliau tidak menyebut kalimat “Sesungguhnya orang mukmin memiliki…”

 

Demikian pula halnya sabda Rasulullah saw. dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Qais al-Judzami, “Orang syahid diberi enam perkara…” Begitu pula halnya semua hadis-hadis dan nas yang di dalamnya tercantum berbagai balasan yang dikaitkan dengan kesyahidan. Adapun berkenaan dengan balasan yang dikaitkan dengan keimanan, hal seperti itu akan diraih oleh setiap mukmin, baik yang mati syahid maupun tidak mati syahid.

 

Adapun semua nas dan atsar yang menyebutkan tentang rezeki pagi para syuhada dan bahwasanya ruh-ruh mereka ada di dalam surga, semua itu memang benar adanya. Akan tetapi, semua itu tidak menjadi dalil yang menunjukkan ketidakmungkinan ruh-ruh kaum mukminin lainnya (yang tidak mati syahid—Penj.) untuk juga dapat memasuki surga (ketika mereka berada di Barzakh, penerj.). Terlebih golongan shiddiqiin yang lebih afdal kedudukannya dibandingkan para syuhada, tanpa ada perbedaan pendapat di tengah masyarakat tentang hal itu.

 

Oleh sebab itu, maka hendaklah dikatakan kepada orang-orang yang berpendapat seperti itu tentang bagaimana pendapat mereka mengenai ruh orang-orang yang termasuk golongan shiddiqiin, apakah mereka berada di dalam surga ataukah tidak.

 

Jika mereka menjawab bahwa ruh golongan shiddiqtn berada di surga dan memang tidak ada jawaban lain yang dapat mereka pilih, berarti benar adanya bahwa nas-nas tersebut di atas’ tidak menjadi dalil yang menunjukkan pengkhususan para syuhada untuk mengalami apa yang disebutkan di dalam nas-nas tersebut.

 

Jika mereka menjawab bahwa ruh golongan shiddiqin tidak berada di surga, berarti itu sama saja dengan mereka mengatakan bahwa ruh-ruh para sahabat Rasulullah saw. yang mulia seperti Abu Bakar Siddiq ra., Ubay bin Ka‘b ra., “Abdullah bin Mas’ud ra., Abu Darda ra., Hudzaifah bin Yaman ra. dan para sahabat lain yang seperti mereka” tidak berada di surga. Sementara para syahid yang mati di zaman kita sekarang ini justru berada di dalam surga. Tentu saja pemahaman seperti itu pasti salah!

 

Apabila orang-orang itu balik bertanya, “Jika ketentuan ini tidak secara khusus berlaku bagi para syuhada, apakah sebenarnya maksud penyebutan mereka secara khusus di dalam nas-nas tersebut?”

 

Maka jawabannya yaitu, “Penyebutan para syuhada secara khusus di dalam nas-nas itu menunjukkan keutamaan kesyahidan dan ketinggian derajatnya dan bahwa semua itu akan diraih oleh orang-orang yang mengalami kesyahidan itu secara pasti, di samping itu bahwa mereka pasti akan mendapatkan yang jauh lebih banyak daripada semua yang telah disebutkan dalam nas-nas itu.

 

Kenikmatan yang mereka dapatkan di Alam Barzakh pasti lebih sempurna daripada bagian yang didapat oleh orang-orang yang mati di atas ranjang (bukan di medan perang—Penj.). Termasuk walaupun orang yang mati di atas ranjang lebih tinggi derajatnya dibandingkan kebanyakan para syuhada itu. Orang yang mati syahid memiliki kenikmatan khusus yang tidak akan dirasakan oleh yang lain.

 

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah Allah swt. meletakkan ruh-ruh para syuhada di dalam rongga tubuh burung hijau. Ketika para syuhada mengorbankan tubuh mereka lillahi ta’ala sampai akhirnya musuh-musuh Allah merusak tubuh para syuhada itu, Allah pun mengganti tubuh mereka di Alam Barzakh dengan tubuh yang lebih baik daripada tubuh lama mereka dan mereka tetap berada di dalam tubuh-tubuh tersebut sampai Hari Kiamat. Kenikmatan yang dirasakan oleh ruh-ruh para syuhada dengan perantaraan tubuh-tubuh mereka yang baru itu terasa lebih sempurna daripada kenikmatan ruh-ruh lain yang tidak mengalami semua itu. Itulah sebabnya, nyawa orang mukmin dinyatakan “berbentuk burung” (fi shirah thair) atau “seperti burung” (ka-thair), sementara nyawa orang syahid dinyatakan “berada di dalam rongga tubuh burung” (fi jauf thair).

 

Coba Anda perhatikan baik-baik lafal kedua hadis-hadis tersebut di atas. Rasulullah saw. bersabda, “nyawa orang mukmin adalah burung” (nasmah al-mu‘min thair). Kalimat ini mencakup secara umum semua orang syahid dan lainnya. Setelah itu Rasulullah saw. mengkhususkan syahid dengan sabda beliau, “Ia berada di rongga tubuh burung.” Padahal telah diketahui bahwa apabila ruh berada di dalam rongga tubuh burung, maka ia adalah burung. Semoga selawat dari Allah terlimpah kepada Rasulullah saw. yang sabda-sabdanya saling membenarkan antara satu sama lain dan itu menunjukkan bahwa semua sabda beliau adalah benar-benar dari hadirat Allah swt. Simpulan ini lebih baik daripada simpulan Abu Umar yang juga mentarjih riwayat yang menyatakan “Ruh-ruh mereka seperti burung hijau.” Alih-alih (ada di antara kedua riwayat itu yang lebih benar—Penj.), kedua riwayat itu sama-sama hak dan benar. Ruh memang seperti burung hijau dan juga berada di dalam rongga tubuh burung hijau.