PASAL : Berkenaan dengan mereka yang berpendapat bahwa ruh-ruh manusia berada di surga.
Mereka berhujah dengan firman Allah swt.,
“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 88-89)
Mereka menyatakan bahwa kalimat dalam ayat tersebut di atas Allah swt. sampaikan setelah Dia menyampaikan tentang keluarnya ruh dari dalam badan dengan terjadinya kematian. Mereka membagi ruh-ruh manusia menjadi tiga golongan:
1) Muqarrabun, mereka menyatakan bahwa golongan ruh ini berada di dalam surga.
2) Ashhab al-Yamin, mereka menyatakan bahwa golongan ruh ini berada dalam kedamaian dan keselamatan, termasuk keselamatan dari siksa.
3) Mukadzdzibah Dhallah, mereka menyatakan bahwa golongan ruh ini menetap di dalam neraka Hamim dan terperosok ke dalam neraka Jahim.
Mereka menyatakan bahwa semua itu terjadi setelah ruh-ruh tersebut terpisah sama sekali dari badan-badan mereka. Allah swt. telah menyampaikan tentang keadaan ruh-ruh manusia di Hari Kiamat pada awal surah ini. Dia juga menjelaskan tentang kondisi ruh-ruh tersebut setelah kematian terjadi dan juga setelah kebangkitan (al-ba‘ts).
Mereka berhujah dengan firman Allah swt., “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)
Ada beberapa orang sahabat dan tabiin yang menyatakan bahwa, sesungguhnya kalimat-kalimat dalam ayat tersebut di atas dikatakan kepada ruh-ruh ketika mereka keluar dari dunia, sebagai bentuk kabar gembira dari malaikat untuk mereka. Akan tetapi, hal ini tidak dapat menafikan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kalimat dalam ayat tersebut di atas disampaikan kepada ruh-ruh ketika mereka berada di akhirat karena kata-kata itu juga dikatakan kepada ruh-ruh di saat kematian dan ketika terjadinya kebangkitan.
Inilah kabar gembira yang Allah swt. firmankan,
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih; dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian.” (QS. Fushshilat [41]: 30)
Kalimat dalam ayat ini disampaikan ketika kematian terjadi, ketika ruh masuk ke dalam kubur, ketika kebangkitan terjadi dan menjadi kabar gembira pertama tentang akhirat ketika kematian.
Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis-hadis dari Barra’ bin “Azib bahwa sesosok malaikat berkata kepada ruh-ruh di saat mereka dicabut dari badan, “Bergembiralah engkau dengan kenyamanan dan wewangian!” Ini adalah dari wewangian surga.
Mereka yang berpendapat seperti ini berhujah dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’, dari Ibnu Syihab, dari ‘Abdurrahman bin Ka’b bin Malik, bahwa dia mengabarinya bahwa ayahnya Ka’b bin Malik pernah menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya nyawa orang mukmin adalah burung yang bergelantung di pepohonan surga sampai Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari ketika Dia membangkitkannya.”
Abu ‘Umar menyatakan bahwa di dalam riwayat dari Malik ter. sebut di atas terkandung penjelasan tentang az-Zuhri yang menyimak hadis-hadis tersebut dari ‘Abdurrahman bin Ka’b bin Malik. Begitu pula periwayatan oleh Yunus dari az-Zuhri. Dia berkata, “Aku mendengar dari ~Abdurrahman bin Ka’b bin Malik menuturkan hadis-hadis dari ayahnya.” Begitu pula periwayatan oleh Auza’i dari az-Zuhri, “Abdurrahman bin Ka’b menuturkan kepadaku”’.
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli menyampaikan cacat hadis-hadis ini dengan menyatakan bahwa Syu’aib bin Abu Hamzah, Muhammad anak saudara az-Zuhri dan Shalih bin Kisan mereka meriwayatkan hadis-hadis ini dari az-Zuhri dan ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ka‘b bin Malik, dari kakeknya yang bernama Ka’b sehingga status hadis-hadis ini adalah terputus (munqathi’).
Shalih bin Kisan menyatakan, dari Ibnu Syihab, dari Abdurrahman, bahwa telah sampai penjelasan kepadanya bahwa Ka‘b bin Malik menuturkan Hadis-hadis ini. Adz-Dzuhli menyatakan bahwa hadis-hadis ini kami hafal dan isinya serupa dengan hadis-hadis dari Shalih, Syu’aib dan anak dari saudara az-Zuhri.
Akan tetapi, semua penghafal hadis-hadis bertentangan dengannya mengenai hadis-hadis ini dan mereka menetapkan riwayat dari Malik dan al-Auza’i.
Abu ‘Umar menyatakan bahwa Malik bersepakat dengan Yunus bin Yazid dan al-Auza’i serta Harits bin Fudhail atas periwayatan hadis-hadis ini dari az-Zuhri, dari ‘Abdurrahman bin Malik, dari ayahnya. Ini dinyatakan sahih oleh Tirmidzi dan lainnya.
Abu ‘Umar menyatakan bahwa menurutnya tidak ada yang dapat diterima dari apa yang dinyatakan oleh Muhammad bin Yahya tentang semua itu, sebagaimana tidak ada dalil padanya. Kesepakatan antara Malik dan Yunus bin Yazid serta al-Auza’i dan Muhammad bin Ishaq lebih layak untuk benar, sehingga mengikuti pernyataan dan periwayatan mereka lebih menenangkan jiwa. Apabila mereka termasuk orang-orang yang terjamin hafalan dan ketelitiannya sehingga tidak perlu di-qyas dengan mereka siapa pun yang menyelisihi mereka berkenaan dengan hadis-hadis ini.
Sampai di sini batas kutipan dari pernyataan Abu Umar.
Muhammad adz-Dzahli menyatakan bahwa dia mendengar ‘Ali bin Madini berkata bahwa Ka‘b memiliki lima orang anak, yaitu: ‘Abdullah, ‘Ubaidullah, Ma‘bad, “Abdurrahman dan Muhammad.
Adz-Dzahli lalu menyatakan bahwa az-Zuhri menyimak Hadis-hadis dari ‘Abdullah bin Ka‘b yang menjadi penuntun ayahnya setelah ayahnya mengalami kebutaan. Selain itu dia (az-Zuhri) juga menyimak hadis-hadis dari ‘Abdurrahman bin Kab dan juga menyimak hadis-hadis dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ka‘b. Dia (az-Zuhri) meriwayatkan hadis-hadis dari Basyir bin ‘Abdurrahman bin Ka’b tetapi dia (adz-Dzahli) tidak memandang bahwa dia (az-Zuhri) menyimak hadis-hadis darinya (Basyir).
Sampai di sini batas kutipan dari pernyataan adz-Dzahli.
Apabila hadis-hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman dari ayahnya yang bernama Ka’b, sebagaimana yang dinyatakan oleh Malik dan perawi lain yang bersamanya, maka itulah yang tampak. Apabila hadis-hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin Ka‘b dari kakeknya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syu’aib dan perawi lain yang bersamanya, maka ujung dari hadis-hadis itu adalah status mursal dari jalur periwayatan tersebut tetapi statusnya maushal dari jalur yang lain. Sementara para perawi yang menjadikan hadis-hadis itu berstatus maushul tidak tanpa para perawi yang menjadikan hadis-hadis itu berstatus mursal baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Itulah sebabnya, hadis-hadis ini sebenarnya termasuk kategori hadis-hadis sahih. Kedua penyusun kitab Sahih (maksudnya, Imam Bukhari dan Imam Muslim—Penj.) tidak mentakhrij hadis-hadis ini disebabkan cacat yang telah diterangkan di atas. Wallahu a’lam.
Abu ‘Umar menyatakan bahwa sabda Rasulullah saw. “nyawa orang mukmin”, kata nasamah (nyawa) di sini maksudnya adalah “ruh” (rah). Dalil yang menunjukkan hal itu adalah sabda Rasulullah saw.
dalam hadis-hadis itu sendiri, “Sampai Allah swt. mengembalikannya, ke dalam jasadnya pada hari ketika Dia membangkitkannya.”
Ada yang menyatakan bahwa arti kata “nasamah” adalah: ruh, jiwa, dan badan. Adapun arti asli lafal “nasamah” adalah “manusia”,
Adapun mengenai alasan mengapa kata “nasamah” digunakan untuk menyebut “ruh” adalah karena—wallahu a’lam—hidup “manusia” hanya terjadi dengan adanya “ruh”. Apabila ruh itu terpisah dari seorang manusia, manusia itu menjadi “tidak ada” atau menjadi “seperti tidak ada”.
Dalil yang menunjukkan bahwa kata “nasamah” berarti “manusia” adalah sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang memerdekakan nasamah mu‘minah (manusia beriman)…” dan juga ucapan “Ali bin Abi Thalib ra., “Demi Dzat yang membelah biji dan menyembuhkan manusia (nasamah).”
Seorang penyair menuturkan:
Takwamu terbesar dalam hisab adalah Jika semua manusia menghalau debu
Maksudnya, “Apabila orang-orang dibangkitkan dari kubur mereka masing-masing pada Hari Kiamat.”
Khalal bin Ahmad berkata bahwa kata “nasamah” berarti “manusia”. Akan tetapi, dia juga berkata bahwa kata “nasamah” berarti “ruh” karena kata “nasim” berarti “embusan angin”.
Sabda Rasulullah saw. “bergelantung (ta’allaqa) di pepohonan surga” diriwayatkan menggunakan huruf lam yang berharakat fathah, sebagaimana yang menjadi mayoritas. Meskipun terkadang diriwayatkan dengan huruf lam yang berharakat dhammah; dengan pengertian yang sama yaitu “makan”. Itu sebabnya Rasulullah saw. bersabda, “Ia makan dari buah-buahan surga serta dapat hilir mudik terbang di antara pepohonan surga.”
Kata ‘aliqah, ‘alaq dan ‘aliq berarti “makanan”. Orang Arab biasa berkata “Hari ini dia belum merasakan ‘aliq”; dan di situ kata ‘aliq berarti “makanan”.
Contoh lainnya adalah ucapan “Aisyah ra., “Perempuan-perempuan kala itu enteng karena tak berdaging. Mereka hanya makan sedikit makanan (‘ulqah).”
Asal kata ini adalah dari ta’alluq, yaitu makanan yang “bergelayut” (ya’laq) di hati dan jiwa.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian hadis-hadis ini. Ada di antara mereka yang berpendapat bahwa ruh-ruh orang mukmin berada di sisi Allah swt. di surga; baik mereka syuhada maupun bukan syuhada. Asalkan mereka tidak terhalang masuk surga oleh suatu dosa besar atau utang. Allah swt. melimpahkan kepada mereka pengampunan dan rahmat-Nya bagi mereka.
Mereka berhujah bahwa hadis-hadis ini tidak mengkhususkan orang syahid dari orang-orang yang bukan syahid.
Mereka juga berhujah dengan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa rub orang-orang bajik berada di ‘ilIiyyun. Sementara ruh orang-orang durjana berada di Sijjin. Dan diriwayatkan pula yang seperti itu oleh “Abdullah bin ‘Amr.
Abu ‘Umar menyatakan bahwa pendapat ini bertentangan dengan sunah yang tidak terbantahkan kesahihannya, yaitu sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya jika seorang dari kalian meninggal, maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya di setiap pagi dan petang. Apabila dia termasuk penghuni surga, maka dari penghuni surga. Apabila dia termasuk penghuni neraka, maka dari penghuni neraka. Lalu dikatakan kepadanya, “Ini tempat dudukmu sampai Allah membangkitkanmu di Hari Kiamat!”
Sementara itu segolongan lainnya menyatakan bahwa pengertian dari hadis-hadis tersebut di atas hanya berlaku pada orang-orang syahid bukan yang selain mereka. Karena al-Quran dan sunah telah menunjukkan hal itu.
Dalil dari al-Quran yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah swt.,
“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mere. ka bersedih hati.” (QS. Ali Imran [3]: 169-170)
Adapun dalil dari atsar adalah berupa hadis-hadis marfuk yang berasal dari Abu Sa‘id al-Khudri dari jalur Baqiy bin Makhlad: Para syuhada hilir mudik, kemudian tempat tinggal mereka adalah lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Allah swt. lalu berkata kepada mereka, “Apakah kalian mengetahui karamah yang lebih afdal daripada karamah yang telah Aku berikan kepada kalian?”
Mereka menjawab, “Tidak. Hanya saja kami semua suka jika Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke dalam tubuh-tubuh kami agar kami dapat berperang lagi sehingga dapat terbunuh lagi di jalan-Mu.” Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Hannad, dari Ismail bin Mukhtad, dari ‘Athiyyah, darinya (maksudnya, dari Hannad).
Kemudian disampaikan pula hadis-hadis dari Ibnu “Abbas ra, yang berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Ketika saudara-saudara kalian tewas—maksudnya dalam Perang Uhud—Allah menjadikan ruh-ruh mereka berada di dalam rongga burung hijau yang terbang di sungai-sungai surga, makan dari buah-buahnya dan hinggap ke lentera-lentera yang terbuat dari emas bergelayut di naungan Arsy. Ketika mereka mendapati kebagusan makanan, minuman dan tempat tidur mereka, mereka pun berkata, ‘Siapakah yang akan menyampaikan kepada saudara-saudara kami bahwa kami hidup di dalam surga dan kami diberi rezeki, agar mereka tidak mundur dari perang dan agar mereka tidak menjauhi jihad?’ Allah swt. pun menjawab, ‘Aku yang akan menyampaikan kepada mereka semua itu dari kalian.’” Allah swt. lalu menurunkan ayat,
“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)
Selain itu ada pula hadis-hadis dalam Musnad Ahmad dan Sunan Abu Dawud.
Kemudian dituturkan pula hadis-hadis dari A’masy, dari Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dia berkata, Kami bertanya kepada “Abdullah bin Mas‘ud tentang ayat ini, “Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran (3]: 169)
Dia (Ibnu Mas’ud) menjawab, “Kami telah bertanya tentang itu.” Dia lalu berkata, “Ruh-ruh mereka berada di dalam burung hijau hilir mudik di surga ke mana pun sekehendak mereka. Lalu mereka hinggap ke lentera-lentera itu. Lalu Tuhanmu melihat mereka dengan satu tatapan. Kemudian berkata, “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Apakah lagi yang kami inginkan, sementara kami dapat hilir mudik di surga sekehendak kami!” Akan tetapi, Allah tetap melakukan itu (maksudnya, bertanya kepada mereka—Penj.) sampai tiga kali. Ketika mereka melihat bahwa mereka tidak akan dibiarkan untuk tidak ditanyai, mereka pun berkata, “Wahai Rabb, kami ingin ruh-ruh kami dikembalikan ke dalam tubuh-tubuh kami agar kami dapat terbunuh lagi di jalan-Mu.” Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak memiliki hajat apa-apa, maka mereka pun dibiarkan.” (HR. Muslim).
Di dalam Sahih al-Bukhari diriwayatkan dari Anas bahwa Umm Rubayyi’ binti Barra yang merupakan ibu dari Haritsah bin Suraqah mendatangi Nabi saw. lalu berkata, “Wahai Nabiyullah, maukah engkau menuturkan kepadaku tentang Haritsah?—Haritsah gugur dalam Perang Badar akibat terkena panah tak dikenal (sahm gharb)—apabila dia berada di surga, maka aku bersabar. Apabila tidak seperti itu, aku akan menahan untuk tidak menangisinya.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Wahai Umm Haritsah, sesungguhnya itu adalah taman-taman surga.” Sesungguhnya anakmu berada di Firdaus yang tinggi.”
Selain itu juga disampaikan dari jalur Baqiy bin Makhlad, Yahya bin ‘Abdul Hamid menuturkan kepada kami, Ibnu ‘Uyainah menuturkan kepada kami, dari Ubaidullah bin Abu Yazid, dia mendengar Ibny ‘Abbas berkata, “Ruh-ruh para syuhada berada di rongga burung hijau yang makan buah-buahan surga.”
Kemudian dituturkan dari Ma’mar, dari Qatadah, dia berkata, “Telah sampai kepada kami penjelasan bahwa ruh-ruh syuhada dalam bentuk burung putih yang makan (ta’kul) dari buah-buahan surga.”
Dan dari jalur Abu ‘Ashim an-Nabil, dari Tsaur bin Yazid, dar; Khalid bin Ma‘dan, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, “Ruh-ruh para syuhada berada di dalam burung seperti Zarazir” mereka saling mengenal dan diberi rezeki dari buah-buahan surga.”
Abu ~Umar berkata bahwa semua atsar ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa mereka adalah para syuhada bukan yang lainnya, Dalam sebagian riwayat dinyatakan “dalam bentuk burung” (shurah thair). Dalam sebagian riwayat yang lain dinyatakan “dalam rongga tubuh burung” (fi ajwaf thair). Dan dalam sebagian riwayat yang lain lagi dinyatakan “seperti burung hijau” (kathair khudhr).
Abu ‘Umar berkata bahwa menurut hemat saya wallahu a’lam adanya pernyataan orang yang menyatakan kalimat “seperti burung ‘ (kathair) atau “bentuk burung” (sharah thair) disebabkan adanya kecocokan antara riwayat itu dengan hadis-hadis yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu hadis-hadis Ka’b bin Malik. Dan juga pernyataannya di dalam hadis-hadis itu “manusia mukmin adalah burung” (nasamah al-mu’min tha’ir) dan dia tidak menyebut kalimat “dalam rongga tubuh burung” (fi jauf tha’ir).
Abu ‘Umar berkata bahwa “Isa bin Yunus meriwayatkan hadis-hadis Ibnu Masud ra., yang bersumber dari A’masy, dari ‘Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dari ‘Abdullah (Ibnu Masud), “seperti burung hijau” (kathair khudhr).
Saya (Ibnu Qayyim) menyatakan bahwa riwayat yang disebutkan dalam kitab Sahih Muslim menyebut kalimat “dalam rongga tubuh burung hijau” (fi ajwaf tha’ir khudhr).
Abu ‘Umar berkata: Berdasarkan takwil ini, sepertinya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia mukmin dari kalangan syuhada adalah burung yang makan dari (atau bergelantung di) pepohonan surga.”
Menurut pendapat saya (Ibnu Qayyim), tidak ada pertentangan antara ucapan Rasulullah saw. “Manusia mukmin adalah burung yang makan di pepohonan surga” dengan ucapan beliau. “Sesungguhnya jika seorang dari kalian meninggal, akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya di setiap pagi dan petang. Apabila dia termasuk penghuni surga, dari penghuni surga. Apabila dia termasuk penghuni neraka, dari penghuni neraka.”
Ucapan tersebut di atas disampaikan kepada orang mati yang mati di atas kasur dan orang yang mati syahid; sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Manusia mukmin adalah burung yang makan di pepohonan surga.” juga ditujukan kepada orang yang mati syahid dan orang mati lainnya.
Seiring dengan ditampakkannya kepada orang mati yang bersangkutan tempat duduknya di setiap pagi dan petang, ruhnya dapat minum dari sungai-sungai surga serta dapat makan dari buah-buahan di dalamnya. Adapun “tempat duduk” (maq’ad) yang secara khusus diperuntukkan baginya dan “rumah” (bait) yang dipersiapkan untuknya, semua itu baru akan dimasuki oleh orang mati yang bersangkutan itu nanti di Hari Kiamat.
Dalil yang menunjukkan hal itu adalah karena tempat-tempat tinggal oleh para syuhada termasuk segala rumah dan istana-istana yang mereka miliki yang telah Allah siapkan untuk mereka, dapat dipastikan sama sekali bukanlah “lentera-lentera” yang menjadi tempat hinggap ruh-ruh mereka ketika mereka sedang berada di Barzakh.
Mereka dapat melihat tempat tinggal dan tempat duduk mereka di dalam surga, sementara tempat tinggal mereka (di Alam Barzakh) adalah di dalam lentera-lentera yang bergantungan di Arsy. Masuknya mereka secara sempurna ke tempat-tempat tinggal mereka itu baru akan terjadi ketika Hari Kiamat tiba. Adapun masuknya ruh-ruh ke dalam surga di Alam Barzakh adalah suatu perkara yang berbeda dari itu.
Sementara itu, berkebalikan dari semua itu (para penghuni surga); berkenaan dengan orang-orang sengsara (maksudnya, para calon penghuni neraka—Penj.) kepada ruh-ruh mereka akan ditampakkan neraka di setiap pagi dan petang. Ketika nanti Hari Kiamat tiba, barulah mereka akan memasuki tempat-tempat tinggal dan tempat-tempat duduk mereka yang selalu ditampakkan kepada mereka di Alam Barzakh.
Jadi, kenikmatan yang dirasakan oleh ruh-ruh dengan segala isi surga di Barzakh adalah sesuatu hal, sementara kenikmatan yang dirasakan oleh ruh-ruh bersama tubuh mereka masing-masing dengan segala isi surga ketika Hari Kiamat terjadi adalah sesuatu hal lain yang berbeda Makanan ruh yang berasal dari surga di Alam Barzakh berbeda dengan makanan ruh bersama tubuh dari surga ketika Hari Kebangkitan terjadi
Itulah sebabnya Rasulullah saw. bersabda, “ia makan sedikit, (ta’luq) di pepohonan surga.” Maksudnya, “makan sedikit saja” (ta’kul al-’ulqah). Adapun makan, minum, dan pakaian serta kenikmatan yang sempurna baru akan terjadi ketika ruh-ruh manusia kembali ke dalam jasad-jasad mereka masing-masing di saat Hari Kiamat tiba. Jadi, tampak jelas bahwa pernyataan di atas sama sekali tidak bertentangan dengan sunah sedikit pun. Alih-alih ia justru sejalan dan selaras dengan sunah,
Adapun pernyataan mereka yang berpendapat bahwa hadis-hadis Ka’b hanya berlaku bagi para syuhada bukan golongan manusia yang lain, maka sebenarnya mengenai pengkhususan seperti itu, tidak ada lafal yang menunjukkan hal tersebut. Yang terjadi sebenarnya adalah tindakan membawa lafal yang bersifat umum pada sebagian kecil dari objek yang disebutkan karena sesungguhnya jumlah orang-orang syahid jika dibandingkan dengan seluruh kaum mukminin amatlah sedikit. Sementara Rasulullah saw. mengaitkan balasan ini dengan keimanan yang menjadi keharusan dan beliau tidak mengaitkannya dengan kesyahidan.
Tidakkah Anda melihat bahwa hukum yang bersifat khusus bagi para syuhada selalu dikaitkan dengan kesyahidan. Contohnya adalah sabda Rasulullah saw. dalam hadis-hadis dari Miqdam bin Ma’dikarib, “Orang syahid memiliki enam perkara di sisi Allah: Diampuni baginya pada curahan darahnya yang pertama, melihat tempat duduknya di surga, diberi pakaian dengan pakaian keimanan, dikawinkan dengan bidadari Hur ‘In, diselamatkan dari siksa kubur, aman dari Kengerian Besar, diletakkan Mahkota Kemegahan di kepalanya yang sepotong yaqut di mahkota itu lebih baik daripada dunia seisinya, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari dan dia dapat memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.”
Ketika diketahui bahwa semua yang disebutkan itu dikhususkan bagi orang syahid, Rasulullah saw. menyebut “Sesungguhnya orang syahid memiliki…” dan beliau tidak menyebut kalimat “Sesungguhnya orang mukmin memiliki…”
Demikian pula halnya sabda Rasulullah saw. dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Qais al-Judzami, “Orang syahid diberi enam perkara…” Begitu pula halnya semua hadis-hadis dan nas yang di dalamnya tercantum berbagai balasan yang dikaitkan dengan kesyahidan. Adapun berkenaan dengan balasan yang dikaitkan dengan keimanan, hal seperti itu akan diraih oleh setiap mukmin, baik yang mati syahid maupun tidak mati syahid.
Adapun semua nas dan atsar yang menyebutkan tentang rezeki pagi para syuhada dan bahwasanya ruh-ruh mereka ada di dalam surga, semua itu memang benar adanya. Akan tetapi, semua itu tidak menjadi dalil yang menunjukkan ketidakmungkinan ruh-ruh kaum mukminin lainnya (yang tidak mati syahid—Penj.) untuk juga dapat memasuki surga (ketika mereka berada di Barzakh, penerj.). Terlebih golongan shiddiqiin yang lebih afdal kedudukannya dibandingkan para syuhada, tanpa ada perbedaan pendapat di tengah masyarakat tentang hal itu.
Oleh sebab itu, maka hendaklah dikatakan kepada orang-orang yang berpendapat seperti itu tentang bagaimana pendapat mereka mengenai ruh orang-orang yang termasuk golongan shiddiqiin, apakah mereka berada di dalam surga ataukah tidak.
Jika mereka menjawab bahwa ruh golongan shiddiqtn berada di surga dan memang tidak ada jawaban lain yang dapat mereka pilih, berarti benar adanya bahwa nas-nas tersebut di atas’ tidak menjadi dalil yang menunjukkan pengkhususan para syuhada untuk mengalami apa yang disebutkan di dalam nas-nas tersebut.
Jika mereka menjawab bahwa ruh golongan shiddiqin tidak berada di surga, berarti itu sama saja dengan mereka mengatakan bahwa ruh-ruh para sahabat Rasulullah saw. yang mulia seperti Abu Bakar Siddiq ra., Ubay bin Ka‘b ra., “Abdullah bin Mas’ud ra., Abu Darda ra., Hudzaifah bin Yaman ra. dan para sahabat lain yang seperti mereka” tidak berada di surga. Sementara para syahid yang mati di zaman kita sekarang ini justru berada di dalam surga. Tentu saja pemahaman seperti itu pasti salah!
Apabila orang-orang itu balik bertanya, “Jika ketentuan ini tidak secara khusus berlaku bagi para syuhada, apakah sebenarnya maksud penyebutan mereka secara khusus di dalam nas-nas tersebut?”
Maka jawabannya yaitu, “Penyebutan para syuhada secara khusus di dalam nas-nas itu menunjukkan keutamaan kesyahidan dan ketinggian derajatnya dan bahwa semua itu akan diraih oleh orang-orang yang mengalami kesyahidan itu secara pasti, di samping itu bahwa mereka pasti akan mendapatkan yang jauh lebih banyak daripada semua yang telah disebutkan dalam nas-nas itu.
Kenikmatan yang mereka dapatkan di Alam Barzakh pasti lebih sempurna daripada bagian yang didapat oleh orang-orang yang mati di atas ranjang (bukan di medan perang—Penj.). Termasuk walaupun orang yang mati di atas ranjang lebih tinggi derajatnya dibandingkan kebanyakan para syuhada itu. Orang yang mati syahid memiliki kenikmatan khusus yang tidak akan dirasakan oleh yang lain.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah Allah swt. meletakkan ruh-ruh para syuhada di dalam rongga tubuh burung hijau. Ketika para syuhada mengorbankan tubuh mereka lillahi ta’ala sampai akhirnya musuh-musuh Allah merusak tubuh para syuhada itu, Allah pun mengganti tubuh mereka di Alam Barzakh dengan tubuh yang lebih baik daripada tubuh lama mereka dan mereka tetap berada di dalam tubuh-tubuh tersebut sampai Hari Kiamat. Kenikmatan yang dirasakan oleh ruh-ruh para syuhada dengan perantaraan tubuh-tubuh mereka yang baru itu terasa lebih sempurna daripada kenikmatan ruh-ruh lain yang tidak mengalami semua itu. Itulah sebabnya, nyawa orang mukmin dinyatakan “berbentuk burung” (fi shirah thair) atau “seperti burung” (ka-thair), sementara nyawa orang syahid dinyatakan “berada di dalam rongga tubuh burung” (fi jauf thair).
Coba Anda perhatikan baik-baik lafal kedua hadis-hadis tersebut di atas. Rasulullah saw. bersabda, “nyawa orang mukmin adalah burung” (nasmah al-mu‘min thair). Kalimat ini mencakup secara umum semua orang syahid dan lainnya. Setelah itu Rasulullah saw. mengkhususkan syahid dengan sabda beliau, “Ia berada di rongga tubuh burung.” Padahal telah diketahui bahwa apabila ruh berada di dalam rongga tubuh burung, maka ia adalah burung. Semoga selawat dari Allah terlimpah kepada Rasulullah saw. yang sabda-sabdanya saling membenarkan antara satu sama lain dan itu menunjukkan bahwa semua sabda beliau adalah benar-benar dari hadirat Allah swt. Simpulan ini lebih baik daripada simpulan Abu Umar yang juga mentarjih riwayat yang menyatakan “Ruh-ruh mereka seperti burung hijau.” Alih-alih (ada di antara kedua riwayat itu yang lebih benar—Penj.), kedua riwayat itu sama-sama hak dan benar. Ruh memang seperti burung hijau dan juga berada di dalam rongga tubuh burung hijau.