Kisah ini pernah terjadi di zaman
Bani Israil dahulu kala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakannya kepada umatnya agar menjadi pelajaran berharga dan teladan
dalam kebaikan. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan dari
Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’id bin Malik bin Sinan radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ
أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ
قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ.
فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ
فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ
مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ،
انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ
فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ.
فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ
فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ
الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ
مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ
فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ
الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ
فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ
الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا
أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
Dahulu, di
zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99
jiwa. Dia pun bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi ketika itu,
lalu ditunjukkan kepadanya tentang seorang rahib (pendeta, ahli ibadah). Maka
dia pun mendatangi rahib tersebut lalu mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah
membunuh 99 jiwa, apakah ada taubat baginya?
Ahli ibadah itu
berkata: “Tidak.” Seketika laki-laki itu membunuhnya. Maka dia pun menggenapi
dengan itu (membunuh rahib) menjadi 100 jiwa. Kemudian dia menanyakan apakah
ada orang yang paling alim di muka bumi ketika itu? Lalu ditunjukkanlah
kepadanya tentang seorang yang berilmu. Maka dia pun mengatakan bahwa
sesungguhnya dia telah membunuh 100 jiwa, apakah ada taubat baginya? Orang alim
itu berkata: “Ya. Siapa yang menghalangi dia dari taubatnya? Pergilah ke daerah
ini dan ini. Karena sesungguhnya di sana ada orang-orang yang senantiasa
beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka. Dan
jangan kamu kembali ke negerimu, karena negerimu itu adalah negeri yang
buruk/jahat.”
Maka dia pun
berangkat. Akhirnya, ketika tiba di tengah perjalanan datanglah kematian
menjemputnya, (lalu dia pun mati). Maka berselisihlah malaikat rahmat dan
malaikat azab tentang dia.
Malaikat rahmat
mengatakan: “Dia sudah datang dalam keadaan bertaubat, menghadap kepada Allah
dengan sepenuh hatinya.”
Sementara
malaikat azab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah mengerjakan satu amalan
kebaikan sama sekali.”
Datanglah
seorang malaikat dalam wujud seorang manusia, lalu mereka jadikan dia (sebagai
hakim pemutus) di antara mereka berdua. Maka kata malaikat itu: “Ukurlah jarak
antara (dia dengan) kedua negeri tersebut. Maka ke arah negeri mana yang lebih
dekat, maka dialah yang berhak membawanya.”
Lalu keduanya
mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa orang itu lebih dekat kepada
negeri yang diinginkannya. Maka malaikat rahmat pun segera membawanya.
Kata rawi: Kata
Qatadah: Al-Hasan mengatakan: “Disebutkan kepada kami, bahwa ketika kematian
datang menjemputnya, dia busungkan dadanya (ke arah negeri tujuan).”
Hadits ini
menceritakan kepada kita tentang orang yang telah membunuh 99 jiwa lalu dia
menyesal dan bertaubat serta bertanya tentang ahli ilmu yang ada ketika itu.
Kemudian ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah.
Ternyata ahli
ibadah itu hanyalah ahli ibadah, tidak mempunyai ilmu. Rahib tersebut
menganggap besar urusan itu sehingga mengatakan: “Tidak ada taubat bagimu.”
Laki-laki pembunuh itu marah lantas membunuh ahli ibadah tersebut. Lengkaplah
korbannya menjadi 100 jiwa.
Kemudian dia
tanyakan lagi tentang ahli ilmu yang ada di masa itu. Maka ditunjukkanlah
kepadanya seorang yang alim. Lalu dia bertanya, apakah ada taubat baginya yang
telah membunuh 100 jiwa? Orang alim itu menegaskan: “Ya. Siapa yang bisa
menghalangimu untuk bertaubat? Pintu taubat terbuka lebar. Tapi pergilah,
tinggalkan negerimu menuju negeri lain yang di sana ada orang-orang yang
beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jangan pulang ke kampungmu,
karena negerimu adalah negeri yang buruk.”
Akhirnya,
lelaki itu pun pergi berhijrah. Dia berangkat meninggalkan kampung halamannya
yang buruk dalam keadaan sudah bertaubat serta menyesali perbuatan dan
dosa-dosanya. Dia pergi dengan satu tekad meninggalkan dosa yang dia lakukan,
memperbaiki diri, mengisi hari esok dengan amalan yang shalih sebagai ganti
kezaliman dan kemaksiatan yang selama ini digeluti.
Di tengah
perjalanan menuju kampung yang baik, dengan membawa segudang asa memperbaiki
diri, Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan dia harus mati.
Takdir dan
kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala jua yang berlaku. Itulah rahasia dari sekian
rahasia Allah Yang Maha Bijaksana. Tidak mungkin ditanya mengapa Dia berbuat
begini atau begitu. Tetapi makhluk-Nya lah yang akan ditanya, mengapa mereka
berbuat begini dan begitu. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha melakukan apa saja
yang Dia inginkan.
Semua yang ada
di alam semesta, baik yang terlihat maupun tidak terlihat adalah milik Allah
Subhanahu wa Ta’ala, ciptaan-Nya dan di bawah pengawasan serta pengaturan-Nya.
Dia Yang menentukan setiap perbuatan seorang hamba, 50.000 tahun sebelum Dia
menciptakan langit dan bumi. Dia yang memberikan perangkat kepada seorang hamba
untuk melakukan sesuatu. Dia pula yang memberi taufiq kepada hamba tersebut ke
arah apa yang telah ditakdirkan-Nya.
Pembunuh 100
jiwa itu, adalah salah satu dari makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia
ada di bawah kehendak dan kendali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketentuan dan
takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah pasti berlaku pula atasnya. Perbuatan
zalim yang dikerjakannya adalah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taubat dan
penyesalan yang dia rasakan dan dia inginkan adalah takdir dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Alangkah beruntungnya dia. Tapi kalau begitu, zalimkah Allah
Subhanahu wa Ta’ala? Kejamkah Dia kepada hamba-Nya?
Jawabnya sudah
pasti, tidak. Sama sekali tidak. Dari sisi manapun, Dia bukanlah Dzat yang
zalim.
Apakah
kezaliman itu? Kezaliman adalah berbuat sesuatu pada hal-hal yang bukan
miliknya. Atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Siapakah Allah
Subhanahu wa Ta’ala? Dan siapakah kita? Milik siapakah kita?
Kita milik
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia-lah Yang telah menciptakan dan mengatur kita.
Dia Maha Tahu yang tepat bagi hamba-Nya. Dia Maha Bijaksana, Dia meletakkan
segala sesuatu sesuai pada tempatnya. Dia Maha Tahu apa yang diciptakan-Nya.
Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Allahu Akbar.
Lelaki itu
meninggal dunia. Dia mati dalam keadaan belum ‘beramal shalih’ sekali pun. Dia
hanya punya tekad memperbaiki diri, bertaubat dari semua kesalahan. Hal itu
terwujud dari keinginannya bertanya kepada mereka yang dianggap berilmu: Apakah
ada taubat baginya? Semua itu tampak dari tekadnya pergi meninggalkan masa lalu
yang kelam, menyongsong cahaya hidayah dan kebaikan.
Alangkah besar
karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada dirinya. Alangkah besar rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya. Tetapi alangkah banyak manusia yang
tidak mengetahui bahkan tidak mensyukuri nikmat tersebut.
Sungguh,
andaikata kezaliman-kezaliman yang dikerjakan oleh Bani Adam ini harus
diselesaikan dengan azab dan siksa di dunia, niscaya tidak akan ada lagi satu
pun makhluk yang melata di atas muka bumi ini. Sungguh, seandainya kemurkaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih dahulu daripada rahmat-Nya, niscaya tidak
akan pernah ada rasul yang diutus, tidak ada Kitab Suci yang diturunkan. Tidak
ada ulama dan orang shalih serta berilmu yang memberi nasihat, peringatan, dan
bimbingan. Bahkan tidak akan ada satu pun makhluk yang melata di muka bumi ini.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْ
يُؤَاخِذُ اللهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ
دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ
فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
“Dan kalau
sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan
meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi
Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka
apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat
(keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)
Kerusakan yang
terjadi di muka bumi ini, di daratan maupun di lautan tidak lain adalah akibat
ulah manusia. Sementara kesempatan hidup yang diberikan kepada mereka membuat
mereka lupa, bahkan semakin menambah kedurhakaan mereka. Ingatlah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
فَذَرْنِي
وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا
يَعْلَمُونَ. وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
“Maka
serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan
perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan
berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan
Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.”
(Al-Qalam: 44-45)
Maka jelas
pulalah bagi kita alangkah jahatnya ucapan orang yang mengatakan: “Saya
tidak suka tuhan yang kejam.”
Andaikata yang
dia maksud adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hanya ada dua kemungkinan
pada diri orang seperti ini, kafir (murtad) atau kurang akalnya (idiot).
Apabila sudah dia terima bukti dan keterangan tapi masih menolak dan
mengingkari, maka dikhawatirkan dia telah keluar dari Islam.
Betapa luas
nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Siang malam Dia memerhatikan
serta mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tetapi mereka
justru menampakkan kebencian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan senantiasa
mengerjakan maksiat sepanjang siang dan malam.
Maka dari itu:
فَبِأَيِّ
ءَالَاءِ رَبِّكَ تَتَمَارَى
“Maka
terhadap nikmat Rabbmu yang manakah kamu ragu-ragu?” (An-Najm: 55)
Dan:
فَبِأَيِّ
ءَالَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat
Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman: 75)
Di antara
rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala juga adalah seperti yang diriwayatkan Al-Imam
Muslim rahimahullahu dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
لَلَّهُ أَشَدُّ
فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى
رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ
وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ
أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً
عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ
أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ. أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Benar-benar
Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-Nya
daripada salah seorang kamu yang berada di atas kendaraannya di sebuah tanah
padang yang sunyi, lalu kendaraan itu lepas (lari) meninggalkannya, padahal di
atasnya ada makanan dan minumannya. Akhirnya dia putus asa mendapatkannya
kembali. Maka dia pun mendatangi sebatang pohon lalu berbaring di bawah
naungannya, dalam keadaan putus asa dari kendaraannya. Ketika dia dalam keadaan
demikian, ternyata tiba-tiba kendaraan itu berdiri di dekatnya. Lalu dia pun
menggenggam tali kekangnya dan berkata saking gembiranya: ‘Ya Allah, Engkau
hambaku dan aku Rabbmu.’ Dia salah ucap karena saking gembiranya.”
Beberapa Faedah
1. Seorang
pembunuh, bisa diterima taubatnya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
إِنَّ اللهَ لَا
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa’: 48)
Inilah pendapat
jumhur ulama. Adapun pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa tidak ada
taubat bagi seorang pembunuh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ
مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ
عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93)
Mungkin bisa
dibawa kepada pengertian bahwa tidak ada taubat sehubungan dengan korban yang
terbunuh. Karena si pembunuh terkait dengan tiga hak sekaligus: hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala, hak korban yang dibunuhnya, dan hak ahli waris korban
(walinya).
Adapun hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak disangsikan lagi bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan mengampuninya dengan adanya taubat dari pelaku maksiat tersebut,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ
يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ
رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ
الرَّحِيمُ
“Katakanlah:
‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.”
(Az-Zumar: 53)
Juga firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ لَا
يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا.
يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا. إِلَّا
مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ
سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا. وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا
“Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, tidak membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar,
dan tidak berzina, barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari
kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih. Maka
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal
saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 68-71)
Adapun hak korban
yang dibunuhnya, maka taubat si pembunuh tidaklah berguna dan jelas belum
tertunaikan hak korbannya, karena korban itu sudah mati. Tidak mungkin pula
sampai pada tingkat dia minta penghalalan atau lepas dari tuntutan darahnya.
Jadi, inilah yang masih tersisa serta menjadi beban tuntutan di pundak si
pembunuh, meskipun dia sudah bertaubat. Sedangkan pada hari kiamat, maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan memutuskan perkara di antara mereka.
Sedangkan hak
ahli waris (wali) korban, maka taubat si pembunuh juga tidak sah hingga dia
menyerahkan dirinya kepada mereka, mengakui perbuatannya, dan menyerahkan
kepada mereka, apakah dia harus dihukum mati (qishash), membayar diyat
(tebusan), atau mereka memaafkannya.
2. Dalam hadits
kisah ini, disyariatkan untuk bertaubat dari semua dosa besar. Mungkin, ketika
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat seorang pembunuh, Dia menjamin
keridhaan lawan (korban)nya, dan Dia kembalikan kezalimannya. Inilah salah satu
rahmat dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Kisah ini
melarang kita membuat orang lain putus asa dari dosa besar yang dikerjakannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah menerangkan bahwa Dia tidak akan
menjadikan kekal di neraka orang yang mati dalam keadaan bertauhid, sebagaimana
dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan At-Tirmidzi
rahimahullahu:
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّه ِn يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ،
إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا
أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ
اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ
أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي
شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Saya mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Tabaraka wa Ta’ala
berfirman: ‘Wahai Bani Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku,
mengharapkan-Ku, niscaya Aku beri ampun kepadamu atas apa yang ada padamu, dan
Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit
kemudian kamu minta ampun kepada-Ku niscaya Aku beri ampunan kepadamu, dan Aku
tidak peduli. Wahai Bani Adam, sungguh, seandainya engkau datang kepada-Ku
membawa dosa sepenuh bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak
menyekutukan Aku dengan apapun, pasti Aku datang kepadamu dengan membawa
ampunan sepenuh itu juga.”
Namun, bisa
jadi pula dia diampuni dan tidak masuk neraka sama sekali, atau diazab
sebagaimana pelaku maksiat lainnya dari kalangan orang yang bertauhid lalu
dikeluarkan menuju ke dalam jannah. Maka janganlah berputus asa dari rahmat
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jangan pula membuat orang lain berputus asa
darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khalil-Nya, Ibrahim q:
قَالَ وَمَنْ
يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
“Ibrahim
berkata: ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali
orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)
4. Di dalam
kisah ini terdapat pula keutamaan berpindah dari negeri yang di sana seseorang
bermaksiat, apakah karena adanya teman dan fasilitas yang mendukung atau
hal-hal lainnya.
5. Dari kisah
ini pula jelaslah betapa seseorang tidak mungkin selamat dan lolos dari azab
kecuali dengan beratnya timbangan kebaikan dirinya meski hanya sebesar biji
sawi. Maka dari itu, sudah semestinyalah orang yang bertaubat memperbanyak amal
kebaikannya.
6. Termasuk tugas
seorang yang bertaubat –kalau dia bukan orang yang berilmu– hendaknya dia
pelajari apa saja yang wajib atas dirinya di masa yang akan datang dan apa yang
haram dikerjakannya.
7. Perlu pula
diingat dalam kisah ini, bahwasanya lingkungan yang baik, bergaul dengan orang
shalih akan menambah iman seseorang. Sedangkan segala kerusakan, petaka dan
penyimpangan, tumbuhnya tidak lain karena adanya dukungan para setan dan bala
tentaranya, termasuk dari kalangan manusia yang senantiasa membuka pintu
kelalaian dan syahwat serta tidak mendukungnya kepada kebaikan dan ketaatan.
Sungguh indah
peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Musa
Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu:
مَثَلُ
الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ،
فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ
يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan
teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah seperti pembawa misik
dan pandai besi. Adapun si pembawa misik (minyak wangi), mungkin dia akan
memberimu, atau kamu membeli darinya, atau kamu dapatkan bau harum darinya.
Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau kamu dapatkan
bau tidak sedap darinya.”
8. Satu hal
yang harus kita ingat dari kisah ini, tekad dan niat ikhlas si pembunuh, itulah
yang mengantarnya kepada rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang teramat luas.
Meski belum mengisi lembaran hidup barunya dengan kebaikan, tetapi tekad dan
niat ikhlas ini sangat bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah salah
satu buah dan keutamaan tauhid yang murni.
Mudah-mudahan
Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita membersihkan hati kita dari kekotoran
syirik dan maksiat sampai kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan membawa hati
yang selamat. Amin.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan