Peristiwa ini terjadi pada zaman
Bani Israil,
Jauh sebelum
diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengisahkannya kepada
kita berdasarkan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ
الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ
صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَانْطَبَقَتْ عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ:
انْظُرُوا أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً لِلهِ فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى
بِهَا، لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ
كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ
أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ
فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ بَنِيَّ، وَأَنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ
فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا فَحَلَبْتُ كَمَا
كُنْتُ أَحْلُبُ فَجِئْتُ بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ
أَنْ أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ
قَبْلَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ
دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي
فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً نَرَى
مِنْهَا السَّمَاءَ. فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ،
وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ أَحْبَبْتُهَا
كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ وَطَلَبْتُ إِلَيْهَا نَفْسَهَا
فَأَبَتْ حَتَّى آتِيَهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَتَعِبْتُ حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ
دِينَارٍ فَجِئْتُهَا بِهَا فَلَمَّا وَقَعْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ: يَا
عَبْدَ اللهِ، اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفْتَحِ الْخَاتَمَ إِلاَ بِحَقِّهِ. فَقُمْتُ
عَنْهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ
فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً. فَفَرَجَ لَهُمْ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ
إِنِّي كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ
قَالَ: أَعْطِنِي حَقِّي فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ فَرَقَهُ فَرَغِبَ عَنْهُ، فَلَمْ
أَزَلْ أَزْرَعُهُ حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرِعَاءَهَا، فَجَاءَنِي
فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَظْلِمْنِي حَقِّي. قُلْتُ: اذْهَبْ إِلَى تِلْكَ
الْبَقَرِ وَرِعَائِهَا فَخُذْهَا. فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَسْتَهْزِئْ بِي.
فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ، خُذْ ذَلِكَ الْبَقَرَ وَرِعَاءَهَا.
فَأَخَذَهُ فَذَهَبَ بِهِ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ
ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مَا بَقِيَ. فَفَرَجَ اللهُ مَا بَقِيَ
Ketika ada tiga orang sedang berjalan, mereka ditimpa
oleh hujan. Lalu mereka pun berlindung ke dalam sebuah gua di sebuah gunung.
Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung itu lalu menutupi mulut gua
mereka. Lalu sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Perhatikan amalan
shalih yang pernah kamu kerjakan karena Allah, lalu berdoalah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan itu. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan
batu itu dari kalian.”
Lalu berkatalah salah seorang dari mereka: “Ya Allah,
sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta, seorang istri,
dan anak-anak yang masih kecil, di mana aku menggembalakan ternak untuk mereka.
Kalau aku membawa ternak itu pulang ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku
mulai dengan kedua ibu bapakku, lantas aku beri minum mereka sebelum
anak-anakku. Suatu hari, ternak itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya
aku tidak pulang kecuali setelah sore, dan aku dapati ibu bapakku telah
tertidur. Aku pun memerah susu sebagaimana biasa, lalu aku datang membawa susu
tersebut dan berdiri di dekat kepala mereka, dalam keadaan tidak suka
membangunkan mereka dari tidur. Aku pun tidak suka memberi minum anak-anakku
sebelum mereka (kedua orangtuanya, red.) meminumnya. Anak-anakku sendiri
menangis di bawah kakiku meminta minum karena lapar. Seperti itulah keadaanku
dan mereka, hingga terbit fajar. Maka kalau Engkau tahu, aku melakukan hal itu
karena mengharapkan wajah-Mu, bukakanlah satu celah untuk kami dari batu ini
agar kami melihat langit.”
Lalu Allah bukakan satu celah hingga mereka pun melihat
langit.
Yang kedua berkata: “Sesungguhnya aku punya sepupu
wanita yang aku cintai, sebagaimana layaknya cinta seorang laki-laki kepada
seorang wanita. Aku minta dirinya (melayaniku), tapi dia menolak sampai aku
datang kepadanya (menawarkan) seratus dinar. Aku pun semakin payah, akhirnya
aku kumpulkan seratus dinar, lalu menyerahkannya kepada gadis itu. Setelah aku
berada di antara kedua kakinya, dia berkata: ‘Wahai hamba Allah. Bertakwalah
kepada Allah. Jangan engkau buka tutup (kiasan untuk keperawanannya) kecuali
dengan haknya.’ Maka aku pun berdiri meninggalkannya. Kalau Engkau tahu, aku
melakukannya adalah karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami satu
celah dari batu ini.”
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun membuka satu celah
untuk mereka.
Laki-laki ketiga berkata: “Ya Allah, sungguh, aku
pernah mengambil sewa seorang buruh, dengan upah satu faraq1 beras. Setelah dia
menyelesaikan pekerjaannya, dia berkata: ‘Berikan hakku.’ Lalu aku serahkan
kepadanya beras tersebut, tapi dia tidak menyukainya. Akhirnya aku pun tetap menanamnya
hingga aku kumpulkan dari hasil beras itu seekor sapi dan penggembalanya.
Kemudian dia datang kepadaku dan berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah, dan jangan
zalimi aku dalam urusan hakku.’
Aku pun berkata: ‘Pergilah, ambil sapi dan
penggembalanya.’ Dia berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah dan jangan
mempermainkan saya.’ Aku pun berkata: ‘Ambillah sapi dan penggembalanya itu.’
Akhirnya dia pun membawa sapi dan penggembalanya lalu pergi. Kalau Engkau tahu
bahwa aku melakukannya karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami
apa yang tersisa.”
Maka Allah pun membukakan untuk mereka sisa celah yang
menutupi.
Itulah kisah yang diceritakan oleh beliau Shalallahu
‘alaihi wa sallam. Sebuah kisah yang di dalamnya sarat dengan pelajaran yang
sangat berharga. Dalam kisah ini terkandung dalil tentang tawassul
(perantara) yang dibolehkan, yaitu dengan amal shalih yang pernah dikerjakan.
Orang pertama bertawassul kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan baktinya kepada kedua orangtuanya. Dia seorang penggembala, dan
makanan pokoknya tergantung kepada susu ternaknya. Kebiasaan orang ini adalah
memerah susu itu sesudah dia pulang dan mulai memberi minum kepada kedua
orangtuanya sebelum anak dan istrinya.
Betapa banyak di antara manusia saat ini yang berbakti
kepada orangtua sesuai keridhaan anak dan istrinya. Mereka mendahulukan anak
dan istrinya, kemudian baru berbakti kepada ibu bapak mereka. Yang lebih
menyedihkan lagi, sebagian mereka lebih suka menitipkan ibu bapaknya di
panti-panti jompo.
Tidak takutkah mereka dengan peringatan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, ketika beliau naik ke atas mimbar sambil
mengucapkan amin, setiap kali menapakkan kaki di atas mimbarnya? Para sahabat
yang begitu antusias dengan kebaikan, bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Apa yang anda aminkan, wahai Rasulullah?”
Beliau berkata: “Jibril datang kepadaku lalu berkata –di
antaranya–:
رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ
أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ، قُلْتُ آمِيْن
‘Alangkah celakanya seseorang yang mendapati kedua
orangtuanya atau salah satunya, namun keduanya tidak menyebabkan dia masuk ke
dalam jannah.’ Aku pun berkata: ‘Amiin’.”2
Adapun kebiasaan si penggembala ini, dia menjauh untuk
mencari ladang gembalaan ternaknya, dan tidak kembali kecuali sesudah malam
agak larut. Dia pun memerahkan susu untuk ibu bapaknya yang ternyata telah
tertidur. Dia tidak suka membangunkan mereka dan tidak mau memberikan susu itu
untuk anaknya. Akhirnya dia pun berjaga sepanjang malam itu dengan susu itu
masih di tangannya, sedangkan anaknya menangis di bawah kakinya.
Sungguh, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tahu betapa
sulitnya keadaan si penggembala malam itu. Jauh-jauh dia menggembalakan
kambing, lalu bergegas pulang dan belum sempat makan malam, sementara anaknya
menangis di bawah kakinya. Gambaran yang sangat agung yang ditunjukkan oleh
iman, hingga membawanya sampai pada tingkatan demikian tinggi karena baktinya
kepada ibu bapaknya dan semangatnya melakukan hal itu, sehingga menjadi salah
satu sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka sedikit celah yang menutupi gua itu.
Ini adalah peringatan bagi umat ini, sekaligus anjuran
agar berbakti kepada ibu bapaknya dan bersegera menjalankannya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan
kisahnya.
Orang kedua, dia bertawassul kepada Rabbnya dengan rasa
takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasa takut itu mendorongnya untuk
meninggalkan perbuatan keji dan bujukan syahwat. Dia begitu mencintai dan ingin
memiliki putri pamannya, bahkan membujuk gadis itu agar mau mengikuti
keinginannya, namun wanita itu menolak.
Pada suatu ketika wanita itu ditimpa kesulitan ekonomi.
Hal ini mendorongnya datang menemui si pemuda. Tapi keadaan ini seolah menjadi
sebuah kesempatan baik bagi si pemuda agar melampiaskan syahwatnya. Akhirnya,
dia membujuk wanita agar menuruti keinginannya dan dia siap membantunya. Dengan
terpaksa, wanita itu meluluskan keinginan si pemuda setelah dia menerima
sejumlah uang yang cukup besar dan diserahkan sebelum dia melayani si pemuda.
Akan tetapi, di saat pemuda itu sudah siap untuk
melakukan segala perkara yang hanya layak dilakukan oleh suami kepada istrinya,
dan tidak ada lagi yang akan mencegah si pemuda berbuat apa yang diinginkannya
terhadap tubuh wanita itu, tiba-tiba wanita itu menangis dan bergetar. Pemuda
itu bertanya: “Ada apa?” Si wanita mengatakan bahwa dia takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena dia belum pernah melakukan perbuatan keji (zina)
sebelum itu. Mendengar ucapan wanita tersebut, pemuda itu segera berdiri dan
meninggalkan si wanita yang sangat dicintainya serta harta yang diberikannya
untuk si wanita.
Itulah keimanan, yang mendorongnya meninggalkan perbuatan
zina. Padahal dia mampu melakukannya, bahkan semua sarana dan fasilitas serta
situasi sangat mendukung keinginannya. Tetapi, iman dan rasa takutnya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntutnya segera meninggalkan perbuatan keji itu
dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh sangat disayangkan, sebagian anak-anak kaum
muslimin, justru melangkah menuju perbuatan keji ini. Lebih celaka lagi, semua
dikemas dengan label Islam; Pacaran Islami. Bahkan para orangtua mendukung
perbuatan tersebut. Mereka merasa bangga bila anak gadisnya bergandengan atau
berduaan dengan seorang pemuda, entah teman sekolahnya atau hasil perkenalan di
sebuah tempat. Sementara pada diri para pemuda dan pemudinya, rasa minder akan
menghinggapinya jika mereka tidak mempunyai pacar.
Jadi, seolah-olah dalam Islam perzinaan itu sah-sah saja.
Na’udzu billahi min dzalik. Maha Suci Allah dari kedustaan yang mereka
ada-adakan.
Tapi, lihatlah bagaimana pemuda itu. Dalam keadaan sudah
hampir melakukannya, terhadap wanita yang dicintainya, tanpa ada yang
merintangi. Ternyata dia segera beranjak pergi meninggalkan si wanita dan
membiarkan harta itu untuknya. Itulah taubat yang membasuh dosa.
Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat
laki-laki itu menjauhi putri pamannya itu, padahal dia adalah wanita yang
paling dicintainya. Wanita yang memberi kesempatan kepada dirinya untuk berbuat
apa saja, tapi juga mengingatkannya agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Wanita itu mengingatkannya kepada Dzat yang dirinya adalah hamba
sahaya-Nya. Wanita itu mengingatkannya kepada Allah: “Wahai hamba Allah,
bertakwalah kepada Allah!” Artinya, buatlah antara dirimu dengan Allah Subhanahu
wa Ta’ala sebuah pelindung, dengan menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya dalam keadaan penuh rasa takut dan harap.
“Bertakwalah kepada Allah, jangan kau buka tutupnya
kecuali dengan haknya,” kata wanita itu.
“Lalu aku pun berdiri meninggalkannya. Ya Allah, kalau
Engkau tahu aku melakukannya karena mengharap Wajah-Mu, maka lepaskanlah kami
dari batu ini.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberi celah lebih lebar
daripada sebelumnya, namun mereka belum dapat keluar.
Apa yang mendorongnya meninggalkan wanita itu dalam
keadaan dia sudah ada di atas tubuhnya? Apa yang mencegahnya dari kemaksiatan?
Tidak ada yang menghalanginya selain kokohnya sikap ta’zhim (pengagungan)
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sanubarinya. Tidak ada yang menghentikannya
selain kebesaran Rabbnya yang bertahta di hatinya, sehingga menimbulkan rasa
takut dan merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia segera berdiri
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya.
Alangkah banyak di antara manusia yang masih suka
mengangkangi hak orang lain. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
dalam sebuah hadits shahih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
مَنِ اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
“Siapa
yang mengambil harta seorang muslim tanpa alasan yang haq, niscaya dia bertemu
dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan Dia sangat murka kepadanya.”
(HR. Ahmad)
Bayangkanlah hari yang sangat dahsyat tersebut. Ketika
manusia dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan
tidak berkhitan, di saat kita sangat membutuhkan karunia dan rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits lain yang hampir serupa dengan ini, terkait
dengan sumpah, mereka bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Walaupun sebatang kayu arak –untuk siwak–?”
Kata beliau: “Walaupun hanya sebatang kayu arak.”
Artinya, seandainya kita mengambil sebatang kayu arak
dari seorang muslim dalam keadaan dia tidak senang kamu mengambilnya, niscaya
kita akan bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan dia murka.
Lantas, di mana sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dari orang-orang yang berbuat zalim seperti ini?
Seandainya dia memiliki sikap ta’zhim kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tentulah dia seperti orang yang diceritakan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Kita perhatikan kisah
tentang orang ketiga ini.
Dia menyewa seorang buruh agar bekerja dengan upah yang
telah ditentukan, tetapi pekerja itu tidak jadi mengambil upahnya. Dia malah
pergi tanpa membuat kesepakatan dengan majikannya agar upahnya dikembangkan.
Namun, kedermawanan majikan tersebut mendorongnya mengolah upah buruh tadi
sehingga bertambah banyak.
Tak lama, dari upah buruh tadi yang tidak seberapa, harta
itu berkembang menjadi berlimpah. Kemudian datanglah si buruh menagih upah yang
dahulu dia tinggalkan. Oleh si majikan, harta yang berasal dari upah si buruh
diserahkan seluruhnya kepada buruh tersebut.
Dia berkata: “Lalu aku berikan kepada buruh itu semua
yang telah aku kembangkan dari upahnya. Andai aku mau tentulah tidak aku
berikan kepadanya melainkan upahnya semata.” Artinya, dia kuasa untuk tidak
memberi buruh tadi harta yang sudah dikembangkannya dalam waktu cukup lama.
Akan tetapi, dengan sikap pemurahnya itu, dia menyerahkan semua harta yang
diperoleh dari upah buruh tersebut.
Lalu dia pun berkata: “Ya Allah, kalau Engkau tahu
aku melakukannya demi mengharap rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu, maka
lepaskanlah kami.” Maka batu itu pun bergeser dan mereka berjalan
keluar dari gua tersebut.
Melalui kisah ini pula kita dapatkan bahwa selamat dari
petaka/bencana adalah balasan atas amal perbuatan yang shalih. Betapa besar
ganjaran yang diterima oleh mereka yang jujur dan amanah dalam bermuamalah.
Majikan yang jujur dan amanah yang mengembangkan upah
buruhnya adalah cermin bagi kita melihat betapa langkanya kejujuran dan amanah
itu di sekitar kita saat ini. Dia menyerahkan semua harta yang dihasilkan dari
pengembangan upah buruhnya, tanpa meminta imbalan atau bagian atas upayanya
mengembangkan upah buruh tersebut. Sementara di sekitar kita, hal ini justru
menjadi peluang untuk memperoleh harta tambahan. Wallahul Musta’an.
Alangkah tepat ungkapan ini:
صَبْراً جَمِيلاً مَا أَقْرَبَ الْفَرَجَا
مَنْ رَاقَبَ اللهَ فِي الْأُمُوْرِ نَجَا
مَنْ صَدَقَ اللهَ لَمْ يَنَلْهُ أَذَى
وَمَنْ رَجَاهُ يَكُونُ حَيْثُ رَجَا
Bersabarlah dengan kesabaran yang indah, alangkah
dekatnya jalan keluar
Siapa yang senantiasa yakin diawasi oleh Allah dalam
semua urusan pasti selamat
Siapa yang jujur terhadap Allah tentu tidak akan celaka
Dan siapa yang mengharapkan-Nya tentu Dia ada di mana pun
diharap
Jelaslah, dari hadits ini bahwa ketiga laki-laki mukmin
ini, di saat mereka ditimpa malapetaka dan keadaan mengimpit mereka, serta
putus asa akan datangnya kelonggaran dari semua jalan selain jalan Allah
Tabaraka wa Ta’ala satu-satunya, maka mereka pun berlindung dan berdoa
kepada-Nya dengan ikhlas, serta menyebutkan amalan-amalan shalih mereka yang
dahulu biasa mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktu-waktu
senang, sambil mengharapkan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keadaan
mereka di saat-saat yang sulit. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي
الشِّدَّةِ
“Ingatlah
kepada Allah ketika dalam keadaan senang, tentu Dia mengingatmu pada saat-saat
yang sulit.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan