Dari alam mineral aku mati lalu menjadi tumbuh-tumbuhan;
Dari alam tumbuh-tumbuhan aku mati lalu mencapai alam hewan;
Dari alam hewan aku mati lalu menjadi manusia.
Lalu mengapa aku harus takut?
Kapan aku berkurang karena kematian?
Nanti aku mati sebagai manusia, lalu aku membentangkan sayapku dan mengangkat kepalaku di antara para malaikat...
Sekali lagi, aku akan berkorban dari alam malakuti dan menjadi apa yang tak sanggup dibayangkan imajinasi.
(Jalaluddin Rumi, Matsnawi, III, 3901-3903)
Ibarat selembar kertas yang memiliki dua sisi. Salah satu sisinya kosong dan sisi lainnya berisi tulisan. Sisi yang kosong tidak bisa dijelaskan sedangkan sisi sebelahnya dapat dijelaskan karena ada kalimat-kalimat penjelasnya.
Jika ini dianalogikan dengan wacana Maqam Ahadiyyah dan Maqam Wahidiyyah, halaman yang kosong ibarat Maqam Ahadiyyah (the Divine Nothingness).
Dalam kitab-kitab tasawuf, maqam ini sering disebut sebagai Sir al-Asrar/Sacred of the Sacred. Maqam Ahadiyyah juga sering disebut ”Gudang yang Tersembunyi” atau Gayb al-Guyub, Haqiqat al-haqaiq. Sedangkan Maqam Wahidiyyah dapat dikatakan sebagai manifestasi sempurna (kamal al-istijla’) dari Maqam Ahadiyyah.
Maqam Wahidiyyah ini banyak dibicarakan ketika kita membahas konsep al-A’yan al-Tsabitah pada artikel minggu lalu. Al-A’yan al-Tsabitah, suatu maqam yang di atas alam Jabarut, tetapi masih berada di wilayah Maqam Wahidiyyah. Itu sebabnya, Maqam Wahidiyyah disebut Ta’ayyun Kedua dan Ta’ayyun Pertama ialah Maqam Ahadiyyah.
Dalam Ta’ayyun Pertama (Ahadiyyah) nama-nama dan sifat (al-asma’ wa al-aushaf) masih belum teridentifikasi dengan jelas dan semuanya masih tenggelam dalam keesaan diri-Nya. Oleh karena itu, Maqam Ahadiyyah disebut juga dengan Jam’ al-Jam’ atau Ahadiyyah al-Ahad menurut istilah Ibnu Arabi.
Sedangkan Maqam Wahidiyyah sudah ada unsur distingsi dan identifikasi nama-nama dan sifat-sifat. Nama-nama dan sifat-sifat Tuhan berada di dalam Maqam Wahidiyyah karena merupakan hakikat yang menyingkapkan diri-Nya. Dalam ilmu tasawuf disebut madzahir al-asma’ atau al-a’yan.
Kita tidak mungkin bisa mengenal diri-Nya melalui martabat Ahadiyyah maka Ia memperkenalkan diri-Nya sendiri, yang tentu saja sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya. Dari sini dipahami bahwa 99 nama indah Tuhan yang dikenal dengan al-Asma’ al-Husna, bisa merupakan jendela untuk mengintip, mengenal, dan mendekati Tuhan.
Dari alam tumbuh-tumbuhan aku mati lalu mencapai alam hewan;
Dari alam hewan aku mati lalu menjadi manusia.
Lalu mengapa aku harus takut?
Kapan aku berkurang karena kematian?
Nanti aku mati sebagai manusia, lalu aku membentangkan sayapku dan mengangkat kepalaku di antara para malaikat...
Sekali lagi, aku akan berkorban dari alam malakuti dan menjadi apa yang tak sanggup dibayangkan imajinasi.
(Jalaluddin Rumi, Matsnawi, III, 3901-3903)
Ibarat selembar kertas yang memiliki dua sisi. Salah satu sisinya kosong dan sisi lainnya berisi tulisan. Sisi yang kosong tidak bisa dijelaskan sedangkan sisi sebelahnya dapat dijelaskan karena ada kalimat-kalimat penjelasnya.
Jika ini dianalogikan dengan wacana Maqam Ahadiyyah dan Maqam Wahidiyyah, halaman yang kosong ibarat Maqam Ahadiyyah (the Divine Nothingness).
Dalam kitab-kitab tasawuf, maqam ini sering disebut sebagai Sir al-Asrar/Sacred of the Sacred. Maqam Ahadiyyah juga sering disebut ”Gudang yang Tersembunyi” atau Gayb al-Guyub, Haqiqat al-haqaiq. Sedangkan Maqam Wahidiyyah dapat dikatakan sebagai manifestasi sempurna (kamal al-istijla’) dari Maqam Ahadiyyah.
Maqam Wahidiyyah ini banyak dibicarakan ketika kita membahas konsep al-A’yan al-Tsabitah pada artikel minggu lalu. Al-A’yan al-Tsabitah, suatu maqam yang di atas alam Jabarut, tetapi masih berada di wilayah Maqam Wahidiyyah. Itu sebabnya, Maqam Wahidiyyah disebut Ta’ayyun Kedua dan Ta’ayyun Pertama ialah Maqam Ahadiyyah.
Dalam Ta’ayyun Pertama (Ahadiyyah) nama-nama dan sifat (al-asma’ wa al-aushaf) masih belum teridentifikasi dengan jelas dan semuanya masih tenggelam dalam keesaan diri-Nya. Oleh karena itu, Maqam Ahadiyyah disebut juga dengan Jam’ al-Jam’ atau Ahadiyyah al-Ahad menurut istilah Ibnu Arabi.
Sedangkan Maqam Wahidiyyah sudah ada unsur distingsi dan identifikasi nama-nama dan sifat-sifat. Nama-nama dan sifat-sifat Tuhan berada di dalam Maqam Wahidiyyah karena merupakan hakikat yang menyingkapkan diri-Nya. Dalam ilmu tasawuf disebut madzahir al-asma’ atau al-a’yan.
Kita tidak mungkin bisa mengenal diri-Nya melalui martabat Ahadiyyah maka Ia memperkenalkan diri-Nya sendiri, yang tentu saja sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya. Dari sini dipahami bahwa 99 nama indah Tuhan yang dikenal dengan al-Asma’ al-Husna, bisa merupakan jendela untuk mengintip, mengenal, dan mendekati Tuhan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan