Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa ilmu
laduni adalah ilmu yang terbit dari kekuatan ruhani atau dengan istilah “ilmu
rasa”, sedang ilmu yang lain adalah dari kekuatan potensi akal dan potensi
fikir atau dengan istilah “ilmu rasio”. Adalah ibarat dua lautan yang
tidak bertepi. Titik pertemuan dua ilmu tersebut—di dalam hati seorang hamba,—
adalah dugaan tempat terbitnya ilmu laduni. Oleh karena itu, pertemuan kedua
sosok tersebut (nabi Musa dan nabi Khidhir) sebagai sosok karakter—bukan sosok
personal—adalah lambang sumber ilmu laduni yang harus digali oleh para salik di
dalam karakternya sendiri. Karakter tersebut dibentuk dengan ilmu, iman, amal
dan akhlakul karimah. Sebagaimana yang diisyaratkan Allah SWT. Kepada Musa as.
saat berdialog dengan-Nya, "Yaitu seseorang yang paling berilmu tinggi adalah
ketika dia telah mampu menyampaikan ilmu orang lain kepada ilmunya
sendiri".
Seandainya—sebagai seorang murid—nabi Musa mau
mengalah dan percaya kepada nabi Khidhir, membenarkan perbuatan gurunya, yang
notabene menurut dirinya adalah salah, dengan diam tidak bertanya, sambil
mencari rahasia kebenaran yang dikandungnya melalui proses pengaksesan kepada
“potensi-potensi fasilitas ilmu laduni” yang telah
disiapkan oleh Allah bagi setiap manusia, maka akan dibuka di hatinya
rahasia-rahasia dan hikmah urusan yang ghaib di balik kejadian-kejadian yang
lahir tersebut, sehingga akan terbit suatu pemahaman yang baru terhadap hal
yang selama ini belum pernah dipahami sama sekali. Adalah
proses yang datangnya tidak terduga merupakan sebab-sebab pertama dari
terbukanya “rahasia sumber ilmu laduni” di dalam hati seorang
hamba. Tidak dengan sebaliknya, yaitu hanya memaksakan ilmunya supaya diterima
oleh ilmu orang lain, ketika terjadi konflik ilmiyah di dalam pikirannya.
Keadaan tersebut, sebagaimana yang
digambarkan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya: Sesungguhnya Kami menciptakan
segala sesuatu menurut ukuran - Dan tidaklah urusan Kami kecuali hanyalah satu
perkataan seperti kejapan mata QS.al-Qomar/49-50.
Dalam waktu yang kadang-kadang relatif kurang dari
satu detik itu apa saja bisa terjadi, suatu pengertian yang selama ini belum
diketahui, dapat terbit dalam hati yang luasnya tidak dapat tertampung baik
oleh ucapan maupun tulisan, bahkan kadang-kadang dapat menghidupkan kemampuan
daya kreasi yang selama ini belum pernah dimiliki oleh seseorang. Seperti orang
bermimpi, yang kadang-kadang hanya sekejap tapi jalan ceritanya mampu
diceritakan sepanjang hari, bahkan tidak habis-habis meski diceritakan sehari
semalam, layaknya kejadian seumur hidup terulang kembali. Yang demikian itu
adalah sunnatullah, siapapun berpotensi dapat memasukinya, asal terlatih dengan
bimbingan yang benar.
Seperti itulah arti kesalahan seorang murid terhadap
gurunya, dia melanggar perjanjian yang sudah disepakati bersama, sehingga murid
terlepas dari kesempatan emas untuk mendapatkan sumber ilmu laduni yang sudah
di depan mata. Bukan ilmu dan pengalaman yang sudah ada yang disalahkan akan
tetapi cara memanfa’atkannya yang harus lebih mendapatkan perhatian. Seorang
murid yang sudah bai’at (melaksanakan janji untuk mengikuti) kepada gurunya,
sedikitpun tidak boleh mempunyai prasangka jelek kepada gurunya, meski
dihadapkan kepada perbuatan maksiat. Seorang guru mursyid, seperti seorang
dokter, memang terkadang harus mampu berbuat jelek kepada muridnya. Itu seperti
seorang Dokter ketika dia mengadakan pembedahan untuk mengangkat penyakit yang
ada dalam jasad pasien, guru mursyid pun demikian. Ketika guru mursyid harus
menguji murid-muridnya dengan perbuatan yang tidak masuk akal sehat, menyakiti
perasaan dengan menjatuhkannya di depan orang banyak umpamanya, hal tersebut
sejatinya semata-mata untuk mengangkat penyakit-penyakit ruhani yang ada dalam
karakter muridnya. Yang demikian itu adalah bagian tarbiyah yang harus mampu
dilaksanakan oleh seorang guru mursyid kepada anak-anak asuhnya. Kejadian
seperti itu pernah terjadi pada diri Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. ketika
menjalani tarbiyah dari nabi Khidhir as., padahal asy-Syekh, tidak mengenalnya,
asy-Syekh diperintah untuk tinggal di suatu tempat selama tiga tahun, dan hanya
setahun sekali nabi Khidhir as. mengunjunginya.
Nabi Khidhir berkata kepadanya: “Perbedaan pendapat (antara murid dan gurunya) akan
menjadi sebab perpisahan”. *Lujjainid
dani*.
Sebagai bagian bentuk pengabdian yang
harus dilakukan, suatu saat seorang murid harus mampu mengosongkan akalnya dari
ilmu yang sudah dimiliki untuk membenarkan perbuatan gurunya walau menurut
ilmunya perbuatan gurunya itu salah. Hal itu bertujuan, ketika telah terjadi
pengosongan supaya “nur ilmu” yang dipancarkan seorang guru mursyid—niat di
balik ujian yang diberikan—mampu mengisi bilik akal yang sudah terkondisi
tersebut.
Seperti menanam bibit, kadang-kadang di tanam pada
waktu yang tepat—setelah tanah siap tanam—adalah yang lebih menentukan kwalitas
tanaman itu daripada bibit itu ditanam pada waktu yang tidak tepat. Adalah
urusan-urusan “dalam” (ruhani) yang harus dimengerti oleh seorang salik,
seperti ilmu teori, supaya praktek yang dijalankan tidak salah jalan. Ketika
terjadi pergolakan di dalam hati, sakit hati akibat terpaksa harus membenarkan
orang lain yang semestinya menurut ilmu syari’at salah, arus itu menimbulkan
hawa panas dalam hati yang akan mampu membakar hijab-hijab. Hal tersebut
merupakan mujahadah “bil hal” (mujahadah hati) yang harus dilaksanakan oleh
murid. Saat itulah, ketika kristal-kristal hijab berhasil dilelehkan oleh hawa
panas yang membakar hati, lalu kristal itu larut di dalam samudera ilmu Allah
yang tidak terbatas, dengan izin Allah Ta’ala, pintu matahati seorang hamba
akan terbuka, sehingga yang selama ini ghaib menjadi nyata dalam pandangan
hati. Itulah pengendapan ilmu, ketika seorang hamba mampu melaksanakannya, maka
garis-garis urat wajah akan ikut tertata sehingga sinar wajah menjadi cemerlang
dan menyejukkan. Mujahadah di jalan Allah tidak selalu dengan melaksanakan
wirid dan dzikir saja. Namun juga menerima pendapat orang lain, memaafkan
kesalahan, membiarkan dirinya dihina dan difitnah, adalah mujahadah yang jauh
lebih berat, akan tetapi juga dapat menghasilkan kemanfaatan yang lebih utama: “Dan orang-orang
yang bermujahadah untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kamitunjukkan
Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yangberbuat baik”. QS.al-Ankabut/69.
Kadang-kadang hanya sekedar untuk mencabut rasa
sombong yang sudah mengakar dalam karakter
manusia, eksistensi orang tersebut harus dihilangkan
terlebih dahulu dengan musibah dan fitnah-fitnah. Hal itu bertujuan supaya
hatinya bersih dari sifat pengakuan diri yang dapat menerbitkan rasa sombong dan
kemudian supaya mampu bertaubat kepada Allah Ta’ala dengan taubatan nasuha.
Seperti hutan ketika akan dibuka untuk lahan pertanian, setelah tanaman-tanaman
ditebang kemudian dibakar, dan ketika hujan turun, baru kemudian tanah itu
menjadi subur dan siap ditanami. Oleh karena manusia tidak mampu melaksanakan
pensucian (tazkiyah) dengan pilihan hatinya sendiri, maka Allah Ta’ala membuka
jalan dengan pilihan-Nya. Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. berkata : “Apabila kebiasaan
(buruk) telah mendominasi kehidupan manusia tanpa adanya kemauan untuk
mensucikannya, Allah mengujinya dengan didatangkan berbagai penyakit (baik
lahir maupun batin), sebagai peleburan dosa dan pensucian, supaya dia pantas
menghadap (mujalasah) dan mendekatkan diri kepada
Allah. Yang demikian itu dikehendaki maupun tidak”.*Lujjainid
Dani*
Setelah hati menjadi bersih dari sifat basyariyah yang
tidak terpuji, disadari maupun tidak, ilmu yang didengar, walau sedikit akan
tumbuh berkembang dalam ingatan. Sebab, seperti tanah, hati yang subur itu akan
mudah menerima ilmu serta mengembang-kannya dengan tanpa terbatas : “Sebab itu
sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku “ (yaitu) orang yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. QS.az-Zumar/17-18.
Kadang-kadang datangnya sumber “ilmu laduni” tersebut
dimulai dengan kejadian di alam mimpi-mimpi. Seorang murid bertemu dengan
gurunya misalnya, baik yang masih hidup maupun sudah mati, dia mendapatkan
perintah dengan isyarat yang masih samar. Akan tetapi setelah bangun dari
tidur, menjadikan tumbuhnya semangat yang kuat untuk melaksanakan benah-benah
diri dan ibadah. Setelah isyarat mimpi itu ditindaklanjuti dengan mujahadah
serta perjalanan ruhaniyah yang terencana, saat berikutnya, hatinya mendapatkan
“futuh” dari Tuhannya sehingga isyarat-isyarat yang terdahulu masih samar
tersebut kini menjadi kenyataan.
Sebagian besar para Nabi juga diperjalankan dengan
cara demikian : “Sesungguhnya kamu telah4 Perintah kepada
Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih putranya, Nabi Isma’il as. juga dimulai
dengan datangnya mimpi yang berturut-turut sebanyak tiga kali (Muqotil-Tafsir
Qurthubi). Demikian juga “Futuh al-Makkah”. (kembalinya tanah kelahiran Nabi
Muhammad saw. tersebut kepangkuan baginda Nabi). Dengan mimpi-mimpi itu
dijadikan sebagi isyarat dariNya, maka membenarkan
mimpi itu
", sesungguhnya demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” .QS.ash-Shooffat/105.
Sebab, sesungguhnya hati para Nabi tidak pernah tidur
walau matanya sedang tidur. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya keadaan
para Nabi, mata-mata kami tidur akan tetapi hati-hati kami tidak tidur. (Tafsir
Qurthubi)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan