Oleh Hussain
bin Manshur Al-Hallaj
1.
Pemahaman tentang alam-makhluk tidak
terkait dengan hakikat, dan hakikat tidak juga terkait dengan alam-makhluk.
Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan taqlid-nya
alam-makhluk tidak ada keterkaitannya dengan hakikat. Pengertian tentang
hakikat itu sulit dicapai, makanya betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian
tentang hakikatnya-Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar hakikat, dan
hakikat tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.
2.
Sang laron terbang di sekeliling nyala
api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali ke teman-temannya, dan menceritakan
keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan. Ia
berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam hasratnya untuk
mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.
3.
Cahayanya nyala api adalah
Pengetahuan ('llm) hakikat, panasnya adalah
Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan dengannya adalah
Kebenaran (Haqq) hakikat.
4.
Ia merasa tidak puas dengan cahayanya
ataupun dengan panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung.
Sementara itu, teman-temannya menantikan kedatangannya, supaya ia menceritakan
kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak
puas dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas
sirna (fana'),
musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman-temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja.
Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya.
musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman-temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja.
Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya.
5.
Pemaknaan (masalah) ini tidak
menyangkut manusia yang alpa, tidak juga manusia yang maya, atau manusia yang
penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya semata.
6.
Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan
persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah
sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di masa lampau dulu.
Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun ini merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.
Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun ini merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.
7.
Bila kau memahami ini, maka pahamilah
juga bahwa pemaknaan (masalah) itu bukanlah kebenaran bagi siapa pun kecuali
(bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam), dan "Muhammad bukanlah
bapak dari salah seorang kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasulullah (Utusan
Allah) dan penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan
dirinya dari manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun,
hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati ataupun kemunafikan.
8.
Ada suatu "jarak sepanjang dua
busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat lagi, saat ia mencapai gurun
Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati
lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat,
ia menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke
Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Allah), ia pun kembali
sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman
kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku
tidak dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika
mencapai Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang
dapat memuji Diri-Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti
panggilan tugasnya, "hatinya tidak berdusta tentang apa yang
dilihatnya" (Q. 53:11) di maqam dekat
Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak berpaling ke
kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah Kenyataan hakikat.
“Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat
(akan pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula
melampaui batas." (Q. 53: 17)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan