“Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng.
“Datanglah prajurit Allah
yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar tidak angkuh dan sombong.”
itulah ucapan Syekh Siti Jenar.
“Akhhhh! Tolonnnggg!” si
Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara diterpa angin yang sangat
kencang, lalu jatuh di atas semak-semak.
“Itulah salah satu
prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih dahsyat.” Syekh
Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya yang sejuk dan tajam memandang
si Kerempeng yang kepayahan dan terbaring di atas semak.
“Maafkan teman saya,
Kisanak.” si Tambun mendekat penuh hormat.
“Sejak tadi pun saya
memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap berlaku sombong dan menantang pada
kekuasaan Allah. Sudah selayaknya diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.”
terang Syekh
Siti Jenar seraya melirik ke arah si Tambun.
“Terimakasih, kisanak
telah memaafkan teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun
bertanya.
“Kenapa tidak. Karena
nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan af’al. Orang menyebut saya Syekh
Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar tenang.
“O, ya…” si Tambun
mengerutkan kening mendengar ucapan yang kurang dipahaminya.
“Gendut, tangkap lelaki
asing itu! Dia memiliki ilmu sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari
semak-semak.
“Kisanak sangat keliru
jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir itu bukanlah ilmu yang
patut dipelajari oleh orang yang beragama Islam. Kisanak masih belum faham, bahwa yang melempar
tadi adalah prajurit Allah.” Syekh Siti Jenar menatap yang menghunus pedang.
“Omong kosong! Kisanak
datang ke Demak sudah jelas berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan
ucapan melantur dan mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si
Kerempeng mendekat, ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti
Jenar.
“Jika ingin menangkap
tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam saya dengan ujung
pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang tidak berdaya. Berbeda
dengan wujud kita yang diciptakan Allah….” Syekh Siti Jenar tetap berdiri
tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak sejengkal lagi menuju leher.
“Pedang ini jangan
kisanak remehkan! Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak?
Satu kali tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng.
“Tidak mungkin kisanak.
Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar
tetap tidak bergeming.
“Keparat,
lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang
tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar
sedikit pun.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan