Pada
dasarnya ajaran Syaikh ‘Abd
al-Qadir Jilani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran
pokok Islam, terutama golongan Aahlussunnah Waljama’ah. Sebab, Syaikh ‘Abd
al-Qadir adalah sangat menghargai para pendiri mazhab fiqih yang empat dan
teologi Asy’ariyah. Dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak yang terpuji.
Menurut al-Sya’rani, bahwa bentuk dan karakter Tarekat syaikh al-Qadir Jilani
adalah tauhid, sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan
batin. Syaikh berkata kepada para sahabatnya, “Kalian jangan berbuat bid’ah.
Taatlah kalian, jangan menyimpang.” Ucapannya yang lain: “Jika padamu berlaku
sesuatu yang telah menyimpang dari batas-batas syariat, ketahuilah bahwa kalian
dilanda fitnah, syetan telah mempermainkanmu. Maka kembalilah pada hukum
syariat dan berpeganglah, tinggalkan hawa nafsu, kerena segala sesuatu yang
tidak dibenarkan syariat adalah batil.
Menurut
Syaikh ‘Ali ibn al-Hayti menilai bahwa tarekat Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani
adalah pemurnian aqidah dengan meletakkan diri pada sikap beribadah, sedangkan
‘Ady ibn Musafir mengatakan bahwa karakter Tarekat Qadiriyah adalah tunduk di
bawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh serta kesatuan
lahir batin. Memisahkan diri dari kecenderungan nafsu, serta mengabaikan
keinginan melihat manfaat, mudarat, kedekatan maupun perasan jauh.
Adapun
ajaran spiritual Syaikh ‘Abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan pengalamannaya
akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologis maupun
abstraksi logis, melainkan merupakan sebuah pribadi yang kehadiran-Nya
merengkuh seluruh pengalaman etis, intelektual, dan estetis seorang manusia. Ia
selalu merasakan bahwa Tuhan senantiasa hadir. Kesadaran akan kehadiran
Tuhan di segenap ufuk kehidupannya merupakan tuntunan dan motif bagi
kebangunan hidup yang aktif sekaligus memberikan nilai transeden pada
kehidupan. Nasehat Rasulullah dalam hadis, “Sembahlah Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya,ketahuilah bahwa
Dia melihatmu,” merupakan semboyan hidupnya, yang diterjemahkan dalam
praktik kehidupan sehari-hari. Khotbahnya menggambarkan keluasan kesadarannya
akan kehadiran Tuhan yang serba meliput. Ia meyakini bahwa kesadaran ini
membersihkan dan memurnikan hati seorang manusia, serta mengakrabkan hati
dengan alam roh
Suatu hari,
ketika kesadarannya sedang berada dalam keadaan ekstase, Syiakh ‘Abd al-qadir
Jilani brkat pada dirinya sendiri, “Aku merindukan suatu kematian yang dalamnya
tiada lagi kehidupan dan sebuah kehidupan yang tiada kematian di dalamnya.”
Kemudian
Syaikh ‘Abd al-Qadir menjelaskan makna ungkapan di atas, yaitu dengan bertanya
kepada dirinya. Maka aku bertanya, kematian macam apa yang tidak memiliki
kehidupan dan kehidupan macam apa yang memiliki kematian di dalamnya. Kujawab,
“Kematian yang tidak memiliki kehidupan di dalamnya adalah kematianku dari
seluruh manusia, dengan begitu aku tidak lagi hidup bahkan ditemui di antara
mereka. Dan kehidupan yang tidak memiliki kematian adalah kehidupanku yang
menyertai perbuatan Tuhanku, sedemikian rupa sehingga di dalam keadaan itu,
diriku tidak lagi memiliki eksistensi dan kematianku adalah eksistensiku
bersama-Nya.“ Setelah aku mengerti ternyata inilah yang paling berharga dari
seluruh tujuan hidupku.
Dalam
pandangannya, kehidupan yang ter mulia adalah kehidupan orang-orang yang
sepenuhnya membaktikan diri pada Tuhan semata. Dan kerena alasan ini
pulalah manusia dihadirkan Tuahan, seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an, “Dan
tidak aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu” (QS.
Al-Zariyat[51]: 56). Semakin manusia berjuang “hidup demi Tuhan”, dirinya akan
semakin dekat dengan terwujudnya tujuan kehidupan ini. Seorang manusia
harus menyerahkan kehidupannya, bilamana ia berhasrat memburu kesadaran Ilahiah
“Eksistensi yang sadar Tuhan” memberikan kekuatan spiritual pada manusia; ia
mengangkat pergulatan keras duniawi untuk memperoleh kesenangan hidup dan
keuntungan yang sedikit, menuju kebahagiaan dan ketenangan spiritual, dan
membuetnya akrab dengan sumber segala kekuatan.
Ajaran
Syaikh ‘Abd al-qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia.
Kerena itu, dia memberiikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang
tertinggi. Adapun beberapa ajaran twrsebut adalah taubat, zuhud, tawakal,
syukur, ridha, dan jujur.
a.
Taubat
Taubat
adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus-menerus dari
hati kemudian melaksanakan setiap hak Tuhan. Ibnu abbas ra. Berkata: ”Taubat
al-nashuha adalah pentesalan dalam hati, permohonan ampun dengan lisan ,
meninggalakan dengan anggota badan, dan berniat tidak akan mengulangi
lagi.” Jadi taubat al-nashuha tidak hanya di mulut yang menyatakan
penyesalan dan bertaubat, sementara hati tidak mengikuti apa yang dikatakan
oleh mulut, tidak bersungguh-sungguh bermaksud untuk menghentikan
perbuatan-perbuatan dosa itu, dan tidak melakukan tindakan nyata untuk
menghentikanya.
Taubat ini
sangat dianjurkan kepada setiap orang mukmin, sebagaimana firman Allah, “Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.” (at-tuabah: 31)
Menurut
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, taubat itu ada dua macam, yaitu:
1.
Taubat yang berkaitan dengan sesama manusia. Taubat ini tidak terealisasi,
kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan
mengembalikan kepada pemiliknya.
2.
Taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu
mengucakan istigfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan betekad untuk tidak
mengulanginya lagi di masa mendatang.
b.
Zuhud
Zuhud secara
bahasa adalah zahada fihi, wazahada’anhu, dan wazahadan yaitu
berpaling darinya dan meninggalaknnya kerena dosa. Sedangkan secara istilah
zuhud menurut pendapat yang paling baik adalah dari Ibn Qadamah al-Maqdisi,
bahwa zuhud merupakan gambaran tentang menhindari dari mencintai sesuatu yang
menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau dengan istilah lain,
menghindari dunia kerena tahu kehinaannya bila dibandingkan dengan kemahalan
akhirat.
Menurut
syaikh ‘Abd al-Qadir jilani, bahwa zuhud ada dua macam, yaitu: zahid hakiki
(mengeluarkan dunia dari hatinya) dan mutazahid shuwari/ zuhud lahir (mengeluarkan
dunia dari hadapannya). Namun hal ini tidak berarti bahwa seorang zahid hakiki
menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya lalu
digunakan untuk ketaatan kepada Allah.
Zuhud memang
membawa kesucian kepada diri si salik. Zuhud mengajarkan betapa si salik
harus menahan hawa nafsu (sesuatu yang kita sayangi) serta menolak semua
tuntutannya. Kita tahu bahwa dalam berbagai hal, hawa nafsulah puncak segala
kecelakaan diri, baik di dunia, terlebih lagi di akhirat. Oleh kerena itu,
nafsu tidak boleh dijadikan sebagai teman, justru harus dianggap sebagai lawan
dan pembinasa manusia
c.
Tawakal
Tawakal
artinya berserah diri (dalam bahasa arab, tawakal), yakni salah satu
sifat mulian yang harus ada pada diri ahli sufi. Bila ia benar-benar telah
mengenal Tuhannya melalui makrifat yang telah dicapainya, tidak mungkin sifat
tawakal tersisih dari dirinya. Sebab, mustahil jika seorang sufi yang selalu
berada di sisi Tuhan tidak memiliki jiwa tawakal. Syaikh ‘Abd al-Qadir
menekankan bahwa tawakal berada di antara pintu-pintu iman, sedangkan iman
tidak terurus dengan baik kecuali dengan adanya ilmu, hal dan amal. Intinya,
tawakal akan terrah dengan ilmu dan ilmu menjadi pokok tawakal, sementara amal
adalah buah dan maksud tawakal itu sendiri.
Dengan
demikian, hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan
membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh kepada hukum dan
takdir. Sehingga dia yakin bahwa tidak ada perubahan dalam bagian, apa yang
merupakan bagiannya tidak akan hilang dan apa yang tidak ditakdirkan untuknya
tidak akan diterima. Maka hatinya merasa tenang kerenanya dan merasa nyaman
dengan janji Tuhannya.
Syaikh ‘Abd
al-Qadir menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip maksud sebuah sabda
Nabi, “Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka
Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya. Begitu juga sebaliknya, bila
dengan bulat ia menyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan
dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia,
maka semakin lupa dia akan akhirat,sebagaimana dinyatakan dalamsabda Nabi, “Apabila
inngatan manusia telah condong kepada dunia, maka maka ingatannya kepada
akhiratakan berkurang
Di sinilah
letak perbandingan antara manusia yang mengejar dunia, sehingg semua hati dan
perasaannya ditumpukam kepada dunia yang di kejarnya. Berusahalah dia siang dan
malam kerena dunia, padahal urusan keduniaan itu ada akhirnya. Semakin banyak
yang diraihnya, semakin serakah ia untuk terus berusaha mendapatkannya.
Sebaliknya, bila ingatan manusia condong kepada akhirat maka ingatannya
terhadap dunia akan berkurang. Oleh kerena itu, pilihlah akhirat daripada
dunia, kerena akhirat lebih baik bagimu
d.
Syukur
Syukur adalh
ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan,
maupun hati. Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani hakikat syukur adalah mengakui
nikmat Allah kerena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui
bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh kepada syariat-Nya. Syiakh
‘Abd al-Qadir Jilani menyatakan bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat
Allah Dialah pemilik karunia, Sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat
berasal dari Allah SWT. Dengan demikian, syukur adalah pekerjaan hati dan
anggota badan.
Syaikh ‘Abd
al-Qadir Jilani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama syukur dengan lisan,
yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini si
penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan
ketundukan. Kedua, syukur demngan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara
melaksanakan dan pengabdian serta melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah.
Dala hal ini, si penerima nikmat selalu berusaha menjalanka perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya. Ketiga, syukur dengan hati, yaitu beriti’kaf/ berdiam
ddiri di atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib
dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinyabahwa
semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.
e.
Sabar
Sabar adalah
tidak mengeluh kerena sakitnya musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh
kepada Allah kerena Allah SWT. Menguji Nabi Ayyub as. Dengan firman-Nya, “Kami
mendapatinya sebagai orang-orang yang sabar.” Padahal beliau berdo’a dan
mengeluh kepada Allah untuk menghilangkan musibah yang menimpanya seraya
berkata, “Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya
Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang
Maha Penyayang di antarasemua penyayang.” (al-Anbiya’: 83).
Menurut
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, sabar ada tiga macam, yaitu:
1.
Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
2.
Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya
terhadapmu dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
3.
Bersabar atas Allah, hyaitu bersabar terhadap rejeki, jalan keluar, kecukupan,
pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.
f.
Ridha
Ridha adalah
kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir). Secara umum para salik
berpendapat bahwa orang yang ridha adalah orang yang menerima ketetapan Allah
dengan berserah diri, pasrah tanpa menunjukan penetangan terhadap apa yang
dilakukan oleh Allah. Syaikh ‘Abd al-Qadir mengutip ayat al-Qur’an
tentang perlunya sikap ridha, “Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan
memberikan rahmat dari-Nya, keridhaan dan surga.Mereka memperoleh di
dalamnya kesenangan yang kekal.”(At-Taubah: 21). Kemudian Rasulullah
bersabda, “Yang akan merasakan manisnya iman adalah orang yang ridha Allah
menjadi Tuhannya, Islam menjadi agamanya, dan Muhammad menjadi Rasulnya.”
Tidak
diragukan lagi bahwa ridha dapat menenteramakanjiwa manusia dan memasukan
faktor kebahagiaan dan kelembutan di dalamnya; kerena seorang hamba yang
ridhadan menerima apa yang dipilihkan Allah untuknya, dia tahu bahwa yang
dipilihkan Allah untuknya terbaik baginya di segala macam keadaan. Keridhaan
ini akan meringankan hidup manusia, sehingga dia akan merasa tenang, hilang
rasa gundah, dan kegalauan.
g.
Jujur
Secara
bahasa jujur adalah menetapakan hukum sesuai dengan kenyataan. Sedangkan dalam
istilah sufi dan menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, Jujur adalah mengatakan
yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntungkan maupun yang tidak
menguntungkan.
Kejujuran
merupakan derajat kesempurnaan manusia tertinggi dan seseorang tidak akan
berlaku jujur, kecuali jika dia memiliki jiwa yang baik, hati yang bersih,
pandangan yang lurrus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, dan hati yang
dihiasi dengan keimanan, keberanian dan kekuatan.itulah yang dilakukan oleh
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani ketika beliau menghadapi para perampok pada saat
beliau berangkat menuju baghdad dari negeri Jilan.
Kejujuran
adalah kedudukan yang tertinggi dan jalan yang paling lurus, yang dengannnya
dapat dibedakan antara orang munafik dan seorang yang beriman. Kejujuran adalah
rohnya perbuatan, tiang keimanan, dan satu tingkat di bawah derajat kenabian.
Syaikh ‘Abdal-Qadir mengutip ayat al-Qur’an untuk menjelaskan pentingnya sikap
jujur ini dilaksanakan, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu
kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar.” (at-Taubah:
119).
Syaikh ‘Abd
al-Qadir Jilani membedakan antara al-shadaq (orang jujur) dengan al-shiddiq
(orang yang sangat jujur). Al-hadiq adalah isim lazim dari
kata al-shidq, sedangkan al-shiddiq adalah untuk menunjukan
kejujuran yang sangat tinggi, sehingga kejujuran merupakan jalan kehidupan
baginya. Sikap jujur ini sangat diperlukan dalam ajaran tasawuf kerena
seseorang tidak dapat berdekatan dengan Allah kecuali dengan sikap jujur dan
bersih.
Dua Inti Ajaran Dasar Syekh Abdul Qadir
Al Jailani
Syekh Abdul
Qadir juga mengkritik praktik Islam warisan. Bagaimana pun, berislam tidak bisa
diperoleh melalui warisan dan simbol-simbol fisik seperti bersarung lengkap
dengan baju Koko dan Kopiah. “Beragama Islam artinya memasrahkan dirimu
(lahir-bathin) kepada Allah, dan menyerahkan kalbumu semata-mata kepada-Nya,”
begitulah sabda Rasulullah yang mengilhami Syekh Abdul Qadir.
Untuk itu,
ada 2 hal yang melandasi inti ajaran Tarekah Qadiriyah ini, yaitu:
1. Berserah
diri (lahir-bathin) kepada Allah. Seorang muslim wajib menyerahkan segala hal
kepada Allah, mematuhi perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
2. Mengingat
dan menghadirkan Allah dalam kalbunya. Caranya, dengan menyebut Asma Allah
dalam setiap detak-nafasnya. Bagaimana pun, dzikrullah adalah suatu perbuatan
yang mampu menghalau karat lupa kepada Allah, menggerakan keikhlasan jiwa, dan
menghadirkan manusia duduk bertafakur sebagai hamba Allah. Hal ini merujuk pada
hadist riwayat Ibnu Abid Dunya dari Abdullah bin Umar berikut:
Sebenarnya setiap sesuatu ada pembersihnya, dan bahwa pembersih hati manusia adalah berdzikir, menyebut Asma Allah, dan tiadalah sesuatu yang lebih menyelamatkan dari siksa Allah kecuali dzikrullah.
Sebenarnya setiap sesuatu ada pembersihnya, dan bahwa pembersih hati manusia adalah berdzikir, menyebut Asma Allah, dan tiadalah sesuatu yang lebih menyelamatkan dari siksa Allah kecuali dzikrullah.
Kedua hal
ini, menurut Syekh Abdul Qadir, akan membawa seorang manusia senantiasa bersama
Allah. Sehingga segala aktivitasnya pun bernilai ibadah. Lebih lanjut, beliau
juga menandaskan bahwa keimanan ini merupakan landasan bagi terwujudnya tatanan
sosial yang lebih baik lagi. Lebih jauh, sebuah tatanan negara yang Islami dan
memenuhi aspek kebaikan universal.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan