“Berhenti, Kisanak!” teriak si Kerempeng, seraya
menghadang langkah Siti Jenar dengan gagang tombak.
“Kenapa kisanak
menghadang saya? Bukankah saya tidak pernah mengganggu ketenangan kisanak?”
tanya Syekh Siti Jenar tenang.
“Meskipun demikian itu
adalah tugas saya selaku prajurit Demak.” jawab si Kerempeng.
“Kisanak hanyalah seorang
prajurit Demak, tidak lebih hebat dari prajurit Allah. Bukakah prajurit Allah
itu ada empat?” urai Syekh Siti Jenar dengan pandangan mata sejuk.
“Saya tidak mengerti
dengan perkataan, Kisanak?”
“Bukankah jika Kisanak
tidak faham akan sesuatu
diharuskan bertanya. Namun tidak semestinya kisanak menunjukan kesombongan,
menepuk dada karena berkasta prajurit, dan berlaku kasar terhadap rakyat
seperti saya. Padahal kisanak hanyalah prajurit biasa yang lemah tidak sehebat
prajurit Allah yang empat tadi.” jelas Sekh Siti Jenar.
“Perkataan kisanak
semakin membingungkan saya?” si Kerempeng geleng-gelengkan kepala.
“Terdengarnya kisanak semakin melantur saja. Mana ada prajurit Allah empat,
para Wali di sini tidak pernah mengajarkan seperti itu.” si Kerempeng semakin
mengerutkan dahinya.
“Jika para wali tidak
mengajarkan, maka saya akan memberitahu kisanak…” ujar Syekh
Siti Jenar tersenyum.
“Saya tidak mungkin
mempercayai
kisanak, kenal juga baru sekarang. Saya lebih percaya kepada para wali yang
telah mengajarkan agama dengan baik dan bisa difahami.” si Kerempeng garuk-garuk kepala,
lalu keningnya mengkerut lagi.
“Apakah kisanak mesti belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau pun tidak dikenal oleh kisanak. Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski seluruh pohon yang ada di dunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali, maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng.
“Apakah kisanak mesti belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau pun tidak dikenal oleh kisanak. Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski seluruh pohon yang ada di dunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali, maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng.
“Jika demikian berarti
kisanak sudah meremehkan saya. Padahal saya tidak bisa diremehkan oleh rakyat
seperti kisanak, saya prajurit Demak sudah diberi ilmu oleh para wali. Kisanak
beraninya menyebut-nyebut prajurit Allah, yang tidak pernah para wali ajarkan.
Kisanak telah menciptakan ajaran yang keliru!” si Kerempeng berbicara agak
keras, seraya keningnya semakin mengerut kebingungan menanggapi perkataan Syeh
Siti Jenar.
“Kisanak tidak bisa
menganggap saya keliru, jika belum paham pada perkataan tadi.” Syekh siti Jenar
tetap tenang. “Ketidak pahaman kisanak yang memicu kesombongan dan kedengkian
akan sesuatu. Padahal apa pun yang saya katakan bisa dibuktikan. Prajurit Allah
yang empat bisa saya datangkan dihadapan kisanak dengan keperkasaannya.” ujar
Syekh Siti Jenar tersenyum tipis.
“Omong kosong! Coba mana
prajurit Allah yang empat tadi, buktikan jika memang ada!” si Kerempeng semakin
pusing dan jengkel, giginya menggeretak.
“Kisanak tidak akan kuat
menghadapi empat prajurit sekaligus. Maka saya cukup datangkan satu saja, itu
pun hanya sebuah pelajaran untuk kisanak.” Syekh Siti Jenar mengangkat tangan
kanannya ke atas
Tiada ulasan:
Catat Ulasan