PENJELASAN SYARAT-SYARAT ZHAHIR
Ketahuilah,
bahwa wajiblah atas orang yang menunaikan zakat, menjaga 5 perkara:
Pertama: niat, yaitu
berniat dengan hati, menunaikan zakat fardlu. Dan disunnatkan menentukan harta
yang dikeluarkan zakatnya. Kalau ada hartanya yang jauh, lalu dikatakannya:
“Ini, dari hartaku yang jauh kalau ia selamat. Kalau tidak, maka menjadi
sedekah sunat”. Maka bolehlah yang demikian, karena walaupun tidak
ditegaskannya yang demikian, hasilnya begitu juga, kalau disebutkannya secara
umum. Niat dari wali (yang mengeluarkan zakat dari harta orang gila dan
anak-anak yang berada di bawah asuhannya), adalah berkedudukan seperti niat
orang gila dan anak itu sendiri. Dan niat dari sultan (penguasa), adalah
berkedudukan seperti niat si pemilik yang tidak mau mengeluarkan zakatnya.
Tetapi itu, adalah dalam pandangan hukum duniawi, yakni: mengenai tidak
dituntut lagi di dunia ini. Adapun di akhirat tidak, tetapi tetaplah dalam
tanggungannya, sampai ia mengeluarkan kembali zakat itu. Kalau diwakilkan
kepada orang lain untuk menunaikan zakatnya dan diniatkannya ketika diwakilkan
itu atau diwakilkannya kepada wakil itu untuk meniatkannya, maka mencukupilah
yang demikian, karena mewakilkan dengan niat itu, sudah niat namanya.
Kedua: menyegerakan
sesudah sampai tahunnya. Dan pada zakat fithrah, tidak diperlambatkan daripada
hari raya fithrah. Dan masuk waktu wajibnya dengan terbenam matahari dari hari
yang penghabisan dari bulan Ramadlan. Dan waktu menyegerakannya, ialah dalam
bulan Ramadlan itu seluruhnya. Orang yang memperlambatkan zakat hartanya, serta
ada kemungkinan untuk itu, (artinya: tak ada halangan apa-apa), maka durhakalah
ia kepada Tuhan dan tak terhapus kewajiban itu lagi, dengan hilang hartanya.
Kemungkinan mengeluarkan zakat itu, ialah dengan memperoleh orang yang berhak
menerima zakat. Kalau diperlambatkannya, karena tidak ada orang yang berhak
menerimanya, lalu hilanglah hartanya, maka gugurlah zakat daripadanya.
Menyegerakan zakat, dibolehkan, dengan syarat bahwa hal itu terjadi setelah
cukup nishabnya dan berjalan tahunnya. Dan boleh menyegerakan zakat dua tahun.
Manakala zakat itu disegerakan, lalu mati orang miskin yang menerimanya,
sebelum cukup tahunnya atau ia murtad atau ia menjadi kaya dengan harta yang
lain dari zakat yang disegerakan itu atau ia mati, maka harta yang diserahkan
itu tidaklah menjadi zakat. Dan memintanya kembali, tidak mungkin, kecuali
apabila disyaratkan meminta kembali, (waktu diserahkan dahulu). Maka dalam hal
ini, hendaklah orang yang menyegerakan itu, memperhatikan akhir urusan dan
keselamatan kesudahan.
Ketiga: bahwa tidak
dikeluarkan benda lain sebagai gantinya, dengan menghitung nilainya. Tetapi
dikeluarkan benda yang dikenakan zakat padanya. Maka tidak memadai perak dari
zakat emas dan emas dari zakat perak, walaupun nilainya berlebih daripada
perak. Mungkin sebahagian orang tidak memahami maksud Asy-Syafi’i ra yang
mempermudahkan tentang itu dan menitikberatkan kepada tujuan untuk memenuhi
kepentingan. Alangkah jauhnya dari berhasil, karena memenuhi kepentingan itu
adalah suatu tujuan dan tidaklah ia menjadi seluruh tujuan. Tetapi kewajiban
syari’atnya adalah 3 bahagian:
Bahagian
pertama: adalah ibadah semata-mata, tak masuk padanya keuntungan dan maksud-maksud
tertentu. Umpamanya melemparkan jamrah pada ibadah haji, karena tak ada
keuntungan bagi jamrah, pada sampainya batu kepadanya. Maksud syari’at mengenai
pelemparan batu itu, ialah menguji dengan perbuatan, supaya hamba itu
melahirkan kehambaan dan perhambaannya, dengan suatu perbuatan yang tidak
dipahami maksudnya. Karena apa yang dipahami maksudnya, kadang-kadang ditolong
dan didorong oleh tabiat kepada perbuatan itu. Maka tidak menampak ikhlas
kehambaan dan perhambaan. Karena perhambaan itu menampak dengan gerak untuk
melaksanakan perintah Yang Disembah (al-ma’bud) saja, tidak untuk suatu maksud
yang lain. Dan sebahagian besar amal perbuatan ibadah haji, adalah demikian.
Dari itu, Nabi saw membaca pada ihramnya: “Aku terima panggilan Engkau dengan
haji dengan sebenar-benarnya beribadah dan kehambaan kepadaMu”. Sebagai
peringatan, bahwa itu adalah untuk melahirkan perhambaan, dengan mematuhi,
karena perintah dan mengikuti perintah semata-mata, sebagaimana diperintahkan
tanpa penjinakan akal pikiran kepadanya, dengan tertarik dan tergerak pikiran
itu kepadanya.
Bahagian
kedua: diantara kewajiban yang diwajibkan syari’at, tidaklah dimaksudkan
daripadanya suatu keuntungan yang dapat dipahami dan tidak pula dimaksudkan
suatu peribadatan kepada Allah, seperti melunaskan utang dari seseorang dan mengembalikan
barang yang dirampasnya. Maka tidak ragulah kiranya, bahwa dalam hal tadi,
tidak dipandang perbuatan dan niatnya. Dan manakala sampailah hak itu kepada
yang berhak, dengan mengambil haknya atau digantikan dengan yang lain dengan
persetujuan dari yang berhak, maka terlaksanalah kewajiban itu dan selesailah
tuntutan syari’at. Inilah dua bahagian, yang tidak ada susunan padanya, di mana
sekalian manusia dapat memahaminya.
Bahagian
ketiga: yaitu yang tersusun, yang dimaksudkan padanya dua perkara bersama-sama.
Yakni keuntungan bagi hamba dan percobaan bagi seorang mukallaf dengan
memperhambakan diri. Maka berkumpullah padanya perhambaan kepada Tuhan yang ada
pada pelemparan jamrah dan keuntungan pada pengembalian hak milik. Inilah
bahagian yang dipahami pada perbuatan itu sendiri. Maka kalau datanglah
syari’at menyuruhnya, niscaya wajiblah terkumpul diantara kedua maksud itu. Dan
tidaklah seyogya dilupakan arti yang terhalus daripada keduanya, yaitu:
memperhambakan dan memperbudakkan diri kepada Allah, disebabkan nyata benar
keduanya. Dan arti yang terhalus itulah, yang terpenting. Dan zakat, adalah
termasuk golongan ini, di mana tak ada yang menyadarinya, selain Imam
Asy-Syafi’i ra. Maka keuntungan bagi orang fakir, adalah dimaksudkan pada
memenuhi hajat keperluannya. Dan itu, jelas dan lekas dipahami. Tentang
perhambaan kepada Allah dengan zakat, dengan mengikuti segala perinciannya,
adalah maksud dari syari’at. Dan dengan memperhatikannya, jadilah zakat itu,
teman bagi shalat dan haji, tentang adanya, sebahagian dari sendi-sendi Islam.
Dan tak ragulah kiranya, bahwa seorang mukallaf itu sukar membedakan segala
jenis hartanya dan mengeluarkan bahagian tiap-tiap harta, mengenai macamnya,
jenis dan sifatnya. Kemudian, membagi-bagikannya kepada golongan 8 yang berhak
menerima zakat, sebagaimana akan diterangkan nanti. Dan mempermudah-mudahkan
dalam hal itu, adalah tidak mencederakan terhadap keuntungan orang fakir.
Tetapi mencederakan terhadap perhambaan kepada Allah. Dan dibuktikan, bahwa
memperhambakan diri kepadaNya (ta’abbud) itu dimaksudkan dengan menentukan
bermacam-macam, oleh beberapa perkara yang telah kami sebutkan dalam
kitab-kitab yang menerangkan bermacam-macam pendapat dari masalah-masalah
fiqih. Sebahagian yang amat jelas daripadanya, ialah bahwa syari’at mewajibkan
dalam 5 ekor unta, seekor kambing. Syari’at itu, berpaling dari unta kepada
kambing dan tidak berpaling kepada emas dan perak dan menilaikannya. Kalau
diumpamakan, bahwa yang demikian itu, karena sedikitnya mata uang pada tangan
orang-orang Arab, maka yang demikian itu menjadi batal, dengan diperbolehkan 20
dirham pada penempelan dari kekurangan, bersama dengan dua ekor kambing. Maka
mengapakah, tidak disebutkan pada penempelan itu, sekedar yang kurang dari
nilainya ? mengapakah ditentukan dengan 20 dirham dan dua ekor kambing,
sedangkan kain dan semua barang, adalah mengandung satu maksud dengan itu ?.
Apa yang disebutkan tadi dan segala ketentuan yang seumpama dengan dia,
menunjukkan, bahwa zakat tidaklah dibiarkan terlepas daripada perhambaan kepada
Allah, sebagaimana pada haji. Tetapi dikumpulkan diantara kedua maksud. Dan
jiwa yang lemah, tak sanggup memahami segala susunan. Dan disitulah terletaknya
kesalahan.
Keempat: zakat itu dipindahkan ke negeri lain. Karena mata
orang-orang miskin di tiap-tiap negeri memanjang sampai kepada harta-hartanya.
Dan dengan pemindahan zakat itu menyia-nyiakan segala sangkaan. Kalau
dipindahkan, memadai juga menurut suatu pendapat (qaul). Tetapi keluar dari
keragu-raguan perselisihan itu, adalah lebih utama. Dari itu, hendaklah
dikeluarkan zakat tiap-tiap harta, pada negeri harta itu sendiri. Kemudian
tidak mengapa diserahkan kepada orang-orang perantau yang ada pada negeri
tempat pengeluaran zakat.
Kelima: harta zakat
itu dibagi-bagikan, menurut bilangan golongan penerima zakat yang ada di negeri
itu. Karena meratakan golongan adalah wajib, dibuktikan oleh ketegasan firman
Allah Ta’ala: “Sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus zakat, orang-orang yang dibujuk hatinya untuk melepaskan
perbudakan (tawanan), orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang dalam perjalanan”. S 9 At Taubah ayat 60. Tujuan dari firman
tadi, serupa dengan kata orang yang sedang sakit: “1/3 dari hartaku, untuk orang-orang
fakir dan orang-orang miskin”. Maka pembahagian zakat itu, menghendaki
penyekutuan pada pemilikan dan peribadatan, sehingga seyogyalah dijaga dari
tujuan kepada yang zhahir semata-mata. Pada kebanyakan negeri tidak terdapat
dua golongan dari golongan yang 8 itu, yaitu: golongan yang dibujuk hatinya
(muallaf) dan pengurus zakat (‘amil). Dan pada seluruh negeri, terdapat 4
golongan, yaitu: fakir, miskin, orang yang berhutang dan orang musafir, yakni:
ibnussabil. Dua golongan terdapat pada sebahagian negeri yaitu: orang-orang
yang berperang pada jalan Allah dan budak-budak yang melepaskan dirinya dengan
tebusan. Kalau terdapat 5 golongan umpamanya, maka zakat itu dibagi-bagikan
antara mereka dalam 5 bahagian yang sama atau berlebih-kurang dan ditentukan untuk
tiap-tiap golongan sebahagian. Kemudian tiap-tiap bahagian itu, dibagikan
kepada 3 bahagian atau lebih, adakalanya sama banyak atau berlebih kurang. Dan
tidaklah diharuskan sama banyak diantara orang-orang dari sesuatu golongan.
Sehingga bolehlah dibagikan, ada yang memperoleh 10 dan 20 dan tertentulah
dengan demikian, bahagian masing-masing. Adapun golongan-golongan yang ada itu,
tidak dapat ditambah dan dikurangi. Dan tidak seyogyalah dikurangi pada
masing-masing golongan, daripada 3 orang, kalau ada. Kemudian, kalau tidak ada
yang wajib diserahkan, selain dari segantang untuk fithrah, diantara 5 golongan
yang ada, maka haruslah disampaikan pembahagian itu kepada 15 belas orang.
Kalau kuranglah seorang dari mereka serta mungkin dipenuhi, maka dibayar
bahagian orang yang seorang itu. Kalau sulit, karena terlalu sedikit yang harus
diserahkan, maka hendaklah ia berkongsi dengan golongan yang wajib menyerahkan
zakat dan mencampurkan zakatnya dengan zakat golongan itu. Lalu dikumpulkan
segala orang yang berhak menerima zakat, kemudian diserahkan zakat itu,
sehingga mereka memperoleh bahagian masing-masing. Demikian cara yang
seharusnya ditempuh !.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan