PENJELASAN: ADAB
BATHINIAH
Ketahuilah,
bahwa atas orang yang berkehendak jalan akhirat, dengan zakatnya, mempunyai
beberapa tugas:
Tugas pertama: memahami kewajiban dan pengertian
zakat serta cara ujian padanya. Dan mengapakah zakat itu dijadikan sebahagian
dari sendi-sendi Islam, padahal dia adalah penyerahan keuangan dan tidak
daripada ibadah badaniah ?. Mengenai ini, terdapat 3 pengertian:
1.
Mengucapkan dua kalimah syahadah, adalah suatu kemestian bagi tauhid dan
pengakuan dengan keesaan yang disembah.
Syarat bagi
kesempurnaan ucapan itu, ialah tidak ada bagi orang yang bertauhid, yang
dicintainya selain dari Yang Maha Esa, Yang Tunggal. Karena kecintaan, tidak
menerima perkongsian. Dan tauhid dengan lisan itu, kurang faedahnya. Maka
diujilah tingkat kecintaan itu, dengan berpisah dari yang dikasihi. Dan harta,
adalah amat dikasihi oleh segala manusia. Karena ia alat kesenangan duniawi.
Dan dengan harta, manusia itu menyukai dunia dan lari dari mati, padahal, pada
mati berjumpa dengan Yang Amat Dikasihi. Maka diujikanlah mereka, tentang
kebenaran dakwaannya pada Yang Dicintai. Dan diminta mereka turun dari harta
yang menjadi kesayangan dan kesenangannya. Dari itulah, berfirman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman,
dengan memberikan sorga untuk mereka”. S 9 At Taubah ayat 111. Yang demikian
itu adalah dengan jihad, yakni: kesedihan berkorban karena rindu hendak
berjumpa dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kesediaan dengan harta, adalah lebih
mudah. Manakala pengertian ini telah dipahami, mengenai penyerahan harta, maka
terbagilah manusia kepada 3 bahagian:
Bahagian pertama: mereka membenarkan tauhid,
menyempurnakan janjinya dan turun dari semua hartanya, tidak disimpankannya,
meskipun sedinar atau sedirham. Lalu mereka enggan menghadapi kewajiban zakat
atas mereka. Sehingga ditanyakanlah kepada sebahagian mereka: “Berapakah yang
wajib untuk zakat pada 200 dirham ?”. Lalu ia menjawab: “Adapun atas orang
awam, yang bodoh dengan hukum syari’at, ialah 5 dirham. Adapun kami, maka
wajiblah menyerahkan semuanya”. Karena inilah, maka Abu Bakar ra menyedekahkan
semua hartanya dan Umar ra dengan setengah hartanya. Lalu bertanya Nabi saw:
“Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ?”. Menjawab Umar ra: “Sebanyak
itu lagi !”. Dan bertanya Nabi saw kepada Abu Bakar ra: “Apakah yang engkau
tinggalkan untuk keluargamu ?”. Menjawab Abu Bakar ra: “Allah dan RasulNya”.
Maka menyambung Nabi saw: “Diantara kamu berdua ialah, apa yang diantara
kata-kata kamu berdua !”. Abu Bakar Siddik, menyempurnakan dengan kesempurnaan
kebenarannya, lalu tidak dipegangnya, selain dari Yang Amat Dicintainya, yaitu:
Allah dan RasulNya.
Bahagian kedua:
derajat mereka, kurang dari derajat yang di atas tadi. Mereka memegang
hartanya, menggunakan segala waktu menunaikan hajat dan musim-musim berbuat
yang baik. Tujuan mereka dengan menyimpan harta itu, ialah untuk berbelanja
sekedar hajat, tidak untuk bersenang-senang. Dan menyerahkan yang lebih dari
hajat itu, kepada jalan kebajikan, manakala telah terang cara-caranya. Mereka
tidak merasa cukup sekedar zakat saja. Segolongan dari tabi’in, berpendapat
bahwa pada harta itu terdapat beberapa hak, selain dari zakat, seperti
an-Nakha’i, Asy-Sya’bi, ‘Atha’ dan Mujahid. Menjawab Asy-Sya’bi, setelah
ditanyakan kepadanya: “Adakah pada harta itu, hak selain dari zakat ?”, dengan
mengatakan: “Ada ! apakah engkau tidak mendengar firman Allah ‘Azza Wa Jalla:
“Dan diberikannya harta yang dikasihinya itu kepada kerabatnya, anak-anak
piatu, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, orang-orang
yang meminta dan untuk melepaskan perbudakan”. S 2 Al Baqarah ayat 177. Mereka
membuat dalil dengan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan menafkahkan
(membelanjakan di jalan kebaikan), sebahagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka”. S 2 Al Baqarah ayat 3 dan dengan firman Allah Ta’ala:
“Nafkahkanlah sebahagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu”. S 2
Al Baqarah ayat 254. Mereka mendakwakan, bahwa itu tidaklah mansukh dengan
ayat-ayat zakat. Tetapi termasuk ke dalam bahagian hak seorang muslim terhadap
seorang muslim. Artinya: wajiblah atas orang yang mampu, bilamana menjumpai
orang yang memerlukan kepada uang, menyampaikan hajatnya, lebih-lebih dari
harta zakat. Dan yang syah dalam ilmu fiqih dari bab ini, ialah manakala hajat
seseorang itu, bila tidak dipenuhi dapat menghilangkan nyawanya, maka memenuhi
hajat tersebut adalah fardlu kifayah. Karena tidak boleh disia-siakan nyawa
seorang muslim. Tetapi mungkin dikatakan, bahwa tidaklah wajib atas orang yang
mampu, selain daripada menyerahkan sesuatu yang menyampaikan hajat itu, secara
hutang. Dan tidak dimestikan memberikan, sesudah ia menyelesaikan zakatnya
sendiri. Dan mungkin pula dikatakan, harus ia menyerahkan sekarang juga dan tak
boleh secara diperhutangkan. Artinya: tidak boleh diberatkan orang fakir itu
menerima hutang. Dan inilah yang diperselisihkan !. Berhutang, adalah turun ke
tingkat yang terakhir dari tingkat orang awam. Yaitu: tingkat: Bahagian ketiga:
dimana orang awam itu, berkisar kepada menunaikan yang wajib saja. Mereka tidak
menambahkan dan mengurangkan daripadanya. Inilah tingkat yang paling kurang
keutamaannya ! segala orang awam berkisar pada yang wajib saja, karena
kebakhilan dan kecondongan hati mereka kepada harta, serta lemah kecintaan
mereka kepada akhirat. Berfirman Allah Ta’ala: “Jika itu dimintaNya kepada kamu
dan didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Artinya:
berulang kali Ia meminta kepadamu. Berapa banyak, diantara hambaNya yang dibeli
oleh Allah akan harta dan nyawanya, dengan sorga dan diantara hamba yang tidak
didesak oleh Allah karena kebakhilannya. Inilah salah satu pengertian perintah
Allah swt kepada hambaNya, dengan memberikan harta !.
2.
Mensucikan diri daripada sifat kebakhilan, karena itu adalah sebahagian dari
sifat-sifat yang membinasakan. Bersabda Nabi saw: “3 sifat membinasakan:
memperturut kebakhilan, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan diri”. Berfirman
Allah Ta’ala: “Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran jiwanya, merekalah
orang-orang yang beruntung”. S 59 Al Hasyr ayat 9. Dan akan datang nanti pada
“Rubu Yang Membinasakan”, penjelasan caranya sifat kekikiran itu membinasakan
dan bagaimana menjauhkan diri daripadanya. Sesungguhnya sifat kebakhilan itu,
dapat dihilangkan dengan membiasakan memberikan harta. Mencintai sesuatu itu,
tidak akan putus, kecuali dengan memaksakan diri berpisah daripadanya, sehingga
menjadi itu nanti suatu kebiasaan. Maka dengan pengertian ini, zakat adalah
pencuci, artinya: mensucikan pembayar zakat dari kekejian kikir yang
membinasakan. Kesucian itu menurut kadar pemberiannya dan kegembiraannya dengan
mengeluarkan harta serta kesenangannya menyerahkan harta itu karena Allah
Ta’ala.
3.
Mensyukuri nikmat. Karena Allah Ta’ala mempunyai nikmat pada hambaNya, pada
diri dan harta hamba itu. Maka segala ibadah badaniah, adalah kesyukuran bagi
nikmat badan. Dan ibadah maliah (ibadah kehartaan), adalah kesyukuran bagi
nikmat harta. Alangkah kejinya orang yang melihat kepada seorang fakir, yang
berpenghidupan sempit dan memerlukan kepada pertolongannya. Lalu ia tidak
bersedia menunaikan kesyukurannya kepada Allah Ta’ala, di mana ia tidak
memerlukan kepada meminta-minta dan orang lain memerlukan kepadanya, dengan
menyerahkan 1/40 atau 1/10 dari hartanya !.
Tugas kedua: mengenai
waktu pembayaran zakat. Diantara adab orang yang beragama, ialah menyegerakan
zakat dari waktu wajibnya, untuk melahirkan kegemaran mengikuti perintah Allah,
dengan menyampaikan kesenangan ke dalam hati orang-orang fakir dan menyegerakan
dari penghalang-penghalang masa, yang menghalanginya dari perbuatan kebajikan.
Dan karena mengetahui, bahwa dengan melambatkan itu, timbul bahaya-bahaya serta
kemaksiatan yang mendatangi seorang hamba, kalau diperlambatkan daripada waktu
wajibnya. Manakala telah lahir dari bathin panggilan kepada kebajikan, maka
seyogyalah dirampas kesempatan itu. Karena yang demikian itu, adalah kawan
malaikat. Dan hati orang mu’min, ialah antara dua anak jari dari anak-anak jari
Tuhan Yang Maha Pengasih. Alangkah cepatnya hati itu bertukar ! dan setan
menjanjikan kemiskinan, menyuruh dengan yang keji dan mungkar. Dia mempunyai
teman, dibalik teman malaikat. Dari itu, hendaklah diambil kesempatan yang
baik. Dan hendaklah ditentukan suatu bulan tertentu untuk menunaikan zakat, jika
ditunaikan seluruhnya. Hendaklah diusahakan, supaya adalah bulan itu, waktu
yang sebaik-baiknya, agar yang demikian menjadi sebab, bagi bertambah
mendekatkannya kepada Tuhan dan berlipat-ganda pahala zakatnya. Seperti bulan
Muharram umpamanya, karena dia adalah awal tahun dan termasuk diantara
bulan-bulan haram atau bulan Ramadlan. Adalah Nabi saw makhluk Allah yang
terbaik dan pada bulan Ramadlan, ia seperti angin yang dikirim, tidak memegang
sesuatu benda pada tangannya. Bulan Ramadlan itu, mempunyai kelebihan dengan
Lailatul-qadar dan Alquran diturunkan pada bulan Ramadlan. Mujahid mengatakan:
“Janganlah kamu katakan “Ramadlan”, karena dia adalah suatu nama dari nama-nama
Allah Ta’ala, tetapi katakanlah “bulan Ramadlan”. Bulan Dzulhijjah juga termasuk
sebahagian dari bulan yang banyak kelebihannya. Karena dia bulan haram, padanya
haji akbar dan hari-hari tertentu, yaitu: 10 yang pertama dan hari-hari yang
terbilang, yaitu: hari-hari tasyriq. Hari-hari bulan Ramadlan yang terutama,
ialah 10 yang akhir dan hari-hari bulan Dzulhijjah yang terutama, ialah 10 yang
awal.
Tugas ketiga: dirahasiakan, karena dengan
demikian, menjauhkan dari ria dan terdengar ke mana-mana. Bersabda Nabi saw:
“Sedekah yang terbaik, ialah kesungguhan dari orang yang sedikit hartanya,
menyerahkan sebahagian daripadanya kepada orang fakir dengan dirahasiakan”.
Berkata setengah ulama: “3 perkara daripada gudang kebajikan. Sebahagian
daripadanya, ialah menyembunyikan sedekah”. Dan diriwayatkan pula suatu hadits
musnad, yaitu sabda Nabi saw: “Sesungguhnya hamba itu hendaklah berbuat amalan
dalam rahasia, maka dituliskan Allah baginya secara rahasia. Jikalau
dilahirkannya, maka dipindahkan oleh Allah dari rahasia dan dituliskan dalam
keadaan terang. Jika diceritakannya amalan itu kepada orang, maka dipindahkan
oleh Allah dari keadaan rahasia dan terang dan dituliskan ria”. Pada suatu
hadits masyhur, tersebut: “7 orang dinaungi mereka oleh Allah, pada hari tak
ada naungan, selain daripada naungan Allah. Seorang dari mereka, ialah orang yang
bersedekah dengan suatu sedekah, maka tidak diketahui oleh tangan kirinya, apa
yang diberikan oleh tangan kanannya”. Pada suatu hadits tersebut: “Sedekah
secara rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan”. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan kalau
kamu sembunyikan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu adalah lebih
baik bagi kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 271. Faedah menyembunyikan, ialah terlepas
dari bahaya ria dan kedengaran keluar. Bersabda Nabi saw: “Tidak diterima oleh
Allah sedekah dari orang yang memperdengarkan sedekahnya kepada orang lain,
memperlihatkannya kepada orang lain dan membangkitkannya”. Orang yang
menceritakan sedekahnya itu, ialah mencari nama supaya terdengar keluar. Dan
orang yang memberikan sedekah di hadapan orang banyak, ialah ingin ria. Sedang
menyembunyikan dan berdiam diri sesudah bersedekah, adalah orang yang ikhlas
dengan sedekahnya. Segolongan dari ulama telah bersangatan benar menerangkan
keutamaan menyembunyikan sedekah itu, sehingga dengan bersungguh-sungguh mereka
mengatakan, bahwa yang menerima itu tidak mengenal yang memberi. Sebahagian
mereka meletakkan sedekahnya dalam tangan orang buta dan sebahagian mereka
meletakkannya pada jalan yang dilalui orang fakir dan pada tempat duduk orang
fakir, di mana orang fakir itu dapat melihatnya dan tidak melihat yang
memberikannya. Dan sebahagian mereka meletakkannya dalam kain orang fakir,
ketika ia masih tidur. Dan sebahagian lagi menyampaikannya ke tangan orang
fakir, dengan perantaraan orang lain, di mana orang fakir itu tidak mengenal si
pemberi. Dan dimintanya pada perantara, supaya menyembunyikan namanya dan tidak
menyiarkannya ke mana-mana. Semua itu, adalah supaya sampai kepada memadamkan
kemarahan Tuhan Yang Maha Suci dan memeliharakan diri dari ria dan terdengar
keluar. Bilamana tidak mungkin, selain dengan diketahui oleh seseorang, maka
menyerahkannya kepada wakil, supaya wakil itu menyerahkan kepada orang miskin
dan orang miskin itu tidak mengenal si pemberi, adalah cara yang
sebaik-baiknya. Karena dengan dikenal oleh si miskin itu, mengandung ria
bersama dengan disebut-sebut.
Dan dengan
dikenal oleh si perantara, tidak adalah, selain dari ria saja. Manakala ada
kemasyuhran yang dimaksudkan bagi si pemberi, maka batallah amalnya. Karena
zakat adalah menghilangkan kekikiran dan melemahkan kecintaan kepada harta. Dan
mencintai kemegahan, adalah lebih hebat pengaruhnya kepada diri daripada
mencintai harta. Kedua-duanya itu membinasakan di akhirat. Tetapi, sifat kikir,
bertukar di dalam kubur, sebagai perumpamaan, menjadi seekor kala yang
menyengat. Dan sifat ria bertukar di dalam kubur menjadi seekor ular besar.
Dari itu, disuruh melemahkan kedua-duanya atau membunuh kedua-duanya, untuk
menolak atau meringankan kesakitan dari kedua-duanya. Manakala dimaksudkan ria
dan didengar orang, maka seolah-olah dijadikan sebahagian dari kaki kala, untuk
menguatkan ular. Berapa yang lemah dari kala maka itu menambahkan pada kekuatan
ular. Kalau keadaan itu dibiarkan, sebagaimana yang ada, niscaya adalah urusan
itu, lebih mudah baginya. Kekuatan sifat-sifat tersebut di atas, di mana
kekuatannya bertambah, ialah dengan berbuat, menurut yang dikehendaki oleh
sifat-sifat itu. Dan kelemahannya, ialah dengan menantang, menyalahi dan
berbuat kebaikan daripada yang dikehendakinya. Maka apakah faedahnya, menolak
pangilan kekikiran dan menyambut panggilan keriaan ? lalu lemah yang lebih
lemah dan kuat yang lebih kuat ? dan akan datang penjelasan segala rahasia dari
pengertian-pengertian ini, pada “Rubu Yang Membinasakan”.
Tugas keempat: bahwa dilahirkannya, bila
diketahuinya, bahwa pada melahirkan itu, membawa manusia suka mengikutinya dan
berusaha merahasiakannya dari panggilan ria: dengan jalan yang akan kami
sebutkan, tentang pengobatan ria, pada Kitab Ria nanti. Berfirman Allah Ta’ala:
“Kalau kamu memberikan sedekah dengan terang, itu baik”. S 2 Al Baqarah ayat
271. Dan yang demikian itu dikehendaki oleh keadaan untuk dilahirkan,
adakalanya, untuk diikuti orang dan adakalanya karena peminta itu meminta di
hadapan orang banyak. Maka tidak seyogyalah ditinggalkan bersedekah, karena
takut dari ria pada melahirkannya. Tetapi seyogyalah bersedekah dan menjaga
rahasianya daripada ria, sedapat mungkin. Inilah, karena pada melahirkan itu
ditakuti hal ketiga, selain daripada disebut-sebut dan ria, yaitu: merusakkan
kehormatan si fakir. Karena mungkin si fakir itu, merasa tersinggung, dengan
memperlihatkannya dalam bentuk orang yang memerlukan kepada sesuatu. Maka
orang yang meminta secara terus-terang, adalah ia telah merusakkan
kehormatannya sendiri. Maka tidaklah ditakuti lagi pengertian tadi, pada
melahirkannya. Dan itu, adalah seperti melahirkan sifat fasiq atas orang yang
menutupinya rapat-rapat, maka itu dicegah. Mengorek-ngorek dan membiasakan
menyebutkannya, adalah dilarang. Adapun orang yang melahirkannya, maka
menjatuhkan hukuman atas orang itu, ialah memperkembangkan berita itu. Tetapi
fasiq itu sendiri, yang menjadi sebab untuk dijatuhkan hukuman itu. Dan
pengertian yang seperti ini, sabda Nabi saw: “Barangsiapa mencampakkan pakaian
malunya, maka tak adalah upatan baginya lagi”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan
mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan dengan sembunyi dan
terang-terangan”. S 13 Ar Ra’d ayat 22. Disunatkan juga dengan terang-terangan,
karena dengan terang-terangan itu, memberikan faedah menggemarkan orang
mengikutinya. Maka hendaklah hamba itu memperhatikan dengan teliti, tentang
timbangan faedah ini, dengan larangan yang ada padanya. Dan hal itu berbeda,
menurut keadaan suasana dan orang. Kadang-kadang, secara terang-terangan, pada
sebahagian keadaan untuk sebahagian orang, adalah lebih baik. Dan siapa yang
mengenal segala yang berfaedah dan yang merusakkan, tanpa memandangnya dengan
pandangan hawa nafsu, niscaya teranglah baginya yang lebih utama dan yang lebih
layak dalam segala hal.
Tugas kelima: jangan dibatalkan sedekah itu,
dengan menyebut-nyebut dan menyakitkan hati orang yang menerimanya. Berfirman
Allah Ta’ala: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebut
(al-manni) dan menyakitkan (al-adza)”. S 2 Al Baqarah ayat 264. Berbeda
pendapat diantara para ulama, tentang hakikat menyebut-nyebut (al-manni) dan
menyakitkan (al-adza). Ada yang mengatakan, al-manni, yaitu: menyebut-nyebut
sedekah yang diberikan. Dan al-adza, yaitu: melahirkannya kepada orang lain.
Berkata Sufyan: “Barangsiapa membangkit-bangkitkan sedekahnya, niscaya sedekah
itu batal”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Bagaimana membangkit-bangkitkan itu
?”. Sufyan menjawab: “Bahwa ia menyebut-nyebutkan dan menceritakannya”.
Setengah ulama mengatakan, bahwa al-manni, ialah meminta pada orang yang
diberikan sedekah itu, supaya memberikan tenaga, demi kepentingan orang yang
memberi sedekah. Dan al-adza, ialah menghinakan orang yang diberikan sedekah
itu, dengan sebab kemiskinannya. Ada yang mengatakan, bahwa al-manni, ialah
yang memberi itu menyombongkan diri karena pemberiannya. Dan al-adza, ialah
menggertak dan mengeluarkan kata-kata keji kepada orang miskin, dengan sebab
meminta. Bersabda Nabi saw: “Tidak diterima oleh Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan”.
Padaku, al-manni itu, mempunyai pokok pangkal dan tempat tumbuhnya. Yaitu
sebahagian dari ikhwal hati dan sifatnya. Kemudian, bercabang kepadanya segala
keadaan yang zhahir, pada lisan dan anggota badan. Pokok pangkalnya, ialah si
pemberi itu memandang dirinya telah berbuat baik dan menganugerahkan nikmat
kepada si penerima. Sedang sebenarnya, hendaklah dia memandang, bahwa si fakir
itu telah berbuat baik kepadanya, dengan bersedia menerima hak Allah yang ada
padanya, yang menjadi kesucian dan kelepasannya daripada api neraka. Kalau
tidaklah si fakir itu bersedia menerimanya, niscaya tetaplah ia berhutang
dengan hak itu. Maka menjadi kewajibannya, menahan diri kepada
membangkit-bangkitkan sedekah yang diberikan kepada orang fakir, lantaran si
fakir itu telah membuat tapak tangannya, sebagai ganti dari Allah Ta’ala untuk
menerima hakNya ‘Azza Wa Jalla. Bersabda Nabi saw: “Bahwa sedekah itu jatuh
dengan tangan (kekuasaan) Allah ‘Azza Wa Jalla, sebelum jatuh pada tangan yang
meminta”. Maka hendaklah diyakininya, bahwa ia menyerahkan kepada Allah ‘Azza
Wa Jalla hakNya dan orang fakir itu mengambil daripada Allah Ta’ala rezekinya,
setelah jadinya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau ia berhutang pada seseorang,
lalu orang itu menyerahkan kepada budaknya atau pelayannya yang menjadi
tanggung jawabnya, tentang kehidupan budak atau pelayan itu, untuk menagih
hutang tadi, maka keyakinan dari yang membayar hutang, bahwa penerima hutang
itu di bawah pengaruhnya adalah sangat dungu dan bodoh. Karena yang berjasa
kepadanya, ialah orang yang menanggung belanja hidupnya. Adapun dia, hanyalah
melunaskan apa yang menjadi kewajibannya, disebabkan sudah membeli apa-apa yang
disukainya. Jadi, ia bekerja untuk dirinya sendiri, maka mengapakah ia
menyebut-nyebut orang lain ? manakala telah dipahami, pengertian yang tiga,
yang telah kami sebutkan tentang pemahaman kewajiban zakat atau satu dari yang
tiga itu, niscaya ia tidak melihat dirinya telah berbuat baik, selain kepada
dirinya sendiri.
Adakalanya, dengan menyerahkan hartanya, demi
melahirkan kecintaannya, kepada Allah Ta’ala atau mensucikan dirinya dari
kekejian kikir atau mensyukuri nikmat harta, karena mengharap bertambahnya
harta itu. Bagaimanapun adanya, tetapi tak adalah hubungan mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) antara
dia dan orang fakir itu, sehingga ia memandang dirinya telah berbuat baik
kepada si fakir. Manakala terdapat kebodohan itu, dengan memandang dirinya
telah berbuat baik kepada si fakir, lalu bercabanglah daripadanya pada
zhahirnya, apa yang telah disebutkan pada pengertian al-manni, yaitu:
membicarakan, menzhahirkan dan meminta balasan dari si penerima itu, dengan
ucapan terima kasih, dengan doa, pelayanan, penghormatan, pengagungan,
penegakan hak-haknya, mendahulukan di majlis-majlis dan mengikutinya dalam
segala hal. Maka ini semuanya, adalah buah daripada al-manni. Dan arti al-manni
pada bathin, ialah apa yang telah kami sebutkan itu. Adapun al-adza, zhahirnya
ialah menghina dan memberi malu, mengeluarkan kata-kata kasar, bermasam muka
dan merusakkan kehormatan si fakir dengan melahirkan pemberian itu serta dengan
berbagai macam cara merendahkan orang yang menerima itu. Bathinnya, yaitu
sumbernya, ada dua hal:
1.
Tidak suka melepaskan harta dari tangan dan sangat beratlah yang demikian atas
dirinya. Maka yang demikian itu –sudah pasti –menyempitkan makhluk.
2.
Dia melihat dirinya lebih baik dari orang fakir. Dan orang fakir itu,
disebabkan keperluannya, adalah lebih hina daripadanya. Kedua sumber tadi,
terjadinya dari karena kebodohan.
Mengenai
tidak suka melepaskan harta, itu adalah suatu kedunguan. Karena orang yang
tidak suka menyerahkan sedirham, dalam balasan yang menyamai seribu dirham, itu
adalah sangat dungu. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa menyerahkan harta, adalah
karena mencari kerelaan Allah ‘Azza Wa Jalla dan pahala pada negeri akhirat Dan
itu, adalah lebih mulia daripada apa yang diserahkannya. Atau diserahkannya
untuk mensucikan dirinya dari kehinaan kikir atau bersyukur karena mengharap
tambahan. Bagaimanapun diumpamakan, tetapi tidak suka menyerahkan harta itu,
tak beralasan sama sekali. Mengenai yang kedua, yaitu: memandang dirinya lebih
mulia dari si fakir, itu juga tanda kebodohan. Karena kalau diketahuinya
kelebihan miskin dari kaya dan diketahuinya bahaya yang dihadapi oleh
orang-orang kaya, niscaya tidak akan dihinakannya orang fakir. Bahkan ia
mengambil berkat daripada orang fakir dan bercita-cita memperoleh derajat
kefakiran itu. Orang-orang kaya yang salih, akan memasuki sorga sesudah
orang-orang fakir dengan 500 tahun. Dari itu, bersabda Nabi saw: “Demi Tuhan
yang mempunyai Ka’bah ! mereka itu merugi !”. Bertanya Abu Dzar: “Siapakah
mereka itu ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka yang banyak harta !”. Kemudian,
bagaimanakah ia menghinakan orang fakir, padahal orang fakir itu, telah
dijadikan Allah Ta’ala tempat ia berniaga. Karena ia mengusahakan harta dengan
rajin, memperbanyakkan harta dan bersungguh-sungguh menjaganya sekedar perlu.
Dan ia telah dimestikan, bahwa menyerahkan kepada orang fakir sekedar
keperluannya. Dan dilarang melebihi daripada itu, yang mendatangkan melarat
kepadanya, kalau diserahkan. Maka orang kaya, adalah dilayani untuk berusaha,
menghasilkan rezeki orang fakir. Dan dibedakan dari orang fakir, dengan
menghadapi kezhaliman, mengalami penderitaan dan menjaga diri dari segala yang
tidak perlu, sampai ia mati. Lalu hartanya, dimakan oleh musuh-musuhnya. Jadi,
manakala telah tersingkir sifat tidak suka dan berganti dengan suka dan senang
dengan taufiq Allah Ta’ala kepadanya, pada pelaksanaan kewajiban dan
digenggamkannya harta kepada orang fakir, sehingga terlepas daripada buruknya
nasib dengan diterimanya pemberian itu daripadanya, maka hilanglah al-adza,
penghinaan, masam muka. Dan bertukarlah dengan kegembiraan. Pujian dan
penerimaan kenikmatan itu. Itulah tempat terjadinya al-manni dan al-adza !
Kalau anda mengatakan, bahwa melihat dirinya dalam tingkat orang yang berbuat
baik, adalah suatu hal yang sulit. Adakah tanda, yang dapat ia menguji hatinya
dengan tanda itu, sehingga ia mengenal bahwa dia tidak melihat dirinya berbuat
baik ? Maka ketahuilah, bahwa ia mempunyai tanda yang halus dan jelas. Yaitu:
kalau diumpamakan si fakir itu telah berbuat suatu penganiayaan atas dirinya
atau si fakir itu menolong musuhnya umpamanya, maka adakah bertambah perlawanan
bathinnya dan menjauh hatinya dari si fakir itu, dengan perlawanan bathinnya
sebelum bersedekah itu ? Kalau bertambah, maka tidaklah terlepas sedekahnya
dari campuran al-manni, karena dengan sebabnya, telah terjadi apa yang
sebetulnya, tidak diharapkan terjadi sebelumnya. Kalau anda mengatakan: “Ini
adalah soal yang sulit dan tidak terlepaslah hati seseorang daripadanya. Maka
apakah obatnya ?”.
Maka
ketahuilah, bahwa ia mempunyai obat bathin dan obat zhahir. Obat bathin, ialah
mengenal segala hakikat yang telah kami sebutkan pada pemahaman yang wajib itu.
Sesungguhnya orang fakirlah yang berbuat baik kepadanya, pada mensucikannya
dengan menerima sedekah. Adapun obat zhahir, maka ialah segala perbuatan yang
dikerjakan oleh orang yang bersifat dengan al-manni itu. Maka sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang timbul dari budi pekerti yang baik, niscaya akan
mencelup hati itu berbudi pekerti yang baik, sebagaimana akan datang segala
kunci rahasianya, pada bahagian yang penghabisan dari Kitab ini. Dari itu,
sebahagian mereka meletakkan sedekah dihadapan orang fakir dan tegak berdiri
dihadapannya, meminta kiranya fakir itu bersedia menerima sedekahnya. Sehingga
ia berada dalam bentuk orang yang meminta, disamping ia merasa tidak senang
kalau sedekahnya ditolak. Sebahagian mereka membuka tangannya, supaya fakir itu
mengambil dari tangannya dan tangan si fakir menjadi di atas. ‘Aisyah dan Ummu
Salmah ra apabila mengirimkan sesuatu pemberian kepada orang fakir, mengatakan
kepada utusan yang membawa kiriman itu: “Hafalkanlah doa yang dibacakan fakir
itu !”. Kemudian, keduanya membalas seperti doa yang dibacakan si fakir seraya
mengatakan: “Dengan demikian, ikhlaslah sedekah kami bagi kami”. Mereka
sebetulnya, tidak mengharapkan doa, karena itu menyerupai pembalasan. Dari itu,
mereka membalas doa yang dibacakan si fakir, dengan doa yang seperti itu pula.
Begitulah diperbuat oleh Umar bin Al-Khaththab dan anaknya Abdullah ra. Dan
begitu pulalah orang-orang yang menitikberatkan perhatiannya pada hati,
mengobati hatinya. Dan tak adalah obatnya dari segi zhahir, selain dari segala
amal perbuatan ini, yang menunjukkan kepada kehinaan, kerendahan diri dan
menerima nikmat Allah Ta’ala.
Dan dari
segi bathin, ialah segala pengetahuan (ma’rifah) yang telah kami sebutkan itu.
Ini, dari segi amal perbuatan. Dan yang itu dahulu, dari segi ilmu pengetahuan.
Dan tidaklah hati itu diobati, selain dengan obat ilmu dan amal. Syarat ini
dari zakat, adalah sejalan dengan jalannya khusyu’ dari shalat. Hal itu,
dibuktikan dengan sabda Nabi saw: “Tidaklah bagi manusia dari shalatnya, selain
daripada apa yang dipahaminya”. Dan ini, adalah seperti sabda Nabi saw: “Tidak
diterima Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan”, dan seperti firman Allah
‘Azza Wa Jalla: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan “al-manni”
(menyebut-nyebutkan) dan “al-adza” (menyakitkan)”. S 2 Al Baqarah ayat 264.
Adapun fatwa ulama fiqih, dengan jadinya zakat itu menjadi zakat dan
terlepasnya tanggung jawab dengan penyerahan yang seperti itu, tanpa syarat
yang kami sebutkan, adalah berdasarkan hadits lain, yang sudah kami tunjukkan
pengertiannya dalam “Kitab Shalat” dahulu.
Tugas keenam: hendaklah
dipandangnya pemberian itu kecil saja. Karena, kalau dipandangnya besar, maka
timbullah kebanggaan di dalam hatinya. Dan sifat kebanggaan itu, termasuk sifat
yang membinasakan. Dan itu membatalkan segala amal perbuatan. Berfirman Allah
Ta’ala: “Dan di hari perang Hunain, ketika kamu membanggakan diri karena banyak
jumlahnya, tetapi jumlah yang banyak itu, tidak menolong kepada kamu
sedikitpun”. S 9 At Taubah ayat 25. Dan ada yang mengatakan bahwa taat, kalau
dipandang kecil, maka besarlah dia pada sisi Allah Ta’ala. Dan ma’siat kalau
dipandang besar, maka kecillah dia pada sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Ada yang
mengatakan, bahwa perbuatan baik, tidak akan sempurna, selain dengan 3 perkara:
memandangnya kecil, menyegerakannya dan menutupkannya. Dan tidaklah
memandangnya besar itu, dinamakan al-manni dan al-adza. Karena kalau diserahkannya
hartanya kepada pembangunan masjid atau langgar, niscaya mungkinlah di situ
memandangnya besar dan tidak mungkin al-manni dan al-adza. Tetapi membanggakan
diri dan memandang amalan itu besar, berlaku dalam segala ibadah. Dan obatnya,
ialah ilmu dan amal. Adapun ilmu, yaitu ia mengetahui bahwa 1/10 atau 1/40,
adalah sedikit dari yang banyak. Dan dia telah merasa puas bagi dirinya, dengan
pemberian ditingkat yang paling rendah itu, sebagaimana telah kami sebutkan
pada pemahaman yang wajib dahulu. Dari itu, wajarlah ia merasa malu dari
pemberian yang demikian. Bagaimanakah kiranya, ia memandang besar ? kalau
naiklah ia ke derajat yang lebih tinggi, lalu memberikan semua hartanya ataupun
sebahagian besar daripadanya, maka hendaklah ia memperhatikan, bahwa dari
manakah harta itu datang dan kemanakah hendak digunakannya ? Harta itu, adalah
kepunyaan Allah ‘Azza Wa Jalla. Allah boleh menyebut-nyebutkannya, karena telah
menganugerahkannya kepada seseorang dan memberikan taufiq kepada orang itu
untuk menyerahkannya. Maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberiannya pada
hak Allah Ta’ala, akan sesuatu yang sebetulnya kepunyaan Allah Ta’ala ? Kalau
keadaannya menghendaki, bahwa ia memandang ke akhirat dan memberikannya untuk
memperoleh pahala, maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberian yang
ditunggukannya pahala yang berlipat ganda ?. Adapun amal, maka ia memberikan
harta itu, sebagai pemberian karena malu dari kekikiran, dengan menahan sisa
hartanya daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka adalah sifatnya, merasa enggan dan
malu, seperti sifat orang yang diminta mengembalikan barang simpanan yang ada
padanya. Maka ditahannya setengah dan dikembalikannya setengah, sedang harta
seluruhnya adalah kepunyaan Allah ‘Azza Wa Jalla. Menyerahkan seluruhnya adalah
lebih disukai Allah swt. Sesungguhnya Dia tidak menyuruhkan hambaNya dengan
demikian, karena menyusahkan bagi hamba itu, lantaran kekikirannya, sebagaimana
tersebut dalam firman Allah Ta’ala: “Maka didesakkan Allah akan kamu, niscaya
kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37.
Tugas ketujuh: bahwa dipilihnya daripada hartanya
yang paling baik, yang paling disayanginya, yang paling mulia dan yang paling
cantik. Karena Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima melainkan yang baik.
Apabila yang dikeluarkan untuk sedekah itu, dari harta yang diragukan halalnya
(harta syubhat), maka kadang-kadang harta itu bukan miliknya secara mutlak.
Sehingga tidaklah harta itu menjadi sebagaimana yang diharapkan. Tersebut pada
hadits yang diriwayatkan Aban dari Anas bin Malik: “Amat baiklah kiranya bagi
seorang hamba, yang mengeluarkan untuk sedekah dari harta yang diusahakannya,
tidak dari kemaksiatan”. Apabila yang dikeluarkan itu, tidak daripada harta
yang baik, maka itu adalah setengah daripada kurang adab (kurang sopan). Karena
mungkin ditahannya yang baik untuk dirinya sendiri atau untuk hambanya atau
untuk keluarganya. Jadi ia lebih memilih dan mementingkan orang lain, daripada
Allah Ta’ala. Kalau diperbuatnya demikian terhadap tamunya, disuguhkannya
makanan yang paling buruk kepada tamu itu di rumahnya, maka sesungguhnya ia
menyesakkan dadanya dengan yang demikian. Demikianlah kiranya, kalau ada
pandangannya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kalau pandangannya kepada dirinya
sendiri dan pahalanya di akhirat, maka tidaklah namanya berakal, orang yang
mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Dan tidaklah harta itu
menjadi kepunyaannya, selain daripada apa yang telah disedekahkannya. Maka
itulah yang kekal. Atau apa yang telah dimakannya, maka itulah yang binasa. Dan
apa yang dimakannya, adalah menunaikan hajat hidup yang sekarang. Maka tidaklah
termasuk berakal, orang yang memperhatikan semata-mata kepada masa dekat dan
meninggalkan penyimpanan untuk masa depan. Berfirman Allah Ta’ala: “Hai
orang-orang yang beriman ! nafkahkanlah (keluarkanlah) sebahagian yang
baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang Kami keluarkan dari bumi dan
janganlah kamu pilihkan yang buruk-buruk diantaranya yang akan kamu nafkahkan;
sedangkan kamu sendiri tak mau mengambilnya (kalau diberikan kepada kamu),
melainkan dengan memicingkan mata”. S 2 Al Baqarah ayat 267. Artinya: kamu
tidak mengambilnya, kecuali dengan merasa benci dan malu. Itulah artinya
memicingkan mata.
Maka tidaklah kamu memilihkan Tuhanmu dengan demikian.
Pada hadits tersebut: “Didahulukan oleh sedirham, akan 100 ribu dirham”. Yaitu
dengan dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya, yang paling halal dan yang
paling baik. Maka keluarlah yang demikian itu dengan kerelaan dan kegembiraan
memberikannya. Kadang-kadang dikeluarkannya 100 ribu dirham daripada hartanya
yang tidak disukainya. Maka yang demikian itu, menunjukkan bahwa dia tidak
mengutamakan Allah ‘Azza Wa Jalla, dengan sesuatu yang dikasihinya. Dengan
sebab yang demikianlah, maka dicacikan oleh Allah suatu golongan yang menjadikan
untuk Allah, apa yang tidak disukai mereka. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan mereka
hubungkan dengan Allah, apa-apa yang tidak mereka sukai (untuk diri mereka) dan
lidah mereka menceritakan kepalsuan, bahwa mereka akan mendapat kebaikan.
Tidak”. Sebahagian ahli bacaan Alquran (ahli qiraat) berhenti (waqaf) pada
kata-kata “Tidak” itu, untuk membohongi mereka, kemudian memulai lagi dan
menyambung: “Sesungguhnya untuk mereka adalah neraka”. S 16 An Nahl ayat 62.
Artinya: Sesungguhnya bagi mereka neraka, karena mereka jadikan bagi Allah, apa
yang tidak mereka sukai.
Tugas kedelapan: hendaklah dicari untuk menerima
sedekahnya, orang yang menjadi suci sedekahnya dengan orang itu. Dan tidak
dicukupkan saja, asal orang itu termasuk dalam golongan yang 8. Karena dalam
keseluruhan golongan yang 8 itu, terdapat sifat-sifat tertentu.
Maka hendaklah diperhatikannya sifat-sifat yang
tertentu itu, yaitu 6 perkara.
1.
Hendaklah dicarikan orang-orang yang taqwa, yang berpaling dari dunia,
menjuruskan hidupnya untuk perniagaan akhirat. Bersabda Nabi saw: “Janganlah
engkau makan, selain dari makanan orang yang bertaqwa dan janganlah dimakan
makanan engkau, selain oleh orang yang bertaqwa”. Inilah kiranya, karena orang
yang bertaqwa itu, dapat meminta pertolongan kepada taqwa. Maka adalah anda
bersama-sama dengan dia dalam mengerjakan taat, disebabkan anda memberikan
pertolongan kepadanya. Bersabda Nabi saw: “Berikanlah makananmu kepada
orang-orang yang taqwa dan tujukanlah perbuatan baikmu kepada orang-orang mu’min
!”. Dan pada riwayat yang lain, tersebut: “Tambahkanlah makananmu kepada orang
yang engkau kasihi pada jalan Allah Ta’ala”. Adalah sebahagian ulama,
mengutamakan makanannya kepada orang-orang shufi yang fakir, tidak kepada orang
lain. Lalu orang bertanya kepadanya: “Kalau tuan ratakan pemberian tuan itu
kepada semua orang fakir, tentulah lebih baik”’. Ulama itu menjawab: “Tidak !
cita-cita dari fakir yang shufi itu, adalah semata-mata kepada Allah Ta’ala.
Kalau datanglah kepapaan kepada mereka, niscaya hancurlah cita-cita seseorang
mereka. Dari itu, aku lebih menyukai mengembalikan cita-cita seseorang kepada
Allah ‘Azza Wa Jalla, daripada memberikan kepada 1000 orang, yang cita-citanya
duniawi”. Ucapan yang di atas ini, disampaikan orang kepada Junaid, maka
diterimanya dengan baik, seraya mengatakan: “Yang mengucapkan kata-kata ini
adalah salah seorang daripada aulia Allah Ta’ala”. Seterusnya Junaid
mengatakan: “Belum pernah aku mendengar sejak dahulu, perkataan yang lebih baik
daripada ini !”. Kemudian, diceritakan, bahwa ulama yang mengucapkan
kata-kata di atas tadi, rusak keadaan
perniagaannya. Ia bercita-cita meninggalkan tokonya, lalu Junaid mengirimkan
bantuan harta kepadanya dan berpesan: “Jadikanlah harta ini modalmu ! janganlah
engkau tinggalkan toko itu, karena berniaga tidaklah mendatangkan melarat bagi
orang, yang seperti engkau”. Ulama itu adalah penjual sayur-sayuran, tidak mau
mengambil pembayaran dari orang-orang fakir yang membeli padanya.
2.
Hendaklah orang yang dikhususkan diberikan itu dari ahli ilmu khususnya. Karena
yang demikian, adalah menolong orang itu kepada ilmu. Dan ilmu adalah ibadah
yang paling mulia, manakala benar niat padanya. Adalah Ibnul-Mubarak
mengkhususkan pemberiannya kepada ahli ilmu, lalu orang bertanya kepadanya:
“Mengapakah tidak tuan ratakan pemberian itu ?”. Ia menjawab: “Aku tidak
mengenal sesudah derajat kenabian, yang lebih utama daripada derajat
alim-ulama. Apabila hati salah seorang ulama terganggu dengan sesuatu
keperluan, maka tidaklah tercurah hatinya itu kepada ilmu dan tidak lagi
menerima orang untuk belajar. Dari itu, berusaha mencurahkan hati mereka kepada
ilmu, adalah lebih utama”.
3.
Hendaklah orang yang diberikan itu, orang yang benar taqwanya dan ilmunya
dengan ketauhidan. Ketauhidannya itu, ialah apabila ia menerima pemberian lalu
memujikan Allah, mensyukuriNya dan memandang bahwa nikmat itu daripadaNya. Dan
ia tidak memandang kepada perantaraan (si pemberi). Inilah kesyukuran hamba
yang sebaik-baiknya kepada Allah swt. Yaitu: memandang bahwa nikmat itu
semuanya adalah daripadaNya. Dalam wasiat Lukman kepada puteranya, tersebut:
“Janganlah engkau adakan diantara engkau dan Allah, pemberi nikmat yang lain
dan engkau hitung nikmat dari orang lain itu kepada engkau sebagai hutang. Dan
barangsiapa mensyukuri selain kepada Allah swt, maka dia seolah-olah tidak
mengenal yang memberikan nikmat itu. Dan tidak meyakini bahwa orang perantaraan
itu, adalah terpaksa diperuntukkan untuk memberi dengan penunjukkan Allah ‘Azza
Wa Jalla. Karena Allah Ta’ala telah menguasakan kepadanya faktor-faktor untuk
berbuat dan memudahkan sebab-sebab untuk berbuat. Lalu orang itu memberikan dan
dia itu terpaksa. Kalau ia menolak, tidak mau memberikannya, maka ia tidak
sanggup, setelah dicurahkan Allah ke dalam hatinya, bahwa kemuslihatan agamanya
dan dunianya adalah pada perbuatan itu. Manakala penggerak sudah kuat, niscaya
mengharuskan yang demikian, akan keteguhan kemauan dan kebangkitan kesanggupan.
Dan tidak hamba itu, sanggup menentang penggerak yang kuat, yang tak ada
keraguan lagi padanya. Allah ‘Azza Wa Jalla jua yang menjadikan
penggerak-penggerak itu dan membangkitkannya, menghilangkan kelemahan dan
kesangsian daripadanya. Menentukan kesanggupan untuk bangun, menurut yang
dikehendaki penggerak-penggerak itu. Siapa yang meyakini akan ini, niscaya
tidak ada baginya pandangan selain kepada Yang Menyebabkan sebab-sebab itu.
Keyakinan seperti hamba ini adalah lebih bermanfaat
bagi si pemberi, daripada pujian dan ucapan syukur dari orang lain. Maka yang
demikian itu, adalah gerakan lidah, pada kebanyakan hal, yang sedikit
faedahnya. Dan memberi pertolongan kepada seumpama hamba yang bertauhid ini,
tidaklah sia-sia. Adapun orang yang memuji dengan pemberian dan mendoakan
dengan kebajikan, maka akan mencaci bila tidak diberikan lagi dan akan
mendoakan dengan kejahatan, ketika disakitkan hatinya. Dan hal-ikhwalnya,
adalah berlebih-kurang. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw: “Mengirimkan pemberian
kepada sebahagian orang fakir dan mengatakan kepada utusan yang membawa
pemberian itu: “Hafalkanlah apa yang diucapkan fakir itu !”. Tatkala fakir
menerimanya, lalu mengucapkan: “Segala pujian bagi Allah yang tidak lupa akan
siapa yang mengingatiNya dan tidak menyia-nyiakan akan siapa yang
mensyukuriNya”. Kemdian fakir itu menyambung lagi: “Ya Allah, ya Tuhanku !
sesungguhnya Engkau tidak melupakan si Anu (maksudnya, dirinya sendiri), maka
jadikanlah si Anu tidak melupakan Engkau". Ia maksudkan dengan si Anu
dirinya sendiri. Utusan itu menceritakan kepada Nabi saw apa yang didengarnya,
maka amat gembiralah Nabi saw lalu bersabda: “Aku tahu, memang ia mengucapkan
yang demikian”. Lihatlah betapa perhatiannya, hanya tertuju kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa !. Bersabda Nabi saw kepada seorang laki-laki: “Bertaubatlah !”.
Maka menjawab laki-laki itu: “Aku bertaubat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa
dan tidak aku bertaubat kepada Muhammad !”. Menjawab Nabi saw: “Diperkenalkan
kebenaran kepada ahlinya !”. Tatkala turun ayat suci, yang menerangkan
terlepasnya ‘Aisyah daripada berita palsu, maka berkata Abu Bakar ra kepada
‘Aisyah: “Bangunlah dan peluklah kepala Rasulullah saw !”. Maka menjawab
‘Aisyah: “Demi Allah, aku tidak mau dan aku tidak memujikan, selain Allah !”.
Lalu menjawab Nabi saw: “Biarkanlah dia, wahai Abu Bakar !”. Pada riwayat lain,
tersebut, bahwa ‘Aisyah berkata kepada Abu Bakar ra: “Dengan memujikan Allah,
tidak dengan memujikan engkau dan sahabat engkau !”. Maka Rasulullah saw tidak
membantah yang demikian, sedang wahyu itu sampai kepada ‘Aisyah dengan perantaraan
lisan Rasulullah saw. Memandang segala sesuatu, selain daripada Allah swt,
adalah sifat orang-orang kafir. Berfirman Allah Ta’ala: “Ketika disebut Allah
saja sendirian, amatlah kesal hati orang-orang yang tiada mempercayai hari
kemudian itu. Tetapi ketika disebut (berhala-berhala) lain dari Tuhan, lihatlah
mereka amat gembira”. S 39 Az Zumar ayat 45. Dan siapa yang tiada bersih
bathinnya, daripada melihat perantara-perantara, kecuali dari segi sebagai
perantara saja, maka seakan-akan ia tiada terlepas bathinnya daripada syirik
yang tersembunyi. Hendaklah kiranya ia bertaqwa kepada Allah Ta’ala, pada
membersihkan tauhidnya dari segala kotoran dan campuran syirik.
4.
Hendaklah orang yang diberikan itu, menutup dan menyembunyikan hajat
keperluannya. Tidak membanyakkan cerita dan pengaduan. Atau ada dia orang yang
berpribadi, sebahagian dari orang yang telah hilang nikmat dari tangannya dan
masih tetap adat kebiasaannya yang baik, di mana ia meneruskan kehidupannya
dalam pakaian keelokan. Berfirman Allah Ta’ala: “Orang yang tidak tahu, mengira
bahwa mereka masih kaya, karena suci jiwanya (tidak mau minta-minta); kamu
kenal mereka dengan tanda-tandanya, mereka tidak mau meminta pada orang
berulang-ulang”. S 2 Al Baqarah ayat 273. Artinya: mereka tiada berulang-ulang
meminta, karena mereka adalah orang-orang kaya dengan keyakinan dan orang-orang
mulia dengan kesabaran. Dan ini, seyogyalah dicari dengan memeriksa dari
ahli-ahli agama pada tiap-tiap tempat. Dan menyelidiki tentang bathin keadaan
dari ahli-ahli kebajikan dan keelokan. Maka pahala menyerahkan pemberian
yang baik kepada mereka, adalah berlipat ganda daripada menyerahkan
kepada orang-orang yang berterang-terangan meminta.
5.
Hendaklah ada orang yang diberikan itu, berkeluarga banyak atau terkurung
disebabkan karena sakit ataupun sebab-sebab yang lain. Maka terdapatlah pada
orang yang tersebut tadi, maksud daripada firman Allah ‘Azza Wa Jalla:
“(Berikanlah sedekah itu) untuk orang-orang fakir, yang terkepung di jalan
Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 273. Artinya: mereka tertahan pada jalan akihrat,
disebabkan penyakit atau kesempitan hidup atau perbaikan hati. Mereka tidak
sanggup berjalan keliling negeri, karena mereka terpotong sayap dan terikat
kaki dan tangannya. Dengan sebab-sebab inilah Umar ra memberikan kepada
keluarga Nabi saw yang keputusan belanja, 10 ekor kambing dan lebih dari itu.
Dan adalah Nabi saw sendiri “memberikan sesuatu pemberian, menurut banyak
keluarga”. Ditanyakan Umar ra tentang bencana yang sungguh-sungguh, maka
menjawab Umar: “banyak keluarga dan sedikit harta”.
6.
Hendaklah ada yang menerima itu, sebahagian dari keluarga dan famili pihak ibu,
maka jadilah itu sedekah dan silaturrahmi. Dan pada silaturrahmi itu, terdapat
pahala yang tidak terhingga. Berkata Ali ra: “Adalah lebih aku sukai
menyambungkan silaturrahmi seseorang daripada saudaraku dengan satu dirham,
daripada bersedekah dengan 20 dirham. Dan menyambung silaturrahmi dengan 20
dirham, adalah lebih aku sukai daripada bersedekah sebanyak 100 dirham. Dan
menyambung silaturrahmi dengan 100 dirham, lebih aku sukai daripada aku
merdekakan seorang budak”. Teman-teman dan juga saudara-saudara pada jalan
kebajikan, didahulukan, dari segala orang yang berilmu pengetahuan, sebagaimana
didahulukan kaum keluarga dari orang-orang asing (yang bukan keluarga). Maka
hendaklah dijaga yang halus-halus ini !. Inilah sifat-sifat yang diminta dan
masing-masing sifat itu mempunyai tingkat. Maka seyogyalah dicari tingkat yang
tertinggi. Kalau diperoleh orang yang mengumpulkan sejumlah dari sifat-sifat
ini, maka adalah itu suatu simpanan besar dan rampasan agung. Manakala berusaha
sungguh-sungguh yang demikian dan benar (tidak salah), maka ia memperoleh dua
pahala. Dan jika salah, maka ia memperoleh satu pahala. Salah satu dari kedua
pahalanya, pada sekarang juga, yaitu mensucikan dirinya dari sifat kikir dan
menguatkan cinta kepada Allah dalam hatinya dan kesungguhannya mentaati Allah.
Dan sifat-sifat inilah yang menguatkan dalam hatinya, lalu merindukannya
berjumpa dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Pahala kedua, ialah yang kembali
kepadanya, daripada faedah doa dan cita-cita yang baik dari yang menerima
zakat. Hati orang-orang baik itu, mempunyai bekas sekarang dan di akhirat
nanti. Kalau benarlah ia, maka berhasillah dua pahala. Dan kalau salah, maka
berhasil pahala pertama, tidak pahala kedua. Maka dengan ini, berlipat gandalah
pahala orang yang memperoleh kebenaran pada ber-ijtihad di sini dan pada
tempat-tempat yang lain. Allah Yang Maha Tahu ! Wallaahu a’lam !.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan