PENJELASAN: tugas-tugas dari orang yang menerima
zakat.
Ada 5 perkara:
Pertama: hendaklah
diketahuinya, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla mewajibkan penyerahan zakat kepadanya,
adalah supaya mencukupi cita-cita dan seluruh cita-citanya menjadi satu. Karena
Allah ‘Azza Wa Jalla menerima ibadah makhlukNya, dengan adanya satu cita-cita
hati mereka, yaitu Allah swt dan hari akhirat. Dan itulah yang dimaksudkan
dengan firmanNya: Kuciptakan jin dan manusia itu, supaya mereka berbakti
(beribadah) kepadaKu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 56. Tetapi, tatkala hikmah
menghendaki, bahwa hamba itu dikuasai hawa nafsu dan hajat keperluannya, di
mana hawa nafsu dan hajat keperluan itu mencerai-beraikan cita-citanya, maka
kemurahan Tuhan menghendaki kelimpahan nikmat, yang mencukupkan segala hajat
keperluan. Lalu diperbanyakkanNya harta dan dituangkanNya ke dalam tangan
hamba-hambaNya. Untuk menjadi alat bagi mereka dalam menolakkan hajat
keperluannya dan menjadi jalan dalam menyelesaikan ketaatannya. Diantara
mereka, ada yang sebahagian besar dari hartanya, menjadi fitnah dan bencana,
lalu harta itu mendorongkannya ke dalam bahaya. Dan diantara mereka, ada yang
mencintai harta, yang dapat memeliharakannya daripada kesibukan duniawi,
sebagaimana seorang perawat memeliharakan orang sakit yang dirawatinya. Maka
terjauhlah dia daripada segala kejijikan duniawi dan mengalirlah kepadanya
harta sekedar yang diperlukan, dari tangan orang-orang kaya. Supaya adalah yang
demikian itu, usaha yang mudah. Dan payah pada mengumpulkan dan penjagaan harta
itu, adalah atas orang-orang kaya tersebut. Dan faedahnya menonjol kepada
orang-orang fakir, lalu fakir-fakir itu dapat menyerahkan seluruh jiwa raganya
berbakti kepada Allah dan bersedia untuk sesudah mati. Maka tidak terhalang
dari kebaktian oleh segala kejijikan duniawi dan tidak diganggu oleh kesempitan
hidup, daripada bersedia bagi hari kemudian. Inilah nikmat yang
setinggi-tingginya !. Maka hak orang fakir ialah, mengetahui tingkatnya nikmat
kefakiran. Dan meyakini bahwa kurnia Allah kepadanya, mengenai sesuatu yang
menjauhkannya daripadanya, adalah lebih banyak daripada kurniaNya mengenai
sesuatu yang dianugerahiNya, sebagaimana akan datang pembuktian dan
penjelasannya pada “Kitab Kefakiran” insya Allah Ta’ala. Maka hendaklah
diambilnya, apa yang diambilnya daripada Allah Ta’ala, sebagai rezeki dan
pertolongan baginya kepada taat. Dan hendaklah niatnya untuk memperoleh
kekuatan mentaati Allah. Kalau ia tidak sanggup kepada yang demikian, maka
hendaklah harta itu digunakannya kepada yang diperbolehkan oleh Allah ‘Azza Wa
Jalla. Kalau digunakannya untuk penolong berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala,
niscaya adalah ia orang yang kufur (tidak mensyukuri) akan segala nikmat Allah
‘Azza Wa Jalla berhak kejauhan dan kutukan daripada Allah swt.
Kedua: hendaklah
disyukurinya orang yang memberi, didoakan dan dipujikan. Syukur dan doanya itu,
hendaklah tidak keluar dari kedudukan si pemberi selaku perantaraan. Tetapi dia
adalah jalan sampainya nikmat Allah kepadanya. Dan jalan itu mempunyai hak, di
mana dia telah dijadikan Allah sebagai jalan dan perantaraan. Dan tidaklah ia
menghilangkan penglihatan nikmat daripada Allah swt. Bersabda Nabi saw: “Siapa
yang tidak mensyukuri manusia, niscaya ia tidak mensyukuri Allah”. Allah ‘Azza
Wa Jalla memujikan hambaNya pada beberapa tempat atas amal perbuatan mereka,
padahal Dia yang menjadikan dan yang menciptakan kudrat pada
perbuatan-perbuatan itu, seperti firmanNya: “Ia adalah seorang hamba Allah yang
amat baik ! sesungguhnya dia senantiasa kembali kepadaNya”. S 38 Shaad ayat 30.
Dan pada beberapa tempat yang lain. Hendaklah penerima zakat, mengucapkan dalam
doanya: “Disucikan Allah kiranya hatimu dalam hati orang-orang baik,
dibersihkan Allah amalanmu dalam amalan orang-orang pilihan dan diberikan Allah
rahmat kepada ruhmu dalam ruh orang-orang syahid”. Bersabda Nabi saw: “Siapa
yang menyerahkan kepadamu sesuatu pemberian yang baik, maka balaskanlah
pemberian itu ! jikalau kamu sanggup, maka berdoalah kepadanya, sehingga kamu
mengetahui, bahwa kamu telah membalaskan pemberiannya”. Setengah daripada
kesempurnaan syukur, ialah menutupkan kekurangan yang ada pada pemberian, kalau
ada padanya kekurangan. Dan tidak menghina dan mencaci akan pemberian itu. Dan
tidak diberi malu orang yang diminta, apabila ia tidak memberi. Dan hendaklah
memandang besar perbuatan dari orang yang memberi itu, kepada dirinya dan kepada
orang lain. Tugas si pemberi, ialah memandang kecil amalan yang dikerjakannya.
Dan tugas si penerima, ialah mengingati nikmat yang diperolehnya dan hendaklah
memandangnya besar. Masing-masing hamba Allah itu, hendaklah berdiri pada hak
kewajibannya. Dan yang demikian itu, tidak ada padanya pertentangan. Karena
yang mewajibkan untuk memandang kecil dan besar adalah bertentangan. Yang
bermanfaat bagi si pemberi, ialah memperhatikan sebab-sebab yang membawa kecil
arti pemberiannya dan memberi melarat yang sebalik dari itu. Dan bagi yang
menerima adalah sebaliknya. Sehingga masing-masing, tidak berlawanan dengan
melihat nikmat itu daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Karena orang yang tidak
melihat perantaraan itu, sebagai perantaraan, adalah orang bodoh. Dan orang
yang mungkir, ialah orang yang tidak sekali-kali melihat perantaraan itu.
Ketiga: hendaklah
dilihatnya barang yang diambilnya itu. Kalau tidak dari yang halal, hendaklah
ia menjaga diri daripadanya. “Siapa yang takut (bertaqwa) kepada Allah, maka
Dia mengadakan untuk orang itu, jalan keluar (dari kesulitan). Dan memberikan
rezeki kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya”. S 65 Ath
Thalaaq ayat 2-3. Orang yang menjaga diri (wara’) dan yang haram, terbukalah
baginya yang halal. Dari itu, janganlah diterima harta orang-orang Turki,
tentara, pegawai-pegawai sultan dan orang-orang yang sebagian besar usahanya
dari haram. Kecuali kalau dia dalam keadaan yang sempit benar dan barang yang
diserahkan kepadanya, tidak diketahuinya, pemiliknya yang sebenarnya. Maka
dalam hal ini, ia boleh mengambil sekedar perlu saja. Karena fatwa dari
syari’at, dalam hal yang seperti ini, ialah boleh ia menerima sedekah,
berdasarkan kepada apa yang akan diterangkan nanti dalam “Kitab Halal dan
Haram”. Yaitu apabila ia telah lemah daripada memperoleh yang halal. Apabila
diambilnya pemberian tersebut, maka tidaklah pengambilan itu pengambilan zakat
namanya. Karena tidaklah menjadi zakat dari pembayarnya, dan harta itu haram.
Keempat: hendaklah
ia menjaga dari hal-hal yang meragukan dan menyangsikan tentang jumlah yang
diambilnya dari zakat. Janganlah ia mengambil, selain daripada jumlah yang
diperbolehkan. Dan tidak ia mengambilnya, kecuali apabila ia meyakini
benar-benar, bahwa ia termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Kalau
ia menerima zakat atas nama golongan mukatab/budak yang diberi kesempatan oleh
tuannya mencari harta untuk diserahkan kepada tuannya sebagai penebus dirinya
dari hamba sahaya dan gharim/orang yang berhutang, maka janganlah melebihi dari
sekedar hutang. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan bekerja pada zakat, maka
janganlah melebihi dari ongkos yang layak. Kalau diberikan lebih banyak dari
itu, hendaklah ia menolak dan tidak menerimanya. Karena bukanlah itu harta
kepunyaan si pemberi, sehingga ia boleh bersedekah begitu juga. Kalau ia
seorang musafir, janganlah melebihi daripada perbekalan dan ongkos kendaraan ke
tempat tujuannya. Kalau ia seorang pejuang di medan perang, janganlah ia
mengambil, selain daripada apa yang diperlukannya untuk berperang khususnya.
Yaitu: kuda, senjata dan belanja. Dan taksiran untuk itu, adalah dengan
taksiran yang sungguh-sungguh dan tak adalah baginya batas tertentu. Dan begitu
pula, perbekalan bagi musafir. Dan orang wara’, meninggalkan yang meragukan
kepada yang tidak meragukannya. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan
kemiskinan, maka hendaklah mula-mula ia memperhatikan kepada perabot rumahnya,
pakaiannya dan kitab-kitabnya. Adakah diantara barang-barang tersebut, yang
tidak diperlukannya ? atau tidak diperlukan atas kecantikannya, sehingga
mungkin diganti dengan barang lain yang memadai baginya dan melebihi sebahagian
harganya. Semuanya itu, memerlukan kepada pemikiran yang sungguh-sungguh. Ada
pada segi zhahir, di mana ia meyakini bahwa ia berhak dan segi lain yang
bertentangan dengan segi zhahir tadi, di mana ia meyakini bahwa ia tidak
berhak. Diantara kedua segi tersebut, terdapat beberapa hal yang
ditengah-tengah, yang serupa satu dengan lainnya. Dan siapa yang bermain-main
keliling barang yang terlarang, besar kemungkinan ia terjatuh ke dalamnya. Pada
zhahirnya, disini dipegang, adalah kepada perkataan si penerima zakat. Dan yang
berkepentingan, pada menentukan kepentingannya, mempunyai beberapa tingkatan,
tentang kesempitan dan kelapangannya. Dan tingkatan-tingkatan itu tidak
terhingga jumlahnya. Orang wara’, condong kepada kesempitan dan orang yang
menganggap enteng tentang sesuatu, condong kepada kelapangan. Sehingga ia
memandang dirinya memerlukan kepada bermacam-macam seni kelapangan, yaitu
hal-hal yang terkutuk pada agama. Kemudian, apabila telah tertentu
keperluannya, maka janganlah si penerima zakat itu, mengambil lebih banyak.
Tetapi sekedar yang mencukupkan kebutuhannya, dari waktu diambilnya sampai
kepada masa setahun. Inilah sejauh mungkin masa, yang diberi kesempatan
padanya, dari segi bahwa masa setahun, apabila berulang-ulang, niscaya
berulang-ulang pula sebab kemasukan uang. Dan dari segi bahwa Rasulullah saw
menyimpan untuk keluarganya makanan setahun. Inilah yang lebih mendekati kepada
kebenaran, batasan yang membatasi fakir dan miskin.
Kalau
disingkatkan kepada keperluannya untuk sebulan atau sehari, maka ini adalah
lebih mendekati kepada taqwa. Berbeda pendapat diantara beberapa madzhab dari
para ulama, tentang jumlah yang diambil menurut hukum zakat dan sedekah.
Diantaranya, ada yang bersangatan benar sedikitnya, kepada batas yang
mengharuskan, disingkatkan kepada sekadar makanan sehari-semalam dari si
penerima zakat itu. Golongan ini berpegang dengan apa yang diriwayatkan Sahl
bin Al-Handhaliah, bahwa: “Nabi saw melarang meminta-minta dalam keadaan kaya”.
Lalu ditanyakan kepada Nabi saw tentang kaya itu, maka beliau menjawab:
“Mencukupi untuk pagi dan sore”. Berkata golongan lain, boleh si penerima zakat
itu mengambil sampai kepada batas kaya. Batas kaya, ialah nishab zakat, karena
Allah Ta’ala tidak mewajibkan zakat, selain atas orang-orang kaya. Seterusnya,
golongan ini mengatakan, bahwa si penerima zakat boleh mengambil untuk dirinya
sendiri dan untuk masing-masing dari keluarganya, sebanyak nishab zakat.
Berkata golongan lain pula, bahwa batas kaya, ialah 50 dirham atau nilainya
dengan emas, karena diriwayatkan Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa
yang meminta-minta, sedang ia mempunyai harta yang menjadikan ia kaya, niscaya
ia datang pada hari qiamat dan pada mukanya penuh dengan luka yang
digaruk-garuk”. Maka ditanyakan Nabi saw: “Bagaimanakah kayanya itu ?”. Lalu
Nabi saw menjawab: “50 dirham atau nilainya dari emas”. Ada yang mengatakan,
bahwa perawi hadits tadi, tidak kuat. Berkata suatu golongan, 40 dirham, karena
diriwayatkan oleh ‘Atha bin Yassar suatu hadits munqathi’ (hadits yang putus
riwayatnya antara perawi dan Nabi saw), bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa
meminta-minta, sedang dia mempunyai satu auqiah perak (40 dirham), maka adalah
dia memaksakan diri meminta yang tidak dibolehkan”. Segolongan lain lagi,
terlalu benar memberi kelapangan, dimana mereka mengatakan: “Boleh bagi si
penerima zakat mengambil suatu jumlah, yang dapat dibelikannya suatu benda.
Lalu ia merasa cukup dengan benda itu seumur hidupnya. Atau ia menyediakan
suatu barang untuk diperniagakannya.
Dan ia
merasa cukup dengan barang itu seumur hidupnya, karena inilah yang bernama
kaya”. Berkata Umar ra: “Apabila kamu memberi, maka kayakanlah orang diberikan
itu !”. Sehingga segolongan berpendapat, bahwa seorang yang fakir, boleh
mengambil jumlah yang membawa ia kepada keadaan yang layak, walau 10 ribu
dirham. Kecuali apabila ia telah keluar dari batas sederhana. Tatkala Abu
Thalhah sibuk dengan kebunnya, sampai tertinggal shalat, lalu ia berkata: “Aku
serahkan kebun ini untuk sedekah !”. Maka Nabi saw berkata: “Serahkanlah kebun
itu kepada kerabatmu. Itu adalah lebih baik bagimu !”. Lalu Abu Thalhah
menyerahkannya kepada Hasan dan Abu Qatadah. Maka sebuah kebun kurma bagi dua
orang, adalah banyak, sehingga tidak memerlukan kepada yang lain. Umar ra
menyerahkan kepada seorang Arab kampung, seekor unta betina serta dengan
anaknya. Demikianlah diceritakan tentang memberikan kelapangan pada bersedekah
itu. Adapun menyedikitkan sampai kepada makanan sehari atau sebahagian dari
sekati makanan, maka itu datangnya, mengenai tidak disukai meminta-minta dan
bulak-balik dari pintu ke pintu rumah orang. Hal yang seperti itu ditantang
benar-benar dan mempunyai kedudukan hukum yang lain. Bahkan; membolehkan,
sampai dapat dibelikannya suatu benda, di mana ia merasa cukup dengan benda
itu, adalah lebih mendekati kepada suatu kemungkinan dan juga lebih condong
kepada keroyalan. Yang lebih mendekati kepada kesederhanaan, ialah mencukupi
setahun. Dan dibalik itu, adalah membahayakan. Sedang kurang dari itu, adalah
menyempitkan. Segala persoalan ini, apabila tak ada padanya penentuan sesuatu
bahagian dengan tauqif (penentuan yang datang dari Nabi saw), maka tidaklah
bagi orang mujtahid, selain dairpada menetapkan hukum dengan apa yang terjadi
baginya. Kemudian dikatakan kepada orang yang wara’: “Mintalah fatwa kepada
hatimu, walaupun mereka telah berfatwa kepadamu dan mereka telah berfatwa
kepadamu”, sebagaimana telah disabdakan Nabi saw. Karena dosa itu adalah suatu
penyakit hati. Dari itu, apabila yang menerima zakat, memperoleh sesuatu pada
dirinya, dari apa yang diambilnya itu, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
padanya dan janganlah memandang enteng, karena berdalilkan dengan fatwa dari
ulama-ulama zhahir. Fatwa mereka mempunyai beberapa ikatan dan melepaskan dari
hal-hal yang dlarurat. Pada fatwa itu, terdapat dugaan-dugaan dan
perbuatan-perbuatan yang meragukan. Dan menjaga dari hal-hal yang meragukan
itu, adalah sifat dari orang-orang yang beragama, dan kebiasaan dari
orang-orang yang berjalan ke jalan akhirat.
Kelima: hendaklah
yang menerima zakat, bertanya kepada pemilik harta, berapa jumlah zakat yang
diwajibkan ke atas pundaknya. Kalau ada yang diserahkannya, di atas harga yang
seharusnya, maka janganlah diambilnya. Karena dia tidak berhak bersama
kongsinya, melainkan harga yang pantas. Maka hendaklah dikurangkannya dari
harga itu, sebanyak apa yang diserahkan kepada dua orang daripada golongannya
yang menerima zakat. Pertanyaan yang dimajukan kepada pemilik harta tadi,
adalah wajib atas kebanyakan orang, karena mereka tiada menjaga pembahagian
itu, adakalanya karena kebodohan dan adakalanya karena memandang enteng. Dan
baru boleh meninggalkan pertanyaan dari persoalan-persoalan yang seperti ini,
apabila tidak menimbulkan keras dugaan, kemungkinan haram padanya. Dan akan
datang uraian tentang tempat-tempat yang menimbulkan dugaan pertanyaan dan
tingkat kemungkinan, pada “Kitab Halal dan Haram”. Insya Allah Ta’ala.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan