SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Banyak firman Allah s.w.t. berkaitan dengan keharusan untuk mengenal ni‘mat-Nya. Di antaranya adalah:
وَ لَقَدْ كَرَّمْنَا
بَنِيْ آدَمَ وَ حَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ رَزَقْنَاهُمْ مِّنَ
الطَّيِّبَاتِ
“Sesungguhnya Kami telah mememuliakan
anak Ādam dan membawa mereka di daratan dan
lautan. Mereka diberi rezeki oleh Kami dengan yang baik-baik dan diberikan
kelebihan yang sempurna daripada kebanyakan makhlūq lainnya.” (al-Isrā’
17: 70)
وَ إِنْ
تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللهِ لَا تُحْصُوْهَا
“Dan seandainya kalian mengira-ngira
ni‘mat pemberian Allah, niscaya tidak akan sanggup menghitungnya.” (Ibrāhīm 14: 34)
اذْكُرُوْا
نِعْمَتِيَ الَّتِيْ أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ
“Ingatlah kalian semua akan ni‘mat
yang telah Aku berikan kepada kalian.” (al-Baqarah 2: 40).
Apabila
seorang hamba tersadar dari kekhilafannya, maka ia akan berfikir dan meneliti
segala ni‘mat yang telah dikaruniakan Allah padanya sambil terus
menghitung-hitungnya, baik yang lama maupun yang baru. Yang dimaksud dengan
ni‘mat-ni‘mat Allah yang lama adalah yang berupa karunia pemberian-Nya di saat kamu
belum menjadi apa-apa dengan menggolongkanmu dalam kelompok ahli tauḥīd dan menjadikanmu
beriman dan mengenal Dzāt-Nya yang mulia.
Dia telah menetapkan namamu dengan Qalam di Lauḥ Maḥfūzh sebagai seorang Muslim, pada hal telah
banyak manusia dari waktu yang lampau yang dibinasakan oleh-Nya, dan kamu
justru dimasukkan ke dalam golongan minoritas dari orang yang beriman dan
selamat. Setelah itu, kamu dimasukkan dalam suatu umat yang menjadi sebaik-baiknya
umat, menganut satu agama yang paling mulia, dan menjadi umat kekasih-Nya,
yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. Kemudian
Dia memberimu hidāyah untuk terus
berpegang pada sunnah Nabi, dan memberimu petunjuk dengan syarī‘at-Nya,
serta menjauhkanmu dari kesesatan hawa nafsu. Lalu, Dia memeliharamu, membelamu
dan memberimu makanan serta minuman hingga kamu bisa tumbuh berkembang dan
mewajibkanmu dengan hukum-hukumNya.
Akan
tetapi, sayangnya, kamu justru membalasnya dengan tidak baik. Air susu dibalas
dengan tuba. Kamu mengingkari segala ni‘mat-Nya, lalai memelihara wasiat-Nya,
dan bahkan membiarkan dirimu dikendalikan hawa nafsu sepanjang waktu. Meski
demikian, Allah tetap tidak membalas kejahatanmu dengan kejahatan serupa, malah
Dia menutupinya, memaafkannya, dan juga masih menyayangimu.
Sesudah
itu, Dia masih tetap menunjukkan kasih-Nya terhadapmu, meskipun kamu
bergelimang dosa, dengan cara memberi kesadaran atas kelalaianmu. Lalu, Dia
mengingatkanmu akan banyaknya ketaatan yang masih belum kamu tunaikan dan masih
terus memberimu peluang untuk kembali dan bertaubat kepada-Nya, hingga kamu
diletakkan di tempat yang paling baik dan diridai-Nya.
Oleh
karena itu, kamu wajib bersyukur kepadap-Nya sebanyak yang kamu bisa, meski
jumlah ni‘mat Allah tidak akan bisa terhitung banyaknya. Yang pasti, kamu mesti
mensyukuri-Nya! Dengam demikian, kamu harus mengenal bentuk-bentuk bersyukur dan
cara-cara melaksanakannya.
Cara Bersyukur
Cara
mensyukuri ni‘mat Allah s.w.t. terbagi atas tiga macam:
(1).
Syukur dengan hati.
(2). Syukur dengan lisan.
(3). Syukur dengan badan.
Yang
dimaksud syukur dengan hati adalah kamu mengetahui dan menyadari bahwasanya
semua ni‘mat pada dasarnya datang hanya dari Allah s.w.t, bukan dari
selain-Nya. Sedangkan arti syukur dengan lisan adalah mengucapkan pujian dan
terima kasih kepada-Nya seraya menunjukkan segala karunia-Nya dan
menyebut-nyebut kebaikan-Nya. Ada pun yang dimaksud syukur dengan badan adalah
tidak menggunakan salah satu anggota tubuh melakukan maksiat, melainkan
digunakan untuk berbakti dan mengerjakan ‘ibādah hanya kepada Allah s.w.t. Sebab, semua
anggota tubuh itu diberikan oleh Allah s.w.t., lalu dipelihara-Nya dalam
kondisi yang baik dan sehat, maka apakah wajar jika kemudian kamu
menggunakannya justru untuk melanggar perintah-Nya?
Demikian
pula terhadap segala harta kekayaan dunia yang dikaruniakan Allah kepadamu,
hendaklah digunakan untuk menolongmu dalam berbakti kepada-Nya. Jangan kamu
gunakan dalam perkara yang salah atau pun batil. Dan jangan pula dalam perkara
yang tidak mempunyai manfaat. Semestinya, kamu menggunakannya dalam pengabdian
yang akan menarik ridhā Allah s.w.t.
Selain itu, kamu harus ber‘amal sebanyak mungkin dan ber‘ibādah sekuat tenaga,
sebagai tanda syukurmu atas ni‘mat-Nya.
Karena
itu, pernah diriwayatkan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. sering bangun malam untuk melaksanakan
salat sunnah hingga membuat kedua tumitnya menjadi bengkak. Ketika para sahabat
bertanya: “Wahai Rasūlullāh! Mengapa sampai
begini keras anda beribadah? Bukankah Allah telah mengampuni segala dosamu?”
“Jika demikian, bukankah aku justru lebih patut untuk menjadi seorang hamba
yang banyak bersyukur!” jawab Rasūlullāh s.a.w. Hal ini sesuai dengan beberapa
firman Allah s.w.t.:
اعْمَلُوْا
آلَ دَاودَ شُكْرًا
“Bekerjalah (ber‘amallah), wahai
keluarga Dāūd sebagai tanda
kesyukuran.” (Saba’ [34]: 13)
لَئِنْ شَكَرْتُمْ
لَأَزِيْدَنَّكُمْ
“Seandainya kalian bersyukur, niscaya
akan Aku tambahkan.” (Ibrāhīm [14]: 7)
Apabila
seorang hamba telah mencapai puncak syukur kepada Allah s.w.t., niscaya ia akan
sungguh-sungguh merenungkan dirinya. Dengan demikian, pada dasarnya, syukur
atas berbagai ni‘mat yang dikaruniakan Allah s.w.t., adalah bagian dari nikmat
itu sendiri. Oleh karena itu, wajar jika kemudian ia mensyukurinya pula, karena
Allah telah menjadikannya sebagai orang yang tahu berbalas budi, sehingga ia
digolongkan ke dalam kategori hamba-hamba Allah yang bersyukur. Dan perbuatan
yang demikian itu disebut “syukur di atas syukur”. Dan jika ia terus-menerus
merenungkannya, maka limpahan karunia Allah s.w.t. akan senantiasa
membanjirinya dengan membawa banyak kebajikan dan kemuliaan.
Konon
pernah diceritakan bahwa dalam salah satu munajatnya kepada Allah s.w.t., Nabi
Mūsā a.s. berkata: “Ya Tuhanku! Engkau telah memerintahkanku agar menyukuri
ni‘mat-Mu, tapi syukur atas ni‘mat-Mu juga merupakan bagian dari ni‘mat-ni‘matMu
pula!” Maka Allah s.w.t. pun mengirim wahyu kepadanya: “Sebenarnya
engkau telah bertambah ilmu, karena sudah mengetahui bahwa perbuatanmu itu
bersumber dari karunia-Ku. Karena itu, maka engkau bersyukur pula kepada-Ku.”
Sementara
itu, ‘Umar Ibn ‘Abd-il-‘Azīz
r.a. telah berkata: “Menyebut-nyebut anugerah ni‘mat
Allah termasuk bentuk pengungkapan rasa syukur, sebab hal itu menunjukkan rasa
cinta terhadap si Pemberi ni‘mat, yaitu Allah s.w.t.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan