SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Diriwayatkan dari Nabi Muḥammad s.a.w. bahwasanya beliau bersabda:
الْحَيَاءُ
مِنَ الإِيْمَانِ
“Malu adalah sebagian dari
iman.” (H.R. Muslim dan at-Tirmidzī).
الْحَيَاءُ
خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu adalah segala kebaikan.”
(H.R. Muslim dan Abū Dāūd).
اِسْتَحْيُوْا
مِنَ اللهَ حَقَّ الْحَيَاءِ مَنِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَ مَا حَوَى وَ الْبَطَنَ وَ مَا وَعَى وَلْيَذْكُرِ
الْمَقَابِرَ وَ الْبَلَى وَ مَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا
“Malu kepada Allah s.w.t.
adalah sebenar-benarnya rasa malu. Barang siapa yang mengaku malu hanya kepada
Allah semata, hendaklah ia memelihara kepala dan fikirannya, perut dan
makanannya, serta kubur dan siksanya. Dan barang siapa yang menginginkan.
Akhirat, hendaklah ia meninggalkan segala keindahan dunia.”
اِسْتَحِ
مِنَ اللهِ كَمَا تَسْتَحِيْ مِنْ رَجُلٍ صَالِحٍ مِنْ قَوْمِكَ
“Malulah kepada Allah,
sebagaimana kamu malu kepada orang shāliḥ dari
kaummu.”
(301)
Diceritakan,
suatu waktu pernah ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasūlullāh: “Wahai,
Rasūlullāh! Di tempat mana
kami harus menutup aurat dan di tempat mana tidak perlu menutupnya?” “Tutup auratmu, kecuali di
hadapan istri dan hamba wanitamu.” jawab Rasūlullāh: “Jika
kita duduk sendirian?” buru si sahabat: “Allah-lah Dzāt yang
lebih patut untuk kamu malu kepada-Nya.” jawab Rasūl.
Karena itu,
Sayyidinā Abū Bakar r.a.
senantiasa menutup kepalanya setiap kali masuk ke kamar mandi: “Aku malu kepada Tuhanku,” demikian katanya.
Semua ini
menunjukkan bahwa Allah s.w.t. adalah meliputi semua manusia. Dan karena itu,
orang yang benar-benar merasa malu terhadap Allah s.w.t., akan percaya dan
yakin bahwa Dia senantiasa melihat dan menelitinya dalam segala kondisi.
T: “Faktor
apa saja yang bisa menumbuhkan rasa malu kepada Allah s.w.t.?”
J: “Ada
tiga hal yang mampu menimbulkan sifat malu. Pertama, senantiasa mengingat banyaknya kebaikan
dan anugerah dari Allah s.w.t., meski tidak banyak disyukuri, dan bahkan banyak
perbuatan jahat yang dilakukan kepada-Nya. Kedua, menyadari bahwa Allah s.w.t. selalu
mengawasi segala gerak-gerik hamba-Nya. Ketiga,
selalu mengingat bahwa kelak akan ditanya tentang segala perbuatan di dunia di
hadapan-Nya.
T: “Faktor
apa yang bisa mempertahankan dan mengukuhkan sifat malu?”
J:
“Faktornya adalah rasa takut kepada Allah s.w.t., sehingga jika muncul hawa
keinginan liar, maka hati akan menjadi gemetar dan merasa khawatir kalau hal
itu diketahui Allah s.w.t. Karena itu, langgengkanlah sifat malu kepada Allah
s.w.t., sebab apabila ia sudah tertanam dalam hati, niscaya akan terus
bertambah dari waktu ke waktu.” (312).
T: “Apa
faktor yang bisa menimbulkan sifat malu?”
J: “Rasa
bimbang bahwa Allah s.w.t. akan meninggalkan, mengutuk, dan tidak meridai
segala amalan kita.”
T: “Faktor
apa yang bisa mempengaruhi hati seorang hamba untuk mau menyimpan sifat malu
kepada Allah s.w.t.?”
J:
“Manakala ia bisa menganggap agung segala perkara yang dilihatnya, sehingga
hatinya akan langsung membesarkan Allah s.w.t. dan takut serta malu
kepada-Nya.”
T: “Apa
indikasi telah tertanamnya rasa takut dalam hati seorang ‘Ārif billāh?”
J: “Jika
ia berpandangan bahwa seekor ular sama bernilainya dengan seekor lalat.”
T: “Apa
yang menyebabkan sifat malu menjadi berkurang?”
J: “Dengan
tidak memperhitungkan pahala dari ‘amal perbuatannya dan tidak menjauhi sifat
wara‘.
T: “Apa
yang harus dilakukan oleh seorang pemalu?”
J:
“Membiasakan khusyū‘,
rendah hati, menundukkan kepala, menjaga pandangan, tidak selalu mengangkat kepala
ke langit, sedikit berbicara, takut terlihat aurat dalam kamar mandi,
meninggalkan senda gurau dan tertawa, dan malu ketika akan melakukan perkara
yang diharuskan oleh Allah s.w.t.. yaitu menggauli isteri dan apalagi jika
melakukan sesuatu yang salah dan dilarang oleh Allah s.w.t.”
Tingkat
malu setiap manusia kepada Allah s.w.t. berbeda satu sama lain bergantung pada
kedekatan Allah kepada diri mereka dan kedekatan mereka kepada Allah s.w.t.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan