SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Allah s.w.t. telah menghinakan dunia, dan bahkan menamainya dengan pelbagai sebutan yang belum pernah diberikan kepada manusia. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Allah s.w.t. dalam firman-Nya beriku ini:
اعْلَمُوْا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَ لَهْوٌ وَ زِينَةٌ وَ تَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَ تَكَاثُرٌ فِي الأَمْوَالِ وَ الأَوْلاَدِ
“Ketahuilah oleh kalian! Bahwa
kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda-gurau, hiasan, dan
bermegah-megahan di antara sesama, dan juga arena berlomba mengumpulkan harta
kekayaan dan anak-anak….”
(al-Ḥadīd 57: 20).
Dengan
demikian, bukankah orang yang mempunyai pemikiran yang sehat semestinya harus
merasa malu di hadapan Allah s.w.t., manakala Dia melihat dirinya sedang
bersuka-cita dalam permainan dunia yang penuh tipu daya? Oleh karena itu, orang
yang hatinya telah dipenuhi oleh cahaya kebijakan akan mampu menyimpulkan bahwa
dunia adalah hawa nafsu dengan segala hasratnya. Kesimpulan ini dikuatkan pula
dengan adanya bukti dari firman Allah s.w.t. berikut ini:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَ الْبَنِينَ وَ الْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ وَ الْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَ الأَنْعَامِ وَ الْحَرْثِ ذلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berkeinginan:
cinta syahwat terhadap wanita, anak-pinak, kekayaan yang melimpah ruah dari
emas-emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Semuanya
adalah sekelumit kesenangan hidup di dunia.” (Āli ‘Imrān 3: 14)
Segala
yang disebutkan dalam firman Allah s.w.t. di atas merupakan perkara-perkara
yang ingin dicicipi dan dinikmati oleh hawa nafsu, sehingga ia akan lalai dari
mengingat Akhirat dan ancamannya. Namun sebaliknya, apabila ada seorang hamba
yang dapat menjauhi apa-apa yang diinginkan oleh hawa nafsu, niscaya ia pun
akan mampu meninggalkan dunia.
Selain
itu, terkadang ada pula seorang hamba fakir, yang tidak mempunyai apa-apa,
senantiasa berharap akan memperoleh kemewahan dunia dan sangat ingin
menikmatinya. Bahkan, kerap kali mengatakan, kalau bisa memperoleh apa-apa yang
dicita-citakannya tersebut, niscaya ia akan memuaskan hawa nafsunya. Oleh
karena itu, orang yang semacam ini bisa pula dikatakan sebagai orang yang
mencintai dunia juga, meski ia akan menerima perhitungan (ḥisāb) yang lebih
ringan dibandingkan dengan orang-orang yang sudah memperoleh kemewahan dunia
dan meni‘mati kelezatannya.
Tingkatan Zuhud
Zuhud
mempunyai beberapa tingkatan. Tingkatan pertama dan yang paling utama adalah
zuhud dari memperturutkan keinginan hawa nafsu. Jika seorang hamba telah bisa
menundukkan hawa nafsunya, niscaya ia tidak akan merasa keberatan dalam
melaksanakan (‘ibādah) di kala siang
mau pun malam. Dan jika jiwanya telah benar-benar mencintai Allah s.w.t., maka
ia tidak akan merasa kesulitan untuk melawan dan mengekang kemauan hawa
nafsunya. Baik dari mencari keinginan hawa nafsu, keni‘matan hidup, atau pun
bergaul dengan teman-temannya yang lalai dan yang tenggelam dalam lautan
kehendak hawa nafsu. (161)
Sebab ia
menyadari bahwa malapetaka terbesar bagi seorang hamba adalah bersahabat dengan
orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, seyogianya ia hanya
mengambil yang secukupnya saja dari persoalan makanan, minuman, pakaian, rumah
tangga, tidur, bicara, mendengar, meninggalkan angan-angan, serta menjauhkan
diri dari keindahan dunia. Sebab hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ
“Dunia itu serba enak dan
sangat memikat.”
Mengacu
pada keterangan hadis di atas, seorang hamba semestinya selalu ingat bahwa
dunia akan lenyap dan binasa. Karena itu, cita-cita dan harapannya akan
kemewahan dunia adalah kecil. Dan bahkan sebaliknya, ia senantiasa mengingat
kematian, dan bahwa kematian itu akan datang menjemputnya, sehingga ia
senantiasa menyiapkan diri untuk kebahagiaan Akhirat dan menanti penuh harapan
akan waktu kepindahannya ke Akhirat, negerinya yang abadi. Jika sudah mengingat
semua ini, niscaya ia akan terus-menerus ber‘ibādah dengan bersungguh-sungguh. Oleh karena
itu, ia harus menjauhi keinginan bersenang-senang dan selalu memikirkan
persediaan untuk kehidupan di Akhirat serta bersungguh-sungguh dalam ber‘ibādah. Dan inilah
yang disebut sebagai zuhud tingkat pertama.
Makna Zuhud
Sufyān ats-Tsaurī, Waqī‘
Ibn al-Jarrāḥ, dan Aḥmad Ibn Ḥanbal r.a. telah
berkata, bahwa ma‘na zuhud yang sejati adalah tidak
berpanjang angan-angan (thūl-ul-āmāl). Ujaran tersebut
sesuai dengan yang dikatakan para waskita,
bahwa barang siapa yang pendek angan dan cita-cita, niscaya tidak akan mampu
merasakan keni‘matan hidup di dunia. Sebab, ia akan senantiasa sadar, dan tidak
akan pernah lalai apalagi alpa. Dan menurut sebagian ‘ulamā’
yang lain, orang yang berzuhud dari masalah dunia berarti mencintai Akhirat,
sebab ia telah melihat Akhirat dengan segala kondisinya seolah-olah berada di
hadapannya. Ia seolah-olah telah dapat melihat siksa dan pahala, dan karena itu
ia menjauhi dunia.
Suatu kali
pernah diriwayatkan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. pernah bertanya kepada Ḥāritsah: “Bagaimana kondisimu hari
ini, wahai Ḥāritsah?” Sebagai
seorang Mu’min, wahai Rasūl,” jawab Ḥāritsah. “Apa hakikat imanmu?”
tanya Rasūl lebih lanjut. Ḥāritsah menjawab: “Saya telah
menjauhi dunia. Buktinya, saya berpuasa di siang hari dan berjaga di malamnya.
Sekarang, saya seolah-olah bisa melihat Singgasana Allah dengan jelas; bisa
melihat penghuni Surga yang sedang bersenang-senang; dan melihat penghuni
Neraka yang menjerit meminta pertolongan.” Mendengar jawaban Ḥāritsah,
maka Nabi pun bersabda: “Jawabanmu
benar, seorang Mu’min adalah orang yang hatinya telah diberi cahaya oleh Allah.
Karena itu, teruskanlah ‘amal perbuatanmu itu.”
Sebagian
‘ulamā’
berkata: “Hakikat zuhud adalah menyingkirkan semua keni‘matan dunia dan qalbu.”
Dengan demikian, zuhud dari masalah dunia sangatlah rumit dan tidak bisa
dianggap ringan. Karena itu, kezuhudan seorang hamba bergantung pada kadar
pengenalan dan pengetahuannya akan Allah s.w.t., sehingga barang siapa yang
menjauhkan hatinya dari keni‘matan dunia, ia pun bisa dikatakan sebagai orang
yang telah mengenal zuhud. Dan sebaliknya, barang siapa yang mengikuti hawa
nafsunya dan tidak mampu menahan segala kemauannya, maka ia belum bisa
dikatakan telah menjauhi dunia dan mencintai Akhirat. Sementara itu, menurut
sebagian ‘ulamā’
yang lain, seorang zāhid sejati adalah
orang yang tidak pernah mencela dunia dan tidak pula memujinya. Bila dunia
datang, ia tidak bergembira, dan bila dunia pergi, ia tidak merasa berduka
cita. (172)
Dan
menurut para wali – semoga Allah senantiasa mengasihi mereka semua, sebagaimana
yang dikutip oleh Abū Sa‘īd, seorang manusia
tidak bisa dikatakan sebagai seorang zāhid yang
sempurna, manakala ia belum bisa memandang batu dan emas sebagai barang yang
sama-sama tidak berharga baginya. Karena batu dan emas tidak akan bisa dianggap
sama tidak bernilainya, sebelum ia memperoleh suatu “anugerah” dari Allah
s.w.t., yang dengan “anugerah” tersebut ia bisa menjadikan batu menjadi emas.
Dan apabila seorang hamba telah mencapai tingkat ini, maka dengan sendirinya
kenikmatan dunia akan tersingkir dari lubuk hatinya. Dan konon, setelah
wafatnya Rasūlullāh s.a.w. belum ada
seorang sahabat pun yang bisa sampai pada derajat zuhud ini, kecuali Abū Bakar ash-Shiddīq r.a.
T: “Untuk
tujuan apa seorang hamba harus berzuhud dari urusan dunia?”
J: “Ada
banyak tujuan yang bisa ditempuh oleh seorang hamba,” jawab beliau: “Di
antaranya adalah untuk mengosongkan hati dari segala usaha dan kerja dunia, dan
mengisinya dengan keinginan untuk selalu menaati Allah s.w.t., mengingat-Nya
serta beramal semata karena-Nya, sehingga Allah s.w.t. akan mencukupi segala
kebutuhan hidupnya dengan tidak perlu bersusah-payah.” Hal ini, sebagaimana
yang disebutkan dalam hadits Nabi s.a.w.:
مَنْ جَعَلَ الْهَمَّ هَمًّا وَاحِدًا كَفَاهُ اللهُ سَائِرَ هُمُوْمِهِ
“Barang siapa yang
menjadikan tujuannya hanya kepada Allah semata, niscaya Allah akan memenuhi
segala kebutuhan yang lainnya.”
Dan pernah
juga disebutkan bahwa Nabi ‘Īsā a.s. pernah berwasiat
kepada para sahabatnya: “Aku pesankan kepada kalian semua untuk berlaku ikhlas
dan jangan mencintai dunia. Sebab cinta dunia adalah induk dari segala dosa.
Dan ingatlah! Dalam harta dunia itu terdapat banyak penyakit” Mendengar hal
itu, maka para sahabatnya bertanya: “Wahai utusan Allah! Adakah obat
penawarnya?” Nabi ‘Īsā menjawab: “Jangan
turuti kehendaknya.” “Jika kami
mengikutinya?” ucap mereka kembali bertanya: “Nanti
akan timbul perasaan bangga dan sombong akan keni‘matan dunia.” Jawab Nabi ‘Īsā a.s. “Jika tidak
sampai timbul rasa bangga dan kesombongan?” ujar mereka lagi. “Kelak ia akan
menjauhkan kalian dari laku berdzikir kepada Allah s.w.t.” jawab Nabi ‘Īsā a.s.
Di samping
itu, ada juga orang yang berzuhud bertujuan untuk meringankan tanggung jawabnya
di Akhirat dan dapat meniti jembatan (ash-Shirāth) dengan segera, di
kala orang-orang yang lainnya dikumpulkan untuk diperiksa dan diteliti tentang
pelbagai harta kekayaannya.
Karena
itu, pernah diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwasanya Nabi Muḥammad s.a.w. telah
bersabda: “Di Padang Maḥsyar aku melihat
para sahabatku sedang diperiksa, namun tidak tampak keberadaan ‘Abd-ur-Raḥmān Ibn ‘Auf
bersama mereka. Dan ketika kemudian ia tiba, aku bertanya: “Apa yang
menyebabkanmu tertahan? “Saya dihisab sesuai dengan kadar banyaknya harta milik
saya, sampai-sampai saya bermandikan peluh. Dan jika seandainya air peluh
tersebut diminum oleh tujuh ekor unta yang kehausan setelah memakan rumput yang
pahit, niscaya akan tetap masih meninggalkan sisa.” Jawab ‘Abd-ur-Raḥmān Ibn ‘Auf.
Dari
sumber lain, dikatakan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda: “Orang yang memiliki banyak
harta di dunia, di Hari Kiamat akan menjadi orang yang paling sedikit
memilikinya, kecuali yang menafkahkan hartanya dengan tanpa pandang bulu dan
penuh keikhlasan kepada hamba-hamba Allah.” (183) Selain itu, ada juga sabda
Nabi s.a.w. yang lainnya:
مَا مِنْ غَنِيٍّ وَ لاَ فَقِيْرٍ إِلاَّ وَدَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَّ اللهَ تَعَالَى كَانَ جَعَلَ رِزْقَهُ فِي الدُّنْيَا قُوْتًا
“Di Hari Kiamat, baik orang
kaya mau pun yang miskin akan sangat berharap bahwasanya Allah s.w.t. akan
memberikan rizki-Nya kepada mereka, meski hanya sekadar makanan pokok di dunia
saja.” (194)
Di samping
itu, dalam riwayat lain dari Abū
Dzarr al-Ghiffārī r.a. dikatakan
bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. telah
bersabda:
مَا يَسُرُّنِيْ أَنَّ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا أُنْفِقُهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى تَأْتِيْ عَلَيَّ ثَالِثَةٌ يَكُوْنُ مِنْهُ عِنْدِيْ شَيْءٌ إِلاَّ دِيْنَارٌ أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ
Tiada ulasan:
Catat Ulasan