SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Ada banyak firman Allah s.w.t. yang berkaitan dengan keharusan berlaku ridhā kepada Allah s.w.t. Di antaranya adalah:
فَلَا وَ
رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا
“Maka demi Tuhanmu! Mereka pada
hakikatnya belum beriman, sebelum mereka meminta keputusanmu dalam
perkara-perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak menaruh
keberatan di dalam hatinya terhadap keputusanmu itu, dan mereka menerima
sepenuhnya.”
(an-Nisā’:
65)
Dan
menurut sebagian ‘ulamā’,
Allah s.w.t. tidak menganggap mereka telah beriman selagi mereka tidak menerima
hukum yang diputuskan oleh Nabi mereka. Dan apalagi jika ada orang yang tidak
mau menerima hukum Allah s.w.t., tentunya ia sama sekali dianggap tidak
beriman.
T: “Apa
tanda ridhā di dalam hati? Apa
indikasinya?”
J:
“Kegembiraan hati dalam menerima pahit-getirnya keputusan Allah s.w.t. Dan
menurut sebagian ‘ulamā’,
indikasi ridhā adalah mampu
menyambut datangnya musibah dan bencana dengan harapan dan kegembiraan. Sebab
pernah pula diriwayatkan dari Anas Ibn Mālik r.a. bahwasanya ia pernah berkata: “Selama aku mengabdi kepada Nabi Muḥammad
s.a.w. belum pernah sekali pun beliau menegur atas apa yang aku lakukan.
Umpamanya mengatakan: mengapa engkau melakukan itu, atau mengapa engkau tidak
berbuat begini? Tapi yang biasa beliau katakan: “Begitulah
yang telah ditetapkan Tuhan, dan beginilah yang telah ditentukan Tuhan.”
‘Umar Ibn
al-Khaththāb r.a. pun pernah
berkata dalam hal ini. Yaitu: “Aku tidak pernah
menghiraukan kondisiku di waktu pagi ataupun petang, apakah sesuai dengan
harapanku atau justru sebaliknya. Sebab aku tidak pernah tahu kondisi mana yang
lebih baik buat diriku.”
Di samping
itu, beliau juga pernah berkata: “Jika menurutmu
sifat sabar dan syukur adalah bagaikan dua ekor unta, niscaya aku tidak akan
keberatan untuk mengendarai salah satu dari keduanya.” Ucapan ini dengan
sangat jelas menunjukkan bahwa ‘Umar Ibn al-Khaththāb r.a. telah merasa
ridhā dengan sepenuh
hati akan qadhā’
dan qadar Allah s.w.t. Karena, sifat sabar tidak bisa dilakukan, kecuali oleh
orang yang sudah merasa ridhā
atas ketentuan Allah yang buruk, sebagaimana sifat syukur itu tidak akan
terlaksana, kecuali terhadap sesuatu yang disukai oleh hati. Dan ketika beliau mengatakan:
“Aku tidak keberatan untuk mengendarai salah satu
dari keduanya,” maksudnya bahwa dua kendaraan tersebut bernilai sama
dalam pandanganmu.
Diriwayatkan
dari ‘Abdullāh Ibn Mas‘ūd r.a. bahwasanya
beliau berkata: “Selamat datang apa yang tidak aku sukai!”
Demi Allah, baik ia kaya mau pun miskin. Sungguh, pada keduanya terdapat
kewajiban yang harus ditunaikan. Jika kaya, ia harus menyayangi orang miskin.
Dan jika miskin, ia harus bersabar atas keputusan Tuhan.”
Dan ‘Umar
Ibn ‘Abd-il-‘Azīz r.a. pun pernah
berkata: “Setiap bangun pagi, ku akui bahwa diriku
tidak punya pilihan dalam segala urusan.” Ada pula ‘ulamā’
lain yang berkata: “Aku tidak akan pernah mempunyai suatu
keni‘matan pun, selain dari yang telah ditentukan oleh Allah.” Setelah itu ia
langsung minum racun. Dan ketika ditanya: “Apa yang engkau lakukan dengan racun
itu. Apakah berobat?” “Jika aku tahu bahwa penyakitku bisa sembuh dengan hanya
menyentuh hidung atau telingaku saja, niscaya aku tidak ingin menyentuhnya”,
jawabnya.
Berkaiatan
dengan hal ini, pernah pula Nabi Muḥammad s.a.w. berkata kepada Ibn Mas‘ūd r.a.: “Wahai anak hamba Allah!
Kamu jangan banyak berfikir, sebab apa-apa yang telah ditakdirkan-Nya pasti
akan terjadi. Dan makanlah apa-apa yang bisa engkau peroleh sebagai rezekimu.”
Diceritakan pula dalam sebuah kisah panjang antara Nabi Muḥammad s.a.w. dengan
Ibn ‘Abbās r.a., beliau berpesan: “Jika enkau bisa ber‘amal
dengan penuh keridhaan dan hati yang yakin, itulah yang dikehendaki. Tapi jika
tidak, bersabar atas apa yang dibenci juga mengandungi banyak kebaikan.”
Coba
renungkan pesan Nabi Muḥammad s.a.w. kepada
Ibn ‘Abbās tersebut. Bukankah beliau menyerunya supaya
berpegang pada kondisi yang paling tinggi di antara keduanya. Dan sebagian ahli
ḥikmah berkata:
“Jika seorang hamba telah sempurna memiliki sifat zuhud, tawakkal, cinta, yakin
dan malu, maka ketika itulah sifat ridhā telah sempurna menjadi miliknya.”
Demikian pula pendapat kami. Tapi yang biasa berlaku pada kebanyakan orang
adalah hanya mampu menampakkan keridhāan dalam beberapa kondisi saja, bergantung
pada kadar keimanan masing-masing lalu mereka kembali bersabar lagi.
Sebagian
‘ulamā’
lain, ada yang berkata: “Ridhā
adalah sifat yang sulit dipenuhi oleh manusia, jadi yang dituntut dari seorang
Mu’min adalah sifat sabar.” Mendengar ucapan demikian, saya langsung meminta
penjelasan beliau: “Bukankah orang yang ridhā itu adalah orang yang menyambut musibah
dan bencana dengan senyuman dan wajah yang gembira?!” “Seorang hamba yang telah
mempunyai cinta yang suci terhadap Allah s.w.t. akan mempunyai ikatan
keterkaitan dan penyerahan diri prasangka akan lenyap dari dalam hatinya dan
menjadikannya senang dan tenang untuk memilih Dzāt yang dicintainya serta tunduk di bawah
pengaturan-Nya sampai-sampai ia merasa bahwa eksistensi Allah s.w.t. selalu
bersamanya. Karena itu, maka hatinya selalu dilingkupi perasaan gembira,
ni‘mat, dan bahagia sehingga jiwanya bisa mengatasi segala macam musibah, bisa
menanggung pedihnya segala macam bencana dan bisa menahan pahitnya segala
perkara yagn dibencinya.” Ujar sang guru.
Dengan
demikian, musibah dan bencana, baginya, hanya tinggal nama saja, karena apabila
ia ditimpa oleh bencana, maka akan segera muncul dalam hatinya beberapa hal
yang mengagumkan. Yaitu, ia akan selalu merasa bahagia atas perhatian Allah
s.w.t. kepadanya dan menyadari bahwa Dia selalu melihat dan memperhatikannya,
terutama ketika ia sedang berada dalam kesusahan. Terkadang ia sadar bahwa
Allah s.w.t. selalu mengingat akan dirinya, dan karena itu ia dicoba dengan
kesusahan. Di samping itu, ia pun mempunyai keyakinan yang penuh bahwasanya
Allah s.w.t. tidak akan pernah mengabaikannya, meski Dzāt-Nya Maha Besar
dan Maha Tinggi, tapi Dia mengurusi dirinya yang kecil dan lemah dengan
menentukan apa yang baik dan berguna buat dirinya. Terkadang ia mengadu kepada
Allah bak pengaduan seorang kekasih kepada yang dicintainya; terkadang menangis
dan meratap; dan terkadang juga ia sangat berharap agar Allah melihatnya dengan
pandangan ridha dan tidak murka. (342) Bekaitan dengan hal ini, Allah
telah berfirman:
يَا
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً
مَّرْضِيَّةً. فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ. وَ ادْخُلِيْ جَنَّتِيْ
“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai. Maka, masuklah dalam golongan
hamba-Ku yang saleh dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (al-Fajr: 27-30)
Oleh
karena itu, orang yang pikirannya normal harus mencari keridhāan Allah s.w.t. di
dunia terlebih dahulu sebelum ke Akhirat, supaya bisa keluar dari dunia dalam
keadaan ridhā akan kondisinya
kelak di Akhirat. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam firman berikut:
رَّضِيَ
اللهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوْا عَنْهُ وَ أَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا
الأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا ذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Allah mencintai mereka, dan mereka
pun mencinta-Nya. Dan Allah menyediakan untuk mereka Surga yang banyak mengalir
sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang
gilang-gemilang.”
(at-Taubah:
100).
Demikian
penjelasan kami tentang sebagian sifat orang yang ridhā secara lahir. Dan
hanya kepada Allah, kami memohon taufīq.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan