SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Para ahli ḥikmah bersepakat bahwa rasa cinta berasal dari menyebut ni‘mat-ni‘mat Allah s.w.t. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muḥammad s.a.w. yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbās r.a.
أَحِبُّوا
اللهَ لِمَا يَغْذُوْكُمْ بِهِ مِنْ نِعْمَتِهِ وَ أَحِبُّوْانِيْ لِحُبِّ اللهِ
وَ أَحِبُّوْا أَهْلَ بَيْتِيْ لِحُبِّيْ.
“Cintailah Allah karena
apa-apa yang Dia karuniakan dari berbagai ni‘mat-Nya kepada kalian. Cintailah
aku karena sebab kecintaan kalian kepada Allah. Dan cintailah keluargaku karena
sebab kecintaan kalian kepadaku.”
Di samping
itu, ada juga firman Allah s.wt. yang berkaitan dengan masalah cinta ini. Yaitu:
وَ
الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا للهِ
“Dan orang-orang yang beriman itu
sangat kuat rasa cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah 2: 165)
Selain
itu, konon pernah diceritakan bahwa Allah s.w.t. telah mewahyukan kepada Nabi ‘Īsa ā.s.: “Wahai
‘Īsā! Camkanlah apa
yang akan Kukatakan padamu: “Sesungguhnya Aku lebih dicintai oleh hamba-Ku yang
Mu’min daripada mencintai dirinya sendiri.” Cerita lain disampaikan oleh al-Ḥasan al-Bashrī r.a. bahwa pada
suatu waktu ada beberapa sahabat yang berkata kepada Rasūlullāh s.a.w. : “Wahai
Rasūl! Sungguh kami
telah mencintai Tuhan kami dengan sebenarnya.” Maka Nabi pun
menjawabnya dengan wahyu firman Allah s.w.t. yang menjadi pertanda bagi cinta
manusia kepada-Nya, yaitu:
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ
“Katakan (wahai Muḥammad)! Jika kalian
benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai
kalian.”
(Āli ‘Imrān 3: 31)
Dengan
demikian, syarat disebut cinta yang benar kepada Allah s.w.t. adalah mengikuti perintah
Nabi Muḥammad s.a.w. dalam
segala urusan hidupnya; dalam zuhudnya, akhlaknya, dan dalam menjauhi kemewahan
dan keindahan dunia. Karena Allah s.w.t. telah menjadikan beliau sebagai
tauladan bagi umatnya. Dan sebagai salah satu tanda benarnya cintamu kepada
Allah s.w.t. adalah adanya keharusan agar kamu melebihkan cinta kepada-Nya
daripada urusanmu dan hawa nafsumu. Selain itu, kamu pun harus memuliakan dan
juga menjunjung perintah Allah s.w.t. daripada perintah dirimu sendiri.
Konon
telah diceritakan bahwa Nabi Mūsā a.s. pernah
memohon kepada Allah: “Ya Tuhanku! Berikanlah suatu pesan untukku!”
Maka Allah berfirman: “Kuwasiatkan engkau akan Dzāt-Ku,” “Ya
Tuhanku! Bagaimana Engkau mewasiatkanku akan Dzāt-Mu?” tanya Nabi Mūsā a.s. “Jika
ada dua perkara di hadapanmu, yang satu untuk-Ku dan yang lain untukmu, maka
hendaklah engkau dahulukan yang untuk-Ku daripada yang untuk dirimu sendiri,
karena cintamu kepada-Ku.”
Seorang
pencinta Allah s.w.t. akan menjadikan dzikir kepada-Nya dalam hati dan lisan
sebagai suatu kewajiban atas dirinya. Dia akan menjauhkan diri dari kelalaian
dan beristighfār sebanyak mungkin.
Demikian pula dengan semua anggota badannya, yang akan ditugaskan untuk
berkhidmat kepada Dzāt yang dicintainya
semata.
Dia tidak
pernah lupa atau pun lalai, dan justru semua perhatiannya akan selalu tertuju
untuk memperoleh ridhā Dzāt yang dicintainya.
Dia akan menghabiskan seluruh energinya untuk memenuhi kehendak Dzāt yang dicintainya
itu, seperti menunaikan segala yang difardhukan dan meninggalkan segala yang
dilarang. Dia selalu menghias dirinya seindah mungkin untuk Dzāt yang dicintainya,
karena khawatir akan tertimpa suatu musibah yang akan menjatuhkannya dan
pandangan Dzāt yang dicintainya.
Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muḥammad s.a.w.:
يَقُوْلُ
اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِمِثْلِ أَدَاءِ مَا
اقْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَ لَا يَزَالُ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَ بَصَرًا وَ يَدًا وَ مُؤَيَّدًا
دَعَانِيْ فَأَحْبَبْتُهُ وَ نَصَحَ لِيْ فَنَصَحْتُ لَهُ.
“Allah s.w.t. telah
berfirman: “Tidak ada seorang hamba yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan
seperti menunaikan segala yang Aku fardhukan kepadanya dan senantiasa
mengerjakan amalan-amalan sunnah, hingga Aku mencintainya. Apabila ia telah
Kucintai, maka Aku akan menjadi sarana pendengarannya, alat penglihatannya, dan
kekuatan yang membantunya. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya akan Kupenuhi
permintaannya dan jika ia meminta nasehat, niscaya akan Kutunjukkan.”
Dengan
demikian, tanda bahwa seseorang telah menjadi pencinta Allah s.w.t. adalah
apabila dirinya mengikuti segala petunjuk Dzāt yang dicintainya, menjunjung semua
perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya, serta menjaga diri dari segala yang
akan menjauhkannya dari jalan Allah.
T: “Apakah
cinta itu menurut kadar kenikmatan yang diperoleh?”
J: “Cinta
itu berawal dari mengingat nikmat Allah s.w.t., lalu berkembang menurut
pandangan hamba terhadap Tuhannya serta menurut apa yang dikira sesuai untuk
dilaksanakan atas nama cinta. Sebab orang yang sungguh mencintai Allah s.w.t.,
akan tetap terus mencintai-Nya, baik kala menerima ni‘mat atau pun tidak.
Sehingga ia terus mencintai Allah s.w.t. dalam segala kondisi. Cintanya sangat
mendalam di dalam hati, baik apakah Allah memberinya ni‘mat atau pun tidak,
baik apakah Allah mencobanya dengan berbagai bencana ataupun memeliharanya dalam
kondisi sehat dan selamat. Dengan demikian, cintanya terhadap Allah s.w.t. akan
senantiasa kukuh di dalam hati dalam segala kondisi, bahkan semakin hari rasa
cinta itu akan semakin tambah berkembang.
Jika kamu
mempunyai pemikiran bahwa eksistensi cinta sesuai dengan kadar keni‘matan yang
diperoleh, dan karena itu, maka ia akan berkurang manakala ni‘mat yang diterimanya
juga berkurang. Bahkan, bukan mustaḥīl jika cinta itu sampai lenyap apabila kamu
ditimpa kesusahan dan bala bencana. Sebenarnya, kenyataan yang terjadi tidaklah
demikian. Dan justru sebaliknya, di mana seluruh pikiran orang yang mencintai
Allah s.w.t. akan senantiasa ingat kepada-Nya dan anggota badannya akan sibuk
mengabdi guna memperoleh keridhāan-Nya.
Dengan
demikian, dalam rasa syukurnya atas anugerah ni‘mat Allah s.w.t. dan
penyebutannya terhadap semua karunia-Nya, orang yang sungguh telah mencintai
Allah, akan senantiasa merasa gembira atas anugerah ni‘mat Allah yang diberikan
kepada orang lain sekali pun. Dalam sepanjang waktu, jiwanya akan sibuk dengan
rasa cintanya kepada Allah s.w.t. dengan tidak memperdulikan segala yang
terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, segala perasaan sombong, congkak,
khianat, hasad, aniaya dan zhālim
telah lenyap dari dalam hatinya dan tertutup oleh kecintaannya terhadap Allah
s.w.t. Demikian pula dengan segala urusan dunia yang telah sirna dari dalam
hatinya. Dan apalagi dengan segala perkara yang tidak ada kaitan dengan
dirinya.
Menurut
sebagian orang waskita:
“Barang siapa dianugerahi sedikit cinta oleh Allah s.w.t., tetapi tidak
dikarunai keseimbangan akan rasa takut kepada-Nya, maka orang itu sebenarnya
telah terpedaya.” (321)
Pernah
diriwayatkan bahwasanya al-Fudhail r.a. telah berkata: “Cinta lebih utama dari rasa takut.” Ismā‘īl Ibn Muḥammad telah
menceritakan dari Zuhair al-Bashrī bahwasanya ia telah berkata: “Aku bertemu
dengan seorang perempuan tua, yang lalu berkata kepadaku: “Sungguh baik kelakuanmu,
cuma sayang engkau mengingkari kecintaan!” “Salah, aku tidak mengingkari
kecintaan!” jawab al-Bashrī.
“Jadi, apakah engkau mencintai Tuhanmu?”
tanya si perempuan lagi. “Benar!” jawab al-Bashrī. “Apakah kau khawatir Dia tidak mencintaimu,
padahal engkau sangat mencintai-Nya?!” tanya si perempuan lagi. “Aku mencintai-Nya karena Dia mencintaiku dan telah
bermurah hati memberiku ‘ilmu pengetahuan dan keni‘matan. Selain itu, aku pun
mempunyai banyak dosa yang membuatku selalu khawatir dan takut kalau-kalau Dia
tidak mencintaiku lagi.” Mendengar jawabanku, si perempuan tua tersebut
jatuh pingsan dan ketika tersadar ia langsung memujiku: “Bagus jika demikian.”
Menurut Abū Sa‘īd r.a. bahwa
jawaban yang diberikan oleh al-Bashrī sangatlah tepat dan bagus. Semoga,
demikian doa beliau, Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada rūḥ beliau. Dan
menurut seorang wali agung (waliy-ul-abdāl): “Barang siapa
yang mencintai Tuhan yang Mulia dan Agung, maka ia tergolong orang-orang yang
dicintai Allah.” Dan hanya kepada Allah sajalah kita memohon taufīq.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan