SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Ada cukup banyak firman Allah s.w.t. yang berkaitan dengan masalah
tawakkal. Di antaranya adalah sebagai berikut:
وَ عَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ
الْمُؤْمِنُونَ
“Dan, kepada Allah-lah, orang-orang Mu’min itu bertawakkal!”
(Āli ‘Imrān: 122)
وَ عَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِن
كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan kepada Allah-lah kalian semua harus bertawakkal, sekiranya kalian
semua adalah orang-orang Mu’min.” (al-Mā’idah: 23)
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.”
(Āli ‘Imrān: 159)
Selain itu, ada pula sabda-sabda Nabi Muḥammad s.a.w.
yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu:
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أُمَّتِيْ
سَبْعُوْنَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ وَ هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَ
لاَ يَكْتَوُوْنَ وَ لاَ يَسْتَرِقُّوْنَ وَ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
“Sebanyak tujuh puluh ribu umatku akan masuk Surga tanpa dihisab.
Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mengundi nasib, tidak pernah
mencaci, dan tidak pernah menggunakan mantra, serta senantiasa bertawakkal
kepada Tuhan mereka.”
لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ
حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَ
تَرُوْحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenarnya,
niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian, sebagaimana yang
diberikan-Nya kepada burung-burung yang setiap pagi terbang dalam kondisi lapar
dan pulang sore harinya dalam kondisi yang kenyang.”
Dan berkaitan dengan hal ini, ‘Abdullah Ibn Mas‘ūd berkata: “Kemuliaan dan kekayaan senantiasa
bepergian mencari tawakkal, dan apabila telah bertemu, maka mereka akan tenang.”
Makna Tawakkal
Makna tawakkal adalah mempercayakan diri kepada Allah s.w.t., bergantung
dan berlapang dada kepada-Nya serta merasa aman terhadap segala yang dijanjikan-Nya.
Selain itu, tawakkal juga sering diartikan dengan membebaskan hati dari
kesulitan yang berkaitan dengan segala urusan dunia, seperti masalah rezeki dan
yang lainnya yang segalanya diserahkan kepada Allah s.w.t. Di samping itu, ia
pun harus mengetahui bahwa segala yang diperlukan hamba dari mulai urusan dunia
hingga Akhirat adalah kepunyaan Allah s.w.t. Dia yang mengurus dan
menyampaikannya serta yang menahannya pula, dan bukan yang selainnya. Paralel
dengan itu, ia pun harus menunjukkan sikap tidak takutnya kepada selain Allah
s.w.t.
Singkatnya, hanya kepada Allah s.w.t. saja, ia berikan kepercayaan.
Selain itu, ia pun mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa pertolongan Allah
s.w.t. itu luas dan pasti. Dan oleh karena itu, tidak ada suatu kebaikan pun
yang bisa menyentuh kita, kecuali dengan kuasa Allah s.w.t. Demikian juga
sebaliknya, tidak ada suatu kejahatan pun yang bisa menimpa kita, kecuali
dengan idzin-Nya pula. Karena itu, pernah diriwayatkan dari al-Fudhail bahwa
orang yang bertawakkal dan menyerahkan diri kepada Allah s.w.t., tidak akan
pernah menuduh-Nya tidak adil dan tidak akan takut disia-siakan Allah.
Demikianlah sikap orang yang bertawakkal kepada-Nya, sehingga
seandainya pun Allah memberinya karunia atas kekayaan dunia, niscaya ia tidak
menyimpannya hingga besok, tapi ia malah menyadari kalau semua pemberian
tersebut pada hakikatnya adalah milik Allah s.w.t., dan ia hanya sebagai
penyimpannya. Dan jika ada yang membutuhkan pertolongannya, maka ia segera akan
memenuhinya, sebab ia meyakini kalau dalam miliknya tersebut ada juga hak milik
saudaranya.
Harta Wajib
Diinfaqkan.
Harta harus diberikan, pertama-tama kepada orang yang menyembunyikan
kesulitannya, lalu kepada kerabat, kepada orang saleh, dan kemudian kepada kaum
Muslimīn. Dan apabila terlihat bahwa salah satu dari mereka berada dalam
keadaan cemas dan kondisi membutuhkan, maka ia harus segera memberi bantuan
agar kesusahannya segera terhapuskan.
Diriwayatkan bahwa Nabi Muḥammad s.a.w.
pernah bersabda: “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan
yang halal atau dengan memboroskan harta, melainkan dengan beranggapan bahwa
apa yang ada dalam kekuasaan Allah s.w.t. lebih terjamin daripada apa yang ada
dalam tanganmu. Sehingga, jika kamu ditimpa suatu musibah, kamu akan merasa gembira
dengan pahala bersabar atas musibah tersebut daripada berharap segera
terhapusnya musibah tersebut dengan cepat.”
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Bilāl r.a. berkata:
“Aku datang
menjumpai Nabi s.a.w. dengan membawa sedikit kurma. Melihat itu, Nabi bertanya:
“Apa yang kamu bawa?” “Saya membawa sedikit kurma untuk makanan buka puasa
anda,” jawab Bilāl. “Berikan kurma itu pada orang lain, wahai Bilāl! Kamu jangan pernah merasa takut kekurangan makan, karena
Allah-lah sang Pemilik Singgasana ‘Arsy. Mestinya, kamu merasa bimbang apakah
benda itu akan berasap di neraka Jahannam atau tidak?!” Seru Nabi s.a.w. dengan keras.
Selain itu diriwayatkan pula dari Siti ‘Ā’isyah r.a. bahwasanya beliau berkata: “Aku
ini tidak seperti saudaraku, Asmā’. Ia tidak pernah menyimpan makanan
untuk besok, sedangkan aku termasuk orang yang suka menyimpannya.” Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Siti ‘Ā’isyah r.a. pernah membagi-bagikan uang, hingga
tidak ada yang tersisa sedikit pun. Setelah itu, beliau ditegur oleh pembantunya:
“Mengapa anda tidak menyisakan uang untuk membeli daging?” “Mengapa kamu tidak
mengingatkanku sejak dari tadi?!” jawab Siti ‘Ā’isyah.
Masih dari Siti ‘Ā’isyah r.a. dikatakan bahwa pada malam di saat Rasūlullāh s.a.w. akan wafat, tampak bahwa beliau sangat gelisah. Dan pada
keesokan harinya, baginda langsung bertanya kepada Siti ‘Ā’isyah: “Apa yang kamu lakukan dengan sekeping emas itu?” Pada hal nilai emas
itu hanya enam puluh lima dirham saja. Dan akhirnya, baginda menyuruh Siti ‘Ā’isyah untuk memberikannya kepada orang lain.
Demikianlah Nabi Muḥammad s.a.w. sangat merasa khawatir jika saat itu ditaqdīrkan wafat, apa yang harus dikatakan kepada Tuhannya, sementara emas
tersebut masih berada dalam simpanannya. Selain itu, pernah diriwayatkan pula
bahwasanya Masrūq r.a. berkata: “Hatiku akan merasa sangat
tenang, apabila pelayanku mengatakan bahwa pada hari ini kita tidak mempunyai
apa-apa untuk dimakan.”.
T: “Apakah bertawakkal itu dengan cara memunculkan sebabnya, atau
dengan memutuskan sebabnya?
J: “Dengan memutuskan kebanyakan sebabnya, kemudian melangkah kepada
Penyebabnya, yaitu Allah s.w.t., hingga kamu merasa amat tenang kepada-Nya.”
T: “Bolehkah orang yang bertawakkal berobat atau berupaya menyembuhkan
penyakitnya?
J: “Ada tiga jawaban untuk hal ini. Pertama: Allah
s.w.t. mengisyaratkan untuk tidak perlu berobat. Salah satu dalīlnya adalah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.: “Tujuh puluh ribu umatku akan masuk Surga tanpa dihisab. Mereka
adalah orang-orang yang tidak mengundi nasib, tidak mencaci, dan tidak juga
menggunakan mantra-mantra, melainkan senantiasa bertawakkal kepada Allah s.w.t.”
Selain itu, ada pula beberapa hadits lainnya, di antaranya adalah:
مَا تَوَكَّلَ مَنْ اِكْتَوَى وَ
اسْتَرْقَى
“Tidak disebut bertawakkal orang yang berkeluh dan menggunakan
mantra.”
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيْرَةُ
فَقَدْ قَارَنَ الشِّرْكَ
“Siapa yang percaya kepada ramalan nasib, sesungguhnya ia
telah melakukan syirik.”
Kedua, dalam
keterangan lainnya, Nabi Muḥammad s.a.w. juga membolehkan berobat, baik dengan
minum obat, minum air jampi, atau pun juga berjampi. Dan Nabi sendiri pernah
membekam Ubai Ibn Ka‘ab r.a. untuk menyembuhkan penyakitnya. Dan pendapat
inilah yang dipegangi al-Mughīrah Ibn Syu‘bah, yang menyatakan bahwa tidak bisa disebut sebagai bertawakkal orang
yang berobat dengan menggunakan jampi dan mantra, dan ia tidak termasuk bagian
dari tujuh puluh ribu orang yang dikhususkan Nabi s.a.w. Dan demikian pula,
tafsiran yang diberikan oleh sebagian ahli tafsir.
Ada pun selain dari mereka, maka hukumnya boleh, selama tidak mengurangi
sikap tawakkalnya serta mempunyai wawasan tentangnya dan harapan kesembuhan
dari Allah s.w.t. yang menjadi penyebab sakit dan sembuhnya. Baginya, tidak ada
persoalan apakah Allah mau memberinya manfaat dari usaha berobatnya atau pun
tidak. Sebab, tidak mustaḥīl ada orang yang mengharapkan sembuh dengan meminum obat, tapi justru
penyakitnya bertambah parah. Dan tidak sedikit pula orang yang mati karena
minum obat atau pun berbekam. Sehingga tidak jarang, ketika seseorang berobat
dengan harapan agar obat tersebut bisa bermanfaat, namun tiba-tiba obat
tersebut justru membahayakannya. Demikian pula sebaliknya, ketika ia merasa
takut akan bahaya sesuatu perkara, tapi ternyata perkara tersebut justru
bermanfaat.
Oleh karena itu, orang yang benar dalam bertawakkal, niscaya akan
mempunyai kepercayaan yang penuh akan Tuhannya. Dan ia bertawakkal kepada
Allah, karena percaya hanya Allah semata yang bisa memenuhi segala harapannya.
Implikasinya, muncul keyakinan bahwa dirinya tidak akan bisa memperoleh sesuatu
yang diinginkannya selagi Allah tidak memberikannya?! Dengan demikian, hanya
Allah semata yang bisa mencukupinya dan Dialah yang bisa memenuhi kehendak
hamba-hambaNya.
Bertawakkal Minta Dicukupkan
T: “Bagaimana hukumnya, jika ada yang berkata: “Saya bertawakkal kepada
Allah supaya dicukupi segala kebutuhan saya.”
J: “Ucapan ini mengandung dua maksud. Pertama, dengan bertawakal ia
berharap agar Allah s.w.t. menampung rasa gelisah dan keluh-kesahnya serta
sekaligus memasrahkan dirinya pada ketentuan taqdīr yang telah
ditentukan oleh Allah s.w.t. Ini adalah pendapat kami dan orang-orang yang
berpegang teguh atas taqdīr Allah s.w.t. Kedua, apabila meminta, niscaya Allah s.w.t. akan
mencukupi kebutuhannya. Misalnya ia berkata: “Aku pasti tidak akan diterkam
binatang buas, lantaran aku bertawakkal kepada Allah s.w.t.” Atau ia berkata:
“Apa yang biasanya bisa kuperolehi dengan usaha, kini dapat aku peroleh tanpa
berusaha lantaran bertawakkal kepada Allah s.w.t. Dengan sikap tawakkal, aku
meminta yang aku inginkan dan menolak yang aku benci.” Menurut kami, kata-kata
seperti ini tidak tepat. Sebab orang yang bertawakkal tidak selamanya bisa
memperoleh apa yang diharapkan. Ada kalanya dicukupi dan ada kalanya tidak,
pada hal sikap tawakkal itu tidak bisa berlebih atau pun berkurang.
T: “Coba tolong jelaskan rinciannya!”
J: “Contohnya, ketika Nabi Yaḥyā Ibn Zakariyyā a.s. dibunuh oleh seorang wanita kejam dengan kepala yang diletakkan
di tempat cucian tangan ayahnya, apakah Nabi Yaḥyā kala itu tidak bertawakkal?! Begitu pula dengan kasus Nabi Zakariyyā a.s. yang dibelah dengan gergaji, apakah beliau pun tidak
bertawakkal?! Demikian pula dengan para nabi yang lain, ada yang dibunuh dan
ada juga yang dianiaya, paha hal mereka adalah orang-orang yang paling benar
dan paling kuat keimanannya kepada Allah s.w.t. Coba renungkan pula saat Nabi
Muḥammad s.a.w. bersama Abū Bakar r.a. melarikan serta menyembunyikan diri di
dalam Gua atau ketika kepala beliau dipukul dengan pedang dalam perang Uhud sehingga
mengeluarkan darah yang membasahi wajahnya, apakah beliau tidak bertawakkal?
Sejatinya, tawakkal adalah menyerahkan diri kepada Allah s.w.t. dan
merasa nyaman kepada-Nya, serta menerima segala ketentuan taqdīr yang telah digariskan atas hamba-hambaNya, karena Dia berbuat apa
yang disukai-Nya.
Dalam hal ini, ‘Abdullāh Ibn Mas‘ūd r.a. pernah meriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w. bahwa: “Barang siapa
bertawakal kepada Allah s.w.t., niscaya Dia mencukupinya dan mengendalikan
semua urusannya. Dan Allah telah menentukan ukuran bagi segala sesuatu.” Yang
dimaksud dengan ukuran di sini adalah upaya dan ikhtiar yang merupakan puncak
tawakkal yang bisa dicapai seorang hamba dalam bertawakkal. Karena itu, tidak
bisa disebut bertawakkal, orang yang mengatakan: “Segala keperluanku telah
ditunaikan.”
Tafsirannya, menurut Ibn Mas‘ūd, bahwa orang
yang bertawakkal kepada Allah s.w.t. adalah orang yang mengembalikan segala
urusannya kepada Allah s.w.t. sembari dibarengi keyakinan dalam hati bahwa
tidak ada yang sempurna, kecuali dengan kuasa dan kehendak-Nya. Sebab Dia
adalah Tuhan yang memberi dan menahan atas kehendak-Nya.
Dengan demikian, orang yang bertawakkal kepada Allah s.w.t. tidak akan
pernah merasa bingung apabila keinginannya tidak terkabul, dan selalu menyadari
bahwa dirinya tidak akan bisa memperoleh sesuatu apa pun dengan hanya
bertawakkal semata. Sebab, hanya keinginan kuat terhadap sesuatu tidak akan
menyebabkan dirinya diberi atau tidak, dan hanya Allah s.w.t. saja yang
menentukan menolak dan memberi.
Terkadang keinginan seorang hamba yang tidak bertawakkal justru
dipenuhi dan dikabulkan, dan sebaliknya permintaan seorang hamba yang
bertawakkal penuh kepada Allah s.w.t. malah tidak diberi. Umpamanya, banyak
orang majusi, orang kafir, pelaku maksiat, pengabai perintah Allah, dan orang
yang tidak mengimani-Nya, sering kali melalaikan perintah Allah s.w.t., bahkan
mengufuri-Nya, namun nyatanya segala keperluan mereka terpenuhi. Dan
sebaliknya, banyak orang yang bertawakkal dengan penuh keyakinan kepada Allah
s.w.t., nyatanya tidak semua kebutuhannya terpenuhi, bahkan tidak jarang yang
hingga menemui ajalnya dalam kondisi kurus-kering dan kesusahan hidup.
Hakikat Tawakkal
Ketahuilah Hakikat tawakkal adalah tidak menggantungkan diri kepada
faktor-faktor keduniawian, menjauhi sifat tamak dan rakus serta tidak berharap
banyak akan manusia, karena orang yang bertawakkal akan selalu memfokuskan
perhatiannya hanya kepada yang di hadapannya dan merasa ridhā serta ikhlas atas segala ketentuan Allah. Dengan penuh kesadaran, ia
mengetahui bahwa dirinya tidak akan bisa mempercepat apa-apa yang dikehendaki
Allah untuk dilambatkan. Demikian pula sebaliknya, ia tidak akan bisa
menangguhkan segala sesuatu yang dikehendaki segera oleh Allah. Namun ia tetap
saja terus bertawakkal seraya membebaskan dirinya dari rasa kecewa dan sikap
tidak sabar serta putus asa. Dan ketika itulah, maka jiwanya akan merasa tenang
lantaran pengetahuan yang telah dimasukkan ke dalam bāthinnya. Akhirnya, ia akan berpendirian bahwa apa-apa yang dikehendaki
Allah pasti akan ditaqdīrkan dan apa-apa yang ditaqdīrkan-Nya pasti
akan terjadi jua.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahli ḥikmah, yaitu: “Buang angan-anganmu
dengan cara menerima apa adanya (qanā‘ah), layaknya
kamu menuntut balas atas musuhmu dengan qishash. Sementara itu, sebagian
sahabat ada yang berkata: “Suatu hari aku datang ke rumah Rasūlullāh s.a.w. dan aku lihat masih ada sedikit kurma yang tertinggal. Setelah
aku datang, beliau bersabda padaku: “Ambillah kurma itu. Jika kamu tidak datang
untuk mengambilnya, tentu ia akan dibawa ke tempatmu untuk kau terima dan itu
berarti sudah menjadi rezekimu. Dan di mana pun kamu berada, niscaya akan kamu
dapatkan juga.”
Muḥammad Ibn Ya‘qūb telah menceritakan kepada saya, dari Aḥmad Ibn Ḥanbal, dari Marwān Ibn Mu‘āwiyyah, dari
al-Mu‘allā dan bersumber dari Anas Ibn Mālik r.a.
bahwasanya Nabi Muḥammad s.a.w. telah menerima hadiah beberapa ekor burung merpati.
Seperti biasa, beliau langsung membagi-bagikannya kepada para sahabatnya masing-masing
seekor. Dan pada keesokan harinya, aku datang membawa kelebihan satu ekor
burung kepada beliau yang langsung bersabda: “Bukankah aku
telah melarangmu menyimpan rezeki hingga keesokan harinya?”
Banyak sekali contoh sikap tawakkal lainnya yang seharusnya menjadi
cerminan bagi seorang hamba. Dan apalagi, puncak sikap tawakkal lebih mulia dan
lebih tinggi daripada yang telah disebutkan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan