SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Cukup
banyak orang-orang yang berperilaku seperti itu, di mana mereka adalah
orang-orang yang mempunyai pikiran yang jernih dan cukup mempunyai pengetahuan
yang memadai tentang contoh-contoh tauladan di masa lalu. Misalnya, kala Nabi
Muḥammad s.a.w. menganjurkan
para sahabatnya untuk bersedekah, maka Abū Bakar menyambut anjuran tersebut dengan
membawa semua harta kekayaannya untuk disedekahkan. Dan ketika ditanya oleh
Nabi Muhammad s.a.w.: “Apa yang engkau tinggalkan untuk anak-anakmu kelak?”
Beliau menjawab: “Allah dan Rasūl-Nya
Mahatahu. Sebab, Allah niscaya akan membalasku dengan berlipat ganda.”
Dengan
demikian, bukankah Abū Bakar r.a. telah
mementingkan Akhirat daripada dunia, sebab betapa kuat hatinya menjunjung
perintah Allah s.w.t. dan batinnya selalu tertuju kepada-Nya, bukan kepada
selain-Nya. Oleh karena itu, segala harta dunia tidak berharga baginya, karena
balasan yang dijanjikan Allah s.w.t. jauh lebih berharga. Sehingga, kala beliau
melihat kebesaran-Nya, maka tidak ada sedikit pun harta yang ditinggalkan,
semuanya disedekahkan, seraya berujar: “Aku serahkan nasibku kepada Allah dan
Rasūl-Nya.”
Sesudah
itu, datang ‘Umar Ibn al-Khaththāb r.a. yang membawa setengah harta
kekayaannya. Ketika ditanya oleh Nabi s.a.w.: “Apa yang engkau tinggalkan untuk
anak-anakmu?” Beliau menjawab: “Separuh dari hartaku, dan Allah akan
menambahkannya lagi.” Kemudian datang pula ‘Utsmān Ibn ‘Affān r.a. yang
membiayai seluruh amunasi militer bagi para tentara miskin (jaysy al-usrah), di
samping juga mendanai penggalian sungai yang disebut “Bi‘r al-Bayt”.
Dari
contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa para sahabat telah menjadikan
harta dan kekayaan mereka untuk disedekahkan di jalan Allah s.w.t., dan mereka
tidak pernah sedikit pun terpengaruh oleh harta yang mereka miliki. Dan
sebaliknya, mereka justru menjadikannya sebagai sarana untuk memperoleh rida
Allah s.w.t.
Di samping
itu, pernah juga diriwayatkan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda: “Segala
yang kami, para nabi miliki tidak bisa diwariskan. Semuanya harus disedekahkan
bagi kaum Muslimin.” Oleh sebab itu, tidak pernah diceritakan adanya seorang
nabi yang menahan harta miliknya untuk dibelanjakan di jalan Allah s.w.t.,
bahkan semua harta peninggalan mereka tidak diwarisi keluarganya, namun
disedekahkan di jalan Allah s.w.t. Mereka tidak pernah menyalahgunakan harta
titipan Allah tersebut, dan tidak mewariskannya setelah mereka meninggal, namun
dibaktikan semata kepada Allah, layaknya hidup mereka sendiri. Ini semua akan
menjadi pegangan bagi orang-orang yang berpikiran sehat agar selalu menjunjung
perintah Allah s.w.t.
Oleh
karena itu, marilah kita ikuti akhlāq agung para sahabat nabi. Abū Bakar r.a., misalnya,
adalah salah satu pilar utama Islam sesudah wafatnya Nabi Muḥammad s.a.w.,
menjadi anutan dan tauladan serta memegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan, kala
itu, dunia dengan segala kemewahannya datang menghinakan diri di hadapannya,
namun beliau tidak pernah sekali pun menyombongkan diri dan bersikap takabbur.
Justru dalam kesehariannya beliau hanya mengenakan pakaian yang banyak
tambalan, sehingga digelari “Bapak orang berbaju robek.”
Kemudian,
hayati pula akhlāq ‘Umar
Ibn al-Khaththāb r.a. yang
menggantikan Abū Bakar r.a. Beliau
dikelilingi kemewahan dunia dari seluruh pelosok negeri, namun makanan beliau
tetap saja roti kering dan minyak biasa, dan pada pakaian yang dikenakannya pun
terdapat seribu tampalan dan setengahnya terbuat dari kain kasar, pada hal kala
ini, negara-negara Romawi dan Persia telah ditaklukkan oleh pemerintahan Islam
berikut harta kekayaannya.
Setelah
itu, pemerintahan Islam berada dalam kepemimpinan ‘Utsmān Ibn ‘Affān r.a. Saat itu,
keadaan beliau tidak jauh berbeda dengan dua orang pendahulunya, baik pakaian
maupun sikapnya. Pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari beliau keluar dari
kebunnya sambil memikul seikat kayu kering. Melihat hal itu, masyarakat bertanya:
“Mengapa sampai sedemikian rupa menyiksa diri?” Beliau menjawab: “Aku ingin
menguji diri, apakah sanggup menanggung kesulitan hidup.” Karena itu,
renungkanlah sikap beliau tersebut yang tidak pernah lupa mendidik jiwa serta
memaksanya dengan pekerjaan yang berat.
Di samping
itu, renungkan pula akhlāq ‘Alī Ibn Abī Thālib r.a. yang
menggantikan ‘Utsmān r.a. Diceritakan, beliau pernah membeli
sehelai kain seharga empat dirham dan membeli baju seharga lima dirham. Setelah
dicoba, ternyata lengan bajunya kepanjangan. Karena itu, beliau segera pergi ke
tukang jahit dan meminjam gunting untuk memotong bagian bajunya yang
kepanjangan dengan tangannya sendiri, pada hal kala itu segala kemewahan dunia
berada dalam kekuasaannya.
Selain
itu, perhatikan pula akhlak Zubair r.a., di mana ketika wafat, beliau
meninggalkan hutang lebih dari dua ratus ribu dirham. Semua uang hasil
pinjamannya tersebut disedekahkan dan diberikan kepada orang-orang yang
memerlukannya. Perhatikan pula pribadi Talḥah Ibn ‘Ubaidillāh r.a., yang memberikan
barang kesayangan istrinya kepada seorang pengemis.
Semua
riwayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat adalah orang-orang yang telah
menepati perintah Allah s.w.t. yang terkandung dalam firman-Nya:
وَ أَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ
“Dan infaqkanlah sebagian harta yang
telah Allah kuasakan kepadamu.” (al-Ḥadīd 57: 7).
Namun yang
sungguh mengherankan adalah situasi yang terjadi pada zaman sekarang ini. Sebab
banyak hamba-hamba Allah yang memiliki harta yang berlimpah berasal dan diperoleh
dengan cara syubhat, pada hal mereka menyadari bahwa Allah s.w.t. mengetahui
bagaimana harta tersebut mereka peroleh, dari mana asalnya, seberapa jauh hati
mereka tertambat padanya, dan seberapa besar prioritas kepentingan yang mereka
berikan padanya daripada kepada Allah s.w.t., serta lain-lain sebagainya.
Semuanya ada dalam benak mereka dan dalam segala tingkah laku perbuatannya. (151)
Bahkan ada
pula di antara mereka yang mengaku memiliki sifat-sifat yang mulia, seperti
yang dipunyai oleh orang-orang terdahulu yang shāliḥ (as-Salaf-ush-Shāliḥ). Ia lalu berdalih
dengan berbagai argumentasi untuk membenarkan kehendak nafsunya, meski pun
sebenarnya menyalahi tradisi orang-orang terdahulu. Pada hal jika seorang hamba
mengakui kelalaiannya terhadap Allah s.w.t., niscaya ia akan lebih selamat dari
murka-Nya, dibandingkan dengan memohon kepada Allah s.w.t. untuk menonjolkan
dirinya, sebagaimana yang sudah dilakukan Allah kepada orang-orang terdahulu.
Dan hanya kepada Allah s.w.t. semata kita memohon taufīq dan petunjuk.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan