SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)
Selain itu, ada orang yang berzuhud karena menginginkan dan mengharapkan masuk Surga. Dan karena itu, ia meninggalkan dunia dengan segala keni‘matannya, sebab hatinya hanya berkeinginan untuk mengumpulkan pahala yang disediakan oleh Allah s.w.t. (211). Hal ini sebagaimana yang diindikasikan oleh Hadits Qudsi sebagai berikut:
وَ أَمَّا الزَّاهِدِيْنَ فِي الدُّنْيَا فَإِنِّيْ أُبِيْحُهُمُ الْجَنَّةَ
“Dan ada pun orang-orang
yang berzuhud di dunia, maka Aku menyediakan Surga untuk mereka.”
Membaca al-Qur’ān Harus Diiringi
Sifat Zuhud
Saking
pentingnya laku zuhud, hingga ada sebagian ‘ulamā’ yang berkata: “Tidak
sempurna bacaan al-Qur’ān seorang hamba, kecuali dengan dibarengi
sikap zuhud” Dan derajat paling tinggi dari orang yang
berzuhud dari perkara dunia adalah mereka yang mengikuti petunjuk cinta Allah
s.w.t. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang bervisi jauh, pintar, dan pecinta
sejati dengan senantiasa menjunjung firman-Nya yang mencela dan merendahkan
kedudukan dunia. Dan sebab itu, maka Allah s.w.t. tidak meridainya menjadi
tempat tinggal para kekasih-Nya. Oleh karena itu, mereka malu terhadap Allah
s.w.t. sekiranya Dia mendapati diri mereka berhasrat dan mencintai sesuatu yang
dicela dan tidak diridhāi-Nya.
Dengan
demikian, bagi mereka, tindakan menjauhi dunia adalah suatu keharusan dengan
tanpa perlu mengharapkan balasan dari Allah s.w.t. demi memuliakan
keagungan-Nya. Selain itu, mereka pun meyakini bahwasanya Allah s.w.t. tidak
akan menyia-nyiakan kebajikan dari orang-orang yang berbuat baik.
Dan
ketahuilah, bahwasanya orang-orang yang mengikuti petunjuk Allah s.w.t. dalam
segala perbuatannya adalah orang-orang yang bervisi jauh ke depan dan derajat
mereka di sisi Allah s.w.t. adalah yang paling tinggi. Hal ini pernah
disinggung dalam hadits Nabi s.a.w. yang diriwayatkan dari Abū Dardā’,
yang bunyinya sebagai berikut:
يَا حَبَّذَا نَوْمَ الأَكْيَاسِ وَ إِفْطَارُهُمْ!! كَيْفَ غَنِمُوْا سَهْرَ الْحَمْقَى وَ صِيَامَهُمْ؟! وَ لَمِثْقَالُ صَاحِبِ التَّقْوَى وَ يَقِيْنٍ أُوْزَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ أَمْثَالِ الْجِبَالِ مِنْ أَعْمَالِ الْمُغْتَرِيْنَ
“Duhai, alangkah bahagia
tidur dan berbukanya orang-orang yang penuh keyakinan terhadap Allah s.w.t.!
Bukankah pahala mereka melebihi balasan bagi orang-orang bodoh yang terjaga
malam dan berpuasa di siang hari?! Sungguh pahala dari ‘amal seberat atom pun
yang dilakukan orang yang bertaqwā dan
penuh keyakinan kepada Allah s.w.t. akan lebih berat di sisi Allah daripada ‘amal sebesar gunung yang dilakukan
orang-orang yang tertipu.” (222)
Kesimpulannya
Penjelasan
di atas berkenaan dengan anugerah Allah s.w.t. sudah cukup memadai bagi
orang-orang yang berpikir rasional. Dan hanya dari Allah s.w.t. saja datangnya
taufīq.
Konon,
pernah diriwayatkan dari ‘Umar Ibn ‘Abd-il-‘Azīz r.a. bahwasanya beliau pernah melihat
seorang pemuda yang wajahnya terlihat sangat pucat. Kala itu, ‘Umar berujar:
“Wahai Pemuda! Apa gerangan yang menyebabkan wajahmu terlihat pucat?” “Karena
penyakit, wahai Amīr-ul-Mu’minīn,”
jawab pemuda. “Berkatalah yang jujur!”
hardik ‘Umar. “Benar, karena
penyakit,” kata si pemuda mengulangi jawabannya. “Kamu kalau menjawab, harus
dengan jujur,” kata ‘Umar kembali menegaskan. “Wahai, Amīr-ul-Mu’minīn! Saya telah
menjauhkan dunia dari hawa nafsuku, sehingga, bagiku, sama saja antara nilai
batu dengan nilai emas. Saya juga seolah-olah telah melihat para penghuni
Surga, yang satu sama lain saling mengunjungi dan para penghuni Neraka yang
menjerit meminta pertolongan.” (233) Mendengar jawaban itu, ‘Umar
kembali bertanya: “Wahai pemuda! Dari mana kamu memperoleh pelajaran ini?” “Bertaqwālah kepada Allah,
niscaya akan terbuka seribu jalan ‘ilmu.” jawab si pemuda. (244)
Dengan
demikian, apabila kita tidak mempunyai banyak pengetahuan tentang amalan yang
kita kerjakan, kelak ‘amalan tersebut pasti akan ditinggalkan. Dan sebaliknya,
andai kita melaksanakan sebagian saja dari yang kita ketahui, niscaya kita akan
memperoleh banyak pengetahuan yang berlimpah. (255)
Suatu
kali, pernah diriwayatkan bahwa Sayyidinā Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. meminta air
minum. Setelah dihidangkan, air minum tersebut segera beliau teguk. Namun,
dengan tiba-tiba beliau memuntahkannya kembali seraya menangis. Melihat hal itu,
orang-orang merasa keheranan dan lantas bertanya. Jawaban beliau: “Dulu aku pernah melihat Rasūlullāh s.a.w.
sedang menepis-nepiskan tangan dari badannya, seolah-olah ada yang
menghinggapinya, pada hal aku tidak melihat apa-apa. Setelah itu, aku kemudian
bertanya: “Duhai, Rasūlullāh! Saya lihat baginda menepis-nepiskan tangan, pada hal tidak tampak
sesuatu pun yang baginda tepiskan.” Jawab
beliau: “Ya, itulah
dunia yang datang dengan berhias diri di hadapanku. Maka kukatakan: “Pergilah jauh
dariku! (266). Saat itu, si dunia menjawab: “Jika engkau
dapat selamat dari godaanku, niscaya orang-orang yang sesudahmu tidak akan
selamat dari bujuk rayuku.”
Setelah
menceritakan hadits Nabi s.a.w. tersebut, maka Abū Bakar berkata: “Aku
sangat khawatir seandainya dunia telah mempengaruhiku.” Selain itu,
dikatakan pula bahwa dalam minuman yang dihidangkan kepada beliau tersebut
terdapat air dan madu. Dan karena itulah, maka beliau menangis meratapi
dirinya.
Di samping
itu, dalam banyak keterangan hadits dikatakan bahwa para sahabat Nabi s.a.w.
tidak pernah makan dengan tujuan meni‘mati kelezatannya, atau pun berpakaian
demi meni‘mati kenyamanannya. (277) Bahkan, pernah diriwayatkan,
ketika banyak para sahabat Nabi yang memperoleh keleluasaan dunia setelah Nabi
wafat, yaitu dengan jalan banyaknya penaklukan negara-negara baru, sehingga
secara otomatis banyak harta kekayaan yang menghampirinya, mereka terus-menerus
menangisi dan menyesali diri, dan selalu berkata: “Kami cemas, jangan-jangan
balasan ‘amal perbuatan kami disegerakan di dunia, dan tidak memperoleh apa-apa
kelak di Akhirat.
Oleh
karena itu, setiap hamba harus bertaqwā kepada Allah s.w.t., menyadari kelemahan
diri, mengikuti jejak langkah orang-orang terdahulu (as-Salaf-ush-Shāliḥ), dan senantiasa
mengakui kealpaannya kepada-Nya. Sesudah itu, mohonlah ampunan dari-Nya atas
segala perbuatan dosa dan pertolongan untuk tidak berbuat kesalahan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan