AJARAN KEEMPAT PULUH LIMA
DUA MACAM MANUSIA KURNIAAN ALLAH
Ketahuilah bahwa ada dua macam manusia. Yang pertama
ialah manusia yang dikaruniai kebaikan-kebaikan duniawi. Yang kedua ialah
manusia yang diuji dengan ketentuan-Nya. Manusia yang mendapatkan kebaikan
duniawi, tidak bebas dari noda dosa dan kegelapan dalam menikmati yang mereka
dapatkan itu.
Manusia
semacam itu bermewah-mewah dengan karunia duniawi ini. Bila ketentuan Allah
datang, yang menggelapi sekitarnya melalui aneka musibah yang berupa penyakit,
penderitaan, kesulitan hidup, sehingga ia hidup sengsara, dan tampak
seolah-olah ia tidak pernah menikmati sesuatu pun. Ia lupa akan kesenangan dan
kelezatannya. Dan jika kecerahan menimpanya, maka seolah-olah ia tidak pernah
mengalami musibah. Sedang jika ia mengalami musibah, maka seolah-olah tiada
kebahagiaan. Semua ini disebabkan oleh pengabdian terhadap Tuhannya.
Nah, jika ia
telah tau bahwa Tuhannya sepenuhnya bebas bertindak sekehendak-Nya, mengubah,
memaniskan, memahitkan, memuliakan, menghinakan, menghidupkan, mematikan,
memajukan dan memundurkan – jika ia telah tau semua ini, maka ia tidak merasa
bahagia di tengah-tengah kebahagiaan duniawi dan tidak merasa bangga
karenanya, juga tidak berputus asa akan kebahagiaan di kala duka. Perilaku
salahnya ini disebabkan juga oleh ketaktahuannya akan dunia ini, yang
sebenarnya tempat ujian, kepahitan, kejahilan, kepedihan dan kegelapan. Jadi
kehidupan duniawi itu bak pohon gaharu, yang rasa pertamanya pahit, sedang rasa
akhirnya manis seperti madu, dan tiada seorang pun dapat merasakan manisnya,
sebelum ia merasakan pahitnya. Tidak seorang pun dapat mengecap madunya,
sebelum ia tabah atas kepahitannya. Maka, barangsiapa tabah atas cobaan-cobaan
duniawi, maka ia berhak mengecap rahmat-Nya.
Tentu,
seorang pekerja mesti diberi upah setelah keningnya berkeringat, tubuh dan
jiwanya letih. Maka, bila orang telah merasa semua kepahitan ini, maka datang
kepadanya makanan dan minuman lezat, pakaian yang bagus dan kesenangan meski
sedikit. Jadi, dunia adalah sesuatu, yang bagian pertamanya ialah kepahitan,
bagai pucuk madu di sebuah bejana yang berbaur dengan kepahitan, sehingga si
pemakan tidak mungkin mencapai dasar bejana, dan yang dimakannya hanyalah madu
murninya sampai ia mengecap pucuknya.
Nah, bila
hamba Allah telah berupaya keras menunaikan perintah Allah, Yang Maha kuasa
lagi Maha agung, menjauh dari larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, maka bila ia
telah merasa kepahitannya, menahan bebannya, berupaya melawan kehendaknya
sendiri dan mencampakkan maksud-maksud pribadinya, maka Allah mengurniainya,
sebagai hasil dari ini, kehidupan yang baik, kesenangan, kasih-sayang dan
kemuliaan. Maka menjadilah Ia walinya dan menyuapinya persis seperti seorang
bayi yang disuapi, yang tidak berdaya, yang tidak berupaya keras di dunia dan
di akhirat, yang juga seperti pemakan pucuk pahit madu yang mengecap dengan lahapnya
bagian bawah isi bejana. Nah, patutlah bagi sang hamba yang telah dikaruniai
oleh Allah, untuk tidak merasa aman dari cobaan-Nya, untuk tidak merasa yakin
akan kekekalannya, agar tidak lupa bersyukur atasnya. Nabi Suci saw. berkata:
“Kebahagiaan duniawi merupakan sesuatu yang ganas;
maka jinakkanlah ia dengan kesyukuran.”
Jadi,
mensyukuri rahmat berarti mengakui sang Pemberinya, Yang Maha pemurah, yaitu
Allah, senantiasa mengingatnya, tidak mengklaim atas-Nya, tidak mengabaikan
perintah-Nya, dan diiringi dengan penunaian kewajiban terhadap-Nya, yakni
mengeluarkan zakat, membersihkan diri, bersedekah, berkorban sebagai nazar,
meringankan beban penderitaan kaum lemah dan membantu mereka yang memerlukan ,
yang mengalami kesulitan dan yang keadaannya berubah dari baik menjadi buruk,
yaitu, yang masa-masa bahagia dan harapannya telah berubah menjadi kedukaan.
Bersyukurnya anasir tubuh atas rahmat berupa digunakannya anasir tubuh itu
untuk menunaikan perintah-perintah Allah dan mencegah diri dari hal-hal yang
haram, dari kekejian dan dosa.
Inilah cara
melestarikan rahmat, mengairi tanamannya dan memacu tumbuhnya dahan dan
dedaunannya; mempercantik buahnya, memaniskan rasanya, memudahkan penelanannya,
mengenakkan pemetikannya dan membuat rahmatnya mewujud di seluruh organ tubuh
lewat berbagai tindak kepatuhan kepada-Nya, seperti lebih mendekatkan diri
kepada-Nya dan senantiasa mengingat-Nya, yang kemudian memasukkan sang hamba,
di akhirat, ke dalam kasih-sayang-Nya, Yang Maha kuasa lagi Maha agung, dan
menganugerahinya kehidupan abadi di taman-taman syurga bersama dengan para Nabi
Suci, shiddiq, syahid dan shalih – inilah suatu kebersamaan yang indah.
Namun, jika
tak berlaku begini, mencintai keindahan lahiriah kehidupan semacam itu, asyik
menikmatinya dan puas dengan gemerlapnya fatamorgananya, yang kesemuanya bagai
hembusan sepoi angin dingin di pagi musim panas, dan bagai lembutnya kulit naga
dan kalajengking; dan menjadi lupa akan bisa mautnya dan tipuannya – kesemuanya
ini akan menghancurkannya – orang seperti itu mesti diberi berita gembira
tentang penolakan, kehancuran yang segera, kehinaan di dunia ini dan siksaan
kelak dalam api neraka nan abadi.
Cobaan atas
manusia – kadang berupa hukuman atas pelanggaran terhadap hukum dan atas dosa
yang telah diperbuatnya. Kadang berupa pembersihan noda, dan kadang pula berupa
pemuliaan maqam rohani manusia, yang baginya rahmat Tuhan semesta terkaruniakan
sebelumnya, yang melalukannya dari bencana dengan kelembutan, sebab cobaan
semacam itu tidak dimaksudkan untuk menghancurkan dan mencampakkannya ke dasar
neraka, tapi, dengan begini, Allah mengujinya untuk dipilih dan mewujudkan
darinya hakikat iman, mensucikannya dan bersih dari kesyirikan, kebanggaan
diri, kemunafikan, dan membuat karunia, sebagai pahala baginya, dari berbagai
pengetahuan, rahasia dan nur.
Nah, bila
orang ini menjadi bersih rohani dan jasmani, dan hatinya menjadi suci, berarti
Ia telah memilihnya di dunia ini dan di akhirat – di dunia ini yakni melalui
hatinya, sedang di akhirat yakni melalui jasmaninya. Maka segala bencana
menjadi pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, sarana
duniawi dan dambaan-dambaan, dan menjadi pelebur kesombongan, ketamakan dan
harapan akan imbalan syurga atas penunaian perintah-perintah.
Cobaan yang
berupa hukuman menunjukkan adanya kekurang sabaran atas cobaan-cobaan ini,
dengan mengaduh dan mengeluh kepada orang. Cobaan yang berupa penyucian dan
penyirnaan kelemahan menunjukkan maujudnya kesabaran, ketak-mengeluhan kepada
sahabat dan tetangga, penunaian perintah-perintah, ketak engganan dan
kepatuhan. Cobaan yang berupa pemuliaan maqam menunjukkan adanya keridhaan,
kedamaian dengan kehendak Allah, Tuhan bumi dan langit, dan penafian diri
sepenuhnya dalam cobaan ini, hingga saat berlalunya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan