Mereka menanyakan
mengapa dikatakan Rasulullah bertasawuf bukan Rasulullah menyampaikan tentang akhlak,
karena bagi pemahaman mereka berdasarkan pemahaman syaikh/ulama/ustadz mereka,
tasawuf mempunyai makna yang lain yang berkonotasi negatif dan sekaligus
menanyakan mengapa kami menyiarkan tentang tasawuf.
Kami sengaja
memilih judul “Rasulullah bertasawuf” agar semakin jelas bahwa jika tasawuf
dimaknakan bukan sebagai akhlak atau tentang Ihsan maka mustahil Rasulullah
bertasawuf.
Upaya ini
kami lakukan karena pada zaman modern ini semakin banyak muslim yang tidak tahu
tentang akhlak atau tentang Ihsan.
Banyak yang
tidak paham apa arti dan maksud sebenarnya dari akhlak.
Jika tidak
mengerti atau mengetahui tentang Akhlak / tentang Ihsan maka secara tidak
disadari akan menganggap bahwa Allah Azza wa Jalla tidak melihat segala
perbuatan kita. Seperti contoh mereka yang korupsi, mafia hukum, bugil depan
kamera dan perbuatan-perbuatan yang dilarang lainnya, pada hakikatnya adalah
mereka yang tidak yakin bahwa Allah ta’ala melihat segala perbuatan mereka.
Apakah boleh
kami membiarkan perihal seperti itu berlarut-larut ?
Adakah
tarekat Rasulullah
Kemudian,
saudara-saudara kita yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh
menanyakan apakah ada tarekat Rasulullah ?
Pada hakikatnya
tarekat yang muktabar, sanad/silsilah atau sanad ilmu/ijazah terhubung kepada
Rasulullah.
Sedangkan
contoh murid yang mursyidnya langsung baginda Rasulullah adalah Sayyidina Ali
ra.
Sayyidina
Ali ra lah yang secara intensif dibimbing oleh Rasulullah untuk bertasawuf
sehingga mencapai muslim yang Ihsan (muhsin) yang keadaannya “seolah-olah”
melihat Allah.
Sebagaimana
yang diriwayatkan berikut
Sayyidina
Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Jadi bagi
kaum muslim yang “paham” dan mengakui Rasulullah sebagai Wali Allah maka mereka
“paham” dan mengakui Sayyidina Ali ra sebagai wali Allah pula.
Inilah makna
sebenarnya dari perkataan Rasulullah , “Aku adalah wali bagi orang-orang
yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali” dalam riwayat berikut yang
dimaknai lain oleh kaum Syiah.
Riwayat dari
Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar khutbah Rasulullah saw pada hari Jumat. Ia
memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah
Swt, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku
adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa yang engkau katakan
wahai Rasulullah saw“. Kemudian beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda.
“Orang ini adalah waliku, dan dialah yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang yang
mengakui/meyakini Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang
akan memerangi orang yang memeranginya“
Yang “paham”
atau mengenal wali Allah hanyalah mereka yang dikaruniakan Taufiq dan
hidayahNya”
Dalam hadits
qudsi, “Allah
berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang
mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan
Taufiq HidayahNya”
Kemudian,
saudara-saudara kita yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh
menyatakan berdasarkan pendapat syaikh/ulama/ustaadz mereka bahwa kaum sufi
adalah mereka yang gemar tahayul dan khurafat.
Khurafat
adalah salah satu kata yang termasuk dalam “slogan” dari saudara-saudara kita
yang mengaku berpemahaman Salafasuh Sholeh dan mengaku seolah-olah hanya mereka
saja yang “khawatir” tentang “Tahayul, Bid’ah dan Khurafat”.
Untuk
masalah bid’ah kita sudah sepakat bahwa pemahaman mereka tentang bid’ah berbeda
dengan pemahaman kaum muslim pada umumnya.
Sehingga
jumhur ulama sepakat juga menggunakan kata Wahhabi untuk “mengidentifikasi”
suatu kaum dengan pemahaman berlainan yakni pemahaman tentang bid’ah
sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menurut
pengakuan beliau mengikuti pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah yang mengaku sesuai
dengan pemahaman Salafush Sholeh.
Seharusnya
nama kaum bukan Wahhabi tetapi Muhammadi berdasarkan nama pendirinya. Namun
untuk menghindari kesalahpahaman dengan penamaan kaum maka disepakati
menggunakan nama Wahhabi.
Sedangkan
kesalahpahaman tentang Kurafat, Tahayul adalah kesalahpahaman mereka terhadap
kisah-kisah, syair-syair, syarah atau perumpamaan-perumpaman yang disampaikan
oleh para ulama Tasawuf (ulama yang mendalami tentang Ihsan / akhlak).
Kekurangan
dari bahasa lisan maupun tulisan adalah ketika ulama-ulama tasawuf berupaya
mengungkapkan suasana atau bahasa hati atau keimanan. Untuk itulah diperlukan
kisah-kisah, syair-syair, syarah atau perumpamaan-perumpamaan.
Perihal ini
sesuai dengan firman Allah yang ertinya,
“Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Mursyid
adalah pembimbing secara dzahir (tampak mata) namun pada hakikatnya Allah Azza
wa Jalla yang membimbing hambaNya untuk sampai kepadaNya dan khusus hanya
kepada siapa yang dihendakiNya.
Oleh karenanya
muslim yang mencapai muslim yang ihsan atau muhsin atau juga disebut sufi
disebut juga sebagai orang khusus untuk membedakan dengan muslim pada umumnya.
Mereka
disebut juga orang dalam perjalan untuk sampai kepadaNya . Mereka menjadi
khusus karena mereka dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla
Allah Azza
wa Jalla yang menghendaki mereka untuk dapat mencapai tingkatan muslim yang
ihsan (muhsin) atau muslim yang seolah-olah melihatNya atau muslim yang dapat
melihat Allah dengan hati/keimanan dengan mensucikan mereka.
Firman Allah
ta’ala yang artinya: ”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan
keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah
yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Oleh
karenanya makna sebenarnya dari sufi sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh
Abu al-Abbas r.a, “Kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada
manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia
menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal“.
Oleh
karenanya kami sampaikan atau peringatkan berulang-ulang kali, janganlah
mengambil pemahaman tentang tasawuf atau tentang sufi dari dukhala ilmi atau
ahli ilmu (ulama) yang tidak mendalami tasawuf, karena ulama-ulama Tasawuf lah
yang berkompeten / yang ahli untuk menjelaskannya.
Kalau kita
belum dapat memahami apa yang disampaikan oleh ulama-ulama Tasawuf , haruslah
kita intropeksi diri terlebih dahulu karena mereka pada hakikatnya adalah
orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala.
Namun pada
prinsipnya, tidak mengapa kita belum dapat mendalami atau memahami atau
menjalankan tasawuf karena tidak membatalkan keislaman kita. Perihal ini sama
dengan hukum bagi mereka yang belum meyakini hadits qudsi ataupun belum
mengenal Wali Allah, tidaklah membatalkan keislaman. Akan tetapi jika kita
mengolok-olok, menghujat, mefitnah terhadap Tasawuf, Hadits Qudsi, Wali Allah,
inilah yang terlarang dan akan diperangi oleh Allah ta’ala.
Dari Abu
Hurairah ra, berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Swt telah berfirman,
“Barangsiapa memusuhi wali-Ku (kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang
terhadapnya…
Kesalahpahaman
bahwa tasawuf bukan termasuk syariat/tasyri
Sebagian
besar kesalahpahaman menganggap / memperlakukan tasawuf sebagai tasyri atau
syariat atau ajaran tambahan dan syariat sudah sempurna sampai dengan
Rasulullah wafat.
Inilah yang
harus diluruskan , bagaimana kedudukan sebenarnya antara tasawuf dengan tasyri
/ syariat.
Dalam agama
Islam ada 3 pokok utama yakni
Tentang
Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I’tiqad),
Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)
Tasawuf
dapat dikatakan sebagai perjalanan (suluk) seorang hamba Allah menuju atau agar
sampai (wushul) kepada Allah.
“Adapun orang-orang
yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah
akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan
karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai)
kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Pada
hakikatnya Tasawuf (tentang Ihsan) bukanlah sebuah ilmu atau sebuah pemahaman
namun sebuah amal atau perbuatan atau “perjalanan” atau dikenal dengan suluk
dan “pejalan”nya disebut seorang salik.
Sedangkan
Fiqih, Ushuluddin, I’tiqad dll yang merupakan pendalaman/pengamalan rukun Iman,
dan rukun Islam adalah syariat / syarat “perjalanan”, rambu2 dan petunjuk
“perjalanan”, tanpa syariat / syarat maka “perjalanan” akan tersesat.
Pada
hakikatnya setiap hamba Allah yang mempunyai kesadaran sendiri untuk menuju
kepada Allah akan dapat memahami dan merasakan bahwa Allah ta’ala yang
membimbing walaupun secara dzahir dibimbing oleh seorang/beberapa mursyid
(pembimbing)
“…Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu (membimbingmu/memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282)
“Cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki,
dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Beberapa
sarana bimbingan adalah melalui mursyid , hati, mimpi, suatu kejadian / cobaan
dan bentuk-bentuk lain atas kehendakNya
“Perjalanan”
yang dilakukan seorang hamba Allah menuju kepada Allah sebaiknya tidak
dilakukan seorang diri karena kemungkinan tersesatnya akan besar sekali dan
godaan syetanpun semakin besar dan semakin halus (semakin sukar dibedakan
antara kebenaran dengan kesesatan), godaaan syetan berbanding lurus dengan
tingkat perjalanan yang telah dilampaui atau disebut juga dengan maqam, jadi
tingkatan / pangkat syetan yang menggoda mengikuti tingkatan(maqam) salik itu
sendiri.
Oleh
karenanya dibutuhkan seorang/beberapa mursyid (pembimbing) yang telah
mengetahui / melewati “jalan yang lurus”.
Sekali lagi
kami sampaikan sebagaimana firman Allah dalam (QS An Nisaa’ [4]:175 ) bahwa
tujuan hidup kita adalah (untuk sampai) kepadaNya. Berkumpul dengan para Nabi,
para Shidiqqin, Syuhada dan Sholihin. Berkumpul dengan mereka yang selalu
mengingat Allah (dzikrullah).
Maka
berupayalah menjadi muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin), muslim yang baik ,
muslim yang sholeh (sholihin). Muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla
dengan hati/keimanan sebagai perwujudan sebenar-benarnya “bersaksi” / syahadah.
Oleh karenanya marilah kita bertasawuf atau
memperdalam/menjalankan tentang ihsan sebagaimana yang telah dicontohkan
baginda Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wasallam
1 ulasan:
Sudah terang lagi bersuluh. perasaan waham dan ragu itu selalu memerangi niat yang suci. Hanya Allah dan kembali kepada Allah. Allah yang mengurniakan jalan dan cahaya Nya yang menyuluh hingga sampai kepada Nya. Amin.
Catat Ulasan