KARYA BADIUZZAMAN SAID NURSI DALAM KITABNYA “RISALAH NUR”
Ibadah Merupakan
Kebahagiaan yang Paling Utama Sementara
Kefasikan Merupakan
Kerugian Nyata.
Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa.
Jika engkau
ingin memahami bagaimana ibadah merupakan sebuah
perniagaan
agung dan kebahagiaan terbesar, serta sikap fasik dan
bodoh
merupakan kerugian dan kebinasaan yang nyata, perhatikan
cerita
berikut ini:
Pada suatu
hari dua orang prajurit menerima perintah untuk pergi
ke sebuah
kota yang jauh. Keduanya berjalan bersama-sama sampai
akhirnya
berpisah jalan. Di sana keduanya bertemu dengan seorang lelaki
yang
berkata pada mereka:
“Jalan
sebelah kanan ini, di samping tidak mengandung bahaya,
sembilan
dari sepuluh para musafir yang melaluinya akan menemukan
kelapangan,
ketenangan, dan keberuntungan. Adapun jalan sebelah kiri
di samping
tidak bermanfaat, sembilan dari sepuluh para pelintasnya
mengalami
kerugian besar.” Perlu diketahui bahwa kedua jalan tersebut
memiliki
jarak yang sama. Yang membedakan hanya satu, yaitu pejalan
yang
melalui sisi kiri—yang tidak mau terikat dengan peraturan dan
pemerintah—berjalan
tanpa membawa tas barang dan senjata sehingga
secara
lahiriah ia merasa ringan dan nyaman. Sebaliknya, pejalan yang
melalui
sisi kanan yang terikat dengan posisi dirinya sebagai prajurit
harus
membawa tas lengkap berisi perbendaharaan makanan seberat
4 kilo dan
senjata negara seberat 2 kilo di mana dengan itu dapat
mengalahkan semua
musuh.
Setelah
kedua prajurit itu mendengar ucapan lelaki pemberi petunjuk
tadi, orang
yang bahagia melewati jalan sebelah kanan. Ia berjalan
seraya
memikul sejumlah beban, namun hatinya tenang dan jiwanya
bebas dari
segala ketakutan. Adapun orang yang malang enggan menjadi
prajurit
dan tidak mau terikat peraturan. Dia meniti jalan sebelah
kiri. Meski
fisiknya bebas dari beban, namun kalbunya dibayang-bayangi
oleh rasa
berutang budi dan jiwanya tersiksa oleh berbagai kecemasan
yang tak
terhingga. Ia melintasi jalannya dengan terus mengemis
kepada
setiap orang serta cemas terhadap segala hal, dan takut terhadap
semua
kejadian. Ketika sampai di tempat tujuan ia pun mendapatkan
hukuman
sebagai balasan atas sikapnya yang lari dan membangkang.
Adapun
pejalan yang melintasi jalan sebelah kanan, yang patuh terhadap
aturan
keprajuritan serta menjaga tas dan senjatanya, berjalan
dalam
kondisi lapang dan jiwanya tenang tanpa harus mengharap budi
baik orang
atau takut kepada siapa pun. Ketika sampai di kota tujuan, di
sana ia
mendapatkan upah yang sesuai dengannya sebagai prajurit yang
telah
menyelesaikan tugas dengan baik.
Wahai orang
yang ceroboh dan liar, ketahuilah bahwa salah satu
dari kedua
musafir di atas adalah mereka yang taat terhadap hukum Ilahi,
sementara
yang lain ialah para pembangkang yang mengikuti hawa
nafsu.
Sementara, jalan tersebut adalah jalan kehidupan yang berasal
dari alam
arwah, kemudian melintasi kubur guna menuju kepada alam
akhirat.
Tas dan
senjatanya berupa ibadah dan takwa. Betapa pun ibadah
tampak
berat, namun sebenarnya ia berisi kelapangan yang tak terlukiskan.
Hal itu
karena seorang abid dalam shalatnya mengucap lâ ilâha illallâh.
Artinya,
tiada pencipta dan Pemberi Rezeki selain Allah. Manfaat
dan bahaya
berada di tangan-Nya. Dia Mahabijak yang tidak berbuat
sia-sia. Di
samping itu, Dia juga Maha Penyayang yang kasih sayang dan
kebaikan-Nya
demikian berlimpah. Orang mukmin yakin dengan apa
yang ia
ucapkan. Karena itu, dalam segala hal ia menemukan pintu yang
terbuka
menuju perbendaharaan rahmat Ilahi sehingga ia ketuk pintu
tersebut
dengan doa. Ia pun melihat segala sesuatu tunduk atas perintah-
Nya,
sehingga ia bersimpuh di hadapan-Nya dengan sikap merendah.
Ia
membentengi diri di hadapan semua musibah dengan sikap
tawakal
sehingga imannya membuat dirinya merasa aman dan tenang.
Ya, sumber
keberanian serta seluruh kebaikan hakiki adalah iman
dan
pengabdian. Sebaliknya, sumber segala ketakutan serta seluruh
keburukan adalah
kesesatan. Andaikan bola bumi menjadi bom yang dapat
meledak,
barangkali ia tidak akan membuat takut sang abid yang
memiliki
kalbu bersinar. Bahkan, bisa jadi ia melihatnya sebagai salah
satu kodrat
Tuhan yang luar biasa sehingga ia merasa kagum dan senang.
Sebaliknya,
seorang fasik yang memiliki kalbu mati, meski ia seorang
filsuf yang
dianggap cerdas, apabila melihat meteor di angkasa
ia akan
merasa takut dan cemas seraya bertanya-tanya, “Mungkinkah
bintang
ini tabrak
ke bumi kita?” Ia terhempas dalam lembah ilusi.
(Amerika
pernah
ketakutan
dengan keberadaan meteor yang terlihat
di langit
sehingga banyak penduduk yang meninggalkan tempat tinggal
mereka
di saat
malam).
Ya, meski
kebutuhan manusia terhadap segala sesuatu tak terhingga,
namun
modalnya nyaris tidak ada. Meski ia dihadapkan pada ujian
yang tak
bertepi kemampuannya juga tidak berarti. Pasalnya, kadar
modal dan
kemampuannya sejauh apa yang dapat ia gapai sementara
wilayah
harapan, keinginan, penderitaan dan cobaannya sangat luas sejauh
mata
memandang.
Karena itu,
jiwa manusia yang lemah dan tak berdaya benar-benar
membutuhkan
berbagai hakikat ibadah dan tawakal, serta tauhid dan
sikap
pasrah. Keuntungan, kebahagiaan, dan nikmat yang didapat darinya
juga sangat
besar. Siapa yang penglihatannya masih sehat pasti
bisa
melihat dan menjangkaunya. Pasalnya, seperti diketahui bahwa
jalan yang
tidak berbahaya tentu lebih dipilih daripada jalan yang berbahaya
meski
kemungkinan manfaat yang ada padanya satu banding
sepuluh.
Terlebih persoalan kita ini, yakni jalan ibadah, di samping tidak
berbahaya
dan kemungkinan manfaatnya sembilan puluh persen,
ia juga
memberikan kepada kita perbendaharaan kebahagiaan abadi.
Sebaliknya,
jalan kefasikan dan kebodohan—seperti pengakuan si fasik
itu
sendiri—di samping tidak memberi manfaat ia juga menjadi sebab
datangnya
derita dan kebinasaan abadi disertai kerugian dan tidak adanya
kebaikan.
Hal ini adalah sesuatu yang pasti berdasarkan kesaksian
kaum yang
ahli di bidangnya di mana sampai pada tingkat mutawatir
dan ijma.
Ia adalah sebuah keyakinan yang kuat sesuai dengan informasi
dari
kalangan yang memiliki cita rasa dan mencapai tingkatan
kasyaf.
Dari sini
dapat disimpulkan bahwa sebagaimana akhirat, kebahagiaan
dunia juga
terletak pada ibadah dan menjadi prajurit Allah.
Karena itu,
kita harus senantiasa mengucap alhamdulillah atas
ketaatan
dan taufik
yang Allah berikan. Kita wajib bersyukur kepada-Nya
karena kita
menjadi muslim.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan