Seorang
khalifah Abbasiyah bernama Harun Ar Rasyid mengirim utusan kepada Muhammad bin
Samak, seorang penasihat yang tersohor di zamannya. Tatkala Yahya bin Khalid Al
Barmaki datang beliau menyambutnya dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu
berkatalah Yahya :”Sesungguhnya amirul mukminin telah mengutusku kepada anda
karena telah sampai kepada beliau tentang kebaikan anda, banyaknya dzikir anda
kepada Allah S.W.T dan banyaknya doa anda bagi umat.”
Maka
Ibnu Samak berkata :
”Adapun
berita yang telah sampai kepada amirul mukminin tentang kebaikan kami, hal itu
semata mata karena Allah menutupi aib kami. Kalau saja Allah menampakkan dosa
dosa kami kepada manusia, niscaya tak seorang pun menaruh simpati kepada kami,
tak satu pun lisan yang akan memuji kami dan kami khawatir jika kami binasa
karenanya dan sedikit syukur kami karenanya.”
***
Sungguh
perkataan beliau ini adalah nasehat bagi orang yang mau menerima nasehat,
peringatan bagi orang yang mau menerima peringatan, hingga karena berkesannya
di hati utusan Ar Rasyid terhadap ungkapan ini maka dia mengambil pena dan
kertas untuk menulisnya !
Karena
ungkapan tersebut merupakan peringatan kepada manusia akan bahaya suka dipuji
dan rela disanjung serta membanggakan diri sendiri, khususnya bagi para da’i
yang menyeru manusia kepada yang ma’ruf dan melarang manusia berbuat mungkar.
Gila
pupularitas, ambisi tenar dan sum’ah adalah perangkap yang berbahaya, yang
sering dihadapi oleh ahli ilmu dan para da’i yang menyeru kepada kebaikan,
sehingga pandangan mereka tertuju pada penilaian manusia dan akan menumbuhkan
keinginan untuk ujub dan dihormati. Dari pintu inilah masuknya kesombongan dan
ujub menuju hati, mengusir tawadhu’ dan kehalusan hatinya, sehingga yang
menjadi target baginya adalah menjadi orang yang terpandang di majelis dan
diunggulkan dari yang lain.
Ketika
itulah seorang da’i telah melepaskan keikhlasan, tawadhu’ dan silau oleh cahaya
dan fatamorgana, hingga menyebabkan ucapannya tak berpengaruh dan hilang
faedahnya. Tinggallah untaian kata kata indah dan gaya bahasa yang bagus dan
yang bersemayam di otaknya adalah keinginan untuk menunjukkan kepandaian dan
kecerdasan.
Ibnu Samak
sadar betul akan bahaya bahaya tersebut, sehingga beliau berupaya agar tidak
terpedaya dengan sanjungan. Beliau tidak rela dikatakan dengan serba baik
kendati hal itu ada pada beliau. Bahkan beliau menekankan bahwa dirinya
hanyalah manusia biasa seperti yang lain, terkadang salah dan terkadang
terjerumus ke dalam dosa, hanya saja Allah S.W.T menutupinya, mungkin karena
beliau tidak sengaja melakukannya, tidak terus menerus dalam kesalahan/dosa
namun bersegera untuk bertaubat dan istighfar.
Ibnu Samak
telah menghayati firman Allah :
“(yaitu)
orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya. dan Dia
lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan
ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan
dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An
Najm : 32)
Beliau
memahami bahwa seorang mukmin tidak selayaknya menyanjung dirinya sendiri,
tidak suka pula jika dikatakan dengan sifat yang dia tidak berhak menyandangnya
secara sempurna. Beliau memiliki uswah bernama Abu Bakar Ash Shiddiq
Radhiyalluhu’Anhu yang tatkala mendengar pujian manusia atasnya lalu berkata
:”Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka duga tentangku dan
ampunilah aku dalam hal yang tidak mereka ketahui tentangku.”
Oleh karena
itu, kita pantas bersedih manakala kita melihat pujian yang kelewat batas
terhadap para da’i di jalan Allah. Orang orang menyematkan segala sifat kebaikan
atas mereka, namun sebagian mereka merasa senang dan rela diperlakukan seperti
itu seakan akan itu adalah kebenaran yang telah terlegitimasi atau sesuatu yang
telah hakiki dan pasti.
Kita
mengharapkan agar para ulama dan da’i di zaman kita ini berpegang dengan manhaj
para salaf dalam hal tawadhu’ dan kewaspadaannya terhadap tipu daya. Begitu
pula dalam hal kejujuran tatkala menggambarkan untuk mensifatkan dirinya.
Karena tiada seorang manusia pun yang maksum melainkan orang orang yang dijaga
oleh Allah dari para Nabi dan RasulNya.
Hendaknya
kita selalu ingat perkataan Muhammad bin Shabih bin Samak dalam risalah yang
beliau tulis untuk saudaranya:
”Wahai
saudaraku berapa banyak orang yang menyebut asma Allah namun lupa kepada Allah,
berapa banyak yang katanya takut kepada Allah namun berlaku lancang terhadap
Allah, berapa banyak orang yang menyeru ke jalan Allah namun ia sendiri lari
menjauh dari Allah dan berapa banyak orang yang membaca kitabullah namun
menghapus sebagian ayat ayat Allah?”
Itulah
penyimpangan yang terjadi dalam perjalanan sejarah kita, sebagaimana banyak
menimpa pada orang orang di zaman sekarang sebabnya berbangga dengan apa yang
dikatakan, mabuk terhadap popularitas dan ingin terus disanjung dan dipuji.
Seluruhnya itu akan membunuh. Semestinya para da’i berhati hati terhadap hal
hal tersebut.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan