Al-Harits bin Asad
Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan
yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat islam.
Al-muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Diantara mereka ada sekelompok orang
yang tahu benar tentang keakhiratan, anmun jumlah mereka sangat sedikit.
Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena
kesombongan dan motivasi keduniaan. Diantara mereka terdapat pula orang-orang
terkesan sedang melakukan ibadah karenaAllah,tetapi sesunguhnya tidak demikian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulallah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulallah dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia.
Taat, awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud kongkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan samat. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga janji dan ancaman Allah; pangakal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah.Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan ibnu Sina dan Rabi’ah al-‘adawiyyah sebagai jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang berlebih lebihan dan keluar dari garis yang telah di jelaskan Islam sendiri serta bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan ahlusunnah, Al-muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-quran jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan.Ajakan ajakan Al-quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (suggesti) dan tarhib (ancaman). Al-quran jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.
15. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air,
16. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
17. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.
18. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.
Ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut :
“Sesungguhnya
orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (surga) dan dimata
air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan
mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang
berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir
malam mereka memohon ampun (kepada Allah)"
(QS.Adz-Dzariyyat,ayat:15-18).
Raja’, dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh.
Seseorang yang telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala dari allah.
Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulallah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulallah dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia.
1. Pandangan Al-Muhasibi
tentang ma’rifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Ia pun menulis sebuah buku
tentangnya, namun, dikabarkan bahwa ia tidak diketahui alasannya kemudian
membakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasa-batasan agama,dan
tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian
lahirnya dan menyebabkan keraguan. Inilah yanfg mendasarinya untuk memuji
sekelompok sufi yang tidak berlebih-lebihan dalam menyelami pengertian batin
agama. Dalam konteks ini pula ia menuturkan sebuah hasits Nabi yang berbunyi, “
pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah
sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan hadits diatas dan
hadis-hadis senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh
melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibi
menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut:Taat, awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud kongkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan samat. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
- Aktivitas
anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan
tahap ma’rifat selanjutnya.
- Pada
tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan
kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia
akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
- Tahap
keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang
menyebabkan baqa’.
Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga janji dan ancaman Allah; pangakal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah.Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan ibnu Sina dan Rabi’ah al-‘adawiyyah sebagai jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang berlebih lebihan dan keluar dari garis yang telah di jelaskan Islam sendiri serta bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan ahlusunnah, Al-muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-quran jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan.Ajakan ajakan Al-quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (suggesti) dan tarhib (ancaman). Al-quran jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.
15. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air,
16. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
17. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.
18. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.
Ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut :
Ertinya :
(QS.Adz-Dzariyyat,ayat:15-18).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan