Perbedaan pendapat di kalangan
ulama
Bilamana
suatu masalah diajukan kepada seseorang di antara mereka,[i] ia menyampaikan
penilaian atasnya dari khayalannya. Bilamana masalah yang tepat seperti itu
diajukan kepada orang lain, ia menyampaikan keputusan yang berlawanan. Kemudian
hakim-hakim ini pergi kepada kepala yang telah mengangkat mereka, dan ia
mengukuhkan semua keputusan itu, walaupun Tuhan mereka Satu (dan sama), Nabi
mereka satu (dan samaj, Kitab mereka (Al-Qur'an) satu (dan sama). Apakah karena
Allah memerintahkan mereka untuk berbeda dan mereka menaati-Nya, ataukah la
melarang mereka tetapi mereka melanggar-Nya? Atau (apakah) Allah mengirimkan
agama yang tak sempurna dan meminta mereka menolong menyempurnakannya? Atau
mereka mitra-Nya dalam urusan itu sehingga merupakan bagian kewajiban mereka
untuk menetapkannya dan la harus menyetujuinya? Atau, apakah Allah Yang
Mahasuci mengirimkan agama yang sempurna tetapi Nabi tak mampu menyampaikannya
dan menyerahkannya (kepada manusia)? Nyatanya, Allah Yang Mahasuci berkata,
"Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab" (QS. 6:38), dan
mengatakan bahwa satu bagian Al-Qur'an membenarkan bagian yang lainnya, dan
bahwa tak ada pertentangan di dalamnya, sebagaimana dikatakan-Nya, "Kalau
sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya. " (QS. 4:82)
Sesungguhnya
bagian luar Al-Qur'an menakjubkan dan bagian dalamnya mendalam
(makna-maknanya). Keajaiban-keajaibannya tak akan pernah lenyap, halnya yang
menakjubkan tak akan pernah habis, dan kerumitan-kerumitannya tak dapat
diterangkan kecuali melaluinya (Al-Qur'an) sendiri. •
[i] Ada
perbedaan pendapat, di mana tak ada argumen yang jelas tentang suatu hal dalam
hukum agama, apakah sesungguhnya ada perintah tentang itu atau tidak. Pandangan
yang dianut Abul Hasan al-Asy'ari dan gurunya Abu Ali al-Jubba'i ialah bahwa
dalam kasus semacam itu Allah tidak menetapkan suatu jalan tindakan tertentu,
melainkan la memberikan tugas untuk menemukannya dan menetapkan suatu keputusan
(fatwa) kepada para ahli hukum, sehingga apa saja yang mereka pandang haram
akan ditentukan sebagai haram dan apa saja yang mereka anggap halal akan
dihalalkan. Dan apabila seseorang mempunyai satu pandangan dan yang lainnya
mempunyai pandangan lain maka akan ada keputusan sebanyak pandangan yang ada,
dan masing-masing darinya akan merupakan yang final. Misalnya, apabila seorang
ulama berpendapat bahwa tape gandum haram dan pandangan ahli hukum lain
menganggapnya halal, maka sesungguhnya itu haram dan sekaligus halal. Ini
berarti bahwa bagi seseorang yang menganggapnya haram, penggunaannya akan
haram, sedang bagi yang lain penggunaannya halal. Tentang hal (teori ketepatan)
ini, Muhammad ibn 'Abdil Karim asy-Syahristani menulis:
"Sekelompok
teoritisi berpendapat bahwa dalam urusan-urusan di mana ijtihad diterapkan, tak
ada pandangan yang tertentu tentang boleh atau tidaknya, dan yang dihalalkan
serta yang diharamkan darinya, melainkan apa saja yang dipegangi mujtahid
adalah perintah Allah, karena penegasan pandangan Allah tergantung pada
keputusan mujtahid. Apabila tidak demikian maka tak akan ada keputusan sema
sekali. Dan menurut pandangan ini, setiap mujtahid benar dalam pandangannya.
(al-Milal wa an-Nihal, h. 98)
Dalam hal
ini si mujtahid dianggap kebal dari kesalahan, karena suatu kesalahan dapat
dianggap terjadi bilamana suatu langkah yang diambil bertentangan dengan
realitas; tetapi, di mana tidak ada realitas keputusan, kesalahan tak akan ada
maknanya. Selain ini, si mujtahid dapat dipandang sebagai bebas dari kesalahan
apabila dipandang bahwa Allah, yang menyadari akan segala pandangan yang
nampaknya mungkin akan diambil, telah menetapkan ketentuan final sebanyak itu
yang sebagai akibatnya setiap pandangan yang bertalian dengan suatu ketetapan
semacam itu, atau bahwa Allah telah menjamin bahwa pandangan-pandangan yang
diambil oleh mutjahid tidak akan melewati apa yang telah ditetapkan-Nya, atau
bahwa secara kebetulan pandangan setiap orang dari mereka, pada kesudahannya,
berhubungan dengan suatu ketentuan yang telah ditetapkan.
Namun,
mazhab Imamiah mempunyai teori lain, yakni bahwa Allah tidak memberikan hak
kepada siapa pun untuk menetapkan hukum, tidak pula membawahkan suatu urusan
kepada pandangan si mujtahid, juga tidak berpendapat bahwa, dalam hal perbedaan
pendapat, la telah menetapkan banyak ketetapan yang sesungguhnya. Tentu saja,
apabila si mujtahid tak dapat sampai pada suatu ketetapan yang riil maka
pandangan yang diambilnya setelah penelitian dan penyelidikan, cukup baginya
dan para pengikutnya untuk berbuat sesuai dengan itu. Perintah semacam itu
adalah perintah yang terlihat, yang merupakan suatu substitusi bagi perintah
yang sesungguhnya, karena ia berusaha sedapat-dapatnya untuk menyelami lautan
dalam dan meneliti dasarnya, tetapi ketimbang muatiara ia hanya mendapatkan
kerang. la tidak mengatakan bahwa para pelaksana harus menerimanya sebagai
mutiara atau harus dihargai sebagai mutiara. Adalah urusan lain bila Allah yang
memperhatikan usaha-usaha itu menghargainya separuh dari itu sehingga usaha itu
tidak menjadi sia-sia dan semangatnya tidak padam.
Apabila
teori ketetapan diambil, maka setiap keputusan (fatwa) tentang hukum dan setiap
pandangan harus dianggap benar seperti telah dituliskan MaibudzT dalam Fawātih,
Dalam hal
ini pandangan yang diambil oleh al-Asy'ari benar. Dari itu, pendapat-pendapat
yang berlainan harus semuanya benar. Hati-hatilah, jangan berpendapat buruk
tentang para faqih, dan jangan membuka lidah Anda untuk menyalahkan mereka.
Bilamana teori-teori
yang saling bertentangan dan berselisih dianggap bernar, adalah aneh mengapa
perbuatan beberapa orang individu yang mencolok di-terangkan sebagai kekeliruan
keputusan, karena kekeliruan keputusan oleh si mujtahid sama sekali tak dapat
dibayangkan. Apabila teori ketepatan itu benar maka tindakan Mu'awiah dan
'A'isyah harus dianggap benar; tetapi, apabila perbuatan mereka dapat dipandang
salah maka kita harus sepakat bahwa ijtihad pun dapat salah, dan bahwa teori
ketepatan adalah salah. Maka masih harus diputuskan dalam konteksnya sendiri
apakah ciri kewanitaan tidak mengganggu keputusan 'A'isyah, atau apakah itu
adalah temuan (yang salah) dari Mu'awiah atau sesuatu yang lain. Bagaimanapun,
teori ketepatan ini dikemukakan untuk menutupi kesalahan-kesalahan dan
memberikan padanya jubah ketetapan Allah, supaya tidak akan ada halangan untuk
mencapai tujuan-tujuan dan tidak pula seseorang akan mampu berbicara menentang
setiap kebatilan.
Dalam
khotbah ini Amirul Mukminin mengacu kepada orang-orang yang menyeleweng dari
jalan Allah, yang dengan menutup mata dari cahaya, meraba-raba dalam kegelapan
khayalan, membuat agama menjadi korban pandangan dan pen-dapat mereka,
memaklumkan pendapat-pendapat baru mereka, mengeluarkan keputusan-keputusan
dengan khayalan mereka sendiri, dan menimbulkan akibat-akibat yang menyesatkan.
Atas dasar teori ketepatan, mereka memandang semua keputusan yang menyeleweng
dan saling bertentangan ini sebagai dari Allah, seakan-akan masing-masing dari
ketentuan mereka mewakili wahyu Ilahi sehingga ketetapan mereka tak mungkin
salah dan mustahil mereka tersandung.
Maka Amirul
Mukminin menyalahkan pandangan ini dengan mengatakan bahwa:
(1) Bilamana
Allah Esa, Kitab (Al-Qur'an) satu, dan Nabi satu dan sama, maka agama (yang
diikuti) harus satu pula. Dan bila agama satu, betapa mungkin ada ketetapan
yang saling selisih tentang suatu urusan, karena hanya mungkin ada perbedaan
dalam suatu keputusan bila si penetap keputusan itu telah
melupakannya, atau lalai, atau tidak sadar, atau ia dengan sengaja berhasrat terlibat dalam kemelut itu, padahal Allah dan Nabi-Nya suci dari semua itu.
Oleh karena itu maka perbedaan-perbedaan itu tak dapat diatributkan pada Allah dan Rasul-Nya, melainkan hasil pemikiran dan pendapat-pendapat orang
yang cenderung untuk membengkokkan gari-garis agama dengan perbuatan-perbuatan khayali mereka.
melupakannya, atau lalai, atau tidak sadar, atau ia dengan sengaja berhasrat terlibat dalam kemelut itu, padahal Allah dan Nabi-Nya suci dari semua itu.
Oleh karena itu maka perbedaan-perbedaan itu tak dapat diatributkan pada Allah dan Rasul-Nya, melainkan hasil pemikiran dan pendapat-pendapat orang
yang cenderung untuk membengkokkan gari-garis agama dengan perbuatan-perbuatan khayali mereka.
(2)Apakah
Allah melarang penyelewengan-penyelewengan ini atau memerintahkannya. Apabila
la telah memerintahkannya, di mana perintah itu? Tentang
hal larangannya, Al-Qur'an mengatakan:
hal larangannya, Al-Qur'an mengatakan:
"...
Katakanlah, 'ApakahAllah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu
mengada-adakannya saja terhadap Allah?'" (QS. 10:59)
Yakni,
segala sesuatu yang tak sesuai dengan perintah Ilahi adalah buat-buatan, yang
dilarang dan diharamkan. Bagi para pengada-ada, di akhirat, tak akan ada
keberuntungan atau keberhasilan, tidak pula kemakmuran dan kebaikan. Firman
Allah,
"Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengadakan ke-bohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. 16:116)
(3)
Sekiranya Allah telah meninggalkan agama sebelum sempurna, setengah jalan,
karena la menginginkan supaya manusia membantu-Nya dalam menyempuraakan tatanan
agama dan turut beserta-Nya dalam tugas penepatan hukum, maka kepercayaan ini
jelas syirik. Apabila la mengirimkan agama-Nya dalam bentuk sempurna, tentulah
Nabi telah gagal menyampaikannya sehingga ruangan itu ditinggalkan kepada orang
lain untuk menerapkan khayalan dan pendapat. Ini, semoga dijaukan Allah, akan
berarti kelemahan Nabi dan kekeliruan pilihan Allah.
(4) Allah
telah mengatakan dalam Al-Qur'an bahwa la tidak meninggalkan apa pun dalam
Kitab itu dan telah menjelaskan semua dan setiap urusan. Sekarang, apabila
suatu ketetapan diukir berlentangan dengan Al-Qur'an maka itu di luar tatanan
keagamaan, dan dasarnya tidak bertumpu pada pengetahuan dan persepsi, atau
Al-Qur'an dan sunah. tetapi merupakan pendapat dan penilaian pribadi seseorang,
yang tak dapat disarnakan dengan agama dan keimanan.
(5)Al-Qur'an
adalah basis dan sumber agama, dan sumber hukum syariat. Apabila hukum syariat
bcrbeda-beda maka akan ada pcrbcdaan pada sumbernya; dan apabila ada perbedaannya
maka la tak dapat dianggap sebagai sabda Ilahi.
Bilamana iiu sabda Ilahi, hukum syariat tak mungkin berbeda-beda; tak mungkin menerima semua keputusan yang berbeda-beda dan saling bertentangan, yang benar dan khayali. dan menganggapnya sebagai ketelapan Al-Qur'an.
Bilamana iiu sabda Ilahi, hukum syariat tak mungkin berbeda-beda; tak mungkin menerima semua keputusan yang berbeda-beda dan saling bertentangan, yang benar dan khayali. dan menganggapnya sebagai ketelapan Al-Qur'an.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan