(Percikan Cahaya Ilahi)
SULTHANUL AULIYA SYEIKH ABD QADIR AL JAILANI
Pada Hari Ahad , 9 Dzulqaidah tahun 545
di pondoknya,
Syeikh Abdul Qadir Al Jalani bertutur :
Orang beriman hidup di dunia itu semata
hanya mencari bekal untuk akhirat, dan orang kafir itu bersenang-senang di
dalamnya. Orang beriman senantiasa berbekal, karena mereka berada pada jalan
Qana’ah dan mempermudah lepasnya hasrat, sebaliknya perhatiannya lebih banyak
dicurahkan untuk akhirat. Ia persiapkan untuk dirinya suatu bekal menurut
kemampuannya. Segala kekayaan ada di akhirat. Setiap hati dan himahnya berada
di sana, dan di sana juga ia putuskan hati dari dunia, lalu mencurahkan segala
kepatuhannya untuk kepentingan akhirat, bukan untuk kepentingan dunia beserta
isinya.
Andaikata ia punya makanan baik tak pelak
ia berikan untuk orang fakir. Sebab ia tahu di akhirat tersedia makanan yang
lebih baik dari itu.
Tujuan akhir cita orang beriman lagi
berilmu dalah jalinan yang lebih dekat dengan Tuhan. Dia menjadi tujuan akhir,
langkah hati dan pengembaraan rahasia. Sesungguhnya aku melihatmu ketika
berdiri, duduk, ruku, sujud dan berjaga, sedang hatimu tak henti-hentinya
berada di tempat dan tidak keluar dari kediaman serta tidak memelihara
tradisinya. Usahakan sebenar mungkin saat mencari Tuhanmu, karena kamu telah
diperkaya hingga mampu bersedekah secara banyak dibanding yang engkau teguk
(makan).
Patuklah butir keberadaanmu dengan peran
kebenaranmu. Carikan sarang pencarianmu atas sesuatu dengan meletakkan tangan
zuhud di sana. Terbanglah dengan hatimu hingga sampai pantai samudra yang
memperdekat dirimu dengan Tuhan. Ketika itu angin kencang menyongsongmu beserta
perahu layar yang menghimpit lalu mengangkat dirimu dan menghambur menuju
Tuhan. Nah, demikian potret dunia laksana samudra sedang imanmu seumpama perahu
layar yang tengah berlabuh. Itu sebabnya Luqman Al-Hakim berkata : “Wahai
anakku, dunia ini laksana samudera, Iman laksana bahtera, lajunya adalah taat
dan pantainya adalah akhirat”
Wahai
orang yang bersejuk atas maksiat, dalam waktu
dekat akan datang padamu buta, pekak, waba’, fakir dan kesat hati semua makhluk
dan engkau terima. Lalu sirnalah hartamu dengan terkepung menguap dan tercuri.
Jadilah engkau orang berakal lagi bertaubat kepada Allah. Engkau jangan
sekutukan Dia dengan hartamu, tawakal pada-Nya, jangan berdiam bersama harta
itu. Campakkan ia dari hatimu, perkecillah rakusmu, dan pendekatan hayalmu.
Dari Abu Yazid al Busthami, ia berkata :
Mukmin yang arif itu tidak mencari dunia atau akhirat dari Tuhannya, tetapi
yang benar ia mencari Ridla Tuhannya.
Wahai sahaya,
kembalilah bersama hatimu menuju Allah. Manusia yang bersungguh melakukan
taubat kepada Allah hanyalah orang yang sudi kembali kepada-Nya. Dia berfirman
:
“Dan kembalilah kamu (taubat) kepada Tuhanmu.” (Q.S. Az-Zumar : 54).
Artinya kembalilah kamu kepada Tuhanmu.
Yang dimaksud kembali di sini adalah tunduk secara total kepada Dia. Serahkan
jiwamu kepada-Nya dan campakkan jiwamu di hadapan Dia menurut ketetapan,
kehendak, perintah, dan cegah-Nya. Campakkan hatimu di hdapan Dia tanpa kata,
tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa mata dan tanpa apapun, bahkan harus disertai
keseimbangan dan kebenaran. Apabila yang demikian terjadi padamu tentu
keberadaan hatimu kembali kepada-Nya dengan penuh kesaksian dan bukan berjinak
lagi bersama sesuatu makhluk. Bahkan hatimu lebih liar terhadap sesuatu yang
bertarap di bawah Arasy. Juga hatimu lari dari segala keberadaan ini dan tetap
hanya terputus dari segala yang terbilang baru.
Sungguh untuk manusia telah disediakan
cela dan pujian; seperti musim panas dan musim dingin, atau seperti siang dan
malam. Kedunya itu sama-sama tidak lepas dari pengawasan Allah. Oleh karena itu
tiada orangmampu mendatangkan keduanya atau hanya salah satu darinya – kecuali
dengan izin Allah. Hal itu manakala telah nyata bagimu, engkau tidak bangga
dengan pujian dan tidak gusar dengan cela. Berkelanjut dengan keluarnya rasa
kecintaan dalam hatimu terhadap makhluk. Tidak ada kata cinta, tidak ada rasa
marah, yang ada justru belas kasih.
Mana ada ilmu bermanaaf bagimu, sedang ia
tanpa pengamalan. Sungguh ilmu demikian amar direndahkan oleh Allah. Engkau
belajar, mendirikan shalat, menunaikan puasa, tapi semata untuk makhluk; dengan
harapan mereka menyanjungmu dan menyerahkan harta mereka untukmu. Tentu, hal
ini bisa berhasil dengan mudah engkau peroleh. Tapi kala mati telah tiba, siksa
penjempitan kubur dan peristiwa besar lagi mengerikan menimpamu. Saat itu penjelas
yang pernah tejadi antaramu dan mereka tidak berguna, termasuk apa yang engkau
peroleh berupa harta mereka juga tidak berguna. Padahal pemakannya bukan kamu,
tapi siksa. Sedang perhitungan ada padamu.
Wahai pembelakang kebenaran,
wahai pecinta haram, di dunia engkau termasuk para pekerja keras, tapi kelak
engkau di neraka. Ibadah itu suatu jalan perombak, oangnya disebut wali. Dan
abdal yang ikhls itu selalu mendekat Allah, Ulama, yang bertindak dengan
ilmunya itu menjadi khalifah (pengganti) Allah di bumi-Nya, Rasul-Nya dan
menjadi pewaris para Nabi dan Rasul. Bukan seperti kamu, wahai orang-orang
gila, wahai penjilat, wahai pemandai lahiri tepi dungu batini.
Wahai hamba
apa yang ada padamu, Islam bukan menyerahkanmu? Islam adalah kerangka yang dibangun
melalui syahadat, jadi tidak sempurna persaksian bahwa : “Tiada Tuhan kecuali
Allah” tetapi engkau dusta, apalagi di hatimu terhias beraneka ragam tuhan yang
engkau takuti. Seperti : para pemimpin dan penguasa yang bertingkah mengaku
tuhan.
Ketegaranmu atas usahamu, perniagaanmu,
daya dan kekuatanmu, pendengar dan penglihatanmu kau pertuhankan. Pendapatmu
yang menyatakan dlar (sengsara) dan naf (manfaat) pemberi dan cegah yang datang
dari makhluk kau pertuhankan. Mayoritas manusia bergantung pada hal ini sepenuh
hati, hanya pada bagian lahiri mereka bergantung kadpa Al-Haq. Telah menjadi
tradisi mereka berdzikir kepada Allah dengan mulut tanpa ditekan oleh hati.
Bila nyata mereka nampak seperti itu mereka gusar dan berkata : “bagaimana
ucapan kami sedemikian disebut patuh (muslim).” Nanti akan nampak aib dan
terlahir kecintaan.
Perkuatlah ucapanmu ketika berucap “Laa
ilaaha” sebagai penafi (peniada) segala keberadaan ini, dan “Illallah” sebagai
ketetapan melingkup untuk Dia semata, jadi bukan selain Dia. Dalam situasi apa
pun di mana hatimu berpendirian kuat terhadap sesuatu – selain Allah – maka ini
terrmasuk kedustaan atas penetapan ucapanmu, dan jadilah Tuhanmu yang engkau
perkuat dengan keyakinan kendati tanpa disertai ekspresi tingkah lahiri. Manakala
engkau berucap “Laa ilaaha illallah” maka ucapan di permukaan kata bersumber
dari lubuk hati, baru disertai lisan sebagai penandas. Serta gantungkan secara
kuat kepada-Nya – bukan selain Dia. Persibuk lahirmu dengan perbagai hukum dan
batinimu dengan Allah. Tinggalkan kebaikan dan jelek atas lahirimu, juga
persibuklah batinimu bersama Dia – pencipta kebaikan dan buruk. Siapa mengenal
Dia tentu ia berendah kepada-Nya dan menjaga segala lisan di hadapan-Nya.
Sehingga berlipatlah himah yang ia miliki, sedih dan tangisnya bertambah, rasa
malu dan sesal atas tindakan-tindakan terdahulu – berupa kesia-siannya –
bertambah, juga takutnya bertambah kuat dan bertambah pula ma’rifat dan
ilmunya. Karena itu firmankan :
“Sesungguhnya
Tuhanmu kuasa melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. 11:107).
Juga firman-Nya :
“Dia tidak ditanya terhadap sesuatu yang diperbuat, dan
merekalah yang akan ditanyai.” (Q.S. Al-Anbiya’ : 23)
Berulang kali di hadapan mata sampai yang
terdahulu tetap berupa kesia-siaan kejahilan dan duka citanya, maka mencari
dari kemaluan (malu) dan takut dari pencabutan orang dan menatap ke arah
mendatang.
Apakah diterima atau bahkan ditolak,
apakah terebut apa didberikan, atau malah hampa baginya; apakah di hari kiamat
ia termasuk teman orang-orang beriman atau kafir. Karena itu sebelumnya Nabi
saw. bersabda :
“Aku adalah orang yang lebih mengerti Allah daripada kamu
dan aku pula yang lebih takut kepada-Nya daripada kamu.” (Riwayat Imam Bukhari)
Di antara sebagian orang yang arif dalam
kepelikan dan keganjilan; siapa datang apdanya kecuali orang yang mampu membaca
diri tentang sesuatu yang melintasinya, itu pun disertai ilmu. Rahasia yang
dimiliki jelas terbaca di Lauh Makhfudz, kemudian terbit dalam hati. Kendati
tetap diperintah untuk merahasiakan hal itu, dan tidak diperkenankan
menampakkan melalui nafsu kendati dengan alasan misi Islam semata. Bahkan
menurutnya antara emas dan debu tidak berbeda, termasuk puji dan cela,
pemberian dan penolakan, surga dan neraka, nikmat dan sakit, kaya dan fakir, keberadaan
makhluk dan sirnanya. Bila demikian telah sempurna maka keberadaan Allah selalu
tumbuh menjadi landasan aktivitasnya. Dari Allah kemudian datang penguasa dan
kekuasaan terhadap makhluk. Setiap orang yang melihat tentu mengambil manfaat
kepadanya – semata karena keperkasaan Allah dan Nur-Nya yang terpakaian
padanya.
Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan
hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat, dan selamatkanlah kami dari siksa
neraka.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan