WACANA MAULANA SYEIKH JALALUDDIN AR RUMI
(PENGASAS TAREKAT MALAUWIYYAH)
Ada yang mengirim pesan kepadaku yang berbunyi :
“Siang dan malam, hati dan jiwaku selalu ingin melayanimu, tetapi aku masih
tidak mampu mengunjungimu karena kesibukanku tercurah pada urusan dengan
orang-orang Mongol.”
Guru menjawab : “Apa-apa yang engkau lakukan, juga merupakan pekerjaan
yang diridlai Tuhan. Apa yang engkau lakukan semuanya demi keamanan dan
perlindungan Islam. Engkau sudah mengorbankan seluruhnya, fisik mau pun
kebendaan, untuk memberikan ketenangan bagi orang Islam.
Ketenangan yang engkau ciptakan membuat kaum Muslim
dapat menyibukkan diri mereka dalam ketaatan kepada Allah.
Maka, itu pun merupakan amal baik. Tuhan telah
membuatmu condong pada perbuatan baik seperti itu, dan kecenderunganmu itu
adalah tanda dari kebaikan Tuhan. Sebaliknya, ketika engkau mengurangi hasratmu
untuk berbuat baik seperti itu, berarti Tuhan menampakkan tanda-tanda
ketidak-sukaan-Nya.
Tuhan tidak ingin bila perbuatan-perbuatan baik
semacam itu diganjarkan oleh seorang manusia walau pun orang itu memiliki
kemakmuran dan ganjaran yang berlebih.
Seperti kamar mandi hangat yang wapnya berasal dari
tuku.
Tuhan menyediakan peralatan untuk mengwapkan, seperti
jerami, nyala api kotoran hewan, dan lain-lain. Dilihat dari luar, barang-barang
tersebut mungkin nampak kotor dan buruk, tetapi semuanya merupakan kebaikan
Ilahi agar tujuan mereka dapat tercapai. Ketika bak mandi terupai oleh
bahan-bahan tersebut, orang –orang akan memperoleh manfaat darinya.”
Ketika sampai pada permsalahan itu, beberapa teman
datang. Tetapi Guru meminta maaf pada mereka dan berkata : “Apabila aku tidak
bangkit menyambut kalian atau berkata kepadamu menanyakan keadaan dirimu,
berarti aku tidak menghargai kalian. Ukuran untuk menghargai sesuatu sangat
berhubungan dengan kelayakan suatu peristiwa.
Sungguh tidak tepat untuk menanyai keadaan ayah atau saudara seseorang atau
menghormat pada mereka ketika kita sedang shalat.
Tidak mengenali sahabat dan kerabat, ketika seseorang
sedang beribadah adalah hakikat kesopanan dan penghormatan. Karena apabila
orang tidak terputus dengan dirinya untuk sepenuhnya melakukan amal ibadah dan
dia tidak dibingungkan oleh orang-orang dekatnya, mereka tidak akan mendapatkan
ganjaran atau pun hukuman. Maka, ini merupakan hakikat perhatian dan kesopanan,
karena setiap orang akan memperoleh perlindungan dari sebab yang akan mereka
derita.”
Seorang murid bertanya : “Apakah ada jalan untuk mendekati Tuhan
selain Shalat?”
“Shalat akan lebih dapat mendekatkan seseorang dengan
Tuhan. Bagaimana pun, wujud shalat tidak hanya dalam bentuk luarnya saja :
Yakni hanya “Bungkus” shalat yang memiliki awal dan akhir. Apa pun yang
memiliki awal dan akhir adalah “bungkus”.
Ucapan takbir pernyataan atas keagungan Tuhan, adalah
permulaan shalat dan ucapan salam adalah akhirnya. Begitu pula ada sesuatu yang
lebih dari sekedar ucapan iman yang diucapkan lidah, karena ucapan itu pun
memiliki awal dan akhir. Apap pun yang dapat diucapkan, memliki awal dan akhir
adalah “Bentuk,” “Bungkus,” sedangkan “jiwanya” tidak dibatasi oleh
isyarat-isyarat fizik dan tidak terbatas, tanpa awal dan akhir.
Shalat, sebagaimana yang kita ketahui dan kita
lakukan saat ini adalah hasil rumusan para Nabi.
Nabi Muhammad, yang telah merumuskan Shalat, pernah
bersabda : “Aku
memiliki waktu dengan Tuhan. Dan selama waktu itu, tidak terdapat ruang, baik
untuk nabi penanggung pesan atau pun malaikat yang berada di dekat Tuhan untuk
berbagi denganku.”
Maka kita mengetahui bahwa “Jiwa” shalat tidak
terletak pada bentuk luarnya saja. Melainkan juga merupakan keadaan dari
keterserapan seorang manusia dan ketidak sadaran seluruhnya selama semua
melakukan sesuatu bentuk luarnya, karena di sana tidak terdapat ruang sedikit
pun. Bahkan bagi Jibril sekali pun.
ooOOoo
Ada sebuah cerita mengeenai maulana Bha’uddin.
Suatu hari sahabatnya menemukan dia benar-benar
terserap di dalam perenungan (fana). Ketika waktu Shalat tiba, beberapa
pengikutnya berteriak kepada Maulana bahwa saat shalat telah tiba. Maulana
tidak memberikan perhatian terhadap apa-apa yang mereka katakan. Mereka bangkit
dan memulai shalat. Meski demikian, dua pengikut, tetap melayani gurunya dan
tidak bangkit shalat. Salah satau pengikut yang tengah melakukan shalat,
seorang lelaki bernama Khwayagi, melihat jernih dengan mata batinnya bahwa
seluruh mereka yang sedang shalat, termasuk imam shalat, ternyata membelakangi
kiblat, sedangkan mereka berdua yang tetap bersama menemani gurunya justru
menghadap kiblat.
Sang guru telah melewati kesadaran ego dan memasuki
kadaan kehilangan diri, terserap di dalam cahaya Tuhan. Dia telah mencapai
makna perkataan Nabi : “Matilah sebelum engkau mati.”
Dia kemudian menjadi cahaya Tuhan. Dan siapa pun
membalikkan punggungnya pada Cahaya Tuhan untuk memandang dinding, telah
betul-betul mengarahkan punggungngya ke kiblat, karena cahaya adalah jiwa
kiblat.
Nabi telah menjadikan Ka’bah sebagai arah shalat
untuk seluruh dunia.
Tapi Dia, Tuhan Yang Maha Kuasa lebih layak untuk menjadi arah
shalat, karena atas Nama-Nya maka Ka’bah menjadi Kiblat.
Nabi Muhammad suatu ketika pernah memperingatkan
sahabatnya, Nabi bersabda : “Aku memanggilmu. Kenapa engkau tidak datang?”
“Karena aku sedang shalat.”
“Bukankah aku yang memanggil kamu?”
“Aku tidak berdaya,” sahabat itu menjawab.
Nabi Muhammad kemudian menjawab : “Memang baik
bagimu, untuk mengetahui ketika dirimu jadi tidak berdaya di seluruh waktu,
melihat dirimu sendiri tidak berdaya di saat kuat bahkan sebagaimana di waktu
tak berdaya sama sekali.
Keadaan, di atas kekuatanmu terdapat kekuatan lain
yang lebih besar. Di segala waktu dan keadaan engkau tunduk kepada kehendak
Tuhan. Dirimu tidaklah dua bagian yang pada suatu waktu terkendalikan dan pada
waktu lain tidak.
Jagalah kekuatan-Nya di dalam pandangan dan selalu
menyadari bahwa dirimu tidak berdaya, dirimu tidak terkendali, daya, jelek dan
lemah.
Jika harimau, singa dan buaya saja tidak berdaya dan
gemetar di depan-ya, bagaimana lagi manusia yang lemah?
Surga, bumi dan segala isinya tidak berdaya dan dikuasai
hukum-Nya; Dia adalah raja Yang Maha Kuat. Cahaya-Nya tidaklah seperti cahaya
matahari dan bulan, meskipun keberadaan benda itu tetaplah sebagaimana adanya.
Tidak. Apabila cahaya-Nya bersinar tanpa disaring, surga atau pun bumi tak akan
dapat bertahan, tidak pula matahari atau bulan, tidak seorang pun akan tersisa.
Seorang raja suatu ketika berkata kepada darwish,
“Saat engkau menikmati keagungan dan kedekatan pada Istana Tuhan, beritahulah
aku.”
“Apabila aku telah sampai pada Kehadiran-Nya,” kata
sang darwish, “dan aku mengungkapkan sinar dari Matahari Keindahan itu, aku
tidak akan mampu untuk memberitahu kepda diriku, apalagi kepadamu.”
Meski demikian, apabila Tuhan telah memilih satu
pelayan-Nya dan menyebabkannya terserap ke dalam Diri-Nya, apabila setiap orang
mesti berebut memegang pakaian-Nya dan membuat permintaan kepada Tuhan, Tuhan
akan mengabulkan permintaan yang paling dekat dengan-Nya walau pun dia tidak
mengatakan permintaannya.
Ada
sebuah cerita tentang seorang raja yang memiliki warga
yang dia kasihi dengan perhargaan amat tinggi. Ketika orang itu berencana
berangkat ke istana raja, orang-orang yang memiliki permintaan akan memberikan
surat untuk diberikan kepada raja, dan dia meletakkan surat itu di dalam bekas
bakul.
Ketika tiba di hadapan raja dan cahaya keindahan raja
bersinar kepadanya, dia akan jatuh tak sadarkan diri pada kaki bagindanya. Raja
akan meletakkan tangannya dengan penuh kasih ke dalam bakul pria itu, dan
berkata : “Apakah ini, warganegaraku, siapa yang telah terserap ke dalam
keindahan diriku?”
Dia akan menarik surat itu kemudian mencatat
persetujuan pada belakangnya lalu mengganti semua susrat-surat dalam bakul itu.
Kemudian, tanpa kehadiran orang-orang yang meminta, seluruh permintaan
dikabulkan. Tidak satu pun yang ditolak. Kenyataannya, pemohon diberi lebih
daripada yang mereka minta. Meski demikian, lebih dari ratusan permintaan
dibuat warga lain yang tetap sadar dan mampu menghadirkan permohonan kepada
raja atas nama orang lain, hanya sedikit yang dikabulkan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan