WACANA MAULANA SYEIKH JALALUDDIN AR RUMI
(PENGASAS TAREKAT MALAUWIYYAH)
Seseorang berkata : “Ada sesuatu yang telah aku
lupakan.”
Ada satu hal di dunia ini yang tidak boleh di
lupakan. Engkau boleh melupakan apa pun, kecuali satu hal. Apabila mengingat
semua hal lain tetapi melupakan satu hal itu, engkau tidak akan dapat
menyelessaikan apa pun. Itu seperti seorang raja yang mengirim engkau ke
kampung dengan tujuan tertentu. Engkau pergi dan melakukan ratusan tugas lain.
Apabila menolak menyelesaikan tugas utama yang untuk itu engkau di kirim,
berarti engkau tidak melakukan apa pun. Kami menawarkan amanat kepada surga,
bumi dan gunung, mereka semua menolak menjalankannya, dan takut kepada tawaran
itu. Tetapi manusia berani menjalankannya. Sungguh dia tidak adil kepada
dirinya sendiri, dan bodoh (Qs :33-72).
“Kami menawarkan amanat kepada surga dan mereka tidak
mampu menerimanya.” Pertimbangkan betapa besar
kejutan pikiran dan perbuatan yang mereka lakukan : Mereka mengubah
bebatuan jadi rubi dan zamrud. Mereka mengubah pergunungan menjadi lombong emas
dan perak menyebabkan tanaman di bumi berkembang dan seterusnya.
Mereka memberi kehidupan. Dan mereka menciptakan
taman surgawi. Bumi pun menerima biji-bijian dan kemudian memberikan
buah-buahan dai biji-bijian yang di tanam. Pegunungan pun menghasilkan berbagai
mineral. Segalanya dilakukan. Tetapi satu hal itu tidak mampu mereka lakukan.
Hanya manusia yang mampu melakukannya. Dan kami telah memluliakan anak-anak
Adam (QS:17:70).
Tuhan tidak berkata, “Kami telah memuliakan surga dan
bumi.” Maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk melakukan apa yang tidak
mampu dilakukan surga, bumi dan gunung. Apabila manusia menyelesaikan tugasnya,
ketidak-adilan dan kebodohan yang menjadi sifat manusia akan sirna. Engkau
boleh meragukan dan menyatakan, bahwa sekalipun tidak menyelesaikan tugas itu,
engkau telah melakukan banyak perbuatan lain. Tetapi aku katakan kepadamu bahwa
manusia tidak diciptakan untuk pekerjaan lain. Itu bagaikan engkau menggunakan
pisau baja Indian yang bernilai dari barang yang engkau temukan di dalam harta
karun raja, sebagai parang untuk memecah daging busuk. Engkau kemudian
membenarkan perbuatanmu dengan berkata : “Aku tidak dapat membairkan pisau ini
menganggur. Aku menggunakannya untuk sesuatu yang baik.”
Bagaikan engkau menggunakan mangkok emas untuk
memasak lobak. Satu pecahan dari mangkok itu mampu dibelikan seratus periuk.
Seperti engkau menggunakan belati tersepuh permata untuk tempat menggantung
labu pecah agar tetap bertahan dan berkata : “Aku menggunakan belati ini untuk
menggantungkan labu itu. Aku tidak bisa membiarkan belati ini menganggur.”
Tidakkah itu keduanya menyedihkan dan menggelikan? Apabila labu mampu dengan
baik dilayani oleh pasak kayu atau paku besi yang bernilai uang recehan,
mengapa harus menggunakan belati yang berharga ratusan dinar untuk maksud
seperti itu?” Tuhan telah menetapkan harga yang tinggi kepadamu, sebagaimana
Dia telah berfirman : “Sungguh Tuhan telah membeli dari orang yang beriman jiwa
mereka, dan harta benda mereka, serta menjajikan bagi mereka kenikmatan surga
(QS: 9 – 111).
Engkaun akan melampaui dunia ini dan hari kemudian
dengan suatu nilai.
Apa yang mesti aku lakukan jika engkau tidak
mengetahui nilaimu sendiri?
Janganlah menjual dirimu dengan harga murah, karena
engkau sangat berharga.
Tuhan berfirman : “Aku telah membeli kalian setiap
nafas yang engkau hirup, inti dirimu dan rentang kehidupannya. Apabila mereka
membelanjakan kepada-Ku dan memberikan kepada-Ku, harganya adalah surga abadi.
Inilah yang layak kepada-Ku. Apabila engkau menjual dirimu kepada neraka,
engkau berbuat tidak adil pada dirimu, seperti manusia yang menusukkan pisau
berharga ribuan dinar pada dinding dan menggantungkan periuk atau labu di atas
pisau itu.”
Engkau menggunakan dalih menyibukkan diri dengan
ratusan amal terpuji. Engkau berkata : “Aku telah mempelajari Fiqih, hikmah,
logika (mantik), astronomi, kesehatan, dan seterusnya.” Semua itu untuk dirimu
sendiri.
Engkau mempelajari Fiqih hingga tidak seorang pun
mampu merenggut setangkup rotimu, atau merobek pakaianmu, atau membunuh dirimu.
Ini semua agar engkau hidup sehat walafiat.
Apa-apa yag engkau pelajari mengenai astronomi,
seperti bentuk bidang langit dan pengaruhnya terhadap bumi, gaya berat atau
kesembarangan keamanan dan ketakutan, semua itu berhubungan dengan keadaan
dirimu. Semua itu untuk dirimu sendiri.
Di dalam astrologi, tanda keberuntungan dan
ketidak-beruntungan berhubungan dengan pengawasan diri. Itu masih untuk dirimu,
pada akhirnya.
Apabila merenungkan masalah itu, akan tersadari bahwa
engkau adalah “Substansi” dan segala hal itu
adalah bawahan terhadapmu.
Sekarang, apabila segala yang berada di bawahmu
memiliki demikian banyak cabang keajabiban, pertimbangkan dirimu yang merupakan
“Substansi” , mesti menjadi apa! Apabila bawahanmu memiliki “titik puncak” dan
“titik nadir” tanda keberuntungan dan tanda ketidak-beruntungan, pertimbangkan
“titik puncak” dan “titik nadir” apa yang mesti engkau miliki. Hingga engkau
menyadari bahwa ruh seperti itu harus memiliki sifat ini, mampu terhadap hal
ini, dan sesuai dengan pekerjaan seperti itu.
Di samping makanan yang dimakan untuk mempertahankan
dirimu secara fizikal, ada lagi makanan lain yang engkau butuhkan.
Seperti dikatakan Rasul Muhammad : “Aku menghabiskan
malam dengan Tuhanku, dan Dia memberiku makan dan memberiku minuman.” Di dunia
ini engkau telah melupakan makanan lain itu dan menyibukkan dirimu dengan
makanan dari dunia ini. Siang dan malam engkau menyediakan makanan untuk
tubuhmu.
Sekarang tubuh
ini adalah kudamu, dan dunia ini pelayannya. Makanan kuda tidak sesuai untuk
pengendaranya; Seekor kuda mempertahankan dirinya menurut kelazimannya sendiri.
Karena engkau telah diliputi sifat kebinatangan dan kehewanan, engkau tetap di
atas pelana dengan kuda dan tidak
memiliki tempat di antara jajaran para raja dan pangeran dari dunia
tempat hatimu berada.
Karena tubuh menguasaimu, engkau mesti mematuhi
perintah tubuhmu. Engkau tawanan bagi tubuhmu. Seperti majnun ketika dia
memutuskan berangkat ke negeri Layla. Ketika dia masih dalam keadaan sadar, dia
mengendarai unta pada jalan yang benar. Tetapi sekali terserap ke dalam Layla,
dia melupakan dirinya dan untasrat untaku berada di belakangkunya.
Unta yang memiliki anak yang ditinggalkan di desa,
suatu ketika berjalan ke arah desa. Ketika Majnun sadar, dia tahu bahwa dirinya
pergi menuju jalan yang salah selama dua ahari. Kemudian dia terus
mondar-mandir selama tiga bulan, ketika pada akhirnya dia menangis, “Unta ini
adalah kutukan bagiku!” Demikianlah diceritakan, dia meloncat dari unta dan
membiarkan dirinya berangkat sendirian.
Hasrat untaku berada di belakangku;
Sedangkan hasrat diriku sendiri berada di depan;
Sungguh dia dan aku amatlah bertentangan.
Seseeorang datang kepada Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq
dan berkata : “Aku telah mendengar pujian mengenai dirimu dari orang tertentu.”
“Biarkan aku tahu,” Sayyid menjawab,” orang seperti
apa dirinya. Apakah dia telah mencapai derajat sedemikian rupa hingga mampu
mengetahui dan memujiku. Apabila dia mengetahui aku atas apa yang telah aku
katakan, sesungguhnya dia tidak mengetahuiku karena perkataan tidaklah tetap
(sementara), bebunyian sementara, bibir dan mulut pun sementara. Semua itu
kebetulan. Apabila dia mengetahui atas apa yang au lakukan, kejadiannya akan
sama saja. Meski demikian, jika dia mengetahui inti diriku, dan kemudian aku
tahu bahwa dia mampu memujiku, maka pujian tersebut memang menjadi hkku.”
Ini seperti cerita yang mereka ceritakan tentang
seorang raja yang mempercayakan putranya kepada sekelompok manusia terlatih. Si
anak tetap bertahan hingga mereka telah mengajarinya seluruh ilmu astronomi,
geometri, dan ilmu pengetahuan lain, meskipun si anak sungguh-sungguh bodoh dan
bebal. Suatu hari raja mengambil dan menggenggam cincin dalam kepalan
tangannya, untuk menguji anaknya. Raja berkata : “Ayo, katakan padaku benda
yang aku genggam di dalam kepalanku!”
“Yang Engkau genggam.” Anak itu menjawab,” adalah
benda bulat, kuning, dan memiliki lubang di tengahnya.”
“Karena engkau mampu menjelaskannya dengan benar,”
kata raja,”katakan padaku benda apa ini sebenarnya!”
“Itu tentu sebuah batu gerinda,” jawab sang anak.
“Kamu telah memberikan ciri-cirinya demikian tepat
dengan pikiran yang amat mengejutkan! Dengan seluruh pendidikan dan pengetahuan
yang telah engkau peroleh, bagaimana mungkin keluar dari pikiranmu batu gerinda
yang tidak dapat digenggam oleh sebelah tangan?”
Maka, seperti itulah sekarang orang terpelajar pada
zaman kita, dengan ajaib memahami ilmu pengetahuan. Mereka telah sempurna
belajar memahami seluruh hal asing yang bukan merupakan perhatian mereka. Yang
benar-benar penting dan terkait dari semua hal tersebut adalah dirinya sendiri.
Tetapi betapa orang-orang terpelajar tidak mengetahuinya. Mereka melulu
menghabiskan waktunya pada penilaian kehalalan dan keharaman segala sesuatu,
dan berkata : “Ini dihalalkan dan ini tidak,” atau “Ini disyahkan hukum, dan
ini tidak.
Meski demikian, kebudanran, kekuningan, rancangan dan
kebulatan dari cincin raja adalah kebetulan, karena apabila engkau
melemparkannya ke dalam api tidak satu pun dari seluruh hal itu tersisa. Dia
menjadi inti sarinya, terbebas dari semua ciri-ciri itu. Seluruh ilmu
pengetahuan, amal, dan perkataan mereka letakkan di depan, semuanya tidak
memiliki hubungan dengan intisari bendanya, yang akan tetap ada ketika seluruh
sifat fisiknya sirna. Seperti halnya seluruh sifat dari yang mereka katakan dan
mereka uraikan. Pada akhirnya mereka akan membuat penilaian bahwa sang raja
memegang batu gerinda pada kepalan tangannya, karena mereka tidak mengatahui
inti yang utama dari suatu benda.
Aku adalah burung, seekor Bulbul, atau seekor nuri,
karena suaraku telah ditetapkan dan tdiak dapat membaut suara lain apa pun.
Jika aku diminta untuk menghasilkan bunyi lain yang berbeda, aku tidak akan
mampu. Sebaliknya, terhadap hal ini adalah contoh seseorang yang belajar meniru
suara burung. Dia bukan burung sama sekali. Kenyatannya, dia adalah musuh
burung, seorang pemburu, tetapi dia mampu membuat burung menyahut karena
menganggap suara itu sebagai suara burung. Karena bunyi yang dia buat
dikira-kira dan dan tidak pantas jadi miliknya, apabila diminta, dia mampu
membuat bunyi berbeda. Dia mampu membuat sahutan berbeda karena dia telah
belajar “mencuri barang orang dan menunjukkan kepadamu secarik linen lain dari
setiap rumah.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan