Pernah suatu hari katanya Syekh Syaqiq
membeli sebuah semangka untuk istrinya. Ketika sang istri menyantap buah
semangka tersebut ternyata rasanya hambar. Rupanya istrinya marah karena
semangka yang dibawa pulang suaminya tidak enak.
Respons Syekh Syaqiq sungguh luar biasa.
Ia menanggapinya dengan penuh ketenangan atas amarah istrinya. Setelah selesai
mendengar amarah istrinya ia malah bertanya dengan nada santun dan halus,
"wahai istriku tercinta, kepada siapakah engkau marah? Kepada pedagang
buahnyakah? Atau kepada pembelinya? Atau kepada petani yang menanamnya? Ataukah
kepada yang telah menciptakan buah semangka itu?"
"Istri beliaupun terdiam dan dengan
sunggingan sebuah senyuman, Syeikh Syaqiq melanjutkan perkataannya. Biasanya
seorang pedagang tidak menjual sesuatu kecuali yang terbaik. Sedangkan
pembelipun pasti akan memilih sesuatu yang terbaik pula. Bahkan begitu pula
seorang petani, tentu saja dia akan merawat tanamannya agar bisa menghasilkan
yang terbaik," katanya.
Teungku Fakhrurrazi melanjutkan
ulasannya, "Maka sasaran kemarahanmu wahai istriku tercinta berikutnya
yang tersisa, tidak lain hanyalah kepada yang menciptakan semangka itu..!"
Rupanya pertanyaan Syeikh al-Imam Syaqiq
menembus ke dalam hati sanubari istrinya. Tanpa terasa, terlihat butiran air
mata menetes perlahan di kedua pelupuk matanya.
Syeikh al-Imam Syaqiq al-Balkhi pun
melanjutkan ucapannya dengan penuh lembut dan santun, "bertaqwalah wahai
istriku. Terimalah apa yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Ini semua agar Allah
SWT memberikan keberkahan pada kita,” sambung Teungku Fakhrurrazi pada kisah
hubungan Syekh Syaqiq dan istrinya.
Beliau melanjutkan kisah, setelah
mendengar nasehat suaminya itu. Sang istri pun sadar, menunduk dan menangis
mengakui kesalahannya dan meridhai dengan apa yang telah Allah SWT tetapkan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan