Abu Ali Syaqiq ibnu Ibrahim al-Azdi
al-Balkhi, seseorang yang berpengetahuan luas.
Ahli berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
menulis banyak buku. Dalam perjalanan hidupnya selalu dipenuhi dengan kisah
penuh hikmah. Berikut ini kisahnya.
Suatu hari Abu Ali Syaqiq pergi ke
Turkistan dalam sebuah ekspedisi dagang.
Di tengah perjalanan ia berhenti sejenak
memandangi sebuah kuil, di mana ia melihat seorang lelaki menyembah berhala dan
membungkukkan badannya dengan sangat hormat. "Engkau mempunyai seorang
Pencipta Yang Hidup, Mahakuasa, dan Mahatahu," ia memberi tahu lelaki itu.
"Sembahlah Dia. Engkau harusnya malu, jangan menyembah berhala yang tak
dapat mendatangkan kebaikan maupun keburukan." Si penyembah berhala itu
menjawab, "Jika kata-katamu benar, apakah Dia tak sanggup memenuhi
kebutuhanmu di kotamu sendiri? Haruskah engkau jauh-jauh datang kemari?"
Kata-kata ini membangunkan jiwa Syaqiq, dan ia pun segera kembali ke Balkh.
Kebetulan, seorang Zoroastrian bersamaan
dalam sebuah perjalanan. "Apa tujuan perjalananmu?" tanya si
Zoroastrian. "Berdagang," jawab Syaqiq. "Jika engkau pergi
mencari apa yang tidak ditakdirkan bagimu, engkau tidak akan pernah meraihnya,
walaupun engkau berkelana hingga Hari Kebangkitan.
Dan jika engkau mencari apa yang telah
ditakdirkan bagimu, engkau tidak perlu repot-repot mencarinya ke sana kemari,
ia akan datang sendiri kepadamu.” Kata-kata ini semakin menyadarkan Syaqid, dan
cintanya kepada dunia semakin menyusut. Akhirnya, Syaqiq kembali ke Balkh, para
sahabatnya menyambut hangat kepulangannya, karena ia adalah orang yang sangat
dermawan. Sekembalinya di kampung halamannya membuat banyak orang yang mengaji
ilmu kepadanya di masjid.
Makin lama makin banyak jumlah muridnya
yang mengaji. Sehingga dapat memberikan ilmunya tanpa harus bersusah payah
pergi ke kota lain.
Suatu hari, Syaqiq sedang mengajar di sebuah masjid. Ketika
itu tersebar berita di seantero kota bahwa pasukan kaum kafir telah berada di
gerbang kota untuk melakukan penyerangan. Tanpa mendapat perintah beliau
langsung bergegas pergi meninggalkan tempat mengajar untuk mengusir pasukan
kaum kafir tersebut, lalu ia pun kembali untuk mengajar.
Saat Syeh Syaqiq pergi meninggalkan
murid-muridnya, salah seorang muridnya meletakkan seikat bunga di dekat
sajadahnya. Sekembalinya ke medan perang Syeh Syaqiq mengambil dan mencium
bunga-bunga itu yang baunya masih semerbak wangi. Tiba-tiba ada seorang lelaki
bodoh dan munafik melihat hal itu dan kemudian berteriak dengan lantangnya,
"Pasukan kaum kafir telah berada di gerbang kota, tetapi Imam Kaum Muslim
malah menciumi bunga!" Sehingga banyak orang berdatangan dan mau menyumpah
serapah. Namun diurungkan karena Syeh Syaqiq Al-Balkhi menjelaskan bahwa orang
munafik itu memang melihatku mencium bunga, tetapi ia tidak melihatku mengusir
kaum kafir. Penjelasan tersebut menjadikan ia selamat dari fitnah yang cukup
keji itu.
Peristiwa itu merupakan kejadian yang
tidak terlupakan baginya. Karena hampir saja dikeroyok banyak orang seandainya
tidak menjelaskan dengan tepat.
Bisa-bisa mati di dalam masjid tempat
mengajarnya gara-gara fitnah keji dari orang-orang munafik yang tidak suka akan
keberadaan ulama.
Baginya, fitnah memang dapat menimpa siapa saja. Karena waktu
itu memang banyak orang yang suka memfitnah. Khususnya yang dilakukan
musuh-musuh Islam. Para munafikin itulah yang selalu mencari celah untuk
memfitnah umat Islam dan ulama-ulama yang memegang teguh kebenaran.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan