Syeikh As-Sarri As-Saqqathy bercerita:
Dalam peristiwa ini aku sedang berada di Baitul-Maqdis, ketika itu aku duduk di Sakhrah berdekatan dengan Masjid Al-Aqsha. Aku dalam keadaan sedih dan pilu sekali, kerana hari-hari untuk perlaksanaan haji ke Batullah hanya tinggal sepuluh hari saja lagi, jadi aku merasa kesal sekali karena tidak dapat menunaikan ibadat Haji pada tahun itu
Aku berkata dalam hatiku: “Alangkah buruknya nasib! Semua orang telah berangkat menuju ke Makkah untuk menunaikan haji, dan kini yang tinggal hanya beberapa hari saja, padahal aku masih berada di sini!”
Akupun menangis karena ketinggalan amalan Haji tahun ini. Tidak beberapa lama sesudah itu, aku terdengar suatu suara ghaib menyambut tangisanku tadi. Katanya: “Wahai Sarri Saqathy! Janganlah engkau menangis, nanti Tuhan akan mengirimkan utusan-Nya untuk menghantarmu ke Baitullahil-Haram, Makkah di saat ini juga.!”
Aku bertanya dalam hatiku: Bagaimana ini boleh terjadi, sedang saat ini aku masih di sini, padahal perlaksanaan haji tinggal beberapa hari lagi? Apakah aku akan diterbangkan? atau bagaimana?
Suara itu kedengaran lagi: “Jangan engkau ragu! Allah Maha Kuasa mampu mempermudah segala yang sukar bagaimanapun caranya.”
Mendengar jawaban itu, aku langsung bersujud kepada Allah untuk bersyukur dengan air mata kegembiraan. Kemudian aku duduk dengan hati yang berdebar-debaran dan hatiku terus bertanya: “Benarkah apa yang dikatakan oleh suara itu?”
Tiba-tiba dari jauh tampak dengan jelas empat orang pemuda berjalan cepat-cepat menuju ke masjid, dan kelihatan wajah keempat-empat pemuda itu sangat bersinar. Seorang diantaranya lebih tampan dan berwibawa, mungkin dia itulah pemimpin rombongan ini. Mereka sholat masing-masing dua rakaat. Saya turun dari Sakhrah, lalu mendekati mereka, dalam hatiku berkata: “Moga-moga mereka inilah orang-orang yang dijanjikan oleh Tuhan dalam suara ghaib tadi!”
Aku mendekati pula pemuda yang aku menganggapnya sebagai pemimpin rombongan ini agar aku dapat mendengar do'a dan munajatnya. Aku dapatinya sedang menangis, kemudian dia berdiri, menyentuh hati sanubariku. Selesai bershalat dia lalu duduk dan datang pula ketiga-tiga pemuda yang lain pula yang duduk di sisinya.
Berkata Sarri Saqathy: Akupun mendekati mereka serta memberi salam kepada mereka.
“Waalaikumussalam,” Jawab pemuda pemimpin itu,
“Wahai Sarri Saqathy, wahai orang yang mendengar suara ghaib pada hari ini. Bergembiralah, bahwa engkau tidak akan ketinggalan haji pada tahun ini.”
Aku hampir-hampir jatuh pingsan, apabila mendengar berita itu. Aku terlalu gembira, dan tidak dapat kusifatkan betapa hatiku merasa senang sekali, sesudah tadinya aku bersedih dan menangis. “Ya, memang saya dengar suara ghaib itu tadi,” Jelas Sarri Saqathy.
“Kami,” Kata pemuda itu, “Sebelum suara ghaib itu membisikkan suaranya kepadamu itu, kami sedang berada di negeri Khurasan dalam penujuan kami ke Negeri Baghdad. Kami cepat-cepat menyelesaikan keperluan kami disana, dan terus berangkat ke arah Baitullahi-Haram. Tiba-tiba terfikir oleh kami ingin menziarahi makam-makam para Nabi di Syam, kemudian barulah kami akan pergi ke Makkah yang dimuliakan oleh Allah tanahnya. Kini kami telah pun memenuhi hak-hak para Nabi itu dengan menziarahi makam-makam mereka, dan kami datang ke mari pula untuk menziarahi Baitul-Maqdis,” Pemuda itu menjelaskan lagi.
“Tetapi, apa yang tuan-tuan lakukan ketika di Khurasan awal-awal itu,?” Tanya Sarri Saqathy.
“Kami mengadakan pertemuan dengan rekan kami, yaitu Ibrahim Bin Adham dan Ma’ ruf Al-Karkhi. Dan saat ini mereka sedang menuju ke Makkah, melalui jalan padang pasir, dan kami pula singgah di Baitul Maqdis.”
Sungguh aku sangat heran, apakah benar apa yang mereka katakan itu? dimana Khurasan dan dimana pula Syam? Jarak diantara kedua-duanya sangatlah jauh sekali dan jika ditempuh berjalan kaki memakan masa setahun lamanya. Bagaimana mereka dapat menempuhnya dengan sekedip mata saja?
“Moga-moga Allah merahmatimu,” ujarku. “Perjalanan dari Khurasan dan Baitul Maqdis biasanya ditempuh selama setahun? Bagaimana kamu dapat menempuhnya dalam masa yang singkat sekali?!” tambahku lagi.
“Wahai Sarri, janganlah kau heran!” Kata pemuda pemimpin itu. “Kalau perjalanannya itu sampai seribu tahun sekalipun, bukankah kita ini semua hamba-hamba Allah, dan bumi pun kepunyaan Allah? Kita pun pergi untuk menziarahi rumah-Nya, jadi Dialah yang menyampaikan kita kesana datas kehendak-Nya. Tidakkah engkau lihat betapa matahari beredar dari timur ke barat pada waktu siang harinya. Coba engkau fikirkan bagaimana matahari itu beredar? Apakah ia beredar dengan kuasanya sendiri, ataukah dengan kuasa Tuhan? Kalaulah matahari itu yang hanya jamad (benda yang tidak bernyawa), dan ia tidak ada hisab, (perhitungan) dan tidak ada iqab (siksa) ia boleh beredar dari timur ke barat dalam satu hari, jadi tidaklah mustahil bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah boleh memotong perjalanan dari Khurasan ke Baitul Maqdis dalam satu saat saja. Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai kuasa mutlak dan kehendak untuk membuat sesuatu yang luar biasa kepada siapa yang dicintai-Nya atau yang dipilih-Nya, tiada suatu kuasa yang dapat menghalangi kuasa dari kehendakNya.”
Dia berhenti semula kemudian menyambung lagi : “Engkau wahai Sarri Saqathy!” Seru pemuda itu tadi, “Hendaklah engkau memuliakan dunia dan akhirat sekaligus?” Dia menjawab: “Siapa yang mau akan kekayaan tanpa harta, dan ilmu pengetahuan tanpa belajar serta kemuliaan tanpa kaum keluarga, maka hendaklah ia membersihkan jiwanya dari mencintai dunia sama sekali, jangan sekali-kali ia bergantung kepada dunia, dan jangan sampai hatinya mengingatinya sama sekali!”
“Tuan! demi Allah yang telah menggutamakanmu dengan Nur cahaya-Nya, dan Yang telah membukakan bagimu dari hal rahsia-rahsia-Nya, sekarang engkau akan berangkat ke mana?” tanya Sarri Saqathy.
“Kami akan berangkat untuk menunaikan haji, kemudian menziarahi maqam Nabi Saw.”
“Demi Allah, aku tidak akan berpisah denganmu lagi, karena berpisah denganmu berarti berpisahnya roh dengan jasad,” Aku merayu kepadanya.“Kalau begitu, marilah kita berangkat bersama dengan menyebut Bismillah.”
Dia mula bersia-siap dan berangkat jalan. Aku pun menurut di belakangnya. Sebentar saja kami berjalan, tiba-tiba sudah masuk waktu solat dzuhur.
“Wahai Sarri, sekarang sudah masuk waktu dzuhur, apakah engkau tidak shalat dzuhur?!” tanyanya.
“Ya, aku akan shalat dzuhur”, kataku.
Aku pun segera mencari debu bersih untuk bertayammum. Tiba-tiba kata pemuda itu :
“Tak perlu tayammum. Disini ada mata air tawar, mari ikut aku ke sana!”
Aku sebagai orang yang bodoh ikut ke jalan yang diarahkan. Disitu memang benar ada sebuah mata air tawar, rasanya lebih enak dan lebih manis dari rasa madu.
Aku pun berwudhu' dengan air itu serta meminumnya dengan sepuas-puasnya. Kemudian aku berkata kepadanya:
“Tuan! demi Allah, aku telah melalui jalan ini berkali-kali, tetapi tak pernah aku menemui mata air apapun ditempat ini?”
“Kalau begitu kita harus bersyukur kepada Allah atas kemurahan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya.”
Kami pun bershalat bersama-sama, kemudian berjalan lagi hingga dekat ke waktu Ashar. Aku tidak percayakan diriku ketika aku lihat menara-menara tinggi Negeri Hijaz itu. Tidak beberapa lama sesudah itu, aku terlihat tembok-tembok Kota Makkah. “Oh, ini Makkah! bisik hatiku. Betulkah aku dalam keadaan sadar, ataupun mungkun ini hanya sebuah impian malam saja!!!
Tiba-tiba tercetus dari mulutku, “Eh kita sudah sampai ke Makkah?!” Aku terus menangis dan air mataku menetes diseluruh pipiku.
“Wahai Sarri,” Kata pemuda itu. “Engkau sudah sampai di Makkah. Sekarang engkau hendak berpisah denganku ataupun kau hendak masuk bersama-sama denganku?!” Tanya pemuda itu.
“Ya, saya akan masuk bersamamu,” Jawabku.
Kami pun masuk Makkah itu menerusi pintu Nadwah. Di situ aku temui dua orang laki-laki sedang menunggu kami. Seorang agak sudah tua parasnya dan yang lain pula masih muda dan tegak lagi.
Apabila kedua orang laki-laki itu melihat pemuda tadi, mereka tersenyum dan serta merta mereka datang dan mendekapnya. Kemudian sebut mereka: Alhamdulillah alas-salaamah! (segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kamu.)
“Tuan, siapa mereka ini” tanyaku. “Ah,” bunyi suaranya. “Yang tua ini adalah Ibrahin Bin Adham dan pemuda ini ialah Ma’ruf Al-Karkhi.” Aku pun bersalaman dengan mereka.
Kami sekalian duduk didalam Masjid hingga tiba waktu shalat Ashar. Kemudian kita bershalat Maghrib dan Isya' di Masjidil Haram.
Sesudah itu, maka masing-masing mereka mengambil tempat-tempat sendiri didalam masjid itu bershalat bermacam-macam shalat. Aku juga turut bershalat sekedar kemampuanku sehinggalah tertidur dengan nyenyaknya. Apabila aku tersadar dari tidurku itu aku dapati mereka sudah tidak ada lagi disitu. Aku coba mencarinya disekitar Masjidil Haram itu, tiada jejak pun melainkan sudah aku amatinya, namun bayangnya pun tidak kudapati. Kemana mereka telah pergi? aku memanggil-manggil disitu seperti orang gila yang tidak tentu arahnya.
Kemudian aku pergi mencari mereka ditempat lain, disekitar Masjidil-Haram, dan sekitar kota Makkah, di Mina, dan ditempat-tempat lain lagi, namun aku tidak menemui walau seorang pun dari mereka.
Aku merasa sedih sekali, dan kadang-kadang aku menangis seorang diri, karena telah terpisah dari mereka itu sekalian. Semoga Allah merahmati mereka sekalian!.
Itulah salah satu dari kisah sufi Sarri As-Saqathy dalam menggapai kemuliaan dan keangungan Allah Swt. Dan beliau wafat pada tahun 253 H / 867 M
Tiada ulasan:
Catat Ulasan