Perang Badar baru saja usai. Kaum Quraisy bertekad membalas
kekalahan mereka. Kedengkian dan nafsu untuk balas dendam terus berkobar di
dada kaum Quraiys. Tidak saja kaum pria, bahkan perempuan-perempuan bangsawan
kaum Quraisy pun turut pula ke Uhud untuk menggelorakan semangat perang.
Di antara para wanita itu terdapat Hindun binti Utbah (istri Abu
Sufyan bin Harb), Raithah binti Munabbih (istri Amr bin Ash), Sulafah binti
Sa’ad beserta suaminya, Thalhah, dan tiga orang anak laki-lakinya: Musafi',
Julas, dan Kilab, serta banyak lagi wanita-wanita lainnya.
Ketika pasukan-pasukan Islam dan musyrikin bertemu di medan
Uhud, dan api peperangan pun menyala, Hindun binti Utbah dan beberapa perempuan
lain berdiri di belakang pasukan pria. Mereka memegang rebana dan menabuhnya
sambil menyanyikan lagu peperangan. Lagu-lagu mereka membakar semangat pasukan
berkuda, membuat para suami bagai terkena sihir.
Pertempuran pun usai. Kaum Quraisy meraih kemenangan pada
peperangan tersebut. Para wanita Quraisy berlompatan, berlarian ke tengah medan
pertempuran, mabuk kemenangan. Mereka mencincang dan merusak mayat-mayat kaum
Muslimin yang gugur dalam pertempuran tersebut dengan cara yang sangat keji.
Perut mayat-mayat itu mereka belah, matanya dicongkel, telinga dan hidungnya
dipotong.
Bahkan seorang di antara mereka tidak puas dengan cara begitu
saja. Hidung dan telinga mayat-mayat itu dibuatnya menjadi kalung, lalu
dipakainya untuk membalaskan dendam bapak, saudara, dan pamannya yang terbunuh
di Badar.
Sulafah binti Sa’ad lain pula caranya. Dia tidak seperti
perempuan lain. Hatinya guncang dan gelisah menunggu kemunculan suami dan
ketiga orang anaknya. Dia berdiri bersama kawan-kawannya yang sedang mabuk
kemenangan. Setelah lama menunggu dengan sia-sia, akhirnya dia masuk ke arena
pertempuran, sampai jauh ke dalam. Diperiksanya satu per satu wajah mayat-mayat
yang bergelimpangan.
Tiba-tiba didapatkannya mayat suaminya terbaring hampa
berlumuran darah. Dia melompat bagaikan singa betina ketakutan. Kemudian,
ditujukannya pandangan ke segala arah mencari anak-anaknya: Musafi', Kilab, dan
Julas. Tidak berapa lama dia mencari ke segenap lapangan, didapatinya Musafi
dan Kilab telah tewas. Namun Julas masih hidup dengan nafas kembang-kempis.
Sulafah memeluk tubuh anaknya yang setengah sekarat. Kemudian
diletakkannya kepala anak itu ke pahanya. Dibersihkannya darah dari kening dan
mulutnya. Air matanya kering karena pukulan berat yang sangat mengguncang
hatinya.
Kemudian, ditatapnya wajah anaknya seraya bertanya, “Siapa lawan
yang menjatuhkanmu?”
Dengan nafas putus nyambung Julas menjawab, “Ashim bin Tsabit,
dia pula yang memukul roboh Musafi' dan...”
Belum habis dia berbicara, nafasnya sudah putus. Sulafah binti
Sa’ad bagaikan orang gila. Dia menangis dan meraung sekencang-kencangnya. Dia
bersumpah tidak akan makan dan menghapus air mata, kecuali bila orang Quraisy
membalaskan dendamnya terhadap Ashim bin Tsabit, dan memberikan batok kepala
Ashim kepadanya untuk dijadikan mangkok tempat minum khamr. Dia juga berjanji
akan memberikan hadiah dan uang yang banyak bagi orang yang dapat menyerahkan
Ashim bin Tsabit kepadanya, hidup atau mati!
Janji Sulafah itu tersiar cepat ke seluruh Quraisy. Setiap
pemuda Makkah berharap mereka dapat memenangkan lomba itu, dan membawa Ashim
kepada Sulafah untuk memperoleh hadiah besar yang dijanjikannya.
Seusai Perang Uhud, kaum Muslimin kembali ke Madinah. Mereka
membicarakan pertempuran yang baru dialami. Sama-sama memperlihatkan rasa sedih
atas pahlawan-pahlawan yang syahid, memuji keberanian orang-orang yang terluka,
dan sebagainya. Mereka pun tidak ketinggalan menyebut nama Ashim bin Tsabit
yang dikatakan sebagai pahlawan gagah tak terkalahkan. Mereka kagum bagaimana
Ashim mampu merobohkan tiga bersaudara sekaligus.
Seorang di antaranya berkata, “Itu soal yang tidak perlu
diherankan. Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan ketika beliau bertanya
bebarapa saat sebelum berkobar Perang Badar, “Bagaimana caranya kamu
berperang?”
Lalu Ashim tampil dengan busur panah di tangan, lalu berkata,
“Jika musuh berada di hadapanku seratus hasta, aku panah dia. Apabila musuh
mendekat dalam jarak tikaman lembing, aku bertanding dengan lembing sampai
patah. Jika lembingku patah, kuhunus pedang, lalu aku main pedang.”
Maka Rasulullah bersabda, “Nah, begitulah berperang. Siapa yang
hendak berperang, berperanglah seperti Ashim.”
Tidak berapa lama setalah Perang Uhud, Rasulullah memilih enam
orang sahabat untuk melaksanakan suatu tugas penting, dan beliau mengangkat
Ashim bin Tsabit sebagai pemimpin. Orang-orang terpilih ini berangkat
melaksanakan tugas yang dibebankan oleh Rasulullah kepada mereka.
Di tengah jalan, tidak jauh dari Makkah, sekelompok kaum Hudzail
melihat kedatangan mereka. Kelompok itu segera mengepung mereka dengan ketat.
Ashim dan kawan-kawan dengan sigap menyambar pedang masing-masing, dan siap
siaga menghadapi segala kemungkinan.
Kata orang-orang Hudzail, “Kalian tidak akan berdaya melawan
kami. Demi Allah, kami tidak akan berlaku jahat terhadap kalian jika kalian
menyerah. Kalian boleh memercayai sumpah kami dengan nama Allah.”
Para sahabat Rasulullah berpandangan satu sama lain seolah-olah
bermusyawarah, sikap apa yang harus diambil. Ashim menoleh kepada
kawan-kawannya seraya berkata, “Aku tidak dapat memegang janji orang-orang
musyrik itu.”
Kemudian diingatnya sumpah Sulafah untuk menangkapnya. Ashim kemudian
menghunus pedangnya sambil berdoa, “Wahai Allah, aku memelihara agama-Mu dan
bertempur karenanya. Maka lindungilah daging dan tulangku, jangan biarkan
seorang musuh pun menjamah.”
Ashim dan rekan-rekannya menyerang orang-orang Hudzail. Mereka
bertiga bertempur mati-matian, sehingga akhirnya roboh dan gugur satu per satu.
Adapun kawan Ashim tiga lagi menyerah sebagai tawanan. Mereka dikhianati oleh
kaum Hudzail yang tidak memenuhi janji.
Pada mulanya kaum Hudzail tidak mengetahui bahwa salah seorang di
antara korban mereka adalah Ashim bin Tsabit. Namun setelah tahu bahwa salah
satunya adalah Ashim, mereka pun girang bukan kepalang, karena membayangkan
hadiah besar yang akan diperoleh.
Hanya beberapa saat setelah kematian Ashim bin Tsabit dan
kawan-kawan, kaum Quraisy telah mencium beritanya. Karena kaum Hudzail tinggal
tidak jauh dari kota Makkah, para pemimpin Quraisy segera mengirim utusan
kepada pembunuh Ashim, meminta kepala Ashim untuk menghilangkan dahaga Sulafah
binti Sa’ad, dan menyempurnakan sumpahnya.
Para pemimpin Quraisy membekali para utusan itu dengan uang yang
memadai, dan menyuruh mereka menyerahkan seluruh uang itu kepada kaum Hudzail
demi untuk mendapatkan kepala Ashim.
Kaum Hudzail pergi mencari mayat Ashim untuk memisahkan
kepalanya dari jasad. Tetapi alangkah ajaib, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
sarang lebah dan gerombolan serangga yang menyerang dari segala arah. Ketika
mereka hendak menghampiri tubuh Ashim yang telah menjadi mayat, serangga itu
terbang menyeranga, menggigiti muka, mata, dan kening. Bahkan seluruh tubuh
mereka luput dari gigitan, sehingga mereka tidak bisa mendekati jenazah Ashim.
Setelah mereka mencoba berulang-ulang menghampiri mayat Ashim,
mereka selalu gagal, akhirnya menyerah. “Biarkanlah dahulu sampai malam.
Biasanya bila hari telah malam, mereka terbang. Maka tinggallah mayat itu untuk
kita,” kata seseorang.
Mereka kemudian duduk menunggu sampai malam. Namun ketika langit
mulai gelap, tiba-tiba kilat dan petir menggelegar sambung-menyambung. Hujan
pun turun dengan lebatnya bagai dicurahkan dari langit. Setahu mereka belum
pernah terjadi hujan sedemikian lebat. Dengan cepat air mengalir dari
tebing-tebing memenuhi sungai-sungai dan menutup permukaan lembah. Banjir besar
segera datang melanda segala yang ada.
Setelah Subuh tiba, mereka bangkit kembali mencari tubuh Ashim
di segala penjuru. Namun usaha mereka sia-sia, bahkan mereka tidak menemukan
bekas-bekasnya. Rupanya banjir telah menghanyutkan mayat Ashim tanpa diketahui
ke mana perginya.
Allah SWT memperkenankan doa Ashim bin Tsabit. Dia melindungi
mayat Ashim yang suci, jangan sampai dijamah oleh tangan-tangan kotor
orang-orang musyrik.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan